MK.KDV-10. PENGANTAR VIKTIMOLGI



Sejarah Viktimologi
Pakar viktimologi, Arif Gosita memberikan gambaran mengenai perkembangan keilmuan viktimologi yang secara ringkasnya sebagai berikut; adalah W.H Nagel (1949) yang melakukan mengenai korban dalam tulisannya the Criminaliteit van Oss, Groningen”, kemudian pada Desember 1958 saat berlangsungnya Konferensi Kriminologi di Brussel, dimensi korban mulai diperbincangkan, P. Cornil (1959) menekankan perlunya perhatian lebih besar terhadap korban terlebih dalam hal pembentukkan kebijaksanaan kriminil. Perhatian terhadap korban diwujudkan dalam Simposium Internasional mengenai Viktimologi di Jerusalem pada 5-6 September 1973 dan dilanjutkan pada Simposium kedua di Boston pada 5-9 September 1976.
Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana batasan mengenai korban itu sendiri? Benjamin Mendelsohn sebagai penggagas pertama istilah viktimologi, dalam sebuah makalah berjudul ew Bio-psycho-social Horizon; Victimology memberikan batasan mengenai korban dengan upaya pendekatan korban dari segi biologis, psikologis dan sosial, namun beberapa pakar memberikan kritik terhadap pendapat ini karena Mendelsohn dalam memberikan pendekatan masih menggunakan penelitian terhadap petindak pelanggaran (penjahat) yang mana masih menggunakan perspektif kriminologi yang dianggap sudah agak kuno.
Von Hentig memberikan kontribusi keilmuan melalui tulisannya pada 1941 berjudul “Remarks on the Interaction of Prepertator and Victim” dan the Criminal and His Victim” (1948) yang memberikan gambaran hubungan antara Pelaku Kejahatan dengan Korbannya.
Dalam melihat hubungan antara kejahatan dengan korban, JE. Sahetapy mempunyai pendapat yang berbeda. JE Sahetapy menawarkan suatu istilah ”viktimitas” berasal dari kata ”victimity”, dimana Sahetapy menginginkan adanya pembatasan hubungan antara masalah korban dengan faktor kejahatan. tadi kalau kita beranjak dari pangkal tolak viktimitas, maka dengan sendirinya masalah korban tidak perlu selalu dihubungkan dengan faktor kejahatan

Tujuan Viktimologi
Sebagaimana diketahui bahwa viktimologi juga merupakan sarana penanggulangan kejahatan/ mengantisipasi perkembangan kriminalitas dalam masyarakat. sehingga viktimologi sebagai sarana penanggulangan kejahatan juga masuk kedalam salah satu proses Kebijakan  Publik.Antisipasi kejahatan yang dimaksud meliputi perkembangan atau frekuensi kejahatan, kualitas kejahatan, intensitas kejahatandan kemungkinan munculnya bentuk-bentuk kejahatan baru.Konsekuensi logis dari meningkatnya kejahatan atau kriminalitas adalah bertambahnya jumlah korban, sehingga penuangan kebijakan yang berpihak kepada kepentingan korban dan tanpa mengenyampingkan pelaku mutlak untuk dilakukan, sehingga studi tentang viktimologi perlu untuk dikembangkan. Adanya ungkapan bahwa seseorang lebih mudah membentengi diri untuk tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum dari pada menghindari diri dari menjadi korban kejahatan. Menurut Muladi viktimologi merupakan studi yang bertujuan untuk :
  1. Menganalisis berbagai aspek yang berkaitan dengan korban;
  2. Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya viktimisasi;
  3. Mengembangkan system tindakan guna mengurangi penderitaan manusia.

Fungsi Viktimologi
Viktimologi mempunyai fungsi untuk mempelajari sejauh mana peran dari seorang korban dalam terjadinya tindak pidana, serta bagaimana perlindungan yang harus diberikan oleh pemeritah terhadap seseorang yang telah menjadi korban kejahatan. Disini dapat terlihat bahwa korban sebenarnya juga berperan dalam terjadinya tindak pidana pencurian, walaupun peran korban disini bersifat pasif tapi korban juga memiliki andil yang fungsional dalam terjadinya kejahatan. Pada kenyataanya dapat dikatakan bahwa tidak mungkin timbul suatu kejahatan kalau tidak ada si korban kejahatan, yang merupakan peserta utama dan si penjahat atau pelaku dalam hal terjadinya suatu kejahatan dan hal pemenuhan kepentingan si pelaku yang berakibat pada penderitaan si korban. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa korban mempunyai tanggung jawab fungsional dalam terjadinya kejahatan.

