A. PENGERTIAN KRIMINOLOGI KONTEMPORER
Sebagaimana dikemukakan oleh
Syahetapi (1992) yang kemudian diulang kembali oleh Abdul Wahib (2OO2: ): "bahwa
dengan mengamati perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat maka
kejahatan erat kaitannya dan bahkan menjadi bagian dari budaya itu sendiri.
Artinya, semakin tinggi tingkat budaya dan semakin modern suatu bangsa, maka
semakin modern pula kejahatan itu, bentuk, sifat dan cara pelaksanaannya."
Kriminalisasi suatu perbuatan
hingga terkualifikasi sebagai kejahatan dalam suatu undang-undang, Iengkap pula
dengan aparatur penegak hukum yang akan menegakknya, tidak menjadi jaminan
pelaku kejahatannya dengan gampang terdeteksi. Suatu koreksi terhadap kemampuan
kepolisian dalam mendeteksi pelaku kejahatan tersimpul dalam kalimat:
"Makin cerdas polisinya makin cerdas pula
penjahatnya”.
Begini contoh sederhananya: dahulu
pelaku pembunuhan sudah dapat terdeteksi dengan kemampuan mengidentifikasi
"sidik jari" pelaku kejahatan. Ternyata si penjahat punya
cara lain agar jejak tidak diketahui oleh penyidik,
ia membunuh dengan cara memutilasi korbannya. Ditemukanlah kemudian tes DNA
yang bisa mengidentifikasi korban kejahatan itu, tetapi lagi-lagi penjahatnya
menghilangkan jejak kejahatan dengan cara membakar organ tubuh tersebut.
Nyatanya hasil pembakaran mayat masih bisa lagi dikenali melalui abunya, juga
dengan tes DNA, dan selanjutnya penjahat mentaktisi hasil pembunuhannya dengan
cara melenyapkan organ tubuh tersebut dalam mesin uap.
Antara pendapat yang dikemukakan
oleh Syahetapi di atas, dengan contoh yang telah diberikan sebagai gambaran pola
perkembangan kejahatan, di situlah kriminologi menjadi ilmu pengemban amanah,
mempelajari modus dan motif baru dari kejahatan tersebut. Termasuk mempelajari
faktor penyebabnya, lalu menawarkan sejumlah bentuk penanggulangan kejahatan
baik dari segi pencegahan maupun dari segi penindakannya (preventif dan kurasif).
Jadi, kriminologi sebagai ilmu
dari berbagai ilmu tidak berhenti pengkajian dan analisisnya mengenai
"kejahatan konvensional" saja. Akan tetapi, perkembangan bentuk
kejahatan yang baru, penelitian kriminologi harus kembali mengambil peran. Pada
konteks inilah, lahir apa yang dinamakan kriminologi kontemporer.
Mula-mula istilah
"kontemporer" disandingkan dengan kata "art'': "contemporary
art." Seni kontemporer berkembang di negara Barat pasca perang dunia
kedua, sebagai perkembangan seni yang terpengaruh dampak modernisasi. Sementara
dalam arti harfiahnya "kontemporer" sebagaimana dalam KUBl (1998)
diartikan: pada waktu yang sama; semasa;
sewaktu; pada masa kini; dewasa ini.
Dalam beberapa literatur pula
sering ditemukan istilah seperti: hukum pidana kontemporer, kejahatan
kontemporer, bahkan ada juga sosiologi hukum kontemporer. Tak ketinggalanlah
pula dalam hal ini, kriminologi yang mempelajari tentang kejahatan, seluk beluknya,
sebab-musababnya, hingga pada eskalasi penanggulangannya turut menyemai dengan peristilahan
kontemporer. Kriminologi kontemporer adalah ilmu yang mempelajari kejahatan
"baru" yang sedang terjadi dewasa ini.
Makna selanjutnya "kejahatan
baru" di sini bukanlah berarti "kejahatan yang baru muncul saat
ini," melainkan reaksi masyarakat atas perbuatan jahat tersebut terjadi
peningkatan "pencelaan" karena "kerugian" yang
ditimbulkannya jauh lebih besar. Bertambahnya sifat pencelaan atas perbuatan itu,
sudah pasti juga dipengaruhi oleh cara atau metode sang pelaku mewujudkan
perbuatannya, sulit diidentifikasi, tetapi kerugiannya kerap tidak disadari
akan muncul dengan tiba-tiba.
Jika ditelusuri kembali asal-usul
peristilahan kontemporer, yakni berasal dari "seni", yang erat kaitannya dengan "sastra,"
dan terutama "filsafat", hingga memberikan pengaruh kajian dan
analisisnya terhadap ilmu yang lain, seperti: sosiologi, politik, antropologi,
dan psikologi. Lalu di ilmu-ilmu tersebut muncul mazhab kritis, maka di situlah
cikal-bakal "pendewasaan ilmu dan pengetahuan."
Di saat kriminologi kontemporer
mempelajari kejahatan yang mendapat "pencelaan" berlebih dewasa ini,
dengan alasan makna yang tercakup dalam termin "kontemporer" yakni
kejahatan itu sendiri, berarti tidak salah kalau kriminoIogi kontemporer juga
dikatakan sebagai "new-criminology"'.
Soal mempelajari kejahatan dalam era, masa, dan waktu yang
memengaruhinya, sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh E. Durkheim dan Robert
K. Merton.
Hanya
yang membedakannya dengan kriminologi kontemporer, teori yang dikemukakan oleh
kedua ahli tersebut, semata-mata menguraikan sebab-sebab kejahatan yang
diakibatkan oleh pergeseran kondisi masyarakat dalam arus modernisasi. Tidak sampai mempelajari kejahatan yang
mendapat "reaksi" baru oleh lingkungan masyarakat. Dalam titik kajian
"penology'' harus ditambah penghukumannya, tanpa melupakan pula cara
penanggulangannya sebagaimana persesuaian dengan faktor-faktor yang menyebabkan
kejahatan bermodus baru itu terjadi.
B. PERANAN KRIMINOLOGI KONTEMPORER
DALAM HUKUM PIDANA
Pada hakikatnya, peranan
kriminologi kontemporer dalam hukum pidana hanya terasa pada aspek penologinya.
