MK.KDV-10. TERORISME DAN CYBER CRIME



1. Terorisme
Terdapat tiga hal yang menjadi penting untuk diketahui terkait dengan kejahatan kontemporer yang satu ini.
Pertama, pelaku kejahatan ini tidak hanya berasal dari individu yang
mengatasnamakan penolakan terhadap suatu kebijakan negara, tetapi dapat juga berasal dari negara yang diwakili oleh pemerintahan otoriter untuk mempertahankan kedudukannya, sehingga kelompok yang dianggap mengganggu pemerintahan bersangkutan berusaha dihilangkan .
Kedua, pelaku terorisme tidak selamanya digerakkan oleh suatu kelompok  (organisasi), tetapi dapat pula oleh seorang (individu) saja. Ketiga, istilah terorisme pada awalnya bertendensi positif, sebab negara berusaha dipertahankan dengan mengatasnamakan kepentingan umum, sehingga siapa yang hendak merongrong negara dan pemerintahan harus dijerat dengan hukum yang berlaku.
Pertama, sebagai unjuk bukti dari negara juga bisa dianggap sebagai pelaku teror dapat dirujuk dari pengertian teroririsme yang dikemukakan oleh Fattah (1997):
"Terrorism comes from terror, which comes from Latin word "terrere", meaning to frighten. Originally, the word "terroe' was used to designate a mode of governing, aond word "terrorism" was emplplayed to describe the systematic use of terror, especially by government, as a means of coercion to force the governed into submission."
Jadi, menurut Fattah terorisme berasal dari kata " teror," yang berasal dari kata Latin"terrere",lartg berarti menakut-nakuti. Awalnya, kata " terroe" digunakan untuk menunjuk-
an cara memerintah, dan kata "terorisme" digunakan untuk menggambarkan penggunaan teror secara sistematis, terutama oleh pemerintah, sebagai sarana pemaksaan untuk memaksa diatur sehingga menjadi tunduk." Pengertian ini sebagaimana dikemukakan oleh Fattah, sering dijadikan bahan analisis terhadap "kepincangan" Amerika Serikat dalam memerangi terorisme. Di satu sisi selalu mempropagandakan perang melawan teroris, tetapi di sisi lain banyak melakukan aksi teror dari pasukannya yang di kirim seperti di Afganistan, Irak, hingga menimbulkan banyak korban dari penduduk sipil.
Soal yang kedua, teroris bukan hanya dari suatu kelompok saja, ilustrasi kasus terhadap terorisme yang dilakukan oleh individu dapat diamati dalam kasus Theodore John Kacynski yang melakukan serangkaian terror bom selama hampir 15 tahun hanya seorang diri. Pelaku yang oleh Federal Bureau of Investigation (FBI) dijuluki sebagai Unabomber itu baru tertangkap pada tahun 1996 (Nitibaskara:2002). Pela ku terorisme individual lainnya yang tak kalah menggegerkan masyarakat Amerika Serikat (AS) adalah Timothy Mc' Veigh. Prestasinya menghancurkan gedung bertingkat delapan belas di Oklohama City pada tahun 1995, dan dicatat oleh pers AS sebagai "the worst domestic terrorism in American history." Adapun untuk skala terorisme yang dilakukan oleh suatu kelompok, kasus ini sekarang banyak yang terjadi, seperti kelompok Osama bin Laden, ISIS, di Indonesia ada NII.
Terakhir, istilah terorisme pernah berkonotasi positif, yaitu dapat ditesuri berdasarkan sejarah revolusi Perancis (1793-1794), guna meredam kekacauan dan pemberontakan rakyat, yang mencirikan bahwa kegiatan rezim tersebut bersifat terorganisasi, deliberate, dan sistematis, dan bertujuan untuk menggantikan sistem yang korup dan tidak demokratis. Rezim Perancis setelah Revolusi ini disebut " Republik de la terreul' (Republik Teror) di bawah pimpinan Robespierre.
Berdasarkan apa yang telah dikemukakan di atas, maka selanjutnya terorisme dapat disimpulkan kalau pelakunya terdiri atas dua golongan: (a) negara (state terrorism) yang biasanya dilakukan oleh rezim pemerintahan yang korupsi, represif, dan otoriter; (b) non-negara (nonstate terrorism), yaitu terorisme yang ditujukan terhadap negara, baik yang mengatasnamakan individu maupun suatu kelompok.
Memang agak sulit untuk mendapatkan definisi yang tepat perihal terorisme, banyak penjelasan yang dikemukakan atas itu, baik melalui para ahli, perjanjian internasional maupun oleh suatu lembaga, berikut uraiannya:
a. Terrorism has been defined as the sub-state application of violence or threatened violence intended to show panic inm society, to weaken or every ouerthrow the incumbents, and to bring about political change. It shades on occasion into guerrilla warfare (although unlike guerrillas, terrorists are unable or unwilling to take or hold territory) and even a substitute for war between state." (Laqueur, 1996: 24);
b. Recognizingthe growinglinks between terrorism and organized crime, including illicit  trafficking in arms, narcotics, human beings and money laundering (Conuention of the Organkation of the Islamic Conference on Combalting International Terorism ( I 999) ;
c. International terrorism is terrorism conducted with support of foreign governments or  organization andlor directed against foreign nations, institutions, or governments (US Central Intelligence Agency/ClA) ;
d. Terrorism is unlawful use of force or violence against person or property to intimidate or coerce a gouvrnment, the civilian population, or any segment there of in furtherance of political or social objectiues (US Fedcral Bureau of Inaestigation /FBl);
e. Terrorism is premeditated, politically motivated violence perpetrated against a noncombatant target by subnational groups or clandestine state agents, usually intended to influence an audience International terrorism is terrorism involving the citizens or territory of more than one country (U S Departmens of State and Defense) ;
f. Act of terrorism" means an activity that involues a violent act or an act dangerous to human lifu that is a violation of  the criminal laws of the US or of any State or that would be a criminal violation if committed within the jurisdiction of the US or of any State, and appears to be intended: (i) to intimidate or coerce a civilian population; (ii) to influence the policy of a government  by intimidation or coercion, or (iii)  to affect the conduct of a government by assassination or kidnapping (Black Law Dictionary).
