Catatan Kecil:Pimpinan Eksekutor


Kamis, 25 April 2019, saya dapat undangan menghadiri Pelantikan Ikatan Mahasiswa Pasaman Barat Kota Medan, yang akan dilantik Bupati Pasaman Barat. Untuk oleh-oleh ke pemkab, saya menyiapkan satu proposal. Ternyata, yang datang adalah Asisten-2 Ekonomi dan Pembangunan, Drs.Irwan Nasution.

Sabtu, 27 April 2019,  bertempat di Aula Gedung H.Anif, kampus-1 UINSU Medan, saya menyampaikan ide rencana pembangunan ekowisata.  Yang membuat saya tertegun, adalah responnya kepada -2. Bayangan saya (belajar dari pengalaman)  pejabat akan menyambut dengan senyum dengan ucapan basi-basi : “ Trimakasih usulannya, nanti akan kami periksa”, “nanti akan kami pelajari”, “nanti akan kami pertimbangkan”, “nanti akan kami lihat anggaran”, “nanti akan kami usulkan”, “nanti akan kami tampung”, “kita lihat anggaran dulu”, dalam sejuta alasan klise. Formalitas. Tidak menolak  namun berharappun jangan.

Ia langsung memanggil tim rombongan dari Dinas Pariwisata. Kebetulan dua orang tim rombongan, Bapak Devi dan Bapak Joni sudah pernah ke lapangan. Dalam diskusi singkat, saya membuat komitmen dan dinas pariwisata menyarankan dianggarkan.  Irwan Nasution langsung mengeksekusi: proposal akan didanai. Selanjutnya, dilakukan penyerahan berkas permohonan secara resmi (maaf, saya pikir ini masih basa-basi).

Yang membuat saya tertegun lagi, dalam kata pengantar diskusi dengan perantau, ia : hari ini ia menerima satu  usulan proposal pembangunan ekonomi Pasaman Barat, mana usulan lainnya? Yang membuat saya lebih tertegun lagi, dengan lantang ia mengatakan Pemkab akan menganggarkan pembangunan ekowisata ini dari perantau ini. Padahal baru proposal usulan. Dan ini diucapkan  dihadapan tokoh-tokoh Pasaman Barat di medan.

Saya semakin sulit menalar gaya kepemimpinan birokrat yang satu ini. Ketika dihadapannya saya jelaskan bahwa tanggal 10 April 2019 lalu, dinas pariwisata telah melakukan  sosialisasi dihadapan 75-an warga masyarakat dari beberapa kampung,  yang diiyakan tim dinas pariwisata.  Ia bukannya “manggut-mangut” tapi membalik pertanyaan: mana laporan dan buktinya?  Ia menegaskan: kasih saya laporannya, saya akan cek ke lapangan. Ekseksi lagi.

Sebagai aktifis, ditantang begitu, membuat adrenalin yang sudah menua ini menjadi berdegup kencang. Dalam hati, ini “ngomong besar” pejabatkan?”.  Usai  acara, sebagai adat ketimuran, saya mengaajak untuk “moncot” di rumah. Dengan halus ia tolak. Mungkin merasa tidaklah pas tidur dirumah kecil, sempit dan di gang kecil. Malamnya, saya langsung membuat notulen penyuluhan.  Senin pagi, mengirimnya ke kampung dengan ALS.  Selasa siang, surat diambil dan ditandatangai kembali kepada peserta sosialisasi. Ini juga eksekusi gaya saya.

Kamis, 2 Mei 2019, dua orang anak muda kampung Gunungtua,  Hafiz dan Iwan menyampaikan dokumen nutulen sosialisasi kepada Bapak Devi Irawan (Sekretaris Dispar). Ia menyetujui isi notulen sosialisasi.  Berharap ia akan menyampaikan kepada Asisten-2, ternyata anak-anak yang disuruh mengantarkannya. Ketika Hafiz mengontak saya, saya sarankan berikan saja sama pegawai Asisten-2.  Itu sebagai respon, bayangan saya tentang birokrasi, betapa sulitnya ketemu dengan birokrat.

