MATERI KULIAH KE-2, MK.HPI-2: PIDSUS KEHUTANAN

 

                                   Materi Kuliah Ke-2,  MK. HPI-3:

                                         PIDSUS KEHUTANAN

 

1.  Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan

2. Undang-Undang Nomor 19 tahun 2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang

   Undang Nomor 1 tahun 20024 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 tahun 1999 

   Tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang

 

No.

 Pasal UU No.41/1999

Pasal KUHP-KUHAP

01

Pasal 51

 

 

(1) Untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan, maka kepada
pajabat kehutanan tertentu sesuai dengan sifat pekerjaannya
diberikan wewenang kepolisian tertentu.

Pasal 6

(1) Penyidik adalah :

a. pejabat polisi negara Republik Indonesia;

b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang

khusus oleh undang-undang.

(2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

 

(2) Pejabat yang diberi wewenang kepolisian khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk:
a. mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau
wilayah hukumnya;
b. memberikan surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan
pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah
hukumnya;
c. menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang
menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

d. mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana
yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
e. dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk
diserahkan kepada yang berwenang; dan
f. membuat laporan dan penandatanganan laporan tentang
terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan kawasan hutan
dan hasil hutan.

Pasal 5
(1) Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 :
a. karena kewajibannya mempunyai wewenang :
1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang
adanya tindak pidana;
2. mencari keterangan dan barang bukti;
3. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan
menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
4. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung-jawab.
b. atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1. penangkapan, larangan meninggalkan tempat,
penggeledahan dan penahanan;
2. pemeriksaan dan penyitaan surat;
3. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
4. membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.
(2) Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan
tindakan sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b
kepada penyidik.

 

 

BAB XIII

PENYIDIKAN

Pasal 77

(1) Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil

tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang

khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana.

(2) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang untuk :

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan

tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang

menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

c. memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan atau wilayah

hukumnya;

d. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut hutan,

kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku;

e. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan

tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

f. menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara

Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;

g. membuat dan menandatangani berita acara;

h. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana

yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

(3) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan

dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Pasal 7
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena
kewajibannya mempunyai wewenang :
a. menerima-laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya
tindak pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diri tersangka ;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara;
i. mengadakan penghentian penyidikan;
i. mengadakan tindakan hlain menurut hukum yang bertanggung
jawab.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b
mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi
dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya
berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf a.
(3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.

 

Pasal 60

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pengawasan kehutanan.

(2) Masyarakat dan atau perorangan berperan serta dalam pengawasan kehutanan.

Pasal 63

Dalam melaksanakan pengawasan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1),

Pemerintah dan Pemerintah Daerah berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan, dan

melakukan pemeriksaan atas pelaksanaan pengurusan hutan.

Pasal 65

Ketentuan lebih lanjut tentang pengawasan kehutanan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

 

                                     -

 

BAB VIII

PENYERAHAN KEWENANGAN

Pasal 66

(1) Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, Pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan

kepada Pemerintah Daerah.

(2) Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan

untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan

Pemerintah.

 

 

                          -

 

BAB XI

GUGATAN PERWAKILAN

Pasal 71

(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke

penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat.

(2) Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada tuntutan terhadap

pengelolaan hutan yang tidak sesuai dengan per-aturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 72

Jika diketahui bahwa masyarakat menderita akibat pencemaran dan atau kerusakan hutan sedemikian

rupa sehingga mempengaruhi kehidupan masya-rakat, maka instansi Pemerintah atau instansi

Pemerintah Daerah yang ber-tanggungjawab di bidang kehutanan dapat bertindak untuk kepentingan

masyarakat.

Pasal 73

(1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan hutan, organisasi bidang kehutanan

berhak mengajukan gugatan perwakilan untuk kepen-tingan pelestarian fungsi hutan.

(2) Organisasi bidang kehutanan yang berhak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) harus memenuhi persyaratan:

a. berbentuk badan hukum;

b. organisasi tersebut dalam anggaran dasarnya dengan tegas menyebutkan tujuan didirikannya

organisasi untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan; dan

c. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

BA

 

                             -

 

BAB XII

PENYELESAIAN SENGKETA KEHUTANAN

Pasal 74

(1) Penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan

berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.

(2) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan, maka gugatan

melalui pengadilan dapat dilakukan setelah tidak tercapai kesepakatan antara para pihak yang

bersengketa.

Pasal 75

(1) Penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana

sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

(2) Penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan

mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti rugi, dan atau mengenai bentuk tindakan

tertentu yang harus dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan.

(3) Dalam penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dapat digunakan jasa pihak ketiga yang ditunjuk bersama oleh para pihak dan atau

pendampingan organisasi non Pemerintah untuk membantu penyelesaian sengketa kehutanan.

Pasal 76

(1) Penyelesaian sengketa kehutanan melalui pengadilan dimaksudkan untuk memperoleh putusan

mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti rugi, dan atau tindakan tertentu yang harus

dilakukan oleh pihak yang kalah dalam sengketa.

(2) Selain putusan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas keterlambatan pelaksanaan tindakan

tertentu tersebut setiap hari.