Pengertian terorisme yang telah dikemukakan di atas, pada pokoknya menggambarkan kalau negaralah yang menjadi objek penyerangan meskipun sasaran antaranya melalui serangan, pengancaman, kekerasan secara acak (tidak terdapat hubungan dengan pelaku) kepada property negara, alat kekuasaan negara (seperti kepolisian dan tentara), hingga pada penduduk sipil.
Selanjutnya, bagaimana dengan hukum nasional kita mengatur tentang kejahatan terorisme? Hal ini dapat diamati berdasarkan Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dalam Pasal 6 UU a quo ditegaskan:
"Pelaku tindah pidana terorisme adaaah setiap orang yang dengon sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, atau menimbulkan korban yong bersifat massal. Dengan cara merampas kemerekaan  atau hiangnyo nyawa dan harta benda orong lain.  Mengakibatkan kerusakan atau hehancuran terhadap objek-objeh vital  yong strotegis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional."
Adapun dalam Pasal 7 ditegaskan pula:
"setiop orang  yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau tindakan ancaman kekerasan yang dimoksudkan untuk menimbulkan suasana teror otau rasa takut  terhadap orang secara luas atau mengakibatkan kerusakan atau hehancuran terhadap objek-objek vitol  yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internosional."
Dua ketentuan yang telah dikutip di atas, sepintas lalu tidak ada perbedaan, tetapi dalam hal menjerat pelakunya, terdapat perbedaan yang signifikan. Pasal 6 sebenarnya terkualifikasi sebagai delik materiil, hal ini terlihat dari frasanya "menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas." Harus ada akibat dari perbuatan si pelaku itu, yakni menimbulkan suasana teror, dan seterusnya. Adapun pada Pasal 7 ketentuannya tergolong sebagai delik formil, sebagaimana dalam frasanya "dimaksudkan untuk menimbulkan suasana teror." Yaitu baru bermaksud, atau dalam tahap permulaan pelaksanaan saja sudah dapat terjerat dalam tindak pidana terorisme. Sebaiknya, ketentuan Pasal 7 dihapus saja, dengan alasan, tindak pidana terorisme merupakan kejahatan yang sudah digolongkan kejahatan ekstra, maka cukup dengan Pasal 6 pun sudah dapat menjerat pelakunya. Dalam frasa "sengaja" sudah tercakup dalam makna "dengan maksud." Lebih konkretnya untuk penjelasan atas ketentuan
ini dapat merujuk ke KLIHP, tindak pidana makar yang dalam konteks "serangkaian permulaan pelaksanaan" put sudah terjerat dengan ancaman pidana, selesai atau tidak selesainya mewujudkan perbuatannya sama semua ancaman pidananya.
Beralih pada sudut pandang kriminologi atas jenis kejahatan ini. Dengan perspektif "etiologi kejahatan" basis utamanya dapat dirujukan kembali teori radikal yang pernah dikemukakan oleh Richard Quinney dan William Chambils. Kedua ahli tersebut memandang kalau kejahatan berawal dari dominannya sistem kapitalisme, sehingga mereka yang berada dalam tekanan atas sistem itu melakukan pemberontakan. Kendatipun demikian dalam beberapa kejahatan terorisme bukan lagi mengatasnamakan sosialisme untuk melawannya, seringkali ideologi atas nama agama dalam paradigmahitamputih sebagai pijak menolak sistem kapitalisme tersebut.
Setidaknya, faktor penyebab kejahatan terorisme terjadi, seperti kasus-kasus teror yang terjadi di Indonesia dapat dibagi sebagai berikut:
a.  Dengan perubahan rezim pemerintahan yang berdampak pada terbukanya hubungan antar negara, belum lagi sarana dan tekhnologi informasi sehingga memudahkan komunikasi antar setiap orang, maka jaringan terorisme denganlebih gampang memperluas pula pengaruhnya ke beberapa negara;
b. Dengan masuknya jaringan terorisme ke dalam negeri, pada akhirnya gampang merekrut anggota yang berasal dari golongan ekonomi menengah, golongan yang anti-kemapanan. Dari golongan-golongan merekalah kemudian dijadikan kelompok baru untuk melakukan aksi teror sebagai bagian dari perang terhadap isu kapitalisme global, termasuk perang terhadap negara sendiri dengan melakukan perusakan secara massal terhadap property negara;
c.  Untuk negara seperti Indonesia, masih dalam tahap negara berkembang, belum mampu memberikan kesejahteraan merata, menyebabkan banyak yang memilih jalan melawan kebijakan pemerintahan dengan masuk dalam kelompok jaringan terorisme;
d. Ketimpangan yang terjadi di mana-mana, seperti kemiskinan, daerah tertinggal, lalu pejabat pemerintah banyak yang melakukan korupsi maka banyak pula memilih jalan radikalisme agama untuk mengganti sistem pemerintahan berdasarkan "ideologi suci" yang dipahaminya;
e. Perlakukan sewenang-wenang terhadap anggota terorisme akibat tertangkap oleh aparat penegak hukum menjadi pemicu "balas dendam" dari anggotanya yang belum tertangkap, yakni mereka yang masih dalam persembunyian.
Dengan mempelajari beberapa faktor penyebab kejahatan terorisme, maka selanjutnya langkah penanggulangan yang dapat diambil sebagai berikut:
a.  Setiap negara harus melakukan kerja sama internasional dalam menelusuri jejaring terorisme;
b. Seyogianya pemerintah melakukan koordinasi lintas instansi, lintas nasional secara berkesinambungan baik melalui langkah represif, preventif, preemtil maupun rehabilitasi;
c.   Memotong jaringan terorisme melalui resosialisasi dan reintegrasi para pelaku terorisme ke dalam masyarakat;
d.   Pembangunan ekonomi sejahtera dan merata ke setiap  daerah, sehingga tak ada lagi daerah yang merasa dimarginalkan;
e.  Melakukan penyuluhan dan sosialisasi tentang bahaya ancaman terorisme;
f. Menanamkan sikap anti terorisme dalam setiap pendidikan formal mulai dari tingkat pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, demi menghindari pengaruh radikalisme dari jaringan teroris terhadap generasi selanjutnya.
Terorisme sebagai kejahatan yang terorganisasi, bahkan sudah ditempatkan sebagai kejahatan transnasional, perlu pula diperhatikan fase penanggulangan dalam tahap penindakannya, kendatipun kejahatan ini telah digolongkan sebagai kejahatan yang sifatnya ekstra, sebaiknya lebih diutamakan pendekatan persuasif terhadap mereka, menyerahkan diri secara sukarela dengan jaminan pemerintah harus menanggung perekonmian keluarganya. Penegakan hukum atas pelaku teroris jangan sampai over-kriminalisasi, harus tetap berjalan dalam due process of law,jangan membiasakan pelaku ditembak di tempat, tetapi hukumlah dengan melindungi juga hak asasinya hingga jatuhnya putusan pengadilan inkrah.

