Hamzah Lubis, Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim
Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal Medan *Pusat Kajian Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS
HAM-RI
*KSA XLII/1999 LEMHANNAS
*aktifis hukum/ham/lingkungan/pendidikan
METODA DEDUKSI PIDANA KAPAL IKAN ASING DI ZEE
Dr.Ir.Hamzah Lubis,SH.,M.Si
Penulis beruntung, menjadi peserta Temu Teknis Aparat Penegak Hukum tahun 2014 tanggal 14-17 Oktober 2014 di Bandung dan Temu Teknis Aparat Penegak Hukum tahun 2015 tanggal 5-8 Nopember 2015 di Surabaya. Kegiatan yang dilaksanakan Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2015 ini bertemakan “Kita Tingkatkatkan Harmonisasi dalam Pelaksanaan Penenggelaman Kapal Illegal Fishing”.
Pidana
Kurungan KIA
Materi yang
dianggap paling menarik oleh sebagain besar peserta adalah “Analisa Yuridis
tentang Penenggelaman Kapal IUU Fishing dalam Upaya Penegakan Hukum di Bidang
Kelautan Perikanan”. Sesi terakhir ini dengan nara sumber Prof. Dr. Surya Jaya,
SH, MH. Ia adalah Hakim Agung Mahkamah Agung-RI dan Guru Besar Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin.
Dalam uraiannya,
bahwa pelaksanaan hukuman terlemah adalah pada nakhoda kapal ikan asing (KIA)
di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Permasalahannya karena lemahnya
diplomasi negara. Belum ada negara yang melakukan perjanjian sebagaimana
dimaksud Pasal 102 UU Nomor 45 tahun 2009. “Ketentuan tentang pidana penjara dalam
Undang-Undang ini tidak berlaku bagi tindak pidana di bidang perikanan yang
terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, kecuali telah ada perjanjian antara
Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara yang bersangkutan”.
Mengacu pada
KUHP, bahwa hukuman pokok berupa hukuman
penjara dan hukuman kurungan pada esensinya adalah perampasan kemerdekaan
terdakwa. Perbedaannya hanya pada lama waktu perampasan hak-hak kemerdekaannya.
Subsider kurungan atau kurungan pengganti pada “esensinya” juga hukuman
kurungan. Dan yang dimaksud dengan “setiap bentuk hukuman badan lainnya” pada
UNCLOS adalah hukuman badan semisal
pidana potong tangan, potong kaki dan lainnya. Konsekuensi tidak adanya
perjanjian, pidana perikanan tidak dapat dilakukan hukuman penjara (Pasal 102
UU No.45 tahun 2009).
Hukuman pada
nakhoda kapal ikan asing di ZEEI berupa
denda. Pada kenyataannya hukuman denda tidak dibayar dan tidak membuat efek
jera. Denda yang tidak dibayar menyebabkan “tagihan” pekerjaan bagi kejaksaan.
Untuk mengatasi hal tersebut, nara sumber telah melakukan “terobosan hukum” melakukan
pidana kurungan dan subsider kurungan
pada terdakwa. Menurutnya ia telah beberapa kali memutus perkara pidana
perikanan yang kasasi dengan pidana kurungan dan subsider kurungan. Bahkan ia telah menganjurkan hakim-hakim lain
melakukan hal yang sama.
Deduktif
Pidana Perikanan
Hakim
Agung dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Surya
Jaya, SH, MH “menantang” siapa yang tidak setuju dengan pidana kurungan dan
subsider kurungan pada nakhoda KIA di
ZEE. Untuk sekedar adu argumentasi, penulis
memberanikan diri. Dengan santun, untuk tidak “sesat pikir” mengajukan bandingan
dengan metoda deduktif.
Pernyataan
(silogisme) pertama, ada hukum
laut internasional, United Nations
Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS)1982. UNCLOS ini dapat
diratifikasi bila dilakukan secara utuh dan menyeluruh. ”Tidak ada
persyaratan atau pengecualian yang dapat
diajukan terhadap konvensi ini kecuali secara tegas diizinkan oleh pasal-pasal
lain konvensi ini (Pasal 309 UNCLOS).
Pernyataan kedua, Negara
Republik Indonesia meratifikasi UNCLOS dengan UU Nomor 17 tahun 1985. Pada
Pasal (1) menyatakan: ”Mengesahkan UNCLOS…”, dan
pada penjelasan Pasal 1 bagian ke-14 huruf (c ) yang menyatakan: ”Konvensi ini
tidak membenarkan negara-negara mengadakan persyaratan (reservation) terhdap ketentuan-ketentuan dalam konvensi pada waktu
mengesahkan karena seluruh ketentuan
konvensi ini merupakan satu paket yang ketentuan-ketentuannya sangat erat
hubungannya satu dengan yang lain, dan oleh karena itu hanya dapat disahkan
sebagai satu kebulatan yang utuh”. Pasal ini mengadopsi Pasal 309 UNCLOS. Dan
pada lampiran Lembaran Negara Nomor 76 tahun 1985 adalah seutuhnya UNCLOS.