Kerap kali partisipan hukum tidak mau lagi mencari hal yang melatari kejahatan
tersebut sehingganya diperberat hukumannya. Apa faktor-faktor yang melandasi
sang pelaku kejahatan? Bagaimana cara mewujudkan kejahatannya? Sang pelaku melakukan
perbuatan dalam genus kejahatan apa? Dan seberapa besarkah dampak dari
perbuatan kejahatan itu? Setiap pertanyaan ini merupakan etiologi criminal yang
kadang dilupakan oleh penganut legisme.
Lanjut daripada itu, kejahatan
yang sifatnya kontemporer, seperti korupsi, penyalahgunaan narkotika, terorisme, dan cyber
crime, hukum pidana hanya bergerak dalam pendulum aspek penindakan belaka, di
sisi lain menghiraukan untuk mencegah jenis kejahatan tersebut. Dalam beberapa
kasus korupsi di tanah air, sudah sering kali arus publik menyuarakan hukuman
mati bagi koruptor (pelaku tindak pidana korupsi), demikian halnya yang terjadi
pada kasus narkotika dan terorisme, mereka semua harus dilenyapkan dari muka
bumi ini. Kiranya dalam konteks itu, kriminologi kontemporer tetap bergerak
dalam tindakan proporsional, antara pencegahan dan penindakan, keduanya sebagai
bentuk penanggulangan kejahatan yang harus dilakukan.
Dalam hal tindakan pencegahan,
kriminologi kontemporer mengemban peran sebagai berikut:
Mengajukan konsep pengawasan agar
kejahatan kontemporer tercegah lebih dini, seperti: akuntabilitas dan transparansi
administrasi pemerintahan untuk mencegah kasus korupsi, pemutusan jaringan
kejahatan melalui aparatur hukum pada kasus-kasus narkotika dan terorisme; Meletakkan
sistem perencanaan dalam mengukur besarnya biaya penanggulangan jenis-jenis
kejahatan kontemporer, seperti sosialisasi atas bahayanya kejahatan tersebut,
pendidikan antikorupsi, pendidikan antinarkoba, dan pendidikan antiterorisme.
Adapun dalam hal penindakan,
kriminologi kontemporer dapat mengambil peran sebagai berikut:
a. Memberikan argumentasi sosiologis atas layak atau tidaknya
kejahatan kontemporer diperberat hukumannya, perar ini terkait dengan hukum
pidana materiil, setelah "kriminologi kontemporer" menganalisis
bentuk kejahatan tersebut beserta dengan cara mewujudkannya;
b. Mengajukan metode penindakan yang dapat mengungkap
kronologi kejahatan tersebut. Contoh
konkret atas peran ini, yaitu dengan dibenarkannya dalam proses penyelidikan untuk
dilakukan penyadapan dan pengakuan "dokumen elektronik" dalam
pengungkapan kasus korupsi, narkotika, terorisme, dan cyber crime.
Demikianlah peran kriminologi
kontemporer dalam hukum pidana, sehingga tanpa disadari dewasa ini hukum pidana
mengalami perubahan, terutama dalam segi pengaturannya. Pada akhirnya dengan
sumbangsih kriminologi kontemporer tindak pidana seperti: korupsi, terorisme,
narkotika, dan cyber crime digolongkan sebagai tindak pidana khusus.
Empat kejahatan berikut sengaja
ditempatkan sebagai jenis kejahatan kontemporer dengan basis argumentasi:
pertama, akhir-akhir ini banyak yang menyoroti
sebagai kejahatan yang sulit dalam pemberantasannya. Sudah cukup lengkap law
reform undang-undang yang terkait dengan tindak pidana korupsi, tindak pidana
terorisme, tindak pidana narkotika, cyber crime, akan tetapi angka kejahatannya
tetap saja mengalami peningkatan. Kedua, jenis-jenis kejahatan tersebut dalam
hal metode mewujudkan perbuatannya terorganisir, sulit dideteksi, sehingganya
sering dianggap sebagai kejahatan terselubung. Ketiga, dalam perkembangannya
keempat kejahatan itu, banyak menjadi perhatian negara-negara di dunia, sebab
kerugiannya yang ditimbulkannya berdampak besar, maka ditempatkanlah empat kejahatan
tersebut sebagai keja
hatan yang sifatnya ekstra (kejahatan luar biasa). Selanjutnya,
dari keempat jenis kejahatan kontemporer tersebut, akan diuraikan satu persatu,
masing-masing pengertian singkatnya, kajian kriminologinya seperti faktor-faktor
penyebab beserta cara penanggulangan kejahatan tersebut.
1. Korupsi
Pengertian korupsi dapat
ditelusuri berdasarkan asal katanya, yaitu berasal dari bahasa latin “com”, dan
,,rumpere,,. Com berarti bersama- sama,
sedan gkan rumpere berarti jebol atau
pecah. Istilah ini kemudian diadaptasi dalam bahasa Inggris "corruption'
atau " corrupt”, bahasa Belanda “corrruptive”, bahasa
Perancis " corruption”, bahasa Melayu/Malaysia
" rasuah", dan bahasa Indonesia “korupsi”.
Maka, kalau hendak didefinisikan
korupsi dalam arti harfiahnya dapat berarti kejahatan, kebusukan, dapat disuap,
tidak bermoral, kebejatan, perbuatan yang buruk (penggelapanuang, penerimaan
uang, sogok), perbuatan yang pada akhirnya akan menimbulkan keadaan yang
bersifat buruk.
Menurut Robert Klitgraard (Marwan
Effendi, 2013: 13) yang pernah melakukan penelitian terhadap kasus-kasus korupsi ,
mengemukakan bahwa korupsi dari perspektif administrasi negara dapat diartikan
sebagai tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan
negara karena keuntungan status atau uang, yang menyangkut pribadi (perorangan,
keluarga dekat, kelompok sendiri) atau aturan pelaksanaan menyangkut tingkah
taku pribadi.
Adapun Baharuddin Lopa
mengemukakan korupsi adalah suatu tindak pidana yang berhubungan dengan penyuapan,
manipulasi perbuatan-perbuatan lainnya sebagai perbuatan melawan hukum yang
merugikan atau dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara'
merugikan kesejahteraan atau kepentingan rakyat umum. Perbuatan yang mlrugikan negara adalah korupsi
di bidang materiil sedangkan korupsi
dibidang politik dapat terwujud berupa manipulasi pemungutan suara dengan cara
penyuapan 'intimidasi' paksaan, dan/atau campur tangan yang dapat memengaruhi kebebasan
memilih komersialisasi pemungutan suara pada lembaga legislatif atau pada
putusan yang bersifat administratif di bidang pelaksanaan pemerintah.
