metoda deduksi pidana perikanan di zee

Tulisan Dr.Ir.Hamzah Lubis, SH.,M.Si berjudul Metoda Deduksi Pidana Kapal Ikan Asing di ZEE, telah dimuat pada SK.Perestasi Reformasi di Medan, No.476 Edisi  11-17 Nopember 2015, hal. 7 Kol.1-4 (Penyunting)
Hamzah Lubis, Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal  Medan *Pusat Kajian  Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS HAM-RI
*KSA XLII/1999 LEMHANNAS *aktifis hukum/ham/lingkungan/pendidikan


           METODA DEDUKSI PIDANA KAPAL IKAN ASING DI ZEE
                                      Dr.Ir.Hamzah Lubis,SH.,M.Si

Penulis beruntung, menjadi peserta Temu Teknis Aparat Penegak Hukum tahun 2014 tanggal 14-17 Oktober 2014 di Bandung dan Temu Teknis Aparat Penegak Hukum tahun 2015 tanggal 5-8 Nopember 2015 di Surabaya.  Kegiatan yang dilaksanakan Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2015 ini bertemakan “Kita Tingkatkatkan Harmonisasi dalam Pelaksanaan Penenggelaman Kapal Illegal Fishing”.

Pidana Kurungan KIA
Materi yang dianggap paling menarik oleh sebagain besar peserta adalah “Analisa Yuridis tentang Penenggelaman Kapal IUU Fishing dalam Upaya Penegakan Hukum di Bidang Kelautan Perikanan”. Sesi terakhir ini dengan nara sumber Prof. Dr. Surya Jaya, SH, MH. Ia adalah Hakim Agung Mahkamah Agung-RI dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Dalam uraiannya, bahwa pelaksanaan hukuman terlemah adalah pada nakhoda kapal ikan asing (KIA) di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Permasalahannya karena lemahnya diplomasi negara. Belum ada negara yang melakukan perjanjian sebagaimana dimaksud Pasal 102 UU Nomor 45 tahun 2009.  “Ketentuan tentang pidana penjara dalam Undang-Undang ini tidak berlaku bagi tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, kecuali telah ada perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara yang bersangkutan”.
Mengacu pada KUHP, bahwa hukuman pokok  berupa hukuman penjara dan hukuman kurungan pada esensinya adalah perampasan kemerdekaan terdakwa. Perbedaannya hanya pada lama waktu perampasan hak-hak kemerdekaannya. Subsider kurungan atau kurungan pengganti pada “esensinya” juga hukuman kurungan. Dan yang dimaksud dengan “setiap bentuk hukuman badan lainnya” pada UNCLOS adalah hukuman badan  semisal pidana potong tangan, potong kaki dan lainnya. Konsekuensi tidak adanya perjanjian, pidana perikanan tidak dapat dilakukan hukuman penjara (Pasal 102 UU No.45 tahun 2009).
Hukuman pada nakhoda kapal ikan asing di ZEEI  berupa denda. Pada kenyataannya hukuman denda tidak dibayar dan tidak membuat efek jera. Denda yang tidak dibayar menyebabkan “tagihan” pekerjaan bagi kejaksaan. Untuk mengatasi hal tersebut, nara sumber telah melakukan “terobosan hukum” melakukan pidana kurungan dan subsider kurungan  pada terdakwa. Menurutnya ia telah beberapa kali memutus perkara pidana perikanan yang kasasi dengan pidana kurungan dan subsider kurungan.  Bahkan ia telah menganjurkan hakim-hakim lain melakukan hal yang sama. 