Pernyataan ke-tiga,
ZEE didefiniskan sebagai suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut
teritorial” (Pasal 55 UNCLOS). Perundang-Undangan Nasional mendefenisikan
ZEE-Indonesia sebagai: (1) bukan Wilayah Negara Indonesia (Pasal 1 ayat 3
UU 43 tahun 2008), (2) bukan Laut wilayah Indonesia (Pasal 2 UU No.5 tahun 1983)
dan (3) bukan Laut Teritorial Indonesia (Pasal 1 ayat 21 UU 45 tahun 2009).
ZEE-Indonesia adalah ”wilayah
yurisdiksi” (Pasal 1 ayat 3 UU No.43 tahun 2008; Pasal 8 ayat (1) UU No.43 tahun
2008; Pasal 7 ayat 2 UU No.32 tahun 2014). Terdapat pemisah antara wilayah
Perairan Indonesia dengan kewenangan “kedaulatan” dengan wilayah yurisdiksi dengan kewenangan “tertentu” berupa “hak
berdaulat” (Pasal 1 ayat 5 UU No.43 tahun 2008; Pasal 7 ayat 3 huruf c UU No.32 tahun 2014; Pasal 7 UU No.43 tahun 2008).
Karena adanya pemisah dan perbedaan
nyata antara perairan dengan wilayah
yurisdiksi, maka rezim hukum di laut
perairan dengan di wilayah yurisdiksi berbeda. Mengacu pada UNCLOS, di ZEE
berlaku rezim hukum khusus (Pasal 55 UNCLOS).
Kekhususannya adalah: (1) hukum nasional yang berlaku di ZEEI harus
tunduk dengan UNCLOS (Pasal 55), (2) hukum nasional yang berlaku di ZEEI harus sesuai dengan UNCLOS (Psl.56 ayat (2), Psl 58 ayat 3, Pasal
73 ayat 1), (3) hukum nasional yang
berlaku di ZEEI harus relevan
dengan UNCLOS (Pasal 58 ayat 1) dan (4) hukum nasional yang berlaku di ZEEI tidak bertentangan dengan UNCLOS (Pasal 58 ayat 3).
Pernyatan ke-empat, hukuman pidana
di ZEE menurut UNCLOS adalah: “Hukuman Negara pantai yang dijatuhkan terhadap
pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan di zona ekonomi eksklusif
tidak boleh mencakup pengurungan, jika tidak ada perjanjian sebaliknya antara
Negara-negara yang bersangkutan, atau setiap bentuk hukuman badan lainnya”
(Pasal 73 ayat 3). Pasal ini diadopsi sebagian dalam Pasal 102 UU 45 tahun
2009: “Ketentuan tentang pidana penjara dalam Undang-Undang ini tidak berlaku
bagi tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf
b, kecuali telah ada perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah
negara yang bersangkutan”.
Pernyataan ke-lima, konklusi pidana
perikanan KIA di ZEE yang belum memiliki perjanjian tidak berupa: (1)
hukuman penjara (Pasal 102 UU No.45 tahun 2009), (2) tidak hukuman
kurungan (Pasal 73 ayat 3 UNCLOS) dan (3) tidak subsider kurungan/kurungan
pengganti (pada esensinya juga kurungan).
Dengan demikian hukuman penjara, kurungan dan kurungan pengganti tidak dapat
diterapkan.
Sebenarnya, penulis ingin
melanjutkan dengan konsekuensi penerapan hukuman yang melanggar UNCLOS. “Penerapan”
hukuman yang tidak sesuai UNCLOS atau “interprestasi”
yang berbeda tentang aUNCLOS, maka negara para pihak dapat melakukan gugatan. Pemerintah
Vietnam telah menyampaikan nota protes atas pembakaran kapal ikan asal Vietnam.
Mudah-mudahan, nota keberatan tidak meningkat menjadi gugatan negara. Tujuan gugatan
negara, dapat memilih Mahkamah Internasional, Mahkamah Internasional Hukum Laut, Mahkamah Arbitrase dan Mahkamah
Arbitrase Khusus. Namun karena dipotong nara sumber dengan mengatakan “cukup”,
dan kendati penulis memohon agar diperkenankan melanjutkan pembicaraan tetap
ditolak nara sumber (bukan moderator). Untuk menjaga “etika” ilmiah, penulis
terpaksa diam.
Penutup
Prof.
Dr. Surya Jaya, SH, MH dalam menanggapi bandingan penulis tidak menyalahkan
argumentasi hukum yang dibangun. Sebagai seorang guru besar, ia dengan jujur menyatakan
bahwa ia tidak mendalami tentang hukum laut. Oleh karena itu, untuk kegiatan
serupa ia menyarankan perlunya nara sumber dari pakar hukum laut. Ia memahami
bila seorang hakim berbeda pendapat dengan argumentasi yang kuat. Namun nara
sumber menyalahkan mengapa Indonesia “mau” meratifikasi UNCLOS secara utuh dan menyeluruh. Menurutnya, semestinya
Indonesia lebih meninggikan supremasi hukum nasional. Oleh karena itu, ia akan
tetap menghukum KIA di ZEEI dengan pidana kurungan dan subsider kurungan.
No comments:
Post a Comment