2. Cyber Crime
Beberapa kejahatan yang dahulu bersifat konvensional, banyak bertransformasi dalam kejahatan jenis baru, penipuan online, penghinaan melalui online, pengancaman melalui online, dan judi online. Sifat kebaruan dari pola kejahatannya itu karena menggunakan sarana internet. Bahkan yang tidak tergolong kejahatan dalam hukum pidana, hanya kriminologi memandangnya sebagai kejahatan juga sudah terjadi melalui media online,seperti prostitusi online.
Selain itu, dalam kejahatan yang sudah dianggap sebagai kejahatan kontemporer pun mengalami transformasi, seperti perdagangan narkotika melalui online, cyber terorism, hingga
perdagangan orang secara o nline (trafficking) .
Pendekatan sosiologi kriminal sudah pastinya memberikan kesimpulan kalau cyber crimefaktor penyebab utamanya, karena perkembangan teknologi yang dapat memudahkan setiap orang untuk menjalin komunikasi, dengan melalui sarana elektronik yang berakses internet.
Digolongkan kemudian cyber crime sebagai kejahatan kontemporer dengan berpijak pada kekosongan hukum atas perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya, sebab dahulu dari beberapa perbuatannya tidak terakomodasi dalam regulasi hukum pidana. Iadi, dapatlah dikatakan kalau cyber crime diklasifikasikan sebagai tindak pidana khusus, bukan karena pola kejahatannya saja yang sulit teridentifikasi, namun juga disebabkan undang-undang yang akan menjeratnya belum ada. Cyber crime dapal dikatakan sebagai dasar dilembagakannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Dengan demikian, kalau sebelumnya sulit menjerat pidana bagi pelaku cyber crime, seperti pembobolan bank yang menggunakan kredit palsu hanya dengan tindak pidana pencurian dan tindak pidana pemalsuan, kini akan terjerat dengan kejahatan di bidang ITE. Termasuk pula, pembobolan website, akun-akun milik pemerintah, akun badan negara, sebagaimana sama sekali tidak akan mampu terjerat dengan KUH Pidana, sekarang akan terjerat dengan UU ITE.
Sederhana untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan cyber crime, tapi itu hanya berdasarkan arti harfiahnya saja, namun dari segi penggolongannya cukup banyak yang terkualifikasi sebagai cyber crime.
Cyber crime ada yang mengartikannya "kejahatan dunia maya." Ada juga yang memaknainya "kejahatan internet." Akan tetapi, di dalam berbagai literatur tetap masih menggunakan bahasa aslinya (bahasa Inggris) dengan menggunakan istilah " cyber crirne."
Menurut Donner, Marcum, fennings, Higgins, & Banfield (2014) menjelaskan bahwa cyber crime secara luas dapat dipahami sebagai perilaku destruktif, pencurian, penggunaan secara illegal, tanpa izin memodifikasi atau mengkopi informasi, program, aplikasi, peralatan maupun jaringan komunikasi.
Penggolongan cyber crime oleh Rogers (dalam Kurniadhani: 2014) yang berangkat dari  kategori orang yang masih baru mengenal internet hinggayang amatiran dan kejahatannya yang sudah berskala besar terbagi-bagi sebagai berikut:
a.  Script Kiddies (SK), individu dengan kemampuan teknis yang terbatas, tanpa benar-benar memahami apa dampak dari perilakunya. Faktor-faktor utama kategori ini adalah ketidakdewasaan (immaturity), peningkatan ego dan pencarian sensasi: efek adrenalin, memiliki rasa moralitas yang belum berkembang (dapat dilihat dari skala moralitas Kohlberg, hedonism instrumental naifi. Ciri yang kentara yakni kerap sesumbar atau pamer tentang eksploitasi yang mereka lakukan, mencari-cari perhatian hingga menyerang ego dari pihak lain;
b.  Ciber-punks (CP), kelompok yang "memperluas" mentalitas punk ke dunia maya. Kelompok ini tidak memiliki rasa hormat dan tidak perduli pada wewenang, simbol-simbol dan norma-norma sosial. Dorongan utama perilaku mereka adalah kebutuhan atas pengakuan atau ketenaran dari rekan-rekan (peers) dan masyarakat. Demografi kategori ini didominasi oleh laki-laki berusia 12 hingga 18 tahun. Mereka telah memahami konsekuensi dari tindakan mereka pada pihak  lain,tetapi masih kurang peduli karena konsekuensi atas diri mereka masih sangat ringan (misalnya, hanya ditampar bila tertangkap). Mirip dengan SK, kelompok ini juga memiliki rasa moralitas yang sangat rendah. Rasa takut bukan merupakan penghalang, karena status pernah ditangkap atau semakin sering tertangkap membuat mereka semakin bangga: identik dengan lencana kehormatan dan dapat mengangkat reputasi mereka sebagai pahlawan komputer bawah tanah (undergroundfolk hero).
c. Haaktivist (H), istilah yang digunakan untuk individu ataupun kelompok yang melakukan perilaku menyimpang, tetapi dengan kamuflase semantik untuk menyamarkan tindakannya. Para pelaku cenderung membenarkan perilaku destruktifnya dengan label,pembangkangan publik" dan pembenaran politik dan moral atas perilakunya. Data empiris menunjukkan bahwa motivasi politik merupakan dorongan yang tidak terlalu menentukan. Motif yang lebih mendasar adalah balas dendam, kekuasaan, keserakahan, pemasaran, atau perhatian media;
d. Thieves (T), termasuk kategori penjahat pada umumnya. Motivasi utamanya adalah perolehan finansial dan keserakahan. Target serangan kelompok kategon ini biasanya adalah kartu kredit dan rekening bank yaitu penipuan transfer bank dan penyalahgunaan nomor kartu kredit. Sejalan dengan kejahatan pencurian ini adalah pencurian identitas.
