Hamzah Lubis,
Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim
Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal Medan *Pusat Kajian Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS
HAM-RI
KORUPSI DI LEMBAGA PENDIDIKAN SWASTA
Dr.Ir.Hamzah Lubis,SH,M.Si
Anggota Anti Corruption Forum (ACF)
“Siapa saja diantara kalian yang melihat
kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan kekuatannya, jika tidak
kuasa, dengan lisannya, jika tidak bisa juga, paling tidak dengan berdoa, dan
yang terakhir ini merupakan iman yang paling lemah” (H.R.Muslim).
Anggaran
pendidikan menjadi sasaran empuk untuk dikorupsi. Selama 10 tahun terakhir, korupsi
disektor pendidikan yang terungkap menyebabkan kerugian negara senilai 1,3
triliun. Dana yang paling rentan dikorupsi adalah dana aloksi khusus (DAK),
dana biaya oprasional sekolah (BOS), dana infrasturuktur sekolah, sarana dan
prasarana serta buku pelajaran.
Modus korupsi di
sektor pendidikan, berupa penggelapan 132 kasus, penggelembungan nilai 110
kasus, pemotongan 51 kasus, penyalahgunaan anggaran 50 kasus, proyek fiktif 30
kasus dan lainnya 52 kasus. Lembaga pendidikan yang terlibat korupsi adalah dinas pendidikan 214 kasus, sekolah 93
kasus, perguruan tinggi 35 kasus, pemkab/pemkot 26 kasus dan pemerintah
provinsi 13 kasus. Pelakunya adalah pegawai dinas pendidikan 225 kasus, pegawai
swasta 95 kasus, kepala dinas 77 kasus, kepala sekolah 65 kasus dan bendahara
27 kasus.
Lembaga
Pendidikan
Secara umum, lembaga pendidikan
dikelompokkan atas lembaga pendidikan negeri yang dikelola negara dan lembaga
pendidikan swasta yang dikelola masyarakat. Menurut Undang-Undang Nomor 9 tahun
2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, badan hukum pendidikan (BHP) terdiri atas:
1. Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP), 2. Badan Hukum Pendidikan
Pemerintah Daerah (BHPPD) dan 3. Badan Hukum Pendidikan Masyarakat (BHPM). Badan hukum pendidikan penyelenggara (BHP),
seperti yayasan, perkumpulan, atau badan
hukum lain.
Pada kenyataannya, karena
keterbatasan keuangan pemerintah , pada sisi lain tingginya peranserta
masyarakat dalam mencerdaskan bangsa, maka sebagian besar lembaga pendidikan
adalah swasta. Jumlah siswa dan mahasiswa swasta jauh lebih besar dari siswa
dan mahasiswa negeri. Demikian juga guru, dosen, pimpinan lembaga pendidikan
dan pegawai lembaga pendidikan sewasta lebih besar dari negeri.
Asumsi
salah
Ada asumsi
dimasyarakat , bahwa pidana korupsi hanya menyentuh Pejabat Negara, Hakim,
pegawai negeri, TNI, POLRI dan para pihak yang memiliki kaitan. Orang-orang
yang bekerja di badan hukum Yayasan, sekolah/perguruan tinggi swasta, rumah
sakit swasta dan lainnya tidak mendapat
jangkauan undang-undang tindak pidana korupsi. Misalnya, orangtua siswa
mendatangi wali kelas, kepala sekolah atau Yayasan dari sebuah perguruan swasta
yang semuanya non-PNS, meminta tolong agar anaknya diluluskan serta memberi atau menjanjikan sesuatu
(misalnya uang) tidak ranah korupsi.
Dalam dunia
pendidikan, tidak asing bila orangtua siswa memberi hadiah bahkan
memberi/menjanjikan sesuatu untuk nilai yang tinggi, kenaikan kelas, kelulusan
sekolah, “cuci raport” untuk masuk PTN dan lainnya. Pada sisi lain, sudah
rahasia umum, para guru, wali kelas, kepala sekolah menerima hadiah bahkan
meminta imbalan dari siswa/orangtua siswa atas nilai, kenaikan kelas, kelulusan
dan lainnya. Mereka, tidak merasa
tindakan yang dilakukan adalah pidana yang masuk ranah korupsi. Hal ini dapat
dipahami, bahwa sebagian besar dari pasal-pasal Undang-Undang Nomor 20 tahun
2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebut pegawai negeri.
