Dr.Ir.Hamzah Lubis,SH.M.Si
Dosen ITM dan Ketua LPBI NU-SU
Pengantar
Bila ke Minahasa tidak sampai ke Danau Tondano, tidaklah memenuhi syarat
dan rukunnya. Danau Tondano adalah danau terluas di Provinsi Sulawesi Utara. Danau ini
memiliki kemiripan dengan Danau Toba di Sumatera Utara. Bila Danau Toba diapit perbukitan, maka Danau Tondano
diapit 3 gunung dan 1 bukit yang memutari area sekitar danau yaitu,
Gunung Lembean, Gunung Kaweng, Gunung Masarang dan Bukit Tampusu. Kendati Danau Tondano (4.278ha/42,78 km³) lebih
kecil dari Danau Toba (1.130 km²), namun Danau Toba hanya memiliki satu
pulau, Pulau Samosir, sedangkan Danau
Tondano memiliki Pulau Likri dan pulau Papalembet.
Danau
Toba menjadi penupang kebutuhan air di
sekitar danau dan DAS Sungai Asahan. Demikian juga Danau Tondano sebagai
penopang kebutuhan air di Kawasan
Ekonomi Khusus (KEK) yang meliputi Bitung, Manado dan Minahasa Utara. Danau Toba menjadi sumber energi potensial
air PLTA Sigura-Gura I dan PLTA Sigura-Gura
-II serta masih memungkinkan untuk pembangunan PLTA lainnya. Danau Tondano
menjadi sumber energi air tiga PLTA besar di Sulawesi Utara, yakni PLTA
Tonsealama, PLTA Tanggari 1 dan PLTA Tanggari 2. Air Danau Tondano masih dimungkiin
dimanfaatkan untuk membangun PLTA lagi. Terdapat pula dua bendungan besar yakni Bendungan Kuwil
Kawangkoan dan Lolak, airnya juga bersumber dari danau ini.
Pembentukan
Danau
Alkisah, pada
zaman dahulu di daerah Tondano, Sulawesi Utara, terdapat dua kerajaaan, sebut saja
kerajaan utara dan selatan. Kerajaan selatan memiliki putra tunggal bernama
Maharimbow sedangkan kerajaan utara memiliki
putri tunggal bernama Marimbow. Kerajaan utara risau memikirkan pewaris tahta kerajaan, sehingga
mensiasati putrinya berpakaian dan
berperilaku laki-laki. Bersumpah tidak
menikah seumur hidup. Putra kerajaan selatan juga bersumpah tidak menikah
sebelum ayahnya meninggal. Kifarat melanggar sumpah, akan terjadi bencana. Pada
suatu ketika, kedua pewaris tahta tersebut bertemu di hutan di daerah
perbatasan. Terjadi perkelahian, kedok putri kerajaan terbongkar, lalu mereka
saling mencintai dan sepakat untuk menikah. Mabuk cinta, tidak sadarkan diri telah
melanggar sumpah. Esok harinya, bumi murka, gempa terjadi, gunung-pun meletus. Sisa letusan gunung menjadi Danau Tondano.
Bila
terbentuknya Danau Tondano karena cinta terlarang, maka Danau Toba terbentuk
karena cinta terbuang, ketidaksetiaan akan janji. Alkisah, pemuda Toba
memancing dan mendapatkan ikan. Supaya
ikan tetap segar, ikan ditempatkan di tempayan berisi air. Ketika hendak
memanggang ikan, ternyata ikan tidak ada. Anehnya, setiap kembali dari ladang,
ia menemukan rumahnya sudah terurus, tersedia nasi dan lauk pauknya. Akhirnya
ia mengetahui, ikan yang terpancing ternyata bidadari. Mereka sepakat untuk
kawin, dengan merahasiakan asal-usul istrinya. Dari perkawinan, lahir putra
Samosir, yang pemalas dan nakal. Karena tidak tahan ulah putranya, Si Toba
tidak sadar, memaki anaknya sebagai “anak ikan”. Istrinya murka, berubah
menjadi ikan, alam murka dan
terbentuklah Danau Toba.
Danau Kritis
Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat telah menetapkan 10 danau kitis. Danau Toba dan Danau Tondano memiliki kelas
yang sama, sama-sama kritis. Sepuluh
danau itu yakni Danau Toba, Maninjau, Kerinci, Jampang, Rawa Pening, Limboto,
Tondano, Tempe, Poso, dan Sentani. Kritis karena penyebaran gulma, eceng
gondok. Persoalan gulma dan sedimentasi menjadi permasalahan danau-danau besar di Indonesia termasuk di
Danau Toba dan Danau Tondano. Padahal,
Danau Toba digadang-gadang menjadi destinasi wisata internasional. Satu dari lima destinasi pariwisata yang
sedang dikembangkan pemerintah.
Luasan eceng gondok di Danau Toba, menurut Badan
Lingkungan Hidup Sumatera Utara pada tahun 2002 seluas 381,8 ha (0,3%),
melonjak menjadi 500 ha (0,45%) tahun 2006 dan menurut Forum Hijau Indonesia telah menututupi 1
persen luasan danau pada tahun 2012. Demikian juga eceng gondok di Danau
Tondano, telah menutup 30 persen luasan danau. Bahkan luasan eceng gondok Danau Rawa Pening di Jawa Tengah,
menyebabkan luasan danau tersisa 1.800 hektare dari luas danau di
atas 2.000 hektare.
Secara
normal gulma eceng gondok, bisa tumbuh dalam 52 hari. Namun, karena kegiatan
pertanian di badan danau yang menggunakan pupuk dan pestisida yang masuk ke
badan danau, membuat air danau memiliki kesubutan yang tinggi, menyebabkan
pertumbuhan gulma lebih cepat. Eceng gondok (Eichhornia crassipes) ini
sudah bisa tumbuh dalam 24 hari. Gulma ini menurunkan daya dukung danau kerena menutupi
lahan air yang basah.
Penutup
Bila mau jujur,
eceng gondok bukanlah tumbuhan lokal. Ia adalah tumbuhan yang dibawa dari luar
negeri untuk hiasan aquarium orang kaya. Entah disengaja atau tidak disadari,
ia membuang kelebihan eceng gondok ke selokan. Akhirnya eceng gondok menyebar,
membentang dari Sabang sampai Merauke, menjadi gulma sungai, danau, rawa dan
bahkan sawah. Menjadi malapetaka.
Eceng gondok
bisa menjadi bio-indikator pencemaran air. Bila eceng gondok hidup dengan baik,
menandakan perairan telah tercemar. Kesuburan air meningkat. Secara kasat mata,
tanpa harus ke labotatorium, bila eceng gondok tumbuh subur, maka perairan
tidak layak untuk mandi dan berenang. Tidak layak untuk pariwisata. Gulma sukar
diberantas karena pertumbuhannya yang cepat. Kita mungkin membersihkannya,
tetapi laju pertumbuhannya bisa melebihi dari yang dibersihkan. Jadi, bukannya
berkurang, tetapi terus bertambah.
Ternyata, eceng
gondok telah menjadi malapetaka. Tapi
yang salah adalah manusianya. Manusia yang tidak bertanggung-jawablah yang
menyebarkan gulma ini, seperti juga petaka keong emas. Itu akibat ulah manusia.
Oleh karena itu, jadilah manusia yang bertanggung-jawab. Bertanggung jawab di
dunia dan bertanggung-jawab di alam akhirat pada Tuhannya. Allah telah
berfirman, bahwa kerusakan di atas bumi akibat ulah manusia. Maka tobatlah. Bertanggung-jawablah.
Semoga....
No comments:
Post a Comment