e. Virus Writers (VW), dimulai dari masa remaja dan berkembang hingga menjadi kategori mantan pembuat (ex - writer) sejalan dengan perkembangan dan kedewasaan kognitif dan kronologisnya. Terdapat sensasi pada tantangan mental dan latihan akademik (belajar) pada proses pembuatan virus. Latihan akademik/intelektual terkait konsekuensi virus buatannya biasanya terjadi setelah virus itu tersebar luas. Sering kali, orang yang menyebarkan virus bukanlah orang yang menciptakannya. Orang yang menyebarkan virus memiliki karakteristik dan motivasi yang mirip dengan kelompok CP, yang menginginkan perhatian, pencarian sensasi, dan tidak takut sanksi;
f.  Professional (P), kelompok kategori yang paling elite dalam kelompok penjahat cyber, yang memiliki inteligensi kompetitif dan aktivitas yang abu-abu.  Individu (P) ini dapat terlibat dalam penipuan tingkat tinggi hingga spionase korporat. Mereka akan menjual informasi dan property intelektual pada penawar tertinggi. Sangat sedikit informasi terkait kelompok klandestin ini karena mereka menggunakan anonimitas yang sangat ketat untuk menutupi aktivitasnya. Bagi kelompok ini, aktivitasnya merupakan sebuah pekerjaan dan mereka adalah benar- benar profesional;
g. Ciber-terrorist (CT) dapat berupa bagian dari militer atau paramiliter sebuah negara dan diposisikan sebagai tentara maupun sebaliknya sebagai pejuang pembebasan dalam medan perang dunia maya. Tujuan mereka sama seperti militer tradisional, yaitu untuk memenangkan pertempuran atau peperangan. CT menjalankan dua fungsi yaitu menyerang sistem pertahanan dan masyarakat musuh dan melindungi sistemnya sendiri dari serangan serupa dari pihak lawan.
Berdasarkan penggolongan cyber crimeyang telah dikemukakan di atas, maka selanjutnya dijelaskan oleh Rogers (2010) faktor penyebab munculnya kejahatan tersebut, di an-
taranya:
a. Social learning theory, teori ini mengemukakan bahwa seseorang mula-mulanya belajar dari lingkungan pergaulannya, melalui proses belajar, imitasi, sehingga pada akhirnya bisa mandiri melancarkan kejahatannya. Rata-rata dari mereka yang sudah mahir saling bertukar informasi, mereka pada bersaing menunjukkan kemampuannya untuk mendapatkan pengakuan yang disebut reinforcement.
b. Moral dis-engagement theory, oleh karena sulitnya terdeteksi para pelaku cyber crime, sering kali mendapatkan apresiasi dari keberhasilannya, bergeser kemudian penilaian terhadap perbuatannya, bahwa ia bekerja sebagai anjing penjaganya masyarakat, mempertahankan "mata waspada" pada vendor tak bermoral dan pemerintahan tirani, sehingganya mengalami pembebasan moral, tanpa lagi memikirkan perasaan bersalah dan kecaman diri sendiri, kendatipun misalnya ia telah melakukan pembobolan website,
c. Anonymity, anonimitas cenderung memunculkan kepribadian yang terburuk pada diri individual ketika ia online, karena mereka yakin bahwa me r eka ano nymo as dan dapat berpura-pura menjadi persona-persona samaran. Hal ini disebabkan perilaku online merupakan refleksi diri individu yang sebenarnya dalam kondisi tanpa kontrol diri dan tanpa norma atau tekanan sosial  (Kurniadhani, 2014).
Berpijak dari penyebab kejahatan tersebut di atas, maka langkah-langkah yang dapat diambil guna penanggulangannya sebagai berikut:
a. Di tingkatan pencegahan yaitu masyarakat harus konsisten untuk memposisikan perilaku cyber crime sebagai perilaku yang tidak dapat diterima dan ditoleransi dalam masyarakat. sebagaimana kriminal di dunia riil, berhenti memberikan pengakuan kepada pelaku, berhenti menerbitkan buku panduan maupun tulisan tentang keberhasilan cybercrime yang ditulis oleh para pelaku, berikan penolakan dan opini tentang kerusakan atau kerugian yang diakibatkan oleh perilaku cyber crime,Iibatkan pelaku untuk bertemu administrator sistem, turut merasakan bagaimana banyak usaha, waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk mengembalikan sistem seperti semula dan merasakan kerusakan dan kerugian dari terbukanya informasi yang dilindungi sistem tersebut, menanamkan pendidikan online "sehat" selama masa kritis proses perkembangan individual, khususnya perkembangan moral masa remaja dan dewasa awal;
b. Di tingkat penindakan sudah pastinya kriminalisasi atas setiap perbuatan tersebut melalui cyber crime law,bersama dengan itu harus diikuti dengan pola penindakan dari penyidik yang mengetahui jaringan media dan informasi elektronik (Kurniadhani, 201 4).
Pada kenyataannya, banyak pelaku cyber crimeyang berasal dari anak-anak remaja, mereka tidak bertendensi untuk mencari kekayaan. Ada yang hanya ingin menunjukan keterampilannya, sistemnya coba-coba (trial and error), di antara teman-temannya ingin menunjukan eksistensi diri, soal siapa yang paling tinggi pengetahuan internetnya. Dalam hemat penulis, golongan yang seperti ini seharusnya mendapat perhatian, bakat mereka harus disalurkan, pemerintah harus menanggung pendidikannya (pemberian beasiswa) agar kelak dapat dimanfaatkan untuk keamanan negara dari pola kejahatan cyber crime.
Lebih dari pada itu, arus media kadang melabelisasi semua tindakan yang bisa  menerobos jaringan, dianggap sebagai penjahat. Pada akhirnya, mereka yang berbuat jahat masih merasa dalam golongan yang baik-baik, mereka dicap sebagai hacker, padahal hacker iuberkonotasi positif. Hacker adalah sebutan untuk orang atau sekelompok orang yang memberikan sumbangan bermanfaat untuk dunia jaringan dan sistem operasi, membuat program bantuan untuk dunia jaringan dan komputer. Hackermerupakan perkerjaan yang dilakukan untuk mencari kelemahan suatu sistem dan memberikan ide  atau pendapat yang dapat memperbaiki kelemahan sistem  yang di temukannya. Adapun cracker adalah sebutan untuk orangyang mencari kelemahan sistem dan memasukinya untukkepentingan pribadi dan mencari keuntungan dari sistem yang dimasuki seperti: pencurian data, dan penghapusan. Jadi, sebenarnya yang dapat dikualifikasi sebagai cyber crime, adalah cracker.