Lagi-lagi saya terkecoh. Ternyata, anak-anak yang pakai kaus, yang tidak pakai sepatu (karena tidak punya sepatu) diterima di ruangan Asisten-2. Mereka merasa jadi orang besar (untuk sementara waktu), karena diterima birokrat Pemkab dan dimanusiakan.  Diluar dugaan. Bahkan, didepan anak-anak itu, Asisten-2 langsung menelpon Dinas Pariwisata. Lagi-lagi dieksekusi langsung: besok (3 Mei 2019) akan ke lapangan, pertemuan dengan masyarakat dan peninjauan lapangan.

Saya yang ketularan bebannya. Sibuk mengkoordinasikan penyambutan birokrat Pemkab ini. Dalam waktu 20 jam, harus mengumpulkan tokoh masyarakat dari kampung sekitar. Tentu, sebagai adat ketimuran, menyediakan makanan-minuman bagi masyarakat yang diundang dan tamu dari Pemkab. Dan lagi-lagi tanpa prosedur (surat), hanya lisan.

Ibarat Trump, dari kampung Gunungtua membuat kejutan lagi.  Setelah berdiskusi dengan masyarakat, ia langsung menelpon konsultan untuk mendapatkan pandangan kelayakan. Lagi-lagi dieksekusi: besok bersama konsultan akan datang lagi.  Padahal, itu adalah Sabtu, hari libur. Ia menunda kepentingan pribadi demi untuk kepentingan umum, penggalian retribusi daerah Pasaman Barat dari sektor pariwisata.

Jujur saja, saya kembali direpotkan Asisten-2. Tanpa “ba-bi-bu”, ia menelpon dan mengatakan tanggal 14 Juli 2009 Bupati akan berkunjung ke Gunungtua, bertemu dengan masyarakat dan meninjau rencana ekowisata. Tentu, sebagai rakyat, saya senang dan tidak bisa menolak kehadiran pimpinan. Lagi-lagi pemangkasan birokrasi, bupati mau datang hanya dengan telpon.

Yang masalah, dalam menyiapkan penyambutan pemimpin besar di level kabupaten, saya tidak punya pegangan.  Tidak ada selembar suratpun, atau selembar memo  dari bupati, asisten-2, dinas pariwisata atau camat. Saya gamang,  apakah mengundang   muspika kecamatan, kepala desa/wali nagari, dan tokoh masyarakat, tanpa  referensi apalagi kekuatan hukum. Bila ternyata, bupati tidak datang (dengan selaksa alasan)  apa yang harus saya jelaskan?  Maka, ketika hari-H, saya menjadi umpatan pejabat lokal.  Ya nasiblah. Korban dari Asisten-2.

Tentu, sebagai aktifis Islam, telponpun  sudahlah. Bukankah pemimpin (muslim) itu yang didengar adalah ucapannya (kendati tanpa saksi). Tapi Tuhan, pasti mendengar . Alhamdulillah, Bupati almarhum Drs.H.Syhahiran Lubis,MM dan tim datang. Ketika saya paparkan rencana ekowisata dengan menunjukkan pota lokasi dalam ukuran besar, bupati kadang langsung disela untuk mendapatkan penjelasan.  Saya melihat bupati dan tim puas. Bahka bupati mengatakan, bahwa resort pariwisata ini akan menjadi destinasi wisata terbaik di Pasaman Barat dengan wisatawan dari luar kabupaten. Setelah berdiskusi dengan timnya, Bupati –pun mengeksekusi: menganggarkan pembangunannya tahun 2020. Tentu, ini tidak akan terjadi, kalau bukan karena Irwan Nasution. Trimakasih Bung.

Lama-kelamaan saya menikmati gaya kepemimpinan Irwan Nasution ini. Bila pola birokrasi dilakukan, pastilah  Gunungtua Resort tidak akan didanai tahun 2020. Tapi dengan gaya eksekusi diluar prosedural birokrasi, namun masih dapat dipertanggungjawabkan, semua dapat teratasi dengan singkat.  Bukankan pemimpin itu, melakukan sesuatu yang diluar kebiasaan? Bila normatif, namanya bukan pemimpin tapi turun menjadi administrator.  Lalu, salahkah saya berharap Bupati Pasaman Barat yang baru nanti, memiliki gaya kepemimpinan seperti Drs.Irwan Nasution? Maafkan, bila saya ketularan......
 
