PENDIDIKAN DAN MITIGASI BENCANA



          PENDIDIKAN DAN  MITIGASI BENCANA
         Dr.Ir.Hamzah Lubis,SH.,M.Si
Dosen, Pembina SMP IT-NU (Full Day)
     Jl.Pukat I No.37 Medan Tembung

Sk. Prestasi Reformasi No.480, 21 Desember 2015, hal.6 kol.1-4

“Telah tampak kerusakan di darat dan  di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan  kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)“ (Q.S.Ar-Rum:41).

Tulisan ini adalah pengembangan dari makalah penulis pada seminar Peran Perguruan Tinggi dalam Menanggulangi  Bencna dan  Kerusakan Lingkungan yang dilaksanakan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di kampus Institut Teknologi Medan, tanggal 20 Nopember 2015. Seminar ini sebagai antisipasi tren bencana (sepuluh tahun terakhir), pada tahun 2016 berpeluang didominsi bencana hidrometeorologi. Puncak bencana hidrometeorologi 2016 diprediksi pada bulan Januari-Februari 2016.

Peraturan Kebencanaan
Masalah bencana alam telah diatur dalam berbagai perundang-undangn. Undang-undang yang khusus mengenai penanggulangan bencana adalah undang-undang nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Penanggulangan bencana juga menjadi bagian berbagai perundang-undangan nasional. Misalnya Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (dirubah dengan UU No.1 tahun 2014) yang mewajibkan pelaksanaan mitigasi bencana dalam perencanaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Terdapat pula peraturan pemerintah, diantaranya PP No.21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, PP No.64 tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisisr dan Pulu-Pulau Kecil dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Dalam perundang-undangan, telah diatur misalnya tentang hak-hak masyarakat. Pasal 26 UU N0.24 tahun 2007, mengatur hak-hak masyarakat, diantaranya: (1) hak mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi kelompok masyarakat rentan bencana, (2) hak mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, (3) hak mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan  tentang kebijakan penanggulangan bencana, (4) hak berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan program penyediaan bantuan pelayanan kesehatan termasuk dukungan, (5) hak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya dan (6)  hak melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur atas pelaksanaan penanggulangan bencana. Demikian juga hak mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar dan hak memperoleh ganti kerugian karena terkena bencana yang disebabkan oleh kegagalan konstruksi.

Evaluasi  Kebencanaan 2015
Evaluasi atas bencana selama tahun 2015, berdasarkan sumber bencana yang mematikan, bahwa longsor  menjadi bencana alam yang paling mematikan yang menyebabkan kematian  147 jiwa. Sumber bencana berdasarkan kerugian ekonomi, maka kebakaran hutan dan lahan yang paling dominan. Kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan menurut perhitungan Bank Dunia sebesar Rp.221 triliun. Angka ini dua kali lipat dibandingkan dengan kerugian ekonomi akibat gempa dan tsunami Aceh tahun 2004. Total kerugian tersebut belum termasuk kerugian di sektor  pendidikan dan kesehatan.
Di sektor pendidikan, berbulan-bulan siswa sekolah pada beberapa provinsi di Sumatera di liburkan. Di sektor kesehatan, kebakaran hutan dan lahan ini menyebabkan 24 orang meninggal dan lebih dari 600.000 jiwa menderita penyakit infeksi saluran pernapasan (ISPA). Kebakaran hutan dan lahan juga menyedot anggaran BNPB sebesar Rp.720 milyar, belum termasuk dana pemadaman api dari kementerian lainnya. Kerugian ini merupakan kerugian bencana alam yang tertinggi dalam sejarah bencana di Indonesia.
Sepanjang tahun 2015 telah terjadi 1.582 bencana yang menewaskan 240 orang, menyebabkan 1,18 juta orang mengungsi, 24.365 rumah rusak yang terdiri atas 4.977 rumah rusak berat, 3.461 rumah rusak sedang dan 15.27 rumah rusak ringan serta 484 unti fasilitas umum rusak. Lebih dari 95 persen merupakan bencana hidrometeorologi. Putting beliung, longsor dan banjir yang paling dominan. Sebaran dominan lima provinsi yang paling banyak ditimpa bencana adalah Jawa Tengah (363 kejadian), Jawa Timur (291 kejadian), Jawa Barat (209 kejadian), Sumatera Barat (93 kejadian) dan Aceh (85 kejadian).