Manfaat Viktimologi
Manfaat Viktimologi sebagai Bekal Pemahaman dan Perlindungan terhadap Korban bagi Calon Penegak Hukum. [1][1]
Setelah memahami bagaimana awal perkembangan keilmuan viktimologi dan siapa korban, maka tahap berikutnya perlu kita mengetahui bagaimana manfaat keilmuan viktimologi sebagai bahan pemikiran dan pemahaman dalam upaya perlindungan terhadap korban, yang mana hal ini ditujukan bagi calon penegak hukum (mahasiswa) atau bahkan bagi penegak hukum itu sendiri (praktisi, polisi, hakim, jaksa) bahkan pembuat kebijakan.
Arif Gosita merumuskan beberapa manfaat dari studi mengenai korban antara lain:[2][2]
1.      Viktimologi mempelajari hakikat siapa itu korban dan yang menimbulkan korban, apa artinya viktimisasi dan proses viktimisasi bagi mereka yang terlibat dalam proses viktimisasi. Akibat dari pemahaman itu, maka akan diciptakan pengertian-pengertian, etiologi kriminal dan konsepsi-konsepsi mengenai usaha-usaha yang preventif, represif dan tindak lanjut dalam menghadapi dan menanggulangi permasalahan viktimisasi kriminal di berbagai bidang kehidupan dan penghidupan;
2.       Viktimologi memberikan sumbangan dalam mengerti lebih baik tentang korban akibat tindakan manusia yang menimbulkan penderitaan mental, fisik dan sosial. Tujuannya, tidaklah untuk menyanjung (eulogize) korban, tetapi hanya untuk memberikan beberapa penjelasan mengenai kedudukan dan peran korban serta hubungannya dengan pihak pelaku serta pihak lain. Kejelasan ini sangat penting dalam upaya pencegahan terhadap berbagai macam viktimisasi, demi menegakkan keadilan dan meningkatkan kesejahteraan mereka yang terlihat langsung atau tidak langsung dalam eksistensi suatu viktimisasi.
3.      Viktimologi memberikan keyakinan, bahwa setiap individu mempunyai hak dan kewajiban untuk mengetahui mengenai bahaya yang dihadapinya berkaitan dengan kehidupan, pekerjaan mereka. Terutama dalam bidang penyuluhan dan pembinaan untuk tidak menjadi korban struktural atau non struktural. Tujuannya, bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk memberikan pengetian yang baik dan agar waspada. Mengusahakan keamanan atau hidup aman seseorang meliputi pengetahuan yang seluas-luasnya mengenai bagaimana menghadapi bahaya dan juga bagaimana menghindarinya.
4.       Viktimologi juga memperhatikan permasalahan viktimisasi yang tidak langsung, misalnya: efek politik pada penduduk “dunia ketiga” akibat penyuapan oleh suatu korporasi internasional, akibat-akibat sosial pada setiap orang akibat polusi industri, terjadinya viktimisasi ekonomi, politik dan sosial setiap kali seorang pejabat menyalahgunakan jabatan dalam pemerintahan untuk keuntungan sendiri. Dengan demikian dimungkinkan menentukan asal mula viktimisasi, mencari sarana menghadapi suatu kasus, mengetahui terlebih dahulu kasus-kasus (antisipasi), mengatasi akibat-akibat merusak, dan mencegah pelanggaran, kejahatan lebih lanjut (diagnosa viktimologis);
5.      Viktimologi memberikan dasar pemikiran untuk masalah penyelesaian viktimisasi kriminal, pendapat-pendapat viktimologi dipergunakan dalam keputusan-keputusan peradilan kriminal dan reaksi pengadilan terhadap pelaku kriminal. Mempelajari korban dari dan dalam proses peradilan kriminal, merupakan juga studi mengenai hak dan kewajiban asasi manusia.Uraian di atas pada dasarnya ada tiga hal pokok berkenaan dengan manfaat studi tentang korban yaitu:
a.       manfaat yang berkenaan dengan pemahaman batasan korban, pencipta korban proses terjadinya -hak korban
b.      manfaat yang berkenaan dengan penjelasan tentang peran korban dalam suatu tindak pidana, usaha membela hak-hak korban dan perlindungan hukumnya;
c.       manfaat yang berkenaan dengan usaha pencegahan terjadinya korban.

Lebih spesifik lagi Dikdik M. Mansur dan Elisatris Gultom memberikan gambaran manfaat bagi pihak penegak hukum, sebagai berikut ;[3][3]. Bagi aparat kepolisian, viktimologi sangat membantu dalam upaya penanggulangan kejahatan. Melalui viktimologi akan mudah diketahui latar belakang yang mendorong terjadinya kejahatan, seberapa besar peranan korban pada terjadinya kejahatan, bagaimana modus operandi yang biasanya dilakukan oleh pelaku dalam menjalankan aksinya serta aspek aspek lainnya yang terkait. Bagi Kejaksaan, khususnya dalam proses penuntutan perkara pidana di pengadilan, viktimologi dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan berat ringannya tuntutan yang akan diajukan kepada terdakwa, mengingat dalam praktiknya sering dijumpai korban kejahatan turut menjadi pemicu terjadinya kejahatan. Bagi hakim tidak hanya menempatkan korban sebagai saksi dalam persidangan suatu perkara pidana, tetapi juga turut memahami kepentingan dan penderitaan korban akibat dari sebuah kejahatan atau tindak pidana, sehingga apa yang menjadi harapan dari korban terhadap pelaku sedikit banyak dapat terkonkritisasi dalam putusan hakim.
[Sumber: Sejarah Keberadaan Viktimologi.2020. http://lawofpardomuan.blogspot.com/2011/12/viktimologi.html  [1/3/2020]]

Hubungan Viktimologi dengan Kriminologi
            Secara etimologis, krimonologi berasal dari kata crimen yang berarti kejahatan dan logos yang berarti pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Krimonologi diartikan sebagai ilmu yang membahas mengenai kejahatan. Secara umum, kriminologi bertujuan untuk mempelajari kejahatan dari berbagai aspek sehingga diharapkan dapat diperoleh pemahaman tentang fenomena kejahatan yang lebih baik. Sementara Arif Gosita memberikan penjelasan mengenai arti Viktimologi, dia menyebutkan menyebutkan bahwa Viktimologi adalah suatu pengetahuan ilmiah/studi yang mempelajari viktimisasi (criminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan social.Viktimologi berasal dari kata Latin victima yang berarti korban dan logos yang berarti pengetahuan ilmiah atau studi.[4][1]
Sedangkan JE.Sahetapy menjelaskan bahwa Viktimilogi merupakan istilah yang berasal dari bahasa latin “Victima” yang berarti korban dan “logos” yang berarti ilmu, merupakan suatu bidang ilmu yang mengkaji permasalahan korban beserta segala aspeknya.
            adanya hubungan antara kriminologi dan viktimologi sudah tidak dapat diragukan lagi, karena dari satu sisi Kriminologi membahas secara luas mengenai pelaku dari suatu kejahatan, sedangkan viktimologi disini merupakan ilmu yang mempelajari tentang korban dari suatu kejahatan. Seperti yang dibahas dalam buku Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, karangan Dikdik M.Arief Mansur . Jika ditelaah lebih dalam, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa viktimologi merupakan bagian yang hilang dari kriminologi atau dengan kalimat lain, viktimologi akan membahas bagian-bagian yang tidak tercakup dalam kajian kriminologi. Banyak dikatakan bahwa viktimologi lahir karena munculnya desakan perlunya masalah korban dibahas secara tersendiri. Akan tetapi, mengenai pentingnya dibentuk Viktimilogi secara terpisah dari ilmu kriminologi mengundang beberapa pendapat, yaitu sebagai berikut :
  1. Mereka yang berpendapat bahwa viktimologi tidak terpisahkan dari kriminologi, diantaranya adalah Von Hentig, H. Mannheim dan Paul Cornil. Mereka mengatakan bahwa kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang menganalisis tentang kejahatan dengan segala aspeknya, termasuk korban. Dengan demikian, melalui penelitiannya, kriminologi akan dapat membantu menjelaskan peranan korban dalam kejahatan dan berbagai persoalan yang melingkupinya.
  2. Mereka yang menginginkan viktimologi terpisah dari kriminologi, diantaranya adalah Mendelsohn. Ia mengatakan bahwa viktimologi merupakan suatu cabang ilmu yang mempunyai teori dalam kriminologi, tetapi dalam membahas persoalan korban, viktimologi juga tidak dapat hanya terfokus pada korban itu sendiri. Khusus mengenai hubungan antara kriminologi dan hukum pidana dikatakan bahwa keduanya merupakan pasangan atau dwi tunggal yang saling melengkapi karena orang akan mengerti dengan baik tentang penggunaan hukum terhadap penjahat maupun pengertian mengenai timbulnya kejahatan dan cara-cara pemberantasannya sehingga memudahkan penentuan adanya kejahatan dan pelaku kejahatannya. Hukum pidana hanya mempelajari delik sebagai suatu pelanggaran hukum, sedangkan untuk mempelajari bahwa delik merupakan perbuatan manusia sebagai suatu gejala social adalah kriminologi. J.E Sahetapy juga berpendapat bahwa kriminologi dan viktimologimerupakan sisi dari mata uang yang saling berkaitan. Perhatian akan kejahatan yang ada tidak seharusnya hanya berputar sekitar munculnya kejahatan akan tetapi juga akibat dari kejahatan, karena dari sini akan terlihat perhatian bergeser tidak hanya kepada pelaku kejahatan tetapi juga kepada posisi korban dari kejahatan itu. Hal ini juga dibahas oleh pakar hukum lainnya dalam memperhatikan adanya hubungan ini, atau setidaknya perhatian atas terjadinya kejahatan tidak hanya dari satu sudut pandang, apabila ada orang menjadi korban kejahatan, jelas terjadi suatu kejahatan, atau ada korban ada kejahatan dan ada kejahatan ada korban. Jadi kalau ingin menguraikan dan mencegah kejahatanharus memperhatikan dan memahami korban suatu kejahatan, akan tetapi kebiasaan orang hanya cenderung memperhatikan pihak pelaku kejahatan.