Sumber:
A.S.Alam dan Amir Ilyas.2018. Kriminologi Suatu Pengantar. Prenadamedia Group. Jakarta  (hal.139 -152) 

Tugas Mandiri:
1.    Apakah tujuan mempelajari kriminologi kontemporer dalam hukum pidana?

2.  Apakahyangdimaksud:
c. Terorisme?
d. Cyber crimel

3. Apakah faktor penyebab terjadinya:
c. Terorisme?
d. Cyber crimd

4. Bagaimana cara penanggulangan kej ahatan kontemporer berikut ini:
c. Terorisme?
d. Cyber crimd

Baca Selengkapnya »

MK.KDV-9. KRIMINOLOGI KOMTEMPORER; KORUPSI DAN NARKOTIKA



A. PENGERTIAN KRIMINOLOGI KONTEMPORER
Sebagaimana dikemukakan oleh Syahetapi (1992) yang kemudian diulang kembali oleh Abdul Wahib (2OO2: ): "bahwa dengan mengamati perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat maka kejahatan erat kaitannya dan bahkan menjadi bagian dari budaya itu sendiri. Artinya, semakin tinggi tingkat budaya dan semakin modern suatu bangsa, maka semakin modern pula kejahatan itu, bentuk, sifat dan cara pelaksanaannya."
Kriminalisasi suatu perbuatan hingga terkualifikasi sebagai kejahatan dalam suatu undang-undang, Iengkap pula dengan aparatur penegak hukum yang akan menegakknya, tidak menjadi jaminan pelaku kejahatannya dengan gampang terdeteksi. Suatu koreksi terhadap kemampuan kepolisian dalam mendeteksi pelaku kejahatan tersimpul dalam kalimat:
"Makin cerdas polisinya makin cerdas pula penjahatnya”.
Begini contoh sederhananya: dahulu pelaku pembunuhan sudah dapat terdeteksi dengan kemampuan mengidentifikasi "sidik jari" pelaku kejahatan. Ternyata si penjahat punya
cara lain agar jejak tidak diketahui oleh penyidik, ia membunuh dengan cara memutilasi korbannya. Ditemukanlah kemudian tes DNA yang bisa mengidentifikasi korban kejahatan itu, tetapi lagi-lagi penjahatnya menghilangkan jejak kejahatan dengan cara membakar organ tubuh tersebut. Nyatanya hasil pembakaran mayat masih bisa lagi dikenali melalui abunya, juga dengan tes DNA, dan selanjutnya penjahat mentaktisi hasil pembunuhannya dengan cara melenyapkan organ tubuh tersebut dalam mesin uap.
Antara pendapat yang dikemukakan oleh Syahetapi di atas, dengan contoh yang telah diberikan sebagai gambaran pola perkembangan kejahatan, di situlah kriminologi menjadi ilmu pengemban amanah, mempelajari modus dan motif baru dari kejahatan tersebut. Termasuk mempelajari faktor penyebabnya, lalu menawarkan sejumlah bentuk penanggulangan kejahatan baik dari segi pencegahan maupun dari segi penindakannya (preventif dan kurasif).
Jadi, kriminologi sebagai ilmu dari berbagai ilmu tidak berhenti pengkajian dan analisisnya mengenai "kejahatan konvensional" saja. Akan tetapi, perkembangan bentuk kejahatan yang baru, penelitian kriminologi harus kembali mengambil peran. Pada konteks inilah, lahir apa yang dinamakan kriminologi kontemporer.
Mula-mula istilah "kontemporer" disandingkan dengan kata "art'': "contemporary art." Seni kontemporer berkembang di negara Barat pasca perang dunia kedua, sebagai perkembangan seni yang terpengaruh dampak modernisasi. Sementara dalam arti harfiahnya "kontemporer" sebagaimana dalam KUBl (1998) diartikan: pada waktu yang sama; semasa;
sewaktu; pada masa kini; dewasa ini.
Dalam beberapa literatur pula sering ditemukan istilah seperti: hukum pidana kontemporer, kejahatan kontemporer, bahkan ada juga sosiologi hukum kontemporer. Tak ketinggalanlah pula dalam hal ini, kriminologi yang mempelajari tentang kejahatan, seluk beluknya, sebab-musababnya, hingga pada eskalasi penanggulangannya turut menyemai dengan peristilahan kontemporer. Kriminologi kontemporer adalah ilmu yang mempelajari kejahatan "baru" yang sedang terjadi dewasa ini.
Makna selanjutnya "kejahatan baru" di sini bukanlah berarti "kejahatan yang baru muncul saat ini," melainkan reaksi masyarakat atas perbuatan jahat tersebut terjadi peningkatan "pencelaan" karena "kerugian" yang ditimbulkannya jauh lebih besar. Bertambahnya sifat pencelaan atas perbuatan itu, sudah pasti juga dipengaruhi oleh cara atau metode sang pelaku mewujudkan perbuatannya, sulit diidentifikasi, tetapi kerugiannya kerap tidak disadari akan muncul dengan tiba-tiba.
Jika ditelusuri kembali asal-usul peristilahan kontemporer, yakni berasal dari "seni",  yang erat kaitannya dengan "sastra," dan terutama "filsafat", hingga memberikan pengaruh kajian dan analisisnya terhadap ilmu yang lain, seperti: sosiologi, politik, antropologi, dan psikologi. Lalu di ilmu-ilmu tersebut muncul mazhab kritis, maka di situlah cikal-bakal "pendewasaan ilmu dan pengetahuan."
Di saat kriminologi kontemporer mempelajari kejahatan yang mendapat "pencelaan" berlebih dewasa ini, dengan alasan makna yang tercakup dalam termin "kontemporer" yakni kejahatan itu sendiri, berarti tidak salah kalau kriminoIogi kontemporer juga dikatakan sebagai "new-criminology"'.  Soal mempelajari kejahatan dalam era, masa, dan waktu yang memengaruhinya, sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh E. Durkheim dan Robert K. Merton.