                            -

 

BAB XIV

KETENTUAN PIDANA

Pasal 78

(1) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat

(1) atau Pasal 50 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan

denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

(2) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat

(3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun

dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

(3) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat

(3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling

banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

(4) Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50

ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling

banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).

(5) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat

(3) huruf e atau huruf f, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan

denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

(6) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat

(4) atau Pasal 50 ayat (3) huruf g, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun

dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

(7) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat

(3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak

Rp. 10.000. 000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).

(8) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat

(3) huruf i, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling banyak

Rp. 10.000. 000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).

(9) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat

(3) huruf j, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak

Rp. 5.000. 000.000,00 (lima milyar rupiah).

(10)Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat

(3) huruf k, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak

Rp. 1.000. 000.000,00 (satu milyar rupiah)

(11)Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat

(3) huruf l, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak

Rp. 1.000. 000.000,00 (satu milyar rupiah).

(12)Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat

(3) huruf m, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak

Rp. 50.000. 000,00 (lima puluh juta rupiah).

(13)Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6),

ayat (7), ayat (9), ayat (10), dan ayat (11) adalah kejahatan, dan tindak pidana sebagaimana

dimaksud pada ayat (8) dan ayat (12) adalah pelanggaran.

(14)Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila

dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi

pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama,

dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3

(sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.

(15)Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat

angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana

dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara.

KUHP Bab VII

Pelanggaran Mengenai Tanah, Tanaman, dan Pakarangan

Pasal 548

Barang siapa tanpa wewenang membiarkan   unggas ternaknya berjalan  di kebun, di tanah yang sudah ditaburi, ditugal atau ditanami, daincam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah.

Pasal 549

(1) Barang siapa tanpa wewenang mebiarkan ternaknya berjalan di kebun, di padang rumput atau di ladang rumput atau di padang rumput kering, bai ditanah yang telah ditaburi, ditugali atau ditanami atau yang hasilnya belukm diambil, ataupun di bawah kepunyaan orang lain oleh yang berhak dilarang dimasuki dan sudah diberi tanda larangan yang nyata bagi pelanggar, diancam dengan pidana denda  paling banyak tiga ratus  tujuh puluh lima rupiah.

(2) Ternak yang menyebabkan pelanggaran, dapat dirampas.
(3) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sejak adanya
pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, pidana denda dapat
diganti dengan pidana kurungan paling lama empat belas hari.
Pasal 550
Barang siapa tanpa wenang berjalan atau berkendaraan di tanah yang sudah
ditaburi, ditugali atau ditanami, diancam dengan pidana denda paling banyak dua
ratus dua puluh lima rupiah.
Pasal 551
Barang siapa tanpa wenang, berjalan atau berkendaraan di atas tanah yang oleh
pemiliknya dengan cara jelas dilarang memasukinya, diancam dengan pidana denda
paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah.

 

Pasal 79

(1) Kekayaan negara berupa hasil hutan dan barang lainnya baik berupa temuan dan atau rampasan

dari hasil kejahatan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dilelang untuk

Negara.

(2) Bagi pihak-pihak yang berjasa dalam upaya penyelamatan kekayaan Negara sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diberikan insentif yang disisihkan dari hasil lelang yang dimaksud.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Menteri.

KUHP, Bab II - Pidana
Pasal 10
Pidana terdirl atas:
a. pidana pokok:
1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. pidana kurungan;
4. pidana denda;
5. pidana tutupan.
b. pidana tambahan
1. pencabutan hak-hak tertentu;
2. perampasan barang-barang tertentu;
3. pengumuman putusan hakim.

 

Psl 39 (1) KUHP:”Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas”

 

BAB XV

GANTI RUGI DAN SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 80

(1) Setiap perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam undang-undang ini, dengan tidak

mengurangi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78, mewajibkan kepada penanggung

jawab perbuatan itu untuk membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat yang

ditimbulkan kepada Negara, untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi hutan, atau tindakan lain

yang diperlukan.

(2) Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin

usaha pemanfaatan hasil hutan, atau izin pemungutan hasil hutan yang diatur dalam undangundang ini, apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam

Pasal 78 dikenakan sanksi administratif.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2) diatur dengan PeraturanPemerintah.

UU No.19 tahun 2004

Menimbang:

a. bahwa di dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak mengatur mengenai kelangsungan perizinan atau perjanjian pertambangan yang telah ada sebelum berlakunya Undangundang tersebut;
b. bahwa hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dalam berusaha di bidang pertambangan di kawasan hutan terutama bagi investor yang telah memiliki izin atau perjanjian sebelum berlakunya Undang-undang tersebut, sehingga dapat menempatkan Pemerintah dalam posisi yang sulit dalam mengembangkan iklim investasi;
c. bahwa dalam rangka terciptanya kepastian hukum dalam berusaha di bidang pertambangan yang berada di kawasan hutan, dan mendorong minat serta kepercayaan investor untuk berusaha di Indonesia, dipandang perlu untuk melakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang;

Pasal I
Menambah ketentuan baru dalam Bab Penutup yang dijadikan Pasal 83A
dan Pasal 83B, yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 83A
Semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan
yang telah ada sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau
perjanjian dimaksud.
Pasal 83B
Pelaksanaan lebih lanjut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
83A ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

 

Ganti rugi


Sanksi administrasi


















tidak diatur

























 

 

Baca Selengkapnya »