Kesiapan Bencana
Sejumlah kalangan, termasuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), meragukan kesiap-siagaan Indonesia menghadapi gempa dan tsunami. Ahli tsunami dari Balai Pengkajian Dinamika Pantai, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPDP-BPPT) Widjokongko berharap BNPB lebih berperan dalam pengurangan resiko bencana, tak hanya pada upaya penanggulangan setelah bencana.   Mitigasi bencana harus lebih ditingkatkan daripada penanggulangan. Tanpa mitigasi, korban bencana akan terus bertambah.
Pada kenyataannya, sepuluh tahun pasca bencana tsunami Aceh, upaya pengurangan resiko bencana belum terintegrasi dengan rencana pembangunan di daerah. Jikapun ada program pengurangan resiko bencana, hal itu kebanyakan berupa proyek fisik, sedangkan penguatan kapasitas dan pendidikan kebencanaan minim sekali. Pengalaman penulis menjadi nara sumber penanggulangan kebencanaan di beberapa kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, menunjukkan bahwa pengurangan resiko bencana belum terintegrasi pada rencana pembangunan, apalagi yang berpola pelatihan atau peningkatan kapasitas.
Pengurangan resiko bencana seharusnya lebih mengutakan pendidikan dan pelatihan kapasitas warga. Hal ini mengacu pada Pasal 26 UU N0.24 tahun 2007, dimana setiap orang hak mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Dalam berbagai kunjungan ke sekolah di berbagai tempat, sekolah juga belum sepenuhnya melaksanakan amanah undang-undang ini. Titik-titik tempat evakuasi sementara, daya tampungnya dan petunjuk arahnya juga belum jelas. Secara umum masyarakat belum siap jika terjadi gempa dan tsunami.

Belajar dari pengalaman
Belajar dari pengalaman, kemudian diajarkan pada orang lain akan melahirkan pengetahuan/kearifan lokal. Misalnya, tsunami Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 yang merenggut ratusan ribu nyawa manusia, adalah pengulangan tsunami beberapa kali sebelumnya. Hasil penelitian geologi memberikan bukti bahwa tsunami serupa pernah terjadi ditempat yang sama sekitar 550, 1.700 dan 2.400 tahun yang lalu.
Masyarakat Pulau Simelu belajar dari pengalaman, ketika air laut menyusut pada tsunami Aceh 2004, dengan kearifan lokal, masyarakat berbondong-bondong lari ke bukit. Korban jiwapun sedikit dibanding daerah lainnya. Demikian juga  meningkatnya kesiap-siagaan bencana dari warga negara Chile, menyebabkan gempa dan tsunami Chile, tahun 2014   hanya menewaskan 11 orang padahal gempa dan tsunami empat tahun sebelumnya (2010 )  mencapai 550 orang. Pertanyaannya, adakah kita yang hidup diatas lempeng bencana ini telah beradaptasi dengan bencana seperti halnya dengan Chile? Semoga……



Medan, 19 Desember 2015
Penulis



Hamzah Lubis


















Baca Selengkapnya »

Renungan: Menemukan Pribumi Asli Indonesia



   Tulisan Dr.Ir.Hamzah Lubis,SH.,M.Si berjudul  “Renungan: Menemukan Pribumi Asli Indonesia”, dimuat  pada SK. Perestasi      Reformasi di Medan, No.498 Thn ke XVII, tanggal  20 Agustus 2016, hal.6 Kol.1-7 
Hamzah Lubis, Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal  Medan *Pusat Kajian  Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS HAM-RI
*KSA XLII/1999 LEMHANNAS *aktifis hukum/ham/lingkungan/pendidikan