 
Dr.Ir.Hamzah Lubis, SH.M.Si
#wisata halal gunungtua resort, west pasaman, west sumatera


Baca Selengkapnya »

Catatan kecil: Tondano dan Danau Toba



Dr.Ir.Hamzah Lubis,SH.M.Si
Dosen ITM dan Ketua LPBI NU-SU


Pengantar

Bila ke Minahasa tidak sampai ke Danau Tondano, tidaklah memenuhi syarat dan rukunnya. Danau Tondano adalah danau terluas di Provinsi Sulawesi Utara. Danau ini memiliki kemiripan dengan Danau Toba di Sumatera Utara.  Bila Danau Toba diapit perbukitan, maka  Danau Tondano  diapit 3 gunung dan 1 bukit yang memutari area sekitar danau yaitu, Gunung Lembean, Gunung Kaweng, Gunung Masarang dan Bukit Tampusu. Kendati  Danau Tondano (4.278ha/42,78 km³) lebih kecil dari Danau Toba (1.130 km²), namun Danau Toba hanya memiliki satu pulau, Pulau Samosir, sedangkan  Danau Tondano  memiliki   Pulau  Likri dan pulau Papalembet. 

Danau Toba menjadi penupang kebutuhan air di  sekitar danau dan DAS Sungai Asahan. Demikian juga Danau Tondano sebagai penopang kebutuhan air  di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang meliputi Bitung, Manado dan Minahasa Utara.  Danau Toba menjadi sumber energi potensial air PLTA Sigura-Gura I dan  PLTA Sigura-Gura -II serta masih memungkinkan untuk pembangunan PLTA lainnya. Danau Tondano menjadi sumber energi air tiga PLTA besar di Sulawesi Utara, yakni PLTA Tonsealama, PLTA Tanggari 1 dan PLTA Tanggari 2. Air Danau Tondano masih dimungkiin dimanfaatkan untuk membangun PLTA lagi. Terdapat  pula dua bendungan besar yakni Bendungan Kuwil Kawangkoan dan Lolak, airnya juga bersumber dari danau ini.

Pembentukan Danau
Alkisah, pada zaman dahulu di daerah Tondano, Sulawesi Utara, terdapat dua kerajaaan, sebut saja kerajaan utara dan selatan. Kerajaan selatan memiliki putra tunggal bernama Maharimbow sedangkan kerajaan utara  memiliki putri tunggal bernama Marimbow. Kerajaan utara risau  memikirkan pewaris tahta kerajaan, sehingga mensiasati putrinya  berpakaian dan berperilaku laki-laki.  Bersumpah tidak menikah seumur hidup. Putra kerajaan selatan juga bersumpah tidak menikah sebelum ayahnya meninggal. Kifarat melanggar sumpah, akan terjadi bencana. Pada suatu ketika, kedua pewaris tahta tersebut bertemu di hutan di daerah perbatasan. Terjadi perkelahian, kedok putri kerajaan terbongkar, lalu mereka saling mencintai dan sepakat untuk menikah.  Mabuk cinta, tidak sadarkan diri telah melanggar sumpah. Esok harinya, bumi murka, gempa terjadi, gunung-pun  meletus.  Sisa letusan gunung menjadi Danau Tondano.

Bila terbentuknya Danau Tondano karena cinta terlarang, maka Danau Toba terbentuk karena cinta terbuang, ketidaksetiaan akan janji. Alkisah, pemuda Toba memancing dan mendapatkan ikan.  Supaya ikan tetap segar, ikan ditempatkan di tempayan berisi air. Ketika hendak memanggang ikan, ternyata ikan tidak ada. Anehnya, setiap kembali dari ladang, ia menemukan rumahnya sudah terurus, tersedia nasi dan lauk pauknya. Akhirnya ia mengetahui, ikan yang terpancing ternyata bidadari. Mereka sepakat untuk kawin, dengan merahasiakan asal-usul istrinya. Dari perkawinan, lahir putra Samosir, yang pemalas dan nakal. Karena tidak tahan ulah putranya, Si Toba tidak sadar, memaki anaknya sebagai “anak ikan”. Istrinya murka, berubah menjadi ikan,  alam murka dan terbentuklah Danau Toba.