  Hanya yang membedakannya dengan kriminologi kontemporer, teori yang dikemukakan oleh kedua ahli tersebut, semata-mata menguraikan sebab-sebab kejahatan yang diakibatkan oleh pergeseran kondisi masyarakat dalam arus modernisasi.  Tidak sampai mempelajari kejahatan yang mendapat "reaksi" baru oleh lingkungan masyarakat. Dalam titik kajian "penology'' harus ditambah penghukumannya, tanpa melupakan pula cara penanggulangannya sebagaimana persesuaian dengan faktor-faktor yang menyebabkan kejahatan bermodus baru itu terjadi.


B. PERANAN KRIMINOLOGI KONTEMPORER DALAM HUKUM PIDANA
Pada hakikatnya, peranan kriminologi kontemporer dalam hukum pidana hanya terasa pada aspek penologinya. Kerap kali partisipan hukum tidak mau lagi mencari hal yang melatari kejahatan tersebut sehingganya diperberat hukumannya. Apa faktor-faktor yang melandasi sang pelaku kejahatan? Bagaimana cara mewujudkan kejahatannya? Sang pelaku melakukan perbuatan dalam genus kejahatan apa? Dan seberapa besarkah dampak dari perbuatan kejahatan itu? Setiap pertanyaan ini merupakan etiologi criminal yang kadang dilupakan oleh penganut legisme.
Lanjut daripada itu, kejahatan yang sifatnya kontemporer, seperti korupsi,  penyalahgunaan narkotika, terorisme, dan cyber crime, hukum pidana hanya bergerak dalam pendulum aspek penindakan belaka, di sisi lain menghiraukan untuk mencegah jenis kejahatan tersebut. Dalam beberapa kasus korupsi di tanah air, sudah sering kali arus publik menyuarakan hukuman mati bagi koruptor (pelaku tindak pidana korupsi), demikian halnya yang terjadi pada kasus narkotika dan terorisme, mereka semua harus dilenyapkan dari muka bumi ini. Kiranya dalam konteks itu, kriminologi kontemporer tetap bergerak dalam tindakan proporsional, antara pencegahan dan penindakan, keduanya sebagai bentuk penanggulangan kejahatan yang harus dilakukan.
Dalam hal tindakan pencegahan, kriminologi kontemporer mengemban peran sebagai berikut:
Mengajukan konsep pengawasan agar kejahatan kontemporer tercegah lebih dini, seperti: akuntabilitas dan transparansi administrasi pemerintahan untuk mencegah kasus korupsi, pemutusan jaringan kejahatan melalui aparatur hukum pada kasus-kasus narkotika dan terorisme; Meletakkan sistem perencanaan dalam mengukur besarnya biaya penanggulangan jenis-jenis kejahatan kontemporer, seperti sosialisasi atas bahayanya kejahatan tersebut, pendidikan antikorupsi, pendidikan antinarkoba, dan pendidikan antiterorisme.
Adapun dalam hal penindakan, kriminologi kontemporer dapat mengambil peran sebagai berikut:
a. Memberikan argumentasi sosiologis atas layak atau tidaknya kejahatan kontemporer diperberat hukumannya, perar ini terkait dengan hukum pidana materiil, setelah "kriminologi kontemporer" menganalisis bentuk kejahatan tersebut beserta dengan cara mewujudkannya;
b. Mengajukan metode penindakan yang dapat mengungkap kronologi kejahatan tersebut.  Contoh konkret atas peran ini, yaitu dengan dibenarkannya dalam proses penyelidikan untuk dilakukan penyadapan dan pengakuan "dokumen elektronik" dalam pengungkapan kasus korupsi, narkotika, terorisme, dan cyber crime.
Demikianlah peran kriminologi kontemporer dalam hukum pidana, sehingga tanpa disadari dewasa ini hukum pidana mengalami perubahan, terutama dalam segi pengaturannya. Pada akhirnya dengan sumbangsih kriminologi kontemporer tindak pidana seperti: korupsi, terorisme, narkotika, dan cyber crime digolongkan sebagai tindak pidana khusus.
Empat kejahatan berikut sengaja ditempatkan sebagai jenis kejahatan kontemporer dengan basis argumentasi:
pertama, akhir-akhir ini banyak yang menyoroti sebagai kejahatan yang sulit dalam pemberantasannya. Sudah cukup lengkap law reform undang-undang yang terkait dengan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, tindak pidana narkotika, cyber crime, akan tetapi angka kejahatannya tetap saja mengalami peningkatan. Kedua, jenis-jenis kejahatan tersebut dalam hal metode mewujudkan perbuatannya terorganisir, sulit dideteksi, sehingganya sering dianggap sebagai kejahatan terselubung. Ketiga, dalam perkembangannya keempat kejahatan itu, banyak menjadi perhatian negara-negara di dunia, sebab kerugiannya yang ditimbulkannya berdampak besar, maka ditempatkanlah empat kejahatan tersebut sebagai keja
hatan yang sifatnya ekstra (kejahatan luar biasa). Selanjutnya, dari keempat jenis kejahatan kontemporer tersebut, akan diuraikan satu persatu, masing-masing pengertian singkatnya, kajian kriminologinya seperti faktor-faktor penyebab beserta cara penanggulangan kejahatan tersebut.