Pegawai
negeri
Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
memberi pengertian yang lebih luas tentang pegawai negeri. Pasal 1 ayat
(2) menjelaskan 5 (lima) kelompok yang masuk dalam keriteria pegawai negeri dalam undang-undang tindak
pidana korupsi. Meliputi : 1. Pegawai
negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kepegawaian. 2. Pegawai
negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 3. Orang
yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah. 4. Orang yang
menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari
keuangan negara atau daerah. 5. Orang yang menerima gaji atau upah dari
korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
Pegawai Negeri
berdasarkan Undang-Undang No.43 tahun 1999 tentang Pokok Kepegawaian, Pasal 1 bagian 1: “Pegawai negeri adalah setiap warga negara
Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh
pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau
diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”. Pegawai negeri terdiri atas PNS, TNI dan
Polri. PNS terbagi atas PNS Pusat dan PNS daerah.
Pegawai negeri menurut Pasal 92 KUHP adalah: “Perkataan
pegawai negeri, mengandung sekalian orang yang dipilih dalam pemilihan yang
diadakan menurut undang-undang umum, serta sekalian orang yang oleh karena
sebab yang lain daripada pilihan menjadi anggota Dewan Rakyat, Dewan Provinsi
dan Dewan yang diadakan , demikian pula sekalian anggoata dewan subak dan
sekalian kepala pribumi dan kepala orang timur asing, yang menjalankan
kekuasaan yang sah”.
PNS
“Swasta”
Bagaimana posisi
pendidik atau pegawai swasta di lembaga pendidikan swasta? Mengacu pada
undang-undang tipikor, bagi pendidik dan pegawai pendidikan dikelompokkan
sebagai PNS. Undang-undang tipikor khususnya
Pasal 1 ayat (2) nomor 4 , mengkategorikan PNS bagi “orang” yang menerima gaji atau upah dari
suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah.
Maka hampir
dapat dipastikan, bahwa lembaga pendidikan swasta pernah atau terus menerima
bantuan dari keuangan negara/daerah. Misalnya memperoleh dana DAK, BOS, bantuan
sarana-prasarana, sertifikasi guru/dosen, bantuan pendidikan non-sertifikasi
dan lainnya dari pemerintah pusat atau daerah. Bia jawabannya, “ya”, maka setiap “orang” pendidik/non pendidik yang menerima upah dari
lembaga pendidikan yang menerima bantuan tersebut, digolongkan sebagai
“PNS”.
Dengan posisi
hukum sebagai “PNS swasta” tersebut ,
maka misalnya guru yang menerima “sumbangan” dari orangtua siswa untuk kenaikan kelas, perpisahan kelulusan,
Hari Guru dan lainnya menjadi “gratifikasi” atau “sogokan” yang harus dilaporkan
ke KPK atau sebagai barang haram “korupsi”. Demikian juga siwa dan orangtua
sebagai pemberi “sumbangan” kepada pendidik, menjadi pemberi “gratifikasi” atau
“sogokan” kepada “PNS”.
Pidana
Korupsi
Ancaman pidana korupsi yang dapat
didakwakan jaksa penuntut kepada
pendidik dan non pendidik di lembaga pendidikan telah diatur sebagaimana
PNS dalam undang-undang tindak pidana korupsi. Sebagian besar pasal-pasal
pidana dalam undang-undang Tipikor untuk menjerat PNS. Oleh karena itu, pemberi
“sumbangan” (siswa dan orangtua) kepada penerima
sumbangan (pendidik, non pendidik), menjadi kategori “gratifikasi” atau
“sogokan” kepada “PNS swasta”. Pidana gratifikasi pemberi dan penerima pada Pasal
5 ayat (1) undang-undang tipikor adalah pidana penjara paling singkat 1 tahun
dan paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00
dan paling banyak Rp 250.000.000,00.
Pendekatan
anti Korupsi
Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Anis Baswedan melihat persoalan korupsi di sekotor
pendidikan berada di daerah. Untuk menanggulanginya,
Kemendikbut akan menerapkan beberapa
pendekatan. Pendekatan pertama, penerapan
e-purchasing untuk pembelian
item barang yang memanfaatkan DAK dan BOS. dengan cara ini, diharapkan tidak
ada lagi oknum yang bisa mencuri uang DAK dan BOS.
Pendekatan
kedua, adalah meningkatkan penggunaan transaksi tanpa uang tunai. Pendekatan
ketiga, berupa pengkajian ulang semua petunjuk teknis DAK. Dengan cara ini
kemungkinan orang terjebak dalam urusan administrasi dapat dikurangi. Perangkat
peraturan kebijakan-kebijakan tersebut akan dilaksanakana tahun 2016 ini.
Semoga….***
No comments:
Post a Comment