Deduktif Pidana Perikanan
            Hakim Agung dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Surya Jaya, SH, MH “menantang” siapa yang tidak setuju dengan pidana kurungan dan subsider  kurungan pada nakhoda KIA di ZEE.  Untuk sekedar adu argumentasi, penulis memberanikan diri. Dengan santun, untuk tidak “sesat pikir” mengajukan bandingan dengan metoda deduktif. 
            Pernyataan (silogisme) pertama, ada hukum laut internasional, United Nations Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS)1982. UNCLOS ini dapat diratifikasi bila dilakukan secara utuh dan menyeluruh. ”Tidak ada persyaratan  atau pengecualian yang dapat diajukan terhadap konvensi ini kecuali secara tegas diizinkan oleh pasal-pasal lain konvensi ini (Pasal 309 UNCLOS).
Pernyataan kedua, Negara Republik Indonesia meratifikasi UNCLOS dengan UU Nomor 17 tahun 1985. Pada Pasal (1) menyatakan: ”Mengesahkan UNCLOS…”, dan pada penjelasan Pasal 1  bagian ke-14 huruf (c ) yang menyatakan: ”Konvensi ini tidak membenarkan negara-negara mengadakan persyaratan (reservation) terhdap ketentuan-ketentuan dalam konvensi pada waktu mengesahkan karena  seluruh ketentuan konvensi ini merupakan satu paket yang ketentuan-ketentuannya sangat erat hubungannya satu dengan yang lain, dan oleh karena itu hanya dapat disahkan sebagai satu kebulatan yang utuh”. Pasal ini mengadopsi Pasal 309 UNCLOS. Dan pada lampiran Lembaran Negara Nomor 76 tahun 1985  adalah seutuhnya UNCLOS.
Pernyataan ke-tiga, ZEE didefiniskan sebagai suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial” (Pasal 55 UNCLOS). Perundang-Undangan Nasional mendefenisikan ZEE-Indonesia  sebagai: (1)  bukan Wilayah Negara Indonesia (Pasal 1 ayat 3 UU 43 tahun 2008),  (2) bukan Laut  wilayah Indonesia (Pasal 2 UU No.5 tahun 1983) dan (3) bukan Laut Teritorial Indonesia (Pasal 1 ayat 21 UU 45 tahun 2009).  
            ZEE-Indonesia adalah ”wilayah yurisdiksi” (Pasal 1 ayat 3 UU No.43 tahun 2008;  Pasal 8 ayat (1) UU No.43 tahun 2008;  Pasal 7 ayat 2 UU No.32 tahun 2014). Terdapat pemisah antara wilayah Perairan Indonesia dengan kewenangan “kedaulatan” dengan wilayah yurisdiksi  dengan kewenangan “tertentu” berupa “hak berdaulat” (Pasal 1 ayat 5 UU No.43 tahun 2008;  Pasal 7 ayat 3 huruf c UU No.32 tahun 2014; Pasal 7 UU No.43 tahun 2008).
            Karena adanya pemisah dan perbedaan nyata antara  perairan dengan wilayah yurisdiksi,  maka rezim hukum di laut perairan dengan di wilayah yurisdiksi berbeda. Mengacu pada UNCLOS, di ZEE berlaku rezim hukum khusus (Pasal 55 UNCLOS).  Kekhususannya adalah: (1) hukum nasional yang berlaku di ZEEI harus tunduk dengan UNCLOS (Pasal 55), (2) hukum nasional yang berlaku di ZEEI  harus sesuai dengan  UNCLOS (Psl.56 ayat (2), Psl 58 ayat 3, Pasal 73 ayat 1),  (3) hukum nasional yang berlaku di ZEEI  harus relevan dengan  UNCLOS (Pasal 58 ayat 1) dan  (4) hukum nasional yang berlaku di ZEEI  tidak bertentangan dengan  UNCLOS (Pasal 58 ayat 3).
            Pernyatan ke-empat, hukuman pidana di ZEE menurut UNCLOS adalah: “Hukuman Negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan di zona ekonomi eksklusif tidak boleh mencakup pengurungan, jika tidak ada perjanjian sebaliknya antara Negara-negara yang bersangkutan, atau setiap bentuk hukuman badan lainnya” (Pasal 73 ayat 3). Pasal ini diadopsi sebagian dalam Pasal 102 UU 45 tahun 2009: “Ketentuan tentang pidana penjara dalam Undang-Undang ini tidak berlaku bagi tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, kecuali telah ada perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara yang bersangkutan”.
            Pernyataan ke-lima, konklusi pidana perikanan KIA di ZEE yang belum memiliki perjanjian tidak berupa:  (1)  hukuman penjara (Pasal 102 UU No.45 tahun 2009), (2) tidak hukuman kurungan (Pasal 73 ayat 3 UNCLOS) dan (3) tidak subsider kurungan/kurungan pengganti  (pada esensinya juga kurungan). Dengan demikian hukuman penjara, kurungan dan kurungan pengganti tidak dapat diterapkan.
            Sebenarnya, penulis ingin melanjutkan  dengan konsekuensi  penerapan hukuman yang melanggar UNCLOS. “Penerapan” hukuman yang tidak sesuai UNCLOS atau  “interprestasi” yang berbeda tentang aUNCLOS, maka negara para pihak dapat melakukan gugatan. Pemerintah Vietnam telah menyampaikan nota protes atas pembakaran kapal ikan asal Vietnam. Mudah-mudahan, nota keberatan tidak meningkat menjadi gugatan negara. Tujuan gugatan negara, dapat memilih Mahkamah Internasional, Mahkamah Internasional  Hukum Laut, Mahkamah Arbitrase dan Mahkamah Arbitrase Khusus. Namun karena dipotong nara sumber dengan mengatakan “cukup”, dan kendati penulis memohon agar diperkenankan melanjutkan pembicaraan tetap ditolak nara sumber (bukan moderator). Untuk menjaga “etika” ilmiah, penulis terpaksa diam.

Penutup
Prof. Dr. Surya Jaya, SH, MH dalam menanggapi bandingan penulis tidak menyalahkan argumentasi hukum yang dibangun. Sebagai seorang guru besar, ia dengan jujur menyatakan bahwa ia tidak mendalami tentang hukum laut. Oleh karena itu, untuk kegiatan serupa ia menyarankan perlunya nara sumber dari pakar hukum laut. Ia memahami bila seorang hakim berbeda pendapat dengan argumentasi yang kuat. Namun nara sumber menyalahkan mengapa Indonesia “mau” meratifikasi UNCLOS secara utuh  dan menyeluruh. Menurutnya, semestinya Indonesia lebih meninggikan supremasi hukum nasional. Oleh karena itu, ia akan tetap menghukum KIA di ZEEI dengan pidana kurungan dan subsider kurungan.

           

No comments:

Post a Comment