Ketika  pasca kerusuhan Tanjungbalai, Sumatera Utara terjadai Jum,at 29 Juli 2016 lalu, kata-kata prubumi dan non-pribumi, penduduk lokal dan pendatang, WNI dan WNI keturunan semakin serinng terdengar di perbincangan masyarakat.  Sering kali kita beranggapan, bahkan kita  sebagai pribumi dan menganggap orang lain sebagai pendatang (non-pribumi). Non-pri sering diidentikkan kepada WNI yang belakangan bermigrasai ke Indonesia, misalnya WNI etnis Tionghoa. Sebagai pribumi (asli?), ia merasa memiliki hak-hak lebih dibanding dengan WNI (non-pribumi). Pertanyaan yang perlu dilakukan, siapa yang sebenarnya pribumi (asli) Indonesia? 
Gelombang Migrasi
                Arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Harry Truman Simanjuntak, mengatakan, keberadaan manusia Indonesia dipengaruhi gelombang kedatangan dan jalur perjalanan yang berbeda walaupun asal-usulnya tetap satu, yaitu dari Aprika (out of Africa). Kapan manusia modern (Homo sapiens) keluar dari Afrika memang masih kontroversi. Ada versi terjadi 100.000 tahun dan 70.000 tahun lalu.
Populasi Papua (Nusantara) dan Aborigin (Australia) menjadi bagian migrasi besar pertama manusia dari Afrika, sekitar 70.000 tahun lalu dengan menyelusuri garis pantai sepanjang khattulistiwa. Sekitar 50.000 tahun lalu mencapai Nusantara (Papua) dan 46.000 tahun lalu mencapai Australia (Aborigin). Mereka menjadi nenek moyang warga Indonesia di kawasan timur yang kerap disebut Melanesia.
Bukti-bukti keberadaan migrasi awal manusia modern ini bisa ditemui di banyak situs di Jawa Timur (Song Terus, Braholo, dan Song Kepek), Sulawesi Selatan (Lebang Barung dan Leang  Sekpau), serta sejumlah wilayah lain Indonesia. Demikian juga, temuan lukisan tangan di  Leang Timpuseng, Maros, berusia 40.000 tahun. Lukisan tangan tertua di Indonesia, yang berasosiasi dengan kelompok migrant pertama dari Afrika.
                Gelombang migrasi besar ke-dua, diakhir zaman es, sekitar 12.000 tahun lalu, hingga 10.000 tahun lalu. Gelombang migrasi besar kedua ke Nusanatara akibat terjadinya perubahan iklim. Para migrant datang dari Asia daratan,  membuat diaspora ke berbagai arah, termasuk ke Nusantara. Kelompok migrant yang dikenal sebagai Austromelanesia atau Austroasiatik ini lalu mengembang hunian goa yang sebelumnya yang dilakukan manusia migran pertama serta melanjutkan tradisi berburu dan meramu.
                Gelobang migrasi besar ketiga, ke Nusantara adalah kedatangan populasi  Mongolit atau Austronesia (out of Taiwan) sekitar 5. 000 sampai 4.000 tahun lalu. Migrasi keempat terjadi di zaman sejarah berupa kedatangan orang India, Arab, Tiongkok dan Eropa ke Nusantara, baik karena kepentingan perdagangan, agama maupun penjajahan.
Kajian Genetika