[Sumhber: Hubungan Antara Viktimologi Dengan Kriminilogi.2020. http://lawofpardomuan.blogspot.com/2011/12/hubungan-antara-viktimologi-dengan.html [1/3/2020]




[1][1] http://belajarhukumpidana.blogspot.com/2009/05/urgensi-penerapan-mata-kuliah.html
[2][2] . Dikdik M. Arief Mansur, SH., MH. Elisatris Gultom, SH., MH, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma Dan Realita (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal 63-65.
[3][3].http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=fungsi%20viktimologi&source=web&cd=10&sqi=2&ved=0CE8QFjAJ&url=http://resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasi_dosen/2%2520URGENSI%2520PERLINDUNGAN%2520KORBAN%2520KEJAHATAN.PDF&ei=1QSETqzIMc2srAey6ZXNDA&usg=AFQjCNHz9HbeAdTjAVwprX1pm2iLCF-bcw

Baca Selengkapnya »

MK.KDV-17.PERLINDUNGAN KORBAN dan KEBIJAKAN SOSIAL

Selaras dengan perspektif pemahaman korban sebagai suatu konstruksi sosial, maka konstruksi sosial ini muncul dalam perundang-undangan. Pengkajian terhadap perlunya perlindungan terhadap korban kejahatan dikemukakan oleh Muladi dengan alasan-alasan sebagai berikut:[1]
1.      Proses pemidanaan dalam hal ini mengandung pengertian umum dan konkret. Dalam arti umum, proses pemidanaan sebagai wewenang sesuai asas legalitas, yaitu poena dan crimen harus ditetapkan lebih dahulu apabila hendak menjatuhkan pidana atas diri pelaku pidana. Dalam arti konkret, proses pemidanaan berkaitan dengan penetapan pidana melalui infrastruktur penitensier (hakim, petugas lembaga pemasyarakatan, dan sebagainya). Di sini terkandung tuntutan moral, dalam wujud keterkaitan filosofis pada satu pihak, dan keterkaitan sosiologis dalam kerangka hubungan antar manusia dalam masyarakat. Secara sosiologis, masyarakat sebagai 'system of institutionnal trust/sistem kepercayaan yang melembaga, dan terpadu melalui norma yang diekspresikan dalam struktur kelembagaan seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga koreksi. Terjadinya kejahatan atas diri korban bermakna penghancuran sistem kepercayaan tersebut, pengaturan hukum pidana dan hukum lain yang menyangkut masalah korban berfungsi sebagai sarana pengembalian sistem kepercayaan tersebut.
2.      Adanya argumen kontrak sosial, yaitu negara memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan yang bersifat pribadi, dan argumen solidaritas sosial bahwa negara harus menjaga warga negaranya dalam memenuhi kebutuhannya/apabila warga negara mengalami kesulitan, melalui kerja sama dalam masyarakat berdasarkan atau menggunakan sarana yang disediakan oleh negara. Hal ini bisa dilakukan baik melalui peningkatan pelayanan maupun melalui pengaturan hak.
3.      Perlindungan korban dikaitkan dengan salah satu tujuan pemidanaan, yaitu penyelesaian konflik. Penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh adanya tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Hal ini juga diadopsi dalam rancangan konsep KUHP Nasional yang baru (Pasal 47 ayat 1 ke-3).[2]