1. Korupsi
Pengertian korupsi dapat ditelusuri berdasarkan asal katanya, yaitu berasal dari bahasa latin “com”, dan ,,rumpere,,.  Com berarti bersama- sama, sedan gkan rumpere berarti  jebol atau pecah. Istilah ini kemudian diadaptasi dalam bahasa Inggris "corruption' atau " corrupt”, bahasa Belanda  “corrruptive”,   bahasa Perancis " corruption”, bahasa Melayu/Malaysia
" rasuah", dan bahasa Indonesia “korupsi”.
Maka, kalau hendak didefinisikan korupsi dalam arti harfiahnya dapat berarti kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, perbuatan yang buruk (penggelapanuang, penerimaan uang, sogok), perbuatan yang pada akhirnya akan menimbulkan keadaan yang bersifat buruk.
Menurut Robert Klitgraard (Marwan Effendi, 2013: 13) yang pernah melakukan  penelitian terhadap kasus-kasus korupsi , mengemukakan bahwa korupsi dari perspektif administrasi negara dapat diartikan sebagai tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang, yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri) atau aturan pelaksanaan menyangkut tingkah taku pribadi.
Adapun Baharuddin Lopa mengemukakan korupsi adalah suatu tindak pidana yang berhubungan dengan penyuapan, manipulasi perbuatan-perbuatan lainnya sebagai perbuatan melawan hukum yang merugikan atau dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara' merugikan kesejahteraan atau kepentingan rakyat umum.  Perbuatan yang mlrugikan negara adalah korupsi di bidang materiil  sedangkan korupsi dibidang politik dapat terwujud berupa manipulasi pemungutan suara dengan cara penyuapan 'intimidasi' paksaan, dan/atau campur tangan yang dapat memengaruhi kebebasan memilih komersialisasi pemungutan suara pada lembaga legislatif atau pada putusan yang bersifat administratif di bidang pelaksanaan pemerintah.
Dalam perspektif kriminologi, korupsi sering disebut the multy endemic crime, ada pula yang menyebutnya sebagai structural crime, suatu kejahatan yang sudah berstruktur,  mengakar
kuat, bahkan sudah bersistem.  Itulah sebabnya kemudian untuk menanggulangi jenis kejahatan ini , akhirnya ditempatkan sebagai "seriously crime" ata.u " extra ordinary crime."
Penggolongan jenis-jenis korupsi selanjutnya dikemukakan oleh Syed Husein Alatas (Mispansyah dan Amir llyas: 2016), yang membagi tujuh bentuk (tipologi) korupsi dan jenis korupsi, yaitu:
a. Korupsi transaktif (transactive corruption), adalah jenis korupsi yang menunjuk adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kepada kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan yang biasanya melibatkan  dunia usaha atau bisnis dengan pemerintah;
b. Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption) adalah penunjukkan yang tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan, atau tindakan yang memberikan perlakuan yang mengutamakan dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk lain, kepada mereka, secara bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku;
c. Korupsi yang memeras (extortive corruption), adalah korupsi yang dipaksakan kepada suatu pihak yang bisanya disertai ancaman, teror, penekanan (presure) terhadap kepentingan orang-orang dan hal-hal yang dimilikinya;
d. Korupsi investif (inuestive corruption), adalah perilaku korban korupsi dengan pemerasan. Korupsinya adalah dalam rangka mempertahankan diri, seperti pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan
      akan diperoleh di masa yang akan datang;
e. Korupsi defensif (defensive corruption), adalah pihak yang akan dirugikan terpaksa ikut terlibat di dalamnya atau bentuk ini membuat terjebak bahkan menjadi korban perbuatan korupsi;
f. Korupsi otogenik (outogenic corruption), yaitu korupsi yang dilakukan seorang diri (single fighter), tidak ada orang lain atau pihak lain yang terlibat;
g. Korupsi suportif (supportive corruption), di sini tidak langsung menyangkut uang atau imbalan dalam bentuk lain. Tindakan-tindakan yang dilakukan adalah untuk melindungi dan memperkuat korupsi yang sudah ada.
Masih banyak penggolongan korupsi yang lainnya, terutama jika mengacu dalam UU No.31 Tahun 1999  juncto UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bentuk tindak pidana korupsi yang dapat diklasifikasikan berdasarkan UU tersebut sebagai berikut:
a.  Kerugian keuangan negara (Pasal 2 dan Pasal 3);
b.  Suap-menyuap (Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 11, Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat(2), Pasal 12 huruf c, dan Pasal 12 huruf d;
c.  Penggelapan dalam jabatan (Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, Pasal 10 huruf b, dan Pasal 10 huruf c;
d.  Pemerasan (Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf g, dan Pasal 12 huruf fl;
e. Perbuatan curang (Pasal 7 ayat (1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (l) huruf c, Pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 7 ayat(2) dan Pasal 12 huruf h);
f. Benturan kepentingan dalam pengadaan (Pasal 12 huruf i);
g. Gratifikasi (Pasal 12 B jo. Pasal 12 C);
h. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi (Pasal 21).
i. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar (Pasal 22)jo Pasal28);
j. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka (Pasal 22 jo. Pasal 29).
k. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu (Pasal 22 jo. Pasal 35) ;
l. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu (Pasal 22 jo. Pasal 36);
m. Saksi yang membuka identitas pelapor (Pasal24 jo. Pasal 31).
Berdasarkan penggolongan jenis korupsi di atas menunjukan bahwa kejahatan ini tercakup dalam kejahatan kontemporer, karena dilakukan oleh mereka yang memiliki jabatan. Konsekuensinya kemudian atas "jabatan" yang dimilikinya itu, sehingga seseorang kemudian menjadi kuat dari segi kuasa dan ekonomi. Akhirnya menjadi sulit untuk dideteksi perbuatan jahat mereka. Selanjutnya, teori kriminologi yang cocok untuk menganalisis sebab (causa) kejahatan korupsi dapat digunakan teori "anomie" yang dipopulerkan oleh E. Durkheim dan Robert K. Merton.
Pada intinya, E. Durkheim mengemukakan: "suatu keadaan dalam daerah, negara, wilayah yang mengalami perubahan perekonomian, revolusi industri seperti di Inggris akan menyebabkan perubahan besar dalam struktur masyarakat, hilang tradisi, dan terjadilah situasi deregulasi di dalam masyarakat. Keadaan inilah disebtt anomie atau  normless (hancurnya keteraturan sosial akibat dari hilangnya patokan nilai-nilai).
Senada dengan itu Robert K. Merton juga mengemukakan: "bahwa adanya perubahan paradigma nilai budaya ketika suatu masyarakat mengikuti satu set nilai budaya dari sruktur sosial kelas menengah, bahwa kesuksesan atau keberhasilan seseorang dilihat dari keberhasilan di bidang ekonomi belaka." Paradigma ini diaplikasikan dalam bentuk cita-cita (goals), untuk mencapai kesuksesan tersebut, masyarakat sudah menetapkan cara-cara {means) tertentu yang dilakukan dan dibenarkan yang harus ditempuh seseorang. Meskipun pada kenyataannya tidak semua orang mencapai cita-cita dimaksud melalui cara-cara yang dibenarkan. Oleh karena itu, terdapat individu yang berusaha mencapai cita-cita dimaksud melalui cara yang melanggar undang-und ang (illegitima-te means). Situasi tersebut terjadi dikarenakan ketidaksamaan kondisi sosial yang ada di masyarakat disebabkan oleh proses terbentuknya masyarakat itu sendiri.
Struktur masyarakat demikian adalah anomistik. Individu dalam keadaan masyarakat  yang anomistik selalu dihadapkan  pada adanya tekanan (psikologis) atau strain karena ketidak mampuannya untuk mengadaptasi aspirasi sebaik-baiknya walaupun dalam kesempatan yang sangat terbatas.
Dua pendapat yang telah dikemukakan di atas relevan untuk menganalisis "korupsi"  yang terjadi di Indonesia. Ketika era orde baru beralih ke era reformasi, niat untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dari KKN, hingga hari ini masih jalan di tempat. Korupsi tetap saja terjadi sampai melintasi seluruh organ kekuasaan (eksekutifl judikatil dan legislatif). Dengan demikian, korupsi yang terjadi di Indonesia dalam hubungannya dengan pendapat E. Durkheim dan Robert K. Merton disebabkan oleh dua hal:
1.  Para pejabat di negeri ini banyak yang kehilangan nila-nilai kebaikan atau patokan moral yang dianutnya, tentu disebabkan oleh persaingan setiap orang untuk menjadi kaya akibat  perkembangan ekonomi yang menuntutnya untuk menjadi kaya;
2. Penyimpangan cara-cara (means) dan cita-cita (goals) yang telah disepakati sebelumnya, bahwa untuk menjadi "kaya" seseorang harus rajin bekerja (tidak sampai merugikan orang lain), tetapi dipilih jalan lain dengan penyelewenengan kekuasaan melalui jalan korupsi.
Berdasarkan dua penyebab kejahatan korupsi yang telah diuraikan di atas, maka dapatlah kemudian disusun cara menanggulangi kejahatan tersebut, di antaranya:
a.       Perbaikan keadaan perekonomian setiap pej abat-pejabat negara melalui pemberian gaji yang memadai buat mereka;
b.      Peningkatan pengawasan atas kinerja pemerintahan melalui penyelenggaraan yang akuntabel dan transparan;
c.       Dengan mengadopsi teori Sutherland, bahwa kepribadian itu ditentukan melalui proses belajar, maka penanaman budaya malu sebagaimana diungkapkan oleh Trafis Hirsci (John Braithwaite, 1989: 26) "reintegrative shaming theory" dapat dilakukan sosialisasi dan pembinaan moral, bahaya perbuatan korupsi, dan akibat perbuatan korupsi kepada setiap penyelenggara pemerintahan;
Patut pula untuk diketahui bahwa terjadinya jenis kejahatan kontemporer ini tidak dapat dilepaskan dari kondisi sejarah negera ini, sebagaimana dahulunya gaya pemerintahan feodal sudah begitu mengakar kuat, sehingga kerap kekuasaan dijadikan tameng bagi oknum pemerintahan untuk berbuat apa saja, seperti korupsi. Oleh karena itu, untuk memangkas gaya feodal tersebut, benar apa yang dikemukakan oleh Trafis Hirsci "pembangkit rasa malu" harus kembali ditanamkan kepada setiap penyelenggara negara, sebagaimana dalam adat bugis dikenal "taroi siri alemu" (tanamkanlah budaya malu dalam dirimu). Seorangyang diberi amanah dalam mewakili kepentingan orang banyak, seharusnya merasa "malu" kalau ia memiliki niat untuk mengambil bukan yang menjadi haknya.