Dalam perspektif kriminologi, korupsi sering disebut the
multy endemic crime, ada pula yang menyebutnya sebagai structural crime, suatu
kejahatan yang sudah berstruktur,
mengakar
kuat, bahkan sudah bersistem.
Itulah sebabnya kemudian untuk menanggulangi jenis kejahatan ini ,
akhirnya ditempatkan sebagai "seriously crime" ata.u " extra
ordinary crime."
Penggolongan jenis-jenis korupsi
selanjutnya dikemukakan oleh Syed Husein Alatas (Mispansyah dan Amir llyas: 2016),
yang membagi tujuh bentuk (tipologi) korupsi dan jenis korupsi, yaitu:
a. Korupsi transaktif (transactive corruption), adalah jenis korupsi
yang menunjuk adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak
penerima demi keuntungan kepada kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan
tercapainya keuntungan yang biasanya melibatkan dunia usaha atau bisnis dengan pemerintah;
b. Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption) adalah
penunjukkan yang tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang
jabatan dalam pemerintahan, atau tindakan yang memberikan perlakuan yang
mengutamakan dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk lain, kepada mereka, secara
bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku;
c. Korupsi yang memeras (extortive corruption), adalah
korupsi yang dipaksakan kepada suatu pihak yang bisanya disertai ancaman,
teror, penekanan (presure) terhadap kepentingan orang-orang dan hal-hal yang
dimilikinya;
d. Korupsi investif (inuestive corruption), adalah perilaku korban
korupsi dengan pemerasan. Korupsinya adalah dalam rangka mempertahankan diri,
seperti pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan
tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan
akan diperoleh di
masa yang akan datang;
e. Korupsi defensif (defensive corruption), adalah pihak yang
akan dirugikan terpaksa ikut terlibat di dalamnya atau bentuk ini membuat
terjebak bahkan menjadi korban perbuatan korupsi;
f. Korupsi otogenik (outogenic corruption), yaitu korupsi
yang dilakukan seorang diri (single fighter), tidak ada orang lain atau pihak
lain yang terlibat;
g. Korupsi suportif (supportive corruption), di sini tidak langsung
menyangkut uang atau imbalan dalam bentuk lain. Tindakan-tindakan yang
dilakukan adalah untuk melindungi dan memperkuat korupsi yang sudah ada.
Masih banyak penggolongan korupsi
yang lainnya, terutama jika mengacu dalam UU No.31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bentuk tindak pidana korupsi yang dapat
diklasifikasikan berdasarkan UU tersebut sebagai berikut:
a. Kerugian
keuangan negara (Pasal 2 dan Pasal 3);
b. Suap-menyuap (Pasal
5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal
12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 11, Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 6 ayat (1)
huruf b, Pasal 6 ayat(2), Pasal 12 huruf c, dan Pasal 12 huruf d;
c. Penggelapan dalam jabatan
(Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, Pasal 10 huruf b, dan Pasal 10 huruf c;
d. Pemerasan
(Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf g, dan Pasal 12 huruf fl;
e. Perbuatan curang (Pasal 7 ayat (1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b,
Pasal 7 ayat (l) huruf c, Pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 7 ayat(2) dan Pasal
12 huruf h);
f. Benturan kepentingan dalam pengadaan (Pasal 12 huruf i);
g. Gratifikasi (Pasal 12 B jo. Pasal 12 C);
h. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi (Pasal 21).
i. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar
(Pasal 22)jo Pasal28);
j. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka (Pasal 22 jo.
Pasal 29).
k. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan
palsu (Pasal 22 jo. Pasal 35) ;
l. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau
memberi keterangan palsu (Pasal 22 jo. Pasal 36);
m. Saksi yang membuka identitas pelapor (Pasal24 jo. Pasal 31).
Berdasarkan penggolongan jenis
korupsi di atas menunjukan bahwa kejahatan ini tercakup dalam kejahatan
kontemporer, karena dilakukan oleh mereka yang memiliki jabatan. Konsekuensinya
kemudian atas "jabatan" yang dimilikinya itu, sehingga seseorang kemudian
menjadi kuat dari segi kuasa dan ekonomi. Akhirnya menjadi sulit untuk
dideteksi perbuatan jahat mereka. Selanjutnya, teori kriminologi yang cocok
untuk menganalisis sebab (causa) kejahatan korupsi dapat digunakan teori "anomie"
yang dipopulerkan oleh E. Durkheim dan Robert K. Merton.
Pada intinya, E. Durkheim
mengemukakan: "suatu keadaan dalam daerah, negara, wilayah yang mengalami
perubahan perekonomian, revolusi industri seperti di Inggris akan menyebabkan
perubahan besar dalam struktur masyarakat, hilang tradisi, dan terjadilah
situasi deregulasi di dalam masyarakat. Keadaan inilah disebtt anomie atau normless (hancurnya keteraturan sosial akibat
dari hilangnya patokan nilai-nilai).
Senada dengan itu Robert K. Merton
juga mengemukakan: "bahwa adanya perubahan paradigma nilai budaya ketika
suatu masyarakat mengikuti satu set nilai budaya dari sruktur sosial kelas
menengah, bahwa kesuksesan atau keberhasilan seseorang dilihat dari keberhasilan
di bidang ekonomi belaka." Paradigma ini diaplikasikan dalam bentuk
cita-cita (goals), untuk mencapai kesuksesan tersebut, masyarakat sudah
menetapkan cara-cara {means) tertentu yang dilakukan dan dibenarkan yang harus
ditempuh seseorang. Meskipun pada kenyataannya tidak semua orang mencapai
cita-cita dimaksud melalui cara-cara yang dibenarkan. Oleh karena itu, terdapat
individu yang berusaha mencapai cita-cita dimaksud melalui cara yang melanggar
undang-und ang (illegitima-te means). Situasi tersebut terjadi dikarenakan
ketidaksamaan kondisi sosial yang ada di masyarakat disebabkan oleh proses terbentuknya
masyarakat itu sendiri.