Penulis sepakat untuk beberapa hal pendapat Muladi tersebut. Namun ada bebarapa hal yang perlu dikembangkan, yaitu bahwa pertama perlindungan terhadap korban diartikan sebagai apabila pelaku telah dipidana dan diproses. Padahal, proses pemidanaan tidak hanya pada saat hakim mulai bekerja, namun dalam saat tingkat kepolisian pun proses pemidanaan tersebut telah dimulai, dan korban terlibat didalamnya. Oleh karena itu, perlindungan korban perlu pula ditekankan perhatian terhadap bagaimana bekerjanya proses peradilan pidana tersebut dilangsungkan oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian. Apakah bekerjanya aparat penegak hukum tersebut justru menimbulkan 'second viktimization’terhadap korban.
Korban kejahatan dapat hadir dalam proses peradilan pidana dengan dua kualitas berbeda. Pertama, korban hadir sebagai saksi. Fungsi korban untuk memberi kesaksian dalam rangka pengungkapan kejahatan yang sedang dalam proses pemeriksaan, baik pada tahap penyidikan, tahap penuntutan, maupun pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Kedua, korban hadir sebagai pihak yang dirugikan. Fungsi korban dalam hal ini, yaitu mengajukan tuntutan ganti kerugian terhadap pelaku kejahatan yang telah mengakibatkan atau menimbulkan kerugian/penderitaan pada dirinya.[3]
Paradigma perlindungan korban dikonstruksikan oleh hukum dan perundang-undangan yang berlaku, yaitu KUHP dan KUHAP termasuk kebijakan instansional birokrasi penegak hukum. Oleh karena itu, bentuk perlindungan korbanpun telah dikonstruksikan dalam perundang-undangan. Dalam hal ini berarti bahwa realitas sosial perlindungan korban dimungkinkan mengalami pendegradasian karena adanya kekurangan atau hambatan dalam perundang-undangan, sehingga kurang mengakomodasi respons terhadap korban.
Sehubungan dengan upaya perlindungan korban melalui peradilan pidana selama ini banyak ditelantarkan. Masalah Kejahatan senantiasa difokuskan pada apa yang dapat dilakukan terhadap penjahat dan kurang dipertanyakan apa yang dapat dilakukan terhadap korban. Setiap orang menganggap bahwa jalan terbaik untuk menolong korban adalah dengan menangkap si penjahat, seakan-akan penjahat merupakan satu-satunya sumber kesulitan bagi korban.[4]
Hal ini terlihat dari pendapat Marc Ancel mengenai 'social defence'. Konsep modern social defence menurutnya diinterpretasikan sebagai 'The prevention of crime and the treatment of offenders. Dikemukakan oleh Ancel lebih lanjut, bahwa konsekuensi dari konsep modern 'social defence' tersebut berarti tujuan dari politik hukum pidana adalah 'systematic resocialization of offender. Konsep ini berusaha menjaga hak-hak sebagai manusia dari pelaku kejahatan, meskipun ia harus membayar kejahatan atau hukumannya.[5]
Jelaslah terlihat dari pendapat Marc Ancel tersebut, bahwa konsep perlindungan sosial diasumsikan sebagai pencegahan kejahatan dan pembinaan pelaku kejahatan, mengindikasikan korban kurang mendapat perhatian dari konsep ini. Perlindungan terhadap korban hanya diartikan secara tidak langsung dengan pencegahan terjadinya kejahatan, yang seolah sudah tercapai bila pelakunya telah dipidana. Perlindungan korban menjadi teranulir dan limitatif dalam konsep ini, dan tidak memberikan wawasan bagi upaya pencarian 'acces to justice and fair treatment to the victim' maupun pemikiran terhadap compensation, restitution, dan assistance.
Dalam Simposium pembaharuan Hukum Nasional 1980, dinyatakan perumusan yang luas mengenai konsep perlindungan masyarakat, yaitu di samping perlindungan masyarakat dari kejahatan serta keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat, juga dimasukkan unsur perlunya memperhatikan kepentingan korban.[6]
Perspektif perlindungan korban sebagai unsur dalam kebijakan perlindungan masyarakat dicantumkan pula pada hasil Kongres di Milan Italia, sebagaimana dikutip Barda Nawawi Arief dalam Declaration of Justice for Victim of Crime and Abuses of Power, yang menyatakan bahwa: “Victims rights should be perceived as an integral part of total criminal justice system.” Oleh karena itu, ditegaskan Barda Nawawi Arief bahwa perhatian terhadap hak korban harus dilihat sebagai bagian integral dari keseluruhan kebijakan criminal.[7]
Berdasar terminologi di atas, jelaslah dan perlu digarisbawahi bahwa dalam rangka perlindungan hukum terhadap korban, maka perlindungan korban harus dijadikan sebagai bagian dalam upaya penegakan hukum pidana sebagai bagian dari kebijakan sosial yang merupakan usaha bersama untuk meningkatkan kesejahteraan/social welfare policy dan social defence policy yang mengakomodasi hak-hak korban.
Apabila dikaitkan dengan perlindungan korban, maka perspektif viktimologi memberikan muatan kebijakan terhadap perlindungan korban. Dalam sisi upaya orientasi viktimologi untuk mencapai kesejahteraan, maka terkait pula dengan kebijakan perlindungan korban sebagai bagian integral dari kebijakan perlindungan masyarakat secara keseluruhan, yaitu dalam rangka mencapai kesejahteraan sosial.
Perlindungan korban adalah sebagai bagian integral pula dari kebijakan kriminal. G. Peter Hoefnagels mengutip pendapat Marc Ancel, bahwa “The science of criminal policy is the science of crime prevention ..., criminal policy is the rational organization of the social reaction of crime science of crime prevention. Dalam bagannya Hoefnagels mengemukakan bahwa Criminal policy as a science of policy is part of a larger policy: The Law enforcement policy ... The legislative and enforcement policy is in turn part of social policy.[8] Politik kriminal sebagai usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan adalah melalui jalur penal dan nonpenal. Dalam tulisan ini dikhususkan kebijakankriminal melalui sarana hukum pidana.
Sehubungan dengan tujuan sistem peradilan pidana secara keseluruhan, penulis mengutip La Patra bahwa ‘All the Criminal Justice System sub systems legitimately may expect to participate in one or more of these activities in order to contribute to the entire system's welfare'. Lebih lanjut dikemukakan La Patra, bahwa three major goals of the overall CJS are the identification and processing offenders, the control of violence, and the provision emergency services.[9]
Untuk menjelaskan hal tersebut perlu dikemukakan terlebih dahulu bagan sebagai berikut:
Kebijakan kesejahteraan sosial

Kebijakan Sosial                                                                                                         Tujuan

Kebijakan Perlindungan Masyarakat
Sarana Penal
Kebijakan Kriminal
Sarana Nonpenal