2. Narkotika
Penyalahgunaan narkotika tidak dapat dipandang lagi sebagai kejahatan biasa, melainkan sebagai kejahatan yang luar biasa pula. Basis argumentasinya:
Pertama, fokus penangguIangan atas kejahatan narkotika bukan hanya pada pemakainya, namun saat ini juga sudah ada pihak penyedianya yang terorganisir, sulit diungkap siapa pelakunya dibalik kejahatan
itu. Ada pengedar, ada bandar, sehingga peredaran narkotika sudah menjadi "lahan bisnis." Gejala ini bisa menjadi pelajaran berharga atas pengakuan Freddy Budiman kepada Haris Azhar (Koordinator Kontras) atas dijadikannya bandar besar narkoba sebagai "ATM berjalan" oleh beberapa oknum penegak hukum.
Kedua, sama halnya dengan kejahatan korupsi, kejahatan narkotika yang sudah terorganisir, perlahan-lahan akan memberikan kerugian besar bagi calon generasi anak bangsa, akan memutus generasi di masa depan karena ketergantungannya tidak dapat lagi diberikan "mandat" mengurusi pemerintahan. Anacaman paling serius dari penyalahgunaan narkotika, yaitu " lost generation."
Narkotika dalam penggunaan katanya sering diikuti dengan kata "obat berbahaya" yang selanjutnya disingkat dengan Narkoba. Sering pula kata "narkotika" diikuti dengan kata "psikotropika." Namun dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 maupun hasil perubahannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, tampaknya baik yang disebut sebagai obat berbahaya maupun psikotropika masuk dalam pengertian Narkotika.
Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, menegaskan bahwa:
"Narkotikan adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini”.
Mari kita lihat pengertian narkotika dan psikotropika, untuk menemukaan alasannya, mengapa dalam UU Narkotika tidak dicantumkan frasa "psikotropika" termasuk "obat-obat berbahaya." Menurut Hari Sasangka (2003:63) mengemukakan: "bahwa psikotropika adalah sebagai obat yang bekerja pada atau memengaruhi fungsi psikis, kelakuan atau pengalaman."
 Sementara, arti dari pada narkotika sebagaimana dikemukakan oleh Simanjuntak (1981: 124), yaitu berasal dari kata "narcissus," sejenis tumbuh-tumbuhan yang memiliki bunga yang dapat membuat orang menjadi tak sadar.  Maka, berdasarkan pengertian yang diungkapkan oleh Hari Sasangka dan Simanjuntak, jikalau psikotropika berarti  "obat yang dapat memengaruhi fungsi psikis, kelakuan, dan pengalaman”. Lalu, Simanjuntak mengemukakan kalau narkotika berasal dari tumbuh-tumbuah yang dapat menyebabkan orang tak sadar, berarti UU Narkotika menganggap baik tanaman maupun obat berbahaya terklasidikasi sebagai jenis Narkotika, yang dalam penggunaanya "disalahfungsikan" (bukan untuk kepentingan penelitian dan pengobatan oleh dokter) maka dianggap perbuatan "melawan hukum." Disebutlah selanjutnya sebagai tindak pidana narkotika.
Telaah atas tindak pidana narkotika atau dengan kata lain kejahatan penyalahgunaan narkotika dalam pendekatan "etiologi kejahatan" tidak dapat terkerucutkan pada pada pemakainya saja untuk dewasa ini, namun bandar dan pengedar juga harus ditemukan causa kejahatannya. Hal ini disebabkan peredaran narkotika sudah terorganisasi pola kejahatannya. Beberapa negara di dunia seperti Filiphina, sangat memprioritaskan pemberantasan peredaran narkotika dengan melakukan "tembak mati" bagi pengedar dan bandar, jika tidak mau menyerahkan diri secara sukarela. Negara Indonesia sendiri sudah mulai memprioritaskan "hukuman mati" bagi pelaku yang berstatus bandar.
                Dengan demikian, yang perlu diungkap "etiologi kejahatannya" terdapat dua keadaan,  yaitu pada pelaku yang berstatus pemakai saja, dan golongan kedua yaitu pada pelaku yang berstatus pengedar dan bandar.
Faktor-faktor penyebabnya seorang menjadi pemakai narkotika sebenarnya sudah banyak ditulis oleh kriminolog sebelumnya, seperti yang dikemukakan oleh Simanjuntak (1981: 300) sebagai berikut:
a.       Merupakan rasa permusuhan terhadap masyarakat;
b.      Untuk memperoleh penghargaan dari teman sebayanya;
c.       Untuk memperoleh pengalaman dari menggunakan narkotika, ingin tahu bagaimana rasanya;
d.      Akibat perubahan tingkah laku selama masa puber;
e.     Akibat lamanya masa pendidikan maka timbul dalam suatu tantangan untuk dapat segera berdiri sendiri;
f.     Mengalami frustrasi terhadap keadaan masyarakat sekarang ini;
g.     Ketidakadaan tantangan dalam hidup ini;
h.    Akibat kegagalan dalam percintaan, gagal dalam karier;
i.     Pribadi yang lemah (orang yang tidak dapat menghadapi realita hidup);
j.     Ingin menikmati hal-hal yang baru, hal-hal yang berbahaya;
k.    Keluarga yangbroken home, miskin, konflik antar orangtua dan anak;
l.    Pengertian yang salah terhadap human righl serta kebebasan manusia;
m. Pelarian dari kesusahan;
  n.  Ingin diterima dan masuk lingkungan pergaulan tertentu yang telah membiasakan diri memakai obat-obatan;
  o.  Ingin mendemonstrasikan kebebasan, ingin mengembangkan kreativitas kemampuan, misalnya pada pemain musik, sandiwara;
p.  Adanya penyakit-penyakit mental jiwa."
Pada hakikatnya, causa kejahatan narkotika yang terjadi pada pemakai banyak ditentukan berbagai faktor. Ada yang menjadi pemakai karena tekanan psikologis, ada karena faktor lingkungan, ada karena faktor pergaulan, dan ada pula karena faktor ekonomi. Satu persatu faktor penyebabnya itu kadang saling berkaitan, misalnya seseorang yang mengalami
keguncangan rumah tangga, bercerai dengan istrinya, maka pelariannya pada kelompok bandit, di sanalah ia menjadi pemakai narkotika sebagai pelarian dari kesusahan hidupnya.
Selanjutnya, untuk causakeiahatan narkotika pada pelaku yang berstatus bandar dan pengedar, kita dapat mengadaptasi kembali teori anomieyangdiungkapkan oleh E. Durkheim dan Robert K. Merton, faktor penyebabnya sebagai berikut:
a.  Perubahan tata perekonomian di Indonesia, krisis yang begitu cepat terjadi sehingga harga sembako mengalami pelonjakan harga, menyebabkan hapusnya juga tata nilai-nilai kebaikan, seorang mengalami tekanan ekonomi akhirnya memilih mencari kekayaan dengan jalan sebagai bandar atau pengedar;
b.  Antara cara-cara untuk mendapatkan materi dan cita-cita untuk menjadi kaya, terpenuhi semua kebutuhannya, akhirnya juga terjadi penyimpangan. Supaya cepat menjadi kaya, uang dapat terkumpul banyak, narkotika menjad lahan bisnis, apalagi harganya memang mahal, dan bagi orang yang sudah ketergantungan sudah pasti akan membelinya walau dengan harga yang mahal;
Rata-rata saat ini, kepolisian maupun Badan Narkotika Nasional (BNN), kebanyakan menangkap pemakai narkotika saja, sedangkan untuk bandar dan pengedar kecil kuantitasnya yang tertangkap, hal ini disebabkan oleh beberapa keadaan:
a. Sulit teridentifikasi siapa bandar dan siapa pengedar narkotika, karena setiap terjadi penangkapan terhadap pemakai selalu "tutup mulut" dari mana narkotika tersebut ia peroleh. Padahal pemakai biasanya memperolehnya dari pengedar atau bandar;
b. Bandar besar narkotika telah menembus dinding-dinding  penegakan hukum, mereka bekerja sama dengan beberapa aparat penegak hukum agar tidak ditangkap, walaupun profesi gelapnya sudah diketahui.
Inilah causa prima-nya, sehingga makin sulit memberantas penyalahgunaan narkotika, tidak mungkin sirkulasi narkotika dapat diputus, kalau di hulunya yaitu bandar dan pengedar tidak tertangkap. Kerja sama antara bandar dengan oknum penegakan hukum bersimbiosis mutualisme, bandar adakalanya dijadikan sebagai "ATM" berjalan, dan di samping itu bandar kerap pula dimanfaatkan oleh penyidik untuk mendapatkan informasi "siapa pemakai narkotika" agar dapat dijadikan alasan kenaikan pangkat mereka. Istilah halusnya di dunia gelap itu, penyidik berujar kepada bandar "minta kepala lagi."
Jauh tebih sulit melakukan penanggulangan kejahatan narkotika terhadap bandar, pengedar, dibandingkan dengan pemakai saja. Kalau mereka yang berstatus sebagai pemakai, dengan pembinaan, sosialisasi, rehabilitasi medis dan sosial, sudah dapat mengembalikannya mereka dalam keadaan normal. Tetapi untuk kejahatan narkotika yang berstatus bandar dan pengedar, terutama yang sudah bekerja sama dengan beberapa oknum penegakan hukum, pasti jauh lebih sulit. Tidak ada pilihan lain untuk menanggulangi perbuatan bandar dan pengedar merusak institusi penegakan hukum, yaitu (1) semua aparatur penegak hukum yang diberikan wewenang dalam pengungkapan kasus-kasus narkotika harus ditingkatkan gajinya; (2) bersamaan dengan itu hapuskan regulasi yang mengatur kalau aparatur penegakan hukum akan dinaikkan pangkatnya berdasarkan jumlah penanganan kasus narkotika yang ia tangani.
Sumber:
A.S.Alam dan Amir Ilyas.2018. Kriminologi Suatu Pengantar. Prenadamedia Group. Jakarta  (hal.123 -139) 

Tugas Mandiri:
1.Jelaskan  pengertian Kriminologi kontemporer?

2. Apakahyangdimaksu d:
a. Korupsi?
b. Narkotika?

3. Apakah faktor penyebab terjadinya:
a. Korupsi?
b. Penyalahgunaannarkotika?

4. Bagaimana cara penanggulangan kej ahatan kontemporer berikut ini:
a. Korupsi?
b. Penyalahgunaannarkotika?




Baca Selengkapnya »