Hasil penelitian membuktikan telah terjadi perkawinan nenek moyang manusia purba, sehingga ada hubungan antara kita (manausia modern) dengan “sepupu” kita yang telah punah. Perkawinan Manusia awal dan Neanderthal Timur yang hidup sekitar 100.000 tahun lalu, ketika diperiksa ternyata genom dari wanita Neanderthal menunjukan bagian dari DNA manusia. Manusia Neanderthal Barat yang hidup sekitar 40.000 tahun lalu, hasil penelitian DNA pada kerangka manusia dari Romania menunjukkan bahwa nenek moyangnya adalah Neaderthal.
                Manusia dan Denisovan, yang hidup 45.000 tahun lalu. Manusia ini mencapai Papua dengan membawa gen Denisova. Neaderthal Timur dan Denisova, yang hidup pada tahun 50.000 tahun lalu, kemungkinan kedua gen saling bertemu di Asia. Denisovan dan misteri hominin (manusia kerdil) lebih dari 30.000 tahun lalu. Genon kuno menunjukkan perkawinan campur kelompok manusia seperti di Eropa dan Asia.
Tentang Orang Kerdil, diyakini oleh sebagian masyarakat masih ada di beberapa tempat di Pulau Sumatera. Hal ini terbukti, masyarakat memberi sebutan terhadap manusia kerdil ini. Orang Rokan Hilir (Provinsi Riau) dan Minangkabau (Sumatera Barat) menyebutnya Leco.  Masyarakat Bengkulu dan daerah Sumatera bagian Selatan menyebut Gugu, Segugu atau Senggugu. Masyarakat Bengkulu Selatan menyebut Sebaba. Masyarakat Sumatera Selatan menyebut Sedapa atau sedapak. Demikian juga masyarakat Rawas menyebut Atu Rimbu atau Atu Rimbo.
Toba dan kepunahan manusia
Orang di Sumatera Utara mesti menyadari bahwa bencana Gunung Toba telah hampir memusnahkan manusia dan pradabannya dari planet bumi ini. Dampak letusan Gunung Toba di Sumatera Utara 74.000 tahun lalu nyaris menusnahkan manusia. Letusan  gunung api Toba ini,  terkuat di Bumi dalam jangka waktu 2 juta tahun terakhir. Letusannya menyebabkan atmosfir bumi berselimut lapisan tebal aerosol sulfat bertahun-tahun. 
Riset yang dilakukan ahli genetika dari University of Oxford, Stephen Oppenheimer, menyimpulkan, letusan Toba mempengaruhi  sejarah  migrasi manusia. Bersama Martin Richards dari University of Leeds (Inggris), Oppenheimer berteori, setelah manusia keluar daerah tanduk Afrika, 120.000 tahun lalu, Homo sapiens mengalami kemacetan populasi 74.000 tahun lalu. Saat itu populasi manusia diperkirakan menyusut dari puluhan ribu—menurut perhitungan Kenneth Weiss, 1984—menjadi 3.000-10.000 orang di Afrika. Degradasi populasi manusia mendekati kepunahan ini akibat dari Letusan Gunung Toba.
Teori Letusan Toba dan degradasi penduduk dunia, kembali dikemukakan antropolog Stanley H Ambrose dari University of Illionis, tahun 1998  dengan teori “skenario musim dingin vulkanik”. Teori ini  untuk menjelaskan kemacetan populasi manusia modern 71.000-60.000 tahun lalu. Dengan mencocokkan tahun letusan Toba, Ambrose menyimpulkan, letusan gunung di Sumatera itu memicu musim dingin vulkanik yang menimbulkan  kekacauan populasi.
Orang Indosia Asli