Jelaslah bahwa keterpaduan antara kebijakan kriminal dan kebijakan sosial mencakup kebijakan kesejahteraan masyarakat dan kebijakan perlindungan masyarakat berkonsekuensi pada perlunya perhatian terhadap korban. Dalam hal ini social defence sebenarnya tidak hanya ditujukan sebagai 'the systematic resocialization of the offender sebagaimana dikemukakan Marc Ancel di atas, tetapi terfokus pula pada perlindungan hak asasi dan martabat korban dalam proses peradilan pidana yang juga tak lepas dari kebijakan untuk mencapai kesejahteraan bagi korban atau masyarakat. Dalam kata lain orientasi viktimologi juga tak lepas dari kesejahteraan masyarakat, masyarakat yang tidak menderita atau masyarakat yang tidak menjadi korban dalam arti luas.
Sehubungan dengan bagan tersebut, menarik pendapat yang dikemukakan oleh Jaksa Agung dalam Seminar Nasional ‘menggugat pemikiran Hukum Positivistik di Era Reformasi, yaitu bahwa hukum dan penegakan hukum tidaklah memiliki tujuan sendiri yang terlepas dari tujuan masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain dinyatakan bahwa berdasarkan keterkaitan kebijakan pidana dan kebijakan penegakan hukum dengan kebijakan sosial, maka pandangan dan pendekatan positivistik dalam penegakan hukum jelas tidak akan mendukung upaya pencapaian tujuan masyarakat.[10]
Penulis sependapat dengan hal tersebut, bahwa dalam rangka pencapaian perlindungan dan kesejahteraan khususnya bagi korban, maka orientasi yang perlu diperhatikan adalah keadilan substansial dalam rangka perlindungan terhadap korban dengan memperhatikan nilai-nilai humanisme. Dinyatakan oleh Bassiouni sebagaimana dikutip Barda Nawawi Arief, bahwa tujuan yang ingin dicapai oleh pidana pada umumnya terwujud dalam kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai tertentu yang perlu dilindungi. Kepentingan sosial itu menurut Bassiouni yaitu:
1.      Pemeliharaan tertib masyarakat.
2.      Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya yang tak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain.
3.      Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum.
4.      Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan, dan keadilan individu.[11]
Bertolak dari pemikiran di atas, sudah sewajarnya bahwa kepentingan korban diperhatikan. Oleh karena itu, masalah utama atau objek hukum pidana seyogianya di samping masalah perbuatan pidana, pertanggungjawaban, dan pidana, juga meliputi permasalahan korban..[12]
Perlindungan korban dalam peradilan pidana terkait dengan perlindungan korban sebagai bagian dari kebijakan perlindungan masyarakat dan kebijakan kesejahteraan sebagai bagian dari kebijakan sosial. Keterpaduan antara kebijakan kriminal dan kebijakan sosial berkonsekuensi pada perlunya perhatian terhadap korban. Pengakomodasian hak-hak asasi korban melalui perlindungan hukum terhadapnya merupakan bagian integral pula dari keseluruhan kebijakan kriminal.
G. Peter Hoefnagels mengutip pendapat Marc Ancel bahwa the science of criminal policy is the science of crime prevention, criminal policy is the rational organization of the social reaction of crime science of crime prevention. Dalam bagannya, Hoefnagels mengemukakan bahwa 'Criminal policy as a science of policy is part of a larger policy: The law enforcement policy, dan bahwa criminal policy dan law enforcement policy adalah bagian dari social policy.[13] Politik kriminal sebagai usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan, melalui jalan penal sistem peradilan pidana dan nonpenal. Jalur penal meliputi hukum pidana materiel, hukum pidana formal, dan hukum pelaksanaan pidana. Penanggulangan kejahatan melalui sarana penal lazimnya diawali dengan langkah merumuskan norma-norma hukum pidana yang di dalamnya terkandung unsur-unsur yang bersifat substantif, struktural, dan kultural dari masyarakat yang bersangkutan. Untuk selanjutnya, secara operasional dilakukan dalam bekerjanya peradilan pidana.
Sehubungan dengan tujuan sistem peradilan pidana secara keseluruhan, penulis mengutip La Patra bahwa 'All the CJS (Criminal Justice System) sub systems legitimately may expect to participate in one or more of these activities in order to contribute to the entire system's welfare.[14]
Social policy berorientasi tidak hanya pada 'social welfare policy, tetapi juga memperhatikan 'social defence policy. Marc Ancel dalam konsepsi modernnya mengemukakan sebagai “The Prevention of Crime and the treatment of offender yang menuntun pada 'a true judicial humanism'. Konsep Social defence ini memiliki konsekuensi bahwa politik hukum pidana yang rasional bertujuan pada 'the systematic resocialization of the offender[15]
Sebagaimana pada bab terdahulu, penulis kurang menyetujui pendapat Marc Ancel yang membatasi tujuan sosial defence policy pada resosialisasi dari pelaku kejahatan. Penulis menegaskan, bahwa a true judicial humanism harus menjadi paradigma yang dikembangkan untuk pengakomodasian perlindungan korban. Keseimbangan terhadap hak-hak korban harus pula diperhatikan. Keseimbangan kepentingan pelaku dan korban dalam rangka perlindungan hak-hak asasinya adalah menjadi perspektif bekerjanya peradilan pidana.
Keterkaitan politik kriminal untuk menanggulangi kejahatan, memiliki tiga esensial bagian, yaitu input, proses, dan output yang tak lepas dari norma-norma didalamnya.[16] Analisis dari proses peradilan pidana membutuhkan analisis dari input dimentions, yang merupakan dimensi masukan awal (raw input), dan instrumental input, maupun environtmental input dari lingkungan strategis yang bersifat nasional seperti doktrin dasar bangsa Indonesia Pancasila dan Pembukaan UUD'45 dan batang tubuh, taraf regional, maupun dalam kancah global dengan nilai kemanusiaan beradab yang diakui secara internasional. Dimensi instrumental input adalah mendasar bagaimana penegak hukum bertindak, yaitu khususnya dalam lembaga dan pranata hukum pidana, melalui KUHAP, KUHP, dan perundang-undangan pidana lainnya. Terkait dengan peran penting lingkungan strategis dalam operasionalisasi sistem peradilan pidana, maka nilai-nilai mendasar dalam taraf formulasi memiliki urgensi yang memengaruhi taraf aplikasi maupun taraf eksekusi hukum pidana,Pendapat Prof. Muladi yang mengetengahkan model realistik sebagai falsafah sistem peradilan pidana dengan sebutan model keseimbangan kepentingan penting untuk dikemukakan. Model ini memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana, yaitu kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana, dan kepentingan korban kejahatan.[17]
Berdasar terminologi persoalan bekerjanya peradilan pidana, memunculkan suatu pemahaman kritis mengenai ‘bagaimanakah mengeliminasi bekerjanya peradilan pidana yang dapat bersiÅ¿at kriminogen dan viktimogen karena disfungsionalisasi hukum pidana. Terminologi ini mengakomodasi "accountability for criminal justice[18] seperti nilai HAM untuk direfleksikan.
Perlindungan korban pada hakikatnya merupakan perlindungan hak asasi manusia. Sebagaimana dikemukakan Separovic, bahwa The rights of the victim are a component part of the concept of human rights.[19]
Aspek HAM dalam peradilan pidana merupakan dimensi masukan strategis. Dalam taraf nasional, seperti nilai HAM dalam Pancasila, dan dalam taraf global, standar dalam instrument HAM internasional memberikan muatan kemanusiaan yang diakui masyarakat beradab. Beberapa standar HAM internasional dapat dikemukakan sebagai berikut:[20]
·         Code of Conduct for Law Enforcement Officials.
·         Basic Principle on the Independence of the Judiciary.
·         Basic Priciple on the Role of Lawyers.
·         Guidelines on the Role of Prosecutors.
·         Declaration of Basic Principle of Justice for Victims of Crime and the Abuse of Power.
·         Declaration on the protection of all persons from being subjected to torture and other cruel.
·         Universal Declaration of Human Rights.
Instrumen internasional tersebut memuat khususnya kepentingan dan hak asasi korban. Implementasi HAM yang mencakup demokrasi dan penegakan hukumnya perlu diakui dan disesuaikan dengan standar ‘International Civil and Political Right.
Perspektif HAM di atas memberikan wawasan bagi adanya perhatian terhadap korban dan aspek etika serta profesionalitas aparat penegak hukum. Dalam hukum pidana positif KUHP dan KUHAP, beberapa aspek HAM dalam asas-asasnya sudah pula tercantum, antara lain: asas legalitas, non-retroaktivitas,[21]penghormatan terhadap martabat kemanusiaan, proporsionalitas, persamaan di muka hukum, peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, bantuan hukum, ganti kerugian.
Layanan untuk masyarakat dunia dalam bidang pencegahan kejahatan dan peradilan pidana yang dilakukan penasihat antara regional dan misi konsultasi, misi perumusan Lembaga PBB membantu untuk penerapan standar dan panduan PBB dan membantu perencanaan program-program nasional. Bentuk bantuan tersebut mencakup bidang-bidang teknis, khususnya bagi korban sebagai berikut:
1.      Kebijaksanaan dan prosedur untuk melindungi para korban dan model perundang-undangannya.
2.      Program restitusi, kompensasi, dan jadwal pendanaan.
3.      Layanan kesehatan, sosial, dan hukum bagi para korban perlindungan anak, rumah perlindungan bagi wanita-wanita yang dianiaya, pusat krisis perkosaan.
4.      Keterlibatan korban dalam tata cara peradilan; alternative selain proses peradilan.
5.      Layanan khusus dari polisi dan prosedur khusus bagi korban serta program-program pelatihannya.
6.      Pelaporan terjadinya korban dan studi tentang korban.
7.      Kompensasi bagi korban penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan ekonomi.[22]