Danau Kritis
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat telah menetapkan 10 danau kitis. Danau Toba dan Danau Tondano memiliki kelas yang sama, sama-sama kritis.  Sepuluh danau itu yakni Danau Toba, Maninjau, Kerinci, Jampang, Rawa Pening, Limboto, Tondano, Tempe, Poso, dan Sentani. Kritis karena penyebaran gulma, eceng gondok. Persoalan gulma dan sedimentasi menjadi permasalahan  danau-danau besar di Indonesia termasuk di Danau Toba dan Danau Tondano.  Padahal, Danau Toba digadang-gadang menjadi destinasi wisata internasional.  Satu dari lima destinasi pariwisata yang sedang dikembangkan pemerintah.

Luasan  eceng gondok di Danau Toba, menurut Badan Lingkungan Hidup Sumatera Utara pada tahun 2002 seluas 381,8 ha (0,3%), melonjak menjadi 500 ha (0,45%) tahun 2006 dan menurut   Forum Hijau Indonesia telah menututupi 1 persen luasan danau pada tahun 2012. Demikian juga eceng gondok di Danau Tondano, telah menutup 30 persen luasan danau. Bahkan luasan eceng gondok Danau Rawa Pening di Jawa Tengah, menyebabkan luasan danau tersisa  1.800 hektare dari luas danau di atas 2.000 hektare.

Secara normal gulma eceng gondok, bisa tumbuh dalam 52 hari. Namun, karena kegiatan pertanian di badan danau yang menggunakan pupuk dan pestisida yang masuk ke badan danau, membuat air danau memiliki kesubutan yang tinggi, menyebabkan pertumbuhan gulma lebih cepat. Eceng gondok (Eichhornia crassipes) ini sudah bisa tumbuh dalam 24 hari. Gulma ini  menurunkan daya dukung danau kerena menutupi lahan air yang basah.

Penutup
Bila mau jujur, eceng gondok bukanlah tumbuhan lokal. Ia adalah tumbuhan yang dibawa dari luar negeri untuk hiasan aquarium orang kaya. Entah disengaja atau tidak disadari, ia membuang kelebihan eceng gondok ke selokan. Akhirnya eceng gondok menyebar, membentang dari Sabang sampai Merauke, menjadi gulma sungai, danau, rawa dan bahkan sawah. Menjadi malapetaka.

Eceng gondok bisa menjadi bio-indikator pencemaran air. Bila eceng gondok hidup dengan baik, menandakan perairan telah tercemar. Kesuburan air meningkat. Secara kasat mata, tanpa harus ke labotatorium, bila eceng gondok tumbuh subur, maka perairan tidak layak untuk mandi dan berenang. Tidak layak untuk pariwisata. Gulma sukar diberantas karena pertumbuhannya yang cepat. Kita mungkin membersihkannya, tetapi laju pertumbuhannya bisa melebihi dari yang dibersihkan. Jadi, bukannya berkurang, tetapi terus bertambah.

Ternyata, eceng gondok telah menjadi malapetaka.  Tapi yang salah adalah manusianya. Manusia yang tidak bertanggung-jawablah yang menyebarkan gulma ini, seperti juga petaka keong emas. Itu akibat ulah manusia. Oleh karena itu, jadilah manusia yang bertanggung-jawab. Bertanggung jawab di dunia dan bertanggung-jawab di alam akhirat pada Tuhannya. Allah telah berfirman, bahwa kerusakan di atas bumi akibat ulah manusia. Maka tobatlah. Bertanggung-jawablah. Semoga....
Baca Selengkapnya »

Gunungtua Resort

Baca Selengkapnya »