Secara klasik manusia Indonesia saat ini, biasanya dibagi menjadi dua kelompok, penutur  Austronesia dan penutur Papua. Pengelompokan ini berdasarkan bahasa, kebudayaan dan ciri fisik. Namun hasil penelitian terbaru, terjadi pembauran budaya dan genetika diantara dua penutur sejak perjumpaannya  ribuan  tahun lalu. Orang Melanesia, berkulit hitam, rambing keriting, kebudayaan yang khas seperti tenun ikat, arsitektur dan seni ukir berbeda dengan Austronesia.
Secara biologis, hanya satu ras manusia modern yaitu Homo sapiens yang awalnya tinggal di Afrika. Mayoritas masyarakat Indonesia memiliki motif genetic Austronesia, sebagain kecil Austroasiatik, Papua dan India. Secara gradual terjadi diaspora Austronesia dan Austroasiatik ke Indonesia Timur menjadi Australomelanesia. Sebaliknya Australomelanesia bergerak dari timur ke barat. Intraksi diantara mereka melahirkan pembauran budaya dan genetika.
Motif Papua ada di hampir semua etnis yang diteliti di Indonesia meski jumlahnya amat kecil. Adanya motif genetic Papua dihampir seluruh etnis Indonesia, menunjukkan bahwa etnis Papua lebih dulu menghuni pulau-pulau sebelum kedatangan masyarakat Austronesia dan Austroasiatik. Masyarakat Papua kemungkinan tiba di Nusantara dari Afrika melalui India Belakang, lalu menyebar hingga Australia 50.000 tahun lalu, dibuktikan dari jejak arkelologi di Australia. Bila kita mengakui adanya manusia kerdil yang hidup di hutan-hutan Pulau Sumatera, ia adalah migrant yang lebih dahulu menguni Nusantara 30.000 tahun lalu.
Akibat kawin-mawin, tiap-tiap suku bangsa memiliki jenis gen dan prosentase gen yang berbeda. Misal suku bangsa Melayu didominasi Austronesia, disusul genetic Austro Asiatik, Hmong-Mien,  Tai-Kadai, Indo-Eropa.  Suku bangsa Batak Toba  dengan genetic dominan Austronesia disusul genetic Austro-Asiatik, Tai-kadai, Indo-Eropa dan Niger-Kongo. Pada sisi lain, genetic Papua tidak ada hanya pada suku bangsa Mentawai dan Nias. Bila beranjak dari data ilmiah ini, adanya anggapan bahwa suku bangsa Nias berasal atau serumpun dari satu suku bangsa di Sumatera terbantahkan.
Penutup
Bila kita mau jujur, bahwa manusia modern Austronesia, yang sering menyebut dirinya manusia pribumi asli Indonesia adalah tidak lebih dari migrant  ke Nusantara sekitar 5.000-4000 tahun lalu. Memang ia menguasai (menjajah?) Nusantara. Padahal sudah ada sebelumnya migrant Nusantara seperti Austroasiatik 11.000 tahun lalu, manusia kerdil 30.000 tahun lalu, manusia desinova yang bermigrasi 45.000 tahun lalu. Bukankah kita  migrant yang “menjajah” Orang Rimba (Kubu) di Jambi, orang Kampai di Pasaman dan etnis prubumi yang lebih asli dari kita?  Bukankah Orang Rimba (Kubu) di Jambi, orang Kampai di Pasaman dan etnis  migrant seperiodenya menjadi penjajah bagi Orang Kerdil di Kerinci Seblat? Kalau begitu, masih layakkah kita menyebut sebagai manusia pribumi asli Indonesia? Jika kita masih ngotot menyebut pribumi asli, bukankah bila seandainya etnis Tionghoa, Eropa, Arab menjadi mayoritas di Nusantara dan orang Melayu terpinggirkan atau mengilang, maka etnis Tioghoa, Eropa atau Arab  akan menyebut pula dirinya peribumi Indonesia asli!