Penulis berpendapat, substansi dalam cakupan bidang-bidang tersebut untuk lebih mengoptimalkan perlindungan korban haruslah juga menjadi wacana dan dikembangkan dalam kerangka kebijakan pembangunan hukum nasional.Declaration of Basic Principle of Justice for Victims of Crime and the Abuse of Power yang disetujui oleh Majelis Umum PBB 29 November 1985 (resolusi 40/34) atas rekomendasi Kongres ketujuh, menyatakan perlindungan korban antara lain dalam wujud sebagai berikut:
1.      Korban kejahatan harus diperlakukan dengan penuh rasa hormat terhadap martabatnya, serta diberi hak untuk segera menuntut ganti rugi. Mekanisme hukum dan administrasinya harus dirumuskan dan disahkan untuk memungkinkan korban kejahatan memperoleh ganti rugi.
2.      Korban kejahatan harus diberi informasi mengenai peran mereka, jadwal waktu, dan kemajuan yang telah dicapai dalam penanganan kasus mereka. Penderitaan dan keprihatinan korban kejahatan harus selalu ditampilkan dan disampaikan pada setiap tingkatan proses. Jika ganti rugi yang menyeluruh tidak dapat diperoleh dari pelaku kenakalan, dalam kasus-kasus kerugian fisik atau mental yang parah, negara berkewajiban memberi ganti rugi kepada korban kejahatan atau keluarganya.
3.      Korban kejahatan harus menerima ganti rugi kepada korban kejahatan atau keluarganya.[23]
Di Indonesia perspektif HAM sebagai implementasi TAP MPR No. XVII Tahun 1988 dituangkan dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pengesahan perangkat internasional masih menjadi agenda rencana Aksi Nasional HAM Manusia Indonesia 1998-2003, sebagai upaya 'positivization of rights' untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai negara hukum.
Pengkondisian HAM dalam peradilan pidana merupakan pendekatan yang harus digunakan dalam hukum pidana materiel, formal, khususnya dalam rangka perlindungan terhadap korban, yaitu melalui penyusunan KUHP baru, dan penyempurnaan KUHAP, hak korban untuk[24] access to justice and fair treatment, assistance, restitusi, and compensation.
Pengimplementasian HAM memunculkan pula pembaruan untuk terwujudnya "Sistem Peradilan Pidana Terpadu' (termasuk penasihat hukum) guna menjalankan fungsi kontrol sebagai usaha 'negative entrophy' mewujudkan Criminal Justice System. Penggambaran La Patra bahwa proses peradilan pidana sebagai suatu sistem dengan kepolisian, kejaksaan, pengadilan, serta pemasyarakatan membutuhkan kerja sama dan koordinasi dari subsistem maupun di luar sistem peradilan pidana, yaitu dalam lapisan pertama masyarakat, dan lapisan kedua aspek ekonomi, teknologi, pendidikan, dan politik. [25]
Hal ini melibatkan peran political will pemerintah, apparat penegak hukum, dan masyarakat dalam jaringan kerja sama. Dalam rangka diseminasi berbagai standar internasional HAM, maka peran legal education berupa pendidikan dan latihan menjadi penting bagi penegak hukum, pakar hukum, pejabat badan nasional terkait, LSM dan sosialisasi kepada masyarakat luas.[26]
Berdasar terminologi di atas, dapat dikemukakan bahwa perlindungan korban dalam konsep luas meliputi dua hal, yaitu:
1.      Perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban kejahatan atau yang identik dengan perlindungan hak asasi manusia atau kepentingan hukum seseorang. Berarti perlindungan korban tidak secara langsung.
2.      Perlindungan untuk memperoleh jaminan atau santunan hukum atas penderitaan atau kerugian orang yang telah menjadi korban kejahatan, termasuk hak korban untuk memperoleh assistance dan pemenuhan hak untuk 'acces to justice and fair treatment., Hal ini berarti adalah perlindungan korban secara langsung.[27]