Struktur masyarakat demikian
adalah anomistik. Individu dalam keadaan masyarakat yang anomistik selalu dihadapkan pada adanya tekanan (psikologis) atau strain
karena ketidak mampuannya untuk mengadaptasi aspirasi sebaik-baiknya walaupun
dalam kesempatan yang sangat terbatas.
Dua pendapat yang telah
dikemukakan di atas relevan untuk menganalisis "korupsi" yang terjadi di Indonesia. Ketika era orde
baru beralih ke era reformasi, niat untuk menyelenggarakan pemerintahan yang
bersih dari KKN, hingga hari ini masih jalan di tempat. Korupsi tetap saja
terjadi sampai melintasi seluruh organ kekuasaan (eksekutifl judikatil dan legislatif).
Dengan demikian, korupsi yang terjadi di Indonesia dalam hubungannya dengan pendapat
E. Durkheim dan Robert K. Merton disebabkan oleh dua hal:
1. Para pejabat di
negeri ini banyak yang kehilangan nila-nilai kebaikan atau patokan moral yang dianutnya,
tentu disebabkan oleh persaingan setiap orang untuk menjadi kaya akibat perkembangan ekonomi yang menuntutnya untuk
menjadi kaya;
2. Penyimpangan cara-cara (means) dan cita-cita
(goals) yang telah disepakati sebelumnya, bahwa untuk menjadi "kaya"
seseorang harus rajin bekerja (tidak sampai merugikan orang lain), tetapi dipilih
jalan lain dengan penyelewenengan kekuasaan melalui jalan korupsi.
Berdasarkan dua penyebab kejahatan
korupsi yang telah diuraikan di atas, maka dapatlah kemudian disusun cara
menanggulangi kejahatan tersebut, di antaranya:
a. Perbaikan
keadaan perekonomian setiap pej abat-pejabat negara melalui pemberian gaji yang
memadai buat mereka;
b. Peningkatan
pengawasan atas kinerja pemerintahan melalui penyelenggaraan yang akuntabel dan
transparan;
c. Dengan
mengadopsi teori Sutherland, bahwa kepribadian itu ditentukan melalui proses
belajar, maka penanaman budaya malu sebagaimana diungkapkan oleh Trafis Hirsci
(John Braithwaite, 1989: 26) "reintegrative shaming theory" dapat
dilakukan sosialisasi dan pembinaan moral, bahaya perbuatan korupsi, dan akibat
perbuatan korupsi kepada setiap penyelenggara pemerintahan;
Patut pula untuk diketahui bahwa
terjadinya jenis kejahatan kontemporer ini tidak dapat dilepaskan dari kondisi sejarah
negera ini, sebagaimana dahulunya gaya pemerintahan feodal sudah begitu
mengakar kuat, sehingga kerap kekuasaan dijadikan tameng bagi oknum
pemerintahan untuk berbuat apa saja, seperti korupsi. Oleh karena itu, untuk
memangkas gaya feodal tersebut, benar apa yang dikemukakan oleh Trafis Hirsci
"pembangkit rasa malu" harus kembali ditanamkan kepada setiap
penyelenggara negara, sebagaimana dalam adat bugis dikenal "taroi siri
alemu" (tanamkanlah budaya malu dalam dirimu). Seorangyang diberi amanah
dalam mewakili kepentingan orang banyak, seharusnya merasa "malu"
kalau ia memiliki niat untuk mengambil bukan yang menjadi haknya.
2. Narkotika
Penyalahgunaan narkotika tidak
dapat dipandang lagi sebagai kejahatan biasa, melainkan sebagai kejahatan yang
luar biasa pula. Basis argumentasinya:
Pertama, fokus penangguIangan atas
kejahatan narkotika bukan hanya pada pemakainya, namun saat ini juga sudah ada
pihak penyedianya yang terorganisir, sulit diungkap siapa pelakunya dibalik
kejahatan
itu. Ada pengedar, ada bandar, sehingga peredaran
narkotika sudah menjadi "lahan bisnis." Gejala ini bisa menjadi pelajaran
berharga atas pengakuan Freddy Budiman kepada Haris Azhar (Koordinator Kontras)
atas dijadikannya bandar besar narkoba sebagai "ATM berjalan" oleh
beberapa oknum penegak hukum.
Kedua, sama halnya dengan
kejahatan korupsi, kejahatan narkotika yang sudah terorganisir, perlahan-lahan akan
memberikan kerugian besar bagi calon generasi anak bangsa, akan memutus
generasi di masa depan karena ketergantungannya tidak dapat lagi diberikan
"mandat" mengurusi pemerintahan. Anacaman paling serius dari
penyalahgunaan narkotika, yaitu " lost generation."
Narkotika dalam penggunaan katanya
sering diikuti dengan kata "obat berbahaya" yang selanjutnya
disingkat dengan Narkoba. Sering pula kata "narkotika" diikuti dengan
kata "psikotropika." Namun dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
maupun hasil perubahannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
tampaknya baik yang disebut sebagai obat berbahaya maupun psikotropika masuk dalam
pengertian Narkotika.
Pasal 1 butir 1 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, menegaskan bahwa:
"Narkotikan
adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis
maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir
dalam undang-undang ini”.
Mari kita lihat pengertian
narkotika dan psikotropika, untuk menemukaan alasannya, mengapa dalam UU
Narkotika tidak dicantumkan frasa "psikotropika" termasuk
"obat-obat berbahaya." Menurut Hari Sasangka (2003:63) mengemukakan:
"bahwa psikotropika adalah sebagai obat yang bekerja pada atau memengaruhi
fungsi psikis, kelakuan atau pengalaman."
Sementara, arti dari pada narkotika
sebagaimana dikemukakan oleh Simanjuntak (1981: 124), yaitu berasal dari kata
"narcissus," sejenis tumbuh-tumbuhan yang memiliki bunga yang dapat
membuat orang menjadi tak sadar. Maka,
berdasarkan pengertian yang diungkapkan oleh Hari Sasangka dan Simanjuntak,
jikalau psikotropika berarti "obat
yang dapat memengaruhi fungsi psikis, kelakuan, dan pengalaman”. Lalu,
Simanjuntak mengemukakan kalau narkotika berasal dari tumbuh-tumbuah yang dapat
menyebabkan orang tak sadar, berarti UU Narkotika menganggap baik tanaman
maupun obat berbahaya terklasidikasi sebagai jenis Narkotika, yang dalam
penggunaanya "disalahfungsikan" (bukan untuk kepentingan penelitian
dan pengobatan oleh dokter) maka dianggap perbuatan "melawan hukum."