               
               
               

Baca Selengkapnya »

Permasalahan Pemkab/Pemko di Bidang Persampahan

Tulisan “Permasalahan Pemkab/Pemko di Bidang Persampahan, dimuat pada  SK. Perestasi  Reformasi
di Medan, No.500 Thn ke XVII,  Edisi  20  September 2016, hal.6 Kol.1-7 
Hamzah Lubis, Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal  Medan *Pusat Kajian  Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS HAM-RI
*KSA XLII/1999 LEMHANNAS *aktifis hukum/ham/lingkungan/pendidikan



                         PERMASALAHAN PEMKAB/PEMKO DI BIDANG PERSAMPAHAN
                                                           Dr.Ir.Hamzah Lubis,SH.,M.Si

“Lalu mereka benar-benar  dimusnahkan oleh suara yang mengguntur, dan Kami jadikan mereka (seperti) sampah yang dibawa banjir. Maka binasalah bagi orang-orang yang zalim” (QS.Al-Mu’minum:41).
Undang-undang nomor 18 tahun 2008 adalah undang-undang spesialis  dari undang-undang pengelolaan lingkungan hidup (UU No.23 tahun  2007) yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkunganm Hidup. UU No.32 tahun 2009 tidak  memakai kata “sampah” tetapi memakai kata “limbah”. Pasal 1 ayat (20) menyebutkan: “limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan”. Dengan demikian, limbah dapat berupa limbah padat, limbah cair, limbah gas dan limbah bahan berbahaya beracun  (B3).
Sampah” menurut psl 1 ayat (1) UU No. 18 thn.2008 adalah: “sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat”. Dengan demikian “sampah” dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 dapat disetarakan dengan  “ limbah (padat)” pada undang-undang nomor 32 tahun 2009. Kendati sama-sama “sisa”  suatu usaha/kegiatan, namun pengelolaannya diatur dalam dua perundangan-undangan.
Kelengkapan Hukum  
            Ada yang paradok tentang pengelolaan sampah. Pemerintah Kabupaten/Kota, pemerintah Provinsi dan Kementerian Lingkungan Hidup  sibuk menghabiskan energi, waktu dan pembiayaan untuk mendapatkan penghargaan  kota bersih (Adipura). Pada sisi lain, Pemerintah Kabupaten/Kota, pemerintah Provinsi,  Kementerian Lingkungan Hidup dan pemerintah pusat abai akan kewajiban masing-masing pihak terhadap undang-undang pengelolaan sampah. Padahal, kebersihan “sampah” adalah faktor dominan untuk mendapatkan penghargaan Adipura.
Terdapat  13 (tiga belas) kewajiban pembuatan peraturan pemerintah dari pemerintah pusat yang semestinya sudah selesai 1 (satu) tahun sejak undang-undang pengelolaan sampah diundangkan (        Psl 47 ayat (1). Demikian juga kewajiban  pemerintah kabupaten/kota untuk pembuatan 11 (sebelas) Peraturan Daerah yang berkaitan dengan undang-undang pengelolaan sampah. Perda ini seharusnya telah selesai 3 (tiga) tahun (Psl 47 ayat (2).
Peraturan Daerah
        Sejauhmana perhatian pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan sampah “kebersihan” dapat dilihat dari sejauhmana pemkab/pemko menyelesaikan kewajiban dalam undang-undang persampahan. Kewajiban itu adalah (1)  Perda  tentang tatacara  penggunaan hak-hak   masyarakat dalam pengelolaan sampah, berupa  mendapatkan pelayanan dalam pengelolaan sampah secara baik dan berwawasan lingkungan, hak   berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, penyelenggaraan, dan pengawasan di bidang pengelolaan  sampah, memperoleh informasi yang benar, akurat, dan tepat waktu mengenai penyelenggaraan pengelolaan sampah, mendapatkan pelindungan dan kompensasi karena dampak negatif dari kegiatan tempat pemrosesan akhir sampah; dan  memperoleh pembinaan agar dapat melaksanakan pengelolaan sampah secara baik dan berwawasan lingkungan (Psl.11)  dan Peraturan Pemerintah.
Kewajiban ke dua (2)  Perda tentang tata cara pelaksanaankewajiban pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga, berupa  wajib mengurangi dan menangani sampah dengan cara yang berwawasan lingkungan (Psl.12). (3)  Perda tentang tata cara memperoleh izin melakukan kegiatan usaha pengelolaan Sampah (Psl.17). (4) Perda tentang jenis usaha pengelolaan sampah yang mendapatkan izin dan tata cara pengumuman kepada masyarakat. (Psl.18).
(5). Perda tentang penanganan sampah berupa a. pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah; b. pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber sampah ke tempat penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah terpadu; c. pengangkutan dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau dari tempat penampungan sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah terpadu menuju ke tempat pemrosesan akhir; d. pengolahan dalam bentuk mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah; dan e. pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengembalian sampah dan/atau residu hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman (Psl 22), atau Peraturan Pemerintah.