Bentuk perlindungan korban secara tidak langsung dalam kebijakan kriminal, yaitu untuk memperoleh hak hidup, keamanan, dan kesejahteraan. Melalui keterpaduan kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial, maka perlindungan terhadap korban mengindikasikan bahwa setiap perumusan kebijakan pembangunan harus mencakup upaya terhadap perlindungan masyarakat.
Terminologi tersebut sejalan dengan hasil kongres PBB yang merupakan instrumen hukum dari perkembangan internasional yang harus diacu dalam pembangunan hukum di Indonesia ini. Dalam kongres kelima tahun 1975 di Geneva tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan Terhadap Pelaku Kejahatan memiliki tema Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan: Tantangan Perempat Abad Terakhir Abad XX, Persoalan yang dibahas antara lain mencaku:
1.      Perubahan bentuk dan dimensi kriminalitas baik tingkat nasional maupun internasional.
2.      Kejahatan korporasi dan kejahatan terorganisasi, peran undang-undang pidana, prosedur peradilan dan bentuk pengawasan sosial dalam pencegahan kejahatan.
3.      Akibat-akibat sosial ekonomis dari kejahatan (termasuk biaya kejahatan) dan tantangan baru untuk riset dan perencanaan.
4.      Alkohol dan penyalahgunaan obat bius,
5.      Kompensasi bagi korban kejahatan sebagai penggantian retributif dalam pengadilan kejahatan.[28]
Kongres keenam PBB di Caracas tahun 1980 menyatakan pula beberapa persoalan penting yang bisa diurgensikan dengan perspektif perlindungan korban dalam peradilan pidana. Kongres keenam ini memberi pertimbangan khusus kepada masalah kecenderungan baru dalam kejahatan dan penerapan strategi pencegahan kejahatan yang sesuai; kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang berpengaruh yang sering kebal terhadap hukum. Kongres ini juga menyatakan bahwa antara pembangunan dan kejahatan terdapat hubungan yang saling berpengaruh.
Dalam kongres ketujuh tahun 1985 di Milano Italia, membahas persoalan yang harus diperhatikan, yaitu: dimensi-dimensi baru kejahatan dan pencegahan kejahatan dalam konteks pembangunan, kaitan antara kebijakan perkembangan sosial dan sistem peradilan pidana; proses peradilan pidana dan pandangan-pandangan dalam dunia yang sedang berubah meliputi kebutuhan untuk merevisi, memperbarui atau menegaskan kembali bekerjanya sistem peradilan pidana; hak-hak korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan, kompensasi, dan rancangan restitusi serta cara-cara membantu mereka melalui sistem peradilan. Akhirnya kongres ini mengeluarkan standar internasional tentang Deklarasi Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan.
Kongres kedelapan PBB di Havana Kuba memberi perhatian pula dengan tema utama kejahatan dan pembangunan serta dikeluarkannya norma dan standar internasional untuk peradilan pidana (al. Prinsip-prinsip Dasar dari Peranan Penuntut Umum; Prinsip-prinsip Dasar dari Pengacara).[29]
Dalam Code of Conduct for Law Enforcement Officials yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB 17 Desember 1979, atas rekomendasi dari kongres kelima dinyatakan bahwa:
Para penegak hukum harus melaksanakan kewajiban yang diletakkan pada pundak mereka oleh hukum dengan melayani masyarakat dan melindungi semua orang terhadap tindakan-tindakan pelanggar hukum.
Pelayanan kepada masyarakat mancakup bantuan kepada mereka yang secara pribadi ekonomi, sosial, dan alasan mendesak lainnya memerlukan bantuan negara. Para penegak hukum tidak boleh melakukan korupsi/kolusi apa pun dan harus dengan keras melawan semua tindakan yang sedemikian.[30]
Bentuk perlindungan korban secara langsung, yaitu hak korban untuk memperoleh santunan dan hak korban untuk 'acces to justice and fair treatment, compensation, restitution, and asisstance merupakan reaksi terhadap fokus perhatian hukum pidana yang menempatkan korban sebagai 'forgotten person."
Bentuk korban dalam tulisan ini, di samping meliputi concret victim juga meliputi apa yang dinamakan abstract victim, termasuk mereka yang karena kebijakan dalam penegakan hukum tidak dikategorikan sebagai korban kejahatan, yaitu karena diskresi penegakan hukum, tidak terjangkaunya perbuatan merugikan yang dialami korban oleh penegakan hukum, atau selektivitas perilaku penegak hukum yang tidak mengklarifikasi perbuatan tertentu sebagai telah menimbulkan kerugian atau sebagai kejahatan. Oleh karena itu, korban dalam tulisan ini tidak hanya ditujukan kepada bentuk kejahatan biasa atau warungan, tetapi juga menunjuk kepada bentuk perilaku 'illegal abuses of public or economic power'. Kerugian yang ada berarti tidak hanya kerugian materi maupun fisik, tetapi termasuk pada kerugian sosial atau social damage, baik dalam nilai-nilai sosial dan moral, keadilan, hak asasi manusia dan masyarakat, maupun nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
Perlindungan korban tidak hanya berjuang untuk mewujudkan 'the justice of law untuk new legislation processes (proses pembuatan undang-undang yang baru), tetapi juga lebih daripada itu yakni mengkaji 'injustice of law' yang dapat saja dipraktikkan para penegak hukum. Dengan demikian, konsep perlindungan hukum dalam rangka perlindungan korban adalah bagaimana mewujudkan hukum sebagai alat perwujudan perlindungan.[31] Para penegak hukum, baik polisi, jaksa, maupun hakim tidak hanya menerapkan hukum karena ada sesuatu yang dilanggar, tetapi karena sesuatu yang 'adil/the just’yang perlu dilindungi dan diwujudkan.
Perlindungan hukum yang adil dipahami bahwa semua orang diberlakukan sama sebagai manusia lainnya. Hal ini mencakup dua hal, yaitu penyamaan setiap orang di dalam hukum yang mendasari asas dan prinsip 'equality before the law'[32] (persamaan kedudukan di depan hukum) dalam penegakan hukum, yaitu apakah para penegak hukum telah mewujudkannya, maupun persamaan di dalam hukum/equality in law, sebagai pedoman untuk menganalisis apakah isi ketentuan peraturan perundang-undangan telah mengatur persamaan di depan hukum. Konsep ini untuk mengejawantahkan perlindungan korban sebagai salah satu pihak dalam peradilan pidana, mampukah equality before the law maupun equality in law direfleksikan dalam perlindungan hukum.
Konsep perlindungan korban tersebut memunculkan pertanyaan, yaitu bagaimanakah bekerjanya lembaga dan pranata hukum khususnya dalam peradilan pidana terhadap perlindungan korban dalam kedua bentuk di atas? Mengingat bekerjanya peradilan pidana berada dalam dimensi sosial yang melibatkan masyarakat dan berbagai konstruksi sosial, maka bekerjanya lembaga dan pranata hukum untuk bersungguh-sungguh melindungi korban harus dilihat sebagai suatu proses sosial yang melibatkan masyarakat sebagai totalitas.
Paradigma di atas memberikan suatu kajian bahwa dalam kerangka perlindungan hukum untuk mewujudkan perlindungan korban dalam peradilan pidana, melibatkan paradigma moral atau akal budi tidak hanya habitat perundang-undangan/pranata yang harus mengakomodasinya tetapi juga perilaku penegak hukum/lembaga, dan didukung oleh masyarakat dengan berbagai aspek kehidupan seperti politik, ekonomi, budaya yang saling berinteraksi, pengaruh memengaruhi, dan bersinergi.[33]