Disebutlah selanjutnya sebagai tindak pidana narkotika.
Telaah atas tindak pidana
narkotika atau dengan kata lain kejahatan penyalahgunaan narkotika dalam
pendekatan "etiologi kejahatan" tidak dapat terkerucutkan pada pada
pemakainya saja untuk dewasa ini, namun bandar dan pengedar juga harus
ditemukan causa kejahatannya. Hal ini disebabkan peredaran narkotika sudah
terorganisasi pola kejahatannya. Beberapa negara di dunia seperti Filiphina,
sangat memprioritaskan pemberantasan peredaran narkotika dengan melakukan
"tembak mati" bagi pengedar dan bandar, jika tidak mau menyerahkan
diri secara sukarela. Negara Indonesia sendiri sudah mulai memprioritaskan
"hukuman mati" bagi pelaku yang berstatus bandar.
Dengan demikian, yang perlu
diungkap "etiologi kejahatannya" terdapat dua keadaan, yaitu pada pelaku yang berstatus pemakai saja,
dan golongan kedua yaitu pada pelaku yang berstatus pengedar dan bandar.
Faktor-faktor penyebabnya seorang
menjadi pemakai narkotika sebenarnya sudah banyak ditulis oleh kriminolog sebelumnya,
seperti yang dikemukakan oleh Simanjuntak (1981: 300) sebagai berikut:
a.
Merupakan rasa permusuhan terhadap masyarakat;
b.
Untuk memperoleh penghargaan dari teman
sebayanya;
c.
Untuk memperoleh pengalaman dari menggunakan
narkotika, ingin tahu bagaimana rasanya;
d. Akibat
perubahan tingkah laku selama masa puber;
e. Akibat lamanya masa
pendidikan maka timbul dalam suatu tantangan untuk dapat segera berdiri
sendiri;
f. Mengalami frustrasi terhadap
keadaan masyarakat sekarang ini;
g. Ketidakadaan tantangan dalam
hidup ini;
h. Akibat kegagalan dalam
percintaan, gagal dalam karier;
i. Pribadi yang lemah (orang
yang tidak dapat menghadapi realita hidup);
j. Ingin menikmati hal-hal yang
baru, hal-hal yang berbahaya;
k. Keluarga yangbroken home,
miskin, konflik antar orangtua dan anak;
l. Pengertian yang salah
terhadap human righl serta kebebasan manusia;
m. Pelarian dari kesusahan;
n. Ingin
diterima dan masuk lingkungan pergaulan tertentu yang telah membiasakan diri
memakai obat-obatan;
o. Ingin
mendemonstrasikan kebebasan, ingin mengembangkan kreativitas kemampuan,
misalnya pada pemain musik, sandiwara;
p. Adanya penyakit-penyakit mental
jiwa."
Pada hakikatnya, causa kejahatan
narkotika yang terjadi pada pemakai banyak ditentukan berbagai faktor. Ada yang
menjadi pemakai karena tekanan psikologis, ada karena faktor lingkungan, ada
karena faktor pergaulan, dan ada pula karena faktor ekonomi. Satu persatu
faktor penyebabnya itu kadang saling berkaitan, misalnya seseorang yang
mengalami
keguncangan rumah tangga, bercerai dengan istrinya,
maka pelariannya pada kelompok bandit, di sanalah ia menjadi pemakai narkotika
sebagai pelarian dari kesusahan hidupnya.
Selanjutnya, untuk causakeiahatan
narkotika pada pelaku yang berstatus bandar dan pengedar, kita dapat
mengadaptasi kembali teori anomieyangdiungkapkan oleh E. Durkheim dan Robert K.
Merton, faktor penyebabnya sebagai berikut:
a. Perubahan tata
perekonomian di Indonesia, krisis yang begitu cepat terjadi sehingga harga
sembako mengalami pelonjakan harga, menyebabkan hapusnya juga tata nilai-nilai
kebaikan, seorang mengalami tekanan ekonomi akhirnya memilih mencari kekayaan
dengan jalan sebagai bandar atau pengedar;
b. Antara cara-cara
untuk mendapatkan materi dan cita-cita untuk menjadi kaya, terpenuhi semua
kebutuhannya, akhirnya juga terjadi penyimpangan. Supaya cepat menjadi kaya,
uang dapat terkumpul banyak, narkotika menjad lahan bisnis, apalagi harganya
memang mahal, dan bagi orang yang sudah ketergantungan sudah pasti akan
membelinya walau dengan harga yang mahal;
Rata-rata saat ini, kepolisian
maupun Badan Narkotika Nasional (BNN), kebanyakan menangkap pemakai narkotika saja,
sedangkan untuk bandar dan pengedar kecil kuantitasnya yang tertangkap, hal ini
disebabkan oleh beberapa keadaan:
a. Sulit teridentifikasi siapa bandar dan siapa pengedar
narkotika, karena setiap terjadi penangkapan terhadap pemakai selalu
"tutup mulut" dari mana narkotika tersebut ia peroleh. Padahal pemakai
biasanya memperolehnya dari pengedar atau bandar;
b. Bandar besar narkotika telah menembus dinding-dinding penegakan hukum, mereka bekerja sama dengan
beberapa aparat penegak hukum agar tidak ditangkap, walaupun profesi gelapnya
sudah diketahui.
Inilah causa prima-nya, sehingga
makin sulit memberantas penyalahgunaan narkotika, tidak mungkin sirkulasi narkotika
dapat diputus, kalau di hulunya yaitu bandar dan pengedar tidak tertangkap.
Kerja sama antara bandar dengan oknum penegakan hukum bersimbiosis mutualisme,
bandar adakalanya dijadikan sebagai "ATM" berjalan, dan di samping
itu bandar kerap pula dimanfaatkan oleh penyidik untuk mendapatkan informasi
"siapa pemakai narkotika" agar dapat dijadikan alasan kenaikan
pangkat mereka. Istilah halusnya di dunia gelap itu, penyidik berujar kepada
bandar "minta kepala lagi."