(6). Perda tentang  kewajiban pembiayaan pengelolaan sampah dari pembiayaan  anggaran pendapatan dan belanja daerah (Psl.24) dan / atau Peraturan Pemerintah. (7) .Perda tentang pemberian kompensasi oleh pemerintah daerah kepada orang sebagai akibat dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatanpenanganan sampah di tempat pemrosesan akhir sampah. Kompensasi berupa: a. relokasi; b. pemulihan lingkungan; c. biaya kesehatan dan pengobatan; dan/atau d. kompensasi dalam bentuk lain (Psl.25 ayat 4). dan/atau Peraturan Pemerintah
(8). Perda tentang bentuk dan tata cara peran masyarakat dalam pengelolaan sampah dilakukan melalui: a. pemberian usul, pertimbangan, dan saran kepada Pemerintah dan/atau pemerintah daerah; b. perumusan kebijakan pengelolaan sampah; dan/atau c. pemberian saran dan pendapat dalam penyelesaian sengketa persampahan (Psl.28) dan/atau Peraturan Pemerintah. (9). Perda tentang larangan  membuang sampah tidak pada tempat yang telah ditentukan dan disediakan; melakukan penanganan sampah dengan pembuangan terbuka di tempat pemrosesan akhir; dan  membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah.Perda  dapat menetapkan sanksi pidana kurungan atau denda (Psl.29 ayat 3).
(10). Perda tentang pengawasan pelaksanaan pengelolaan sampah didasarkan pada norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan yang diatur oleh Pemerintah (Psl.31). (11). Perda tentang penerapan sanksi administratif  kepada pengelola sampah yang melanggar ketentuan persyaratan yang ditetapkan dalam perizinan, berupa: a. paksaan pemerintahan; b.uang paksa; dan c. pencabutan izin (Psl.32).
Gugatan Persampahan
       Dengan belum diterbitkannya Peraturan Daerah yang diwajibkan oleh Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah berarti  pemerintah daerah tidak taat pada undang-undang yang mengakibatkan hak-hak masyarakat (Pasal 11)  terabaikan. Karena hak-hak masyarakat terabaikan, maka terjadi sengketa pengelolaan sampah antara masyarakat dengan pemerintah daerah  dan pengelola sampah.
       Tindakan hukum yang dapat dilakukan masyarakat untuk mendapatkan hak-hak pengelolaan sampah dalam bentuk penyelesaian di luar pengadilan dan melalui pengadilan. Penyelesaian di luar pengadilan, dapat dilakukan melalui mediasi, negosiasi, arbitrase, atau pilihan lain dari para pihak yang bersengketa. Apabila dalam  penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak tercapai kesepakatan, para pihak yang bersengketa dapat mengajukannya ke pengadilan. 
            Penyelesaian sengketa di dalam Pengadilan, dapat berupa:
1.Gugatan perbuatan melawan hokum, mensyaratkan penggugat membuktikan unsur unsur kesalahan, kerugian, dan hubungan sebab akibat antara perbuatan dan kerugian yang ditimbulkan. Tuntutan dalam gugatan perbuatan melawan hukum dapat berwujud ganti kerugian dan/atau tindakan tertentu (Psl.35).
2. Gugatan perwakilan kelompok, berupa masyarakat yang dirugikan akibat perbuatan melawan hukum di bidang pengelolaan sampah berhak mengajukan gugatan melalui perwakilan kelompok (Psl.36). Hak mengajukan gugatan perwakilan kelompok terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu, kecuali biaya atau pengeluaran riil.
3. Gugatan  organisasi persampahan, berupa organisasi persampahan berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pengelolaan sampah yang aman bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan. Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu, kecuali biaya atau pengeluaran riil. Organisasi persampahan yang berhak mengajukan gugatan harus memenuhi persyaratan: a. berbentuk badan hukum; b. mempunyai anggaran dasar di bidang pengelolaan sampah; dan c. telah melakukan kegiatan nyata paling sedikit 1 (satu) tahun(Psl.37).
Penutup
Beranjak dari kondisi ini, maka seyogianya para aktifis persampahan dan para pihak yang dirugikan dalam pengelolaan sampah menuntut haknya dalam persampahan melalui pendekatan di dalam dan atau diluar pengadilan. Demikian juga, pemerintah daerah dan pengelola persampahan untuk melaksanakan sepenuhnya kewajiban perundangan tentang persampahan. Sebaiknya, berikanlah hak-hak masyarakat, sebelum masyarakat melakukan gugatan hukum. Mari kita taat hukum, setuju kan !  




                                                            
Baca Selengkapnya »