Sumber:
Maya Indah.2014.Perlindungan Korban: Suatu Perspektif Viktimologi dan Kriminologi.Kharisma Putra Utama.Jakarta, hal.111-130

Tugas Mandiri:
1.      Jelaskan alasan  perlunya perlindungan terhadap korban kejahatan  menurut Muladi?
2.      Apakah akan diperoleh keadilan korban dengan menghukum pelaku kejahatan? Jelaskan pendapat peribadinya?
3.      Jelaskan kepentingan sosial yang ingin dicapai dalam hukum pidana?
4.      Jelaskan standar HAM internasional yang anda ketahui?
5.      Jelaskan standar satuan PBB untuk kepentingan korban?
6.      Jelaskan perlindungan korban menurut PBB?
7.      Jelaskan pencegahan kejahatan dan perlakuan terhadap pelaku kejahatan?




[1] Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: UNDIP, 1997), h. 176-177.

[2] Lihat dalam Barda Nawawi Ariel, Bunga Rampai, Op. cit, 11. 153-154. Tujuan Pemidanaan yang dirumuskan dalam Konsep KUHP Baru (Pasal 47);
[3] Andi Matalata, Santunan Bagi Korban, dalam Sahetapy, Op. cit., 1987, 1. 43-44.

[4]Mulyana W. Kusumah, Aneka Permasalahan dalam Ruang Lingkup Kriminologi, (Bandung: 1981), h.al. 2
[5] Marc Ancel, 'Social Defence' A Modern Approach to Criminal Problems, foreward Leon Radzinowicz, trans J. Wilson, (London: Routledge & Kegan Paul., 1965), p. 25.
[6] Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, (Semarang: Ananta, 1994), h. 91.

[7] Barda, Op.cit, 1996, h. 19-20.
[8] Hoefnagels, Op.cit., h. 57, 56.
[9] La Patra, Op. cit., h. 87
[10] Marzuki Darusman, Jaksa Agung, “seminar: Dilema Pendekatan Positivistik dalam Penegakan Hukum", makalah dalam Seminar Nasional Menggugat Pemikiran Hukum Positivistik di Era Reformasi, Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, 22 Juli 2000, h. 6.
[11] Barda, Op.cit., 1996, 1. 39-40
[12] Ibid., h. 87,
[13] Hoefnagels, Op.cit., p. 57, 56.
[14] La Patra, Op. cit., h. 87. Lebih lanjut dikemukakan La Patra, bahwa three major goals of the overall C/S are the identification and processing offenders, the control of violence, and the provision of emergency services. Ibid., p. 93.
[15]Ancel, Op. cit., p. 17, 23, 25. Konsep ini mengikhtiarkan perlindungan terhadap pelaku kejahatan yang mencakup haknya sebagai manusia, walaupun ia harus membayar kejahatan yang dilakukannya.
[16] Lihat Coffey, Op. cit., p. 8-11. The input of the criminal justice system is selected law violations. The process of the system refers to the many activities of police, attorneys, judges, probation and parole officers, and prison staff. Output or results is reduced criminal problem.
[17] Muladi, Op. cit., h. 5. Hal ini sejalan dengan aliran neoklasik dalaHukum Pidana. Lihat Muladi, Op. cit., 1997, h. 147, 148, 152.
[18] Baca Stenning Op. cit., h. 3-14,
[19] Separovic, Op. cit., h.43.
[20] M. Cherif Bassiouni., Op. cit., p. xiii-xx.
[21] Asas nonretroaktivitas dapat dikurangi dalam hal telah terjadi pelanggaran HAM yang sangat serius melalui peradilan adhoc dalam peradilan HAM.

[22] Kunarto, penyadur, Op. cit., 1996), h. 62.
[23] Ibid., h. 107.
[24] Baca dalam van Dijk, Haffmans,dkk., The Haqque, Victim Rights: A Right To Better Services or A Rights To Active Participation dalam van Dijk, Haff- mans, Charles, ed. Criminal Law in Taxation, An Overview of Current Issues in Western Societies, (Deventer-Netherlands: Kluwer Law and Taxation, 1988), p. 352-366.
[25] La Patra, Op. cit., p. 86.
[26] Sugeng Bahagijo, Asmara Nababan, ed., Hak Asasi Manusia; Tanggung Jawab Negara, Peran Institusi Nasional dan Masyarakat, (Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia KOMNAS HAM, 1999), h.116.
[27] Bandingkan Barda Nawawi Arief, Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi Perlindungan HAM dan Korban dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Semarang 23-30 Nopember 1998, Semarang, h. 8-9. Konsep di atas selaras dengan hasil Simposium Pembaruan Hukum Nasional Tahun 1980 tentang rumusan luas konsep perlindungan korban, yaitu perlindungan masyarakat dari kejahatan, dan perhatian terhadap kepentingan korban. Lihat Barda, Op. cit., 1994, 1. 91. Perlindungan korban secara langsung dalam tulisan ini hanya dikhususkan bagi orang yang telah ditetapkan sebagai korban oleh penegak hukum, walaupun pelaku juga bisa menjadi korban

[28] Kunarto, Op. cit., h. 22,
[29] Ibid., h. 21-27
[30] Kunarto, penyadur, Op.cit., 11. 87-88.
[31] Hukum sering kali memiliki pengaruh yang kontradiktif dalam hidup kita, di satu sisi dia dapat memberikan perlindungan dan dukungan terhadap peningkatan kesejahteraan secara adil, namun sebaliknya hukum dapat juga mengubah hidup kita dan menciptakan penderitaan dan kecemasan, khususnya bila hukum sudah terkooptasi oleh dan menjadi alat kekuasaan semata. Lihat dalam Susanto, Op. cit. 1999, h. 19.
[32] Penjelasan umum angka 3 huruf a dari UU No. 8 Tahun 1981 dengan tegas mewajibkan perlakuan sama setiap orang di muka hukum dengan tidak memperkenalkan perbedaan perlakuan (atas dasar status sosial, kekayaan, atau kategori lainnya). Dalam penjelasan umum angka ketiga huruf d menegaskan...para penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya melanggar asas hukum tersebut dapat dituntut, dipidana, dan dikenakan hukuman administrasi.
[33] Bandingkan dalam Susanto, yang mengutip paradigma moralitas atau akal budi Satjipto Rahardjo, dalam Susanto, Op. cit., 1999, h. 21.
Baca Selengkapnya »