Jauh tebih sulit melakukan
penanggulangan kejahatan narkotika terhadap bandar, pengedar, dibandingkan
dengan pemakai saja. Kalau mereka yang berstatus sebagai pemakai, dengan
pembinaan, sosialisasi, rehabilitasi medis dan sosial, sudah dapat
mengembalikannya mereka dalam keadaan normal. Tetapi untuk kejahatan narkotika
yang berstatus bandar dan pengedar, terutama yang sudah bekerja sama dengan
beberapa oknum penegakan hukum, pasti jauh lebih sulit. Tidak ada pilihan lain
untuk menanggulangi perbuatan bandar dan pengedar merusak institusi penegakan
hukum, yaitu (1) semua aparatur penegak hukum yang diberikan wewenang dalam
pengungkapan kasus-kasus narkotika harus ditingkatkan gajinya; (2) bersamaan
dengan itu hapuskan regulasi yang mengatur kalau aparatur penegakan hukum akan
dinaikkan pangkatnya berdasarkan jumlah penanganan kasus narkotika yang ia
tangani.
Sumber:
A.S.Alam dan Amir Ilyas.2018. Kriminologi Suatu Pengantar. Prenadamedia
Group. Jakarta (hal.123 -139)
Tugas Mandiri:
1.Jelaskan pengertian Kriminologi
kontemporer?
2. Apakahyangdimaksu d:
a. Korupsi?
b. Narkotika?
3. Apakah faktor penyebab terjadinya:
a. Korupsi?
b. Penyalahgunaannarkotika?
4. Bagaimana cara penanggulangan kej ahatan kontemporer berikut ini:
a. Korupsi?
b. Penyalahgunaannarkotika?
Nama : Aman Syukur
ReplyDeleteNim : 0205173283
M.Kuliah : Kriminologi dan Victimologi
1. Mengapa mempelajari Kriminologi
Kriminologi memberikan pemahaman yang holistik mengenai kejahatan. Dengan mendasari pada metode ilmiah, pengetahuan tentang kejahatan tidak didasari pada akal sehat belaka (common sense). Sehingga, mempelajari kriminologi berarti melihat fenomena kejahatan dengan pemahaman yang sebenar-benarnya. Hal ini beralasan karena sering kali pemahaman mengenai kejahatan masih mengandung sejumlah asumsi yang tidak benar dan tidak berdasar.
Selain itu, mempelajari kriminologi dapat digunakan sebagai dasar pembuatan kebijakan publik (kebijakan kriminal) atau pengambilan keputusan yang tepat untuk merespons fenomena kejahatan. Bahkan perkembangan kriminologi kontemporer ditandai dengan kemunculan public criminology, yang bertujuan untuk menghilangkan sekat antara para akademisi dengan publik secara luas. Rekomendasi ilmiah dari kriminolog digunakan sebagai dasar pembentukan kebijakan yang mengedepankan keadilan sosial (social justice) dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (human rights).
2. Pengertian dari
Teroris adalah
Menurut Fattah terorisme berasal dari kata " teror," yang berasal dari kata Latin"terrere",lartg berarti menakut-nakuti. Awalnya, kata " terroe" digunakan untuk menunjukan cara memerintah, dan kata "terorisme" digunakan untuk menggambarkan penggunaan teror secara sistematis, terutama oleh pemerintah, sebagai sarana pemaksaan untuk memaksa diatur sehingga menjadi tunduk." Pengertian ini sebagaimana dikemukakan oleh Fattah, sering dijadikan bahan analisis terhadap "kepincangan" Amerika Serikat dalam memerangi terorisme. Di satu sisi selalu mempropagandakan perang melawan teroris, tetapi di sisi lain banyak melakukan aksi teror dari pasukannya yang di kirim seperti di Afganistan, Irak, hingga menimbulkan banyak korban dari penduduk sipil.
Cybercrime adalah
Tidak kriminal yang dilakkukan dengan menggunakan teknologi komputer sebagai alat kejahatan utama. Cybercrime merupakan kejahatan yang memanfaatkan perkembangan teknologi computer khusunya internet.Cybercrime didefinisikan sebagai perbuatan melanggar hukum yang memanfaatkan teknologi computer yang berbasasis pada kecanggihan perkembangan teknologi internet.
Jenis dan pelanggaran cyber crime sangat beragam sebagai akibat dari penerapan teknologi. Cyber crime dapat berupa penyadapan dan penyalahgunaan informasi atau data yang berbentuk elektronik maupun yang ditransfer secara elektronik, pencurian data elektronik, pornografi, penyalahgunaan anak sebagai objek melawan hukun, penipuan memalui internet, perjudian diinternet, pengrusakan website, disamping pengrusakkan system melalui virus, Trojan horse, signal grounding dan lain lain.
3. Faktor-faktor yang Menyebabkan Terorisme
Dengan perubahan rezim pemerintahan yang berdampak pada terbukanya hubungan antar negara, belum lagi sarana dan tekhnologi informasi sehingga memudahkan komunikasi antar setiap orang, maka jaringan terorisme denganlebih gampang memperluas pula pengaruhnya ke beberapa negara;
Dengan masuknya jaringan terorisme ke dalam negeri, pada akhirnya gampang merekrut anggota yang berasal dari golongan ekonomi menengah, golongan yang anti-kemapanan. Dari golongan-golongan merekalah kemudian dijadikan kelompok baru untuk melakukan aksi teror sebagai bagian dari perang terhadap isu kapitalisme global, termasuk perang terhadap negara sendiri dengan melakukan perusakan secara massal terhadap property negara;
Untuk negara seperti Indonesia, masih dalam tahap negara berkembang, belum mampu memberikan kesejahteraan merata, menyebabkan banyak yang memilih jalan melawan kebijakan pemerintahan dengan masuk dalam kelompok jaringan terorisme;
Ketimpangan yang terjadi di mana-mana, seperti kemiskinan, daerah tertinggal, lalu pejabat pemerintah banyak yang melakukan korupsi maka banyak pula memilih jalan radikalisme agama untuk mengganti sistem pemerintahan berdasarkan "ideologi suci" yang dipahaminya
Untuk negara seperti Indonesia, masih dalam tahap negara berkembang, belum mampu memberikan kesejahteraan merata, menyebabkan banyak yang memilih jalan melawan kebijakan pemerintahan dengan masuk dalam kelompok jaringan terorisme;
ReplyDeleteKetimpangan yang terjadi di mana-mana, seperti kemiskinan, daerah tertinggal, lalu pejabat pemerintah banyak yang melakukan korupsi maka banyak pula memilih jalan radikalisme agama untuk mengganti sistem pemerintahan berdasarkan "ideologi suci" yang dipahaminya;
Perlakukan sewenang-wenang terhadap anggota terorisme akibat tertangkap oleh aparat penegak hukum menjadi pemicu "balas dendam" dari anggotanya yang belum tertangkap, yakni mereka yang masih dalam persembunyian.
Faktor-faktor Penyebab Cyber Crime
Social learning theory, teori ini mengemukakan bahwa seseorang mula-mulanya belajar dari lingkungan pergaulannya, melalui proses belajar, imitasi, sehingga pada akhirnya bisa mandiri melancarkan kejahatannya. Rata-rata dari mereka yang sudah mahir saling bertukar informasi, mereka pada bersaing menunjukkan kemampuannya untuk mendapatkan pengakuan yang disebut reinforcement.
Moral dis-engagement theory, oleh karena sulitnya terdeteksi para pelaku cyber crime, sering kali mendapatkan apresiasi dari keberhasilannya, bergeser kemudian penilaian terhadap perbuatannya, bahwa ia bekerja sebagai anjing penjaganya masyarakat, mempertahankan "mata waspada" pada vendor tak bermoral dan pemerintahan tirani, sehingganya mengalami pembebasan moral, tanpa lagi memikirkan perasaan bersalah dan kecaman diri sendiri, kendatipun misalnya ia telah melakukan pembobolan website,
Anonymity, anonimitas cenderung memunculkan kepribadian yang terburuk pada diri individual ketika ia online, karena mereka yakin bahwa mereka ano nymous dan dapat berpura-pura menjadi personal-personal samaran. Hal ini disebabkan perilaku online merupakan refleksi diri individu yang sebenarnya dalam kondisi tanpa kontrol diri dan tanpa norma atau tekanan sosial.
4. Penanggulangan kejahatan Terorisme
Setiap negara harus melakukan kerja sama internasional dalam menelusuri jejaring terorisme;
Seyogianya pemerintah melakukan koordinasi lintas instansi, lintas nasional secara berkesinambungan baik melalui langkah represif, preventif, preemtil maupun rehabilitasi;
Memotong jaringan terorisme melalui resosialisasi dan reintegrasi para pelaku terorisme ke dalam masyarakat;
Pembangunan ekonomi sejahtera dan merata ke setiap daerah, sehingga tak ada lagi daerah yang merasa dimarginalkan;
Melakukan penyuluhan dan sosialisasi tentang bahaya ancaman terorisme;
Menanamkan sikap anti terorisme dalam setiap pendidikan formal mulai dari tingkat pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, demi menghindari pengaruh radikalisme dari jaringan teroris terhadap generasi selanjutnya.
Penanggulangan Kejahatan Cyber Crime
Di tingkatan pencegahan yaitu masyarakat harus konsisten untuk memposisikan perilaku cyber crime sebagai perilaku yang tidak dapat diterima dan ditoleransi dalam masyarakat. sebagaimana kriminal di dunia Nyata.
Berhenti memberikan pengakuan kepada pelaku.
Berhenti menerbitkan buku panduan maupun tulisan tentang keberhasilan cybercrime yang ditulis oleh para pelaku
Berikan penolakan dan opini tentang kerusakan atau kerugian yang diakibatkan oleh perilaku cyber crime.
Libatkan pelaku untuk bertemu administrator sistem, turut merasakan bagaimana banyak usaha, waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk mengembalikan sistem seperti semula dan merasakan kerusakan dan kerugian dari terbukanya informasi yang dilindungi sistem tersebut.
Menanamkan pendidikan online "sehat" selama masa kritis proses perkembangan individual, khususnya perkembangan moral masa remaja dan dewasa awal.
Di tingkat penindakan sudah pastinya kriminalisasi atas setiap perbuatan tersebut melalui cyber crime law,bersama dengan itu harus diikuti dengan pola penindakan dari penyidik yang mengetahui jaringan media dan informasi elektronik
1. Apa yg dimaksud Kriminologi Kontemporer
ReplyDeleteAbdul Wahib (2OO2: ): "bahwa dengan mengamati perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat maka kejahatan erat kaitannya dan bahkan menjadi bagian dari budaya itu sendiri. Artinya, semakin tinggi tingkat budaya dan semakin modern suatu bangsa, maka semakin modern pula kejahatan itu, bentuk, sifat dan cara pelaksanaannya."
2. Pengertian dari
Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (Undang-Undang No. 35 tahun 2009).
3. Faktor terjadinya
Faktor korupsi ialah Sifat tamak manusia, gaya hidup konsumtif, moral yg tak kuat, faktor hukum, faktor ekonomi, faktor organisasi
Faktor penyalahgunaan narkotika ialah, kurang ilmu agama, depresi, faktor lingkungan.
4. Penanggulangan
Penanggulangan korupsi dengan cara, penanaman sifat nasionalisme, menerima pegawai dengan cara jujur dan terbuka, himbauan kepada masyarakat, penanaman nilai agama, pencatatan ulang aset, mempertegas hukum.
Penanggulangan penyalahgunaan narkotika ialah Promotif atau pembinaan, preventif yaitu kampanye pencegahan penyalahgunaan narkotika, penyuluhan seluk beluk narkotika, mengawasi dan mengendalikan produksi, tindakan kuratif yaitu pengobatan dan rehabilitasi
Nama : Mahfuzhah Alawiyah
ReplyDeleteNIM : 0205172239
Mata Kuliah : Krimonologi dan victimologi
Tugas Mandiri:
1. Kriminologi kontemporer adalah ilmu yang mempelajari kejahatan "baru" yang sedang terjadi dewasa ini. Makna selanjutnya "kejahatan baru" di sini bukanlah berarti "kejahatan yang baru muncul saat ini," melainkan reaksi masyarakat atas perbuatan jahat tersebut terjadi peningkatan "pencelaan" karena "kerugian" yang ditimbulkannya jauh lebih besar. Bertambahnya sifat pencelaan atas perbuatan itu, sudah pasti juga dipengaruhi oleh cara atau metode sang pelaku mewujudkan perbuatannya, sulit diidentifikasi, tetapi kerugiannya kerap tidak disadari akan muncul dengan tiba-tiba.
2. Yg dimaksud :
A. Korupsi : korupsi adalah suatu tindak pidana yang berhubungan dengan penyuapan, manipulasi perbuatan-perbuatan lainnya sebagai perbuatan melawan hukum yang merugikan atau dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara' merugikan kesejahteraan atau kepentingan rakyat umum
B. Narkotika : Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, menegaskan bahwa: "Narkotikan adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini”.
3. Faktor penyebab terjadinya:
A. Korupsi : 1. Para pejabat di negeri ini banyak yang kehilangan nila-nilai kebaikan atau patokan moral yang dianutnya, tentu disebabkan oleh persaingan setiap orang untuk menjadi kaya akibat perkembangan ekonomi yang menuntutnya untuk menjadi kaya; 2. Penyimpangan cara-cara (means) dan cita-cita (goals) yang telah disepakati sebelumnya, bahwa untuk menjadi "kaya" seseorang harus rajin bekerja (tidak sampai merugikan orang lain), tetapi dipilih jalan lain dengan penyelewenengan kekuasaan melalui jalan korupsi.
B. Penyalahgunaan narkotika : yang menjadi pemakai karena tekanan psikologis, ada karena faktor lingkungan, ada karena faktor pergaulan, dan ada pula karena faktor ekonomi. Satu persatu faktor penyebabnya itu kadang saling berkaitan, misalnya seseorang yang mengalami
keguncangan rumah tangga, bercerai dengan istrinya, maka pelariannya pada kelompok bandit, di sanalah ia menjadi pemakai narkotika sebagai pelarian dari kesusahan hidupnya.
4. Bagaimana cara penanggulangan kejahatan kontemporer berikut ini:
A. Korupsi : a. Perbaikan keadaan perekonomian setiap pej abat-pejabat negara melalui pemberian gaji yang memadai buat mereka; b. Peningkatan pengawasan atas kinerja pemerintahan melalui penyelenggaraan yang akuntabel dan transparan; c. Dengan mengadopsi teori Sutherland, bahwa kepribadian itu ditentukan melalui proses belajar, maka penanaman budaya malu sebagaimana diungkapkan oleh Trafis Hirsci (John Braithwaite, 1989: 26) "reintegrative shaming theory" dapat dilakukan sosialisasi dan pembinaan moral, bahaya perbuatan korupsi, dan akibat perbuatan korupsi kepada setiap penyelenggara pemerintahan;
B. Penyalahgunaan narkotika : (1) semua aparatur penegak hukum yang diberikan wewenang dalam pengungkapan kasus-kasus narkotika harus ditingkatkan gajinya; (2) bersamaan dengan itu hapuskan regulasi yang mengatur kalau aparatur penegakan hukum akan dinaikkan pangkatnya berdasarkan jumlah penanganan kasus narkotika yang ia tangani.
Nama : Mahfuzhah Alawiyah
ReplyDeleteNIM : 0205172239
Mata Kuliah : Krimonologi dan victimologi
Tugas Mandiri:
1. Kriminologi kontemporer adalah ilmu yang mempelajari kejahatan "baru" yang sedang terjadi dewasa ini. Makna selanjutnya "kejahatan baru" di sini bukanlah berarti "kejahatan yang baru muncul saat ini," melainkan reaksi masyarakat atas perbuatan jahat tersebut terjadi peningkatan "pencelaan" karena "kerugian" yang ditimbulkannya jauh lebih besar. Bertambahnya sifat pencelaan atas perbuatan itu, sudah pasti juga dipengaruhi oleh cara atau metode sang pelaku mewujudkan perbuatannya, sulit diidentifikasi, tetapi kerugiannya kerap tidak disadari akan muncul dengan tiba-tiba.
2. Yg dimaksud :
A. Korupsi : korupsi adalah suatu tindak pidana yang berhubungan dengan penyuapan, manipulasi perbuatan-perbuatan lainnya sebagai perbuatan melawan hukum yang merugikan atau dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara' merugikan kesejahteraan atau kepentingan rakyat umum
B. Narkotika : Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, menegaskan bahwa: "Narkotikan adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini”.
3. Faktor penyebab terjadinya:
A. Korupsi : 1. Para pejabat di negeri ini banyak yang kehilangan nila-nilai kebaikan atau patokan moral yang dianutnya, tentu disebabkan oleh persaingan setiap orang untuk menjadi kaya akibat perkembangan ekonomi yang menuntutnya untuk menjadi kaya; 2. Penyimpangan cara-cara (means) dan cita-cita (goals) yang telah disepakati sebelumnya, bahwa untuk menjadi "kaya" seseorang harus rajin bekerja (tidak sampai merugikan orang lain), tetapi dipilih jalan lain dengan penyelewenengan kekuasaan melalui jalan korupsi.
B. Penyalahgunaan narkotika : yang menjadi pemakai karena tekanan psikologis, ada karena faktor lingkungan, ada karena faktor pergaulan, dan ada pula karena faktor ekonomi. Satu persatu faktor penyebabnya itu kadang saling berkaitan, misalnya seseorang yang mengalami
keguncangan rumah tangga, bercerai dengan istrinya, maka pelariannya pada kelompok bandit, di sanalah ia menjadi pemakai narkotika sebagai pelarian dari kesusahan hidupnya.
4. Bagaimana cara penanggulangan kejahatan kontemporer berikut ini:
A. Korupsi : a. Perbaikan keadaan perekonomian setiap pej abat-pejabat negara melalui pemberian gaji yang memadai buat mereka; b. Peningkatan pengawasan atas kinerja pemerintahan melalui penyelenggaraan yang akuntabel dan transparan; c. Dengan mengadopsi teori Sutherland, bahwa kepribadian itu ditentukan melalui proses belajar, maka penanaman budaya malu sebagaimana diungkapkan oleh Trafis Hirsci (John Braithwaite, 1989: 26) "reintegrative shaming theory" dapat dilakukan sosialisasi dan pembinaan moral, bahaya perbuatan korupsi, dan akibat perbuatan korupsi kepada setiap penyelenggara pemerintahan;
B. Penyalahgunaan narkotika : (1) semua aparatur penegak hukum yang diberikan wewenang dalam pengungkapan kasus-kasus narkotika harus ditingkatkan gajinya; (2) bersamaan dengan itu hapuskan regulasi yang mengatur kalau aparatur penegakan hukum akan dinaikkan pangkatnya berdasarkan jumlah penanganan kasus narkotika yang ia tangani.