Makalah “ Penerapan Pidana Pasal 102 UU Perikanan di ZEEI” pada
Coffe Morning Pengadilan Negeri Medan, di Medan, tanggal 10 Februari 2016
Penerapan Pidana Pasal 102 UU Perikanan di ZEEI
Dr.Ir.Hamzah Lubis, SH.,M.Si
Hakim Adhoc Perikanan PN Medan
Pendahuluan
Salahsatu isu
penting berkaitan dengan pidana perikanan, adalah penerapan Pasal 102 Undang-Undang
Perikanan. Pasal 102 berbunyi: ”Ketentuan tentang pidana penjara dalam Undang-Undang ini tidak berlaku bagi
tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, kecuali
telah ada perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah
negara yang bersangkutan”. Pasal 5 ayat
(1) huruf b, Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPPRI) adalah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Sedangkan perjanjian
antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara lain untuk tindak
pidana perikanan belum ada.
Putusan Hakim
Putusan
hakim baik tingkat pertama, banding dan kasasi terhadap terdakwa warga negara asing (WNA) dengan locus delicti di ZEEI yang
terbukti bersalah melakukan pidana
perikanan, menurut penulis dapat dikategorikan atas 3 (tiga) model putusan.
Model putusan pertama, terdakwa selama persidangan ditahan, hukumannya pidana
penjara, denda dan subsider kurangan. Model putusan kedua, selama persidangan
terdakwa tidak ditahan, hukumannya pidana denda dengan subsider kurungan. Model
putusan ketiga, terdakwa selama persidangan tidak ditahan, hukumannya pidana
denda.
Model putusan pertama
Putusan terdakwa
selama persidangan ditahan, hukumannya pidana penjara, denda dan subsider
kurangan. Analisis hukumnya, bahwa ZEE-Indonesia
adalah Indonesia. Ia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
Indonesia. Karena itu, hukum yang berlaku bagi WNA yang melakukan pidana di
ZEE-Indonesia sama seperti WNA melakukan pidana di daratan Indonesia, yaitu
hukum Indonesia. Hal ini mengacu pada Pasal 2 KUHP:”Ketentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melalukan
sesuatu tindak pidana di Indonesia”.
Dengan
demikian, penahanan selama persidangan di pengadilan Negeri berdasarkan Pasal
26 ayat (1), (2) dan (3) dan (4) UU
No.8/1981 dan secara khusus dalam Pasal 81 ayat (1),(2) dan (3) UU No.45/2009;
penahanan di tingkat PT berdasarkan Pasal 27 ayat (1),
(2), (3) dan (4) UU No.8/1981 dan secara khusus dalam Pasal 82 ayat
(1),(2),(3) dan (4) UU No.45/2009 dan
penahanan di Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 24
ayat (1), (2), (3) dan 4 UU No.8/1981 dan secara khusus
dalam Pasal 83 ayat (1),(2),(3) dan (4) UU No.45/2009. Hukuman pidana perikanan
dalam bentuk pidana penjara dan pidana
denda mengacu pada Pasal 10 KUHP serta pidana kurangan pengganti mengacu pada
Pasal 30 ayat (2) KUHP: “Jika pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan
pidana kurungan”.
Contoh putusan model ini, adalah terdakwa Le Van Huy,
berkewarganegaraan Vietnam, Nakhoda KM.
BV 0782 TS yang melakukan penangkapan ikan di koordinat 04015’90”
Lintang Utara - 109038’10”
Bujur Timur yang merupakan ZEE-Indonesia, yang telah ditahan selama penyidikan,
penuntutan dan persidangan. Hukuman yang diputuskan adalah: (1) pidana penjara,
(2) pidana denda dan (3) pidana kurungan penganti baik ditingkat pertama (Putusan
Pengadilan Negeri Tanjung Pinang No.54/Pid.B/2008/PN.TPI tanggal 27 Februari 2008), pada pengadilan
tingkat banding (Putusan Pengadilan Tinggi Pekanbaru Nomor: 69/Pid/2008/PTR
tanggal 7 April 2008) dan tingkat kasasi (Putusan Mahkamah Agung-RI
Nomor:1036K/Pidsus/2008 tanggal 31 Juli 2008). “Pendekar” keadilan yang menerapkan putusan seperti ini, adalah Hakim
Agung Iskandar Kamil, SH; Prof. Dr.
Komariah Emong Sapardjaya, SH; Prof.
Dr.H. Kaimuddin Salle, SH, MH dan lainnya.
Model putusan kedua
Putusan
selama persidangan terdakwa tidak ditahan, hukumannya pidana denda dengan subsider kurungan. Analisis hukumnya, bagi terdakwa
WNA dengan locus delicti di
ZEE-Indonesia, karena belum ada perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia
dengan pemerintah asal negara terdakwa maka pada terdakwa berlaku Pasal 102 UU
Nomor 45 tahun 2009. Pasal 102, tidak membolehkan pidana penjara, maka hukuman
yang diterapkan adalah: (1) terdakwa tidak
ditahan selama persidangan dan (2)
pidana yang diterapkan adalah ”pidana denda”. Namun, karena pidana denda menurut logika dan
fakta tidak membuat efek jera maka diterapkan pidana kurungan pengganti. Dan untuk
kata ”atau setiap bentuk pidana badan lainnya” (Pasal 73 ayat 3 UNCLOS) diberi penafsiran
(bukan penjelasan) sebagai hukuman semisal rajam, hukum pancung, potong tangan
dan lainnya.
Menurut
penulis, sebagian besar putusan hakim perikanan mengikuti model ini. Sebagai
gambaran, putusan di Pengadilan Perikanan PN Ranai: tahun 2011 sebanyak 51
perkara WNA di ZEE, dengan 50 putusan pidana denda dengan subsider
kurungan, tahun 2012 sebanyak 22 perkara dengan 22 putusan dengan pidana denda dengan
subsider kurungan, tahun 2013 sebanyak 21 perkara dengan 21 putusan dengan pidana
denda dengan subsider kurangan dan tahun 2014 (sampai bulan Agustus) sebanyak
20 putusan dengan 20 putusan dengan pidana denda dengan subsider kurungan. ”Pendekar”
keadilan yang menerapkan putusan seperti
ini Hakim Agung Prof. Dr. Surya Jaya, SH, MH; ahli hukum laut internasional UI
Prof. Melda Kamil Ariadno,SH.,LL.M., Ph.D dan lainnya.
Model putusan ketiga
Putusan
terdakwa selama persidangan tidak ditahan, hukumannya pidana denda. Penulis
selama ini berusaha memperjuangkan model putusan seperti ini baik dalam diskusi
non formal maupun formal. Misalnya pada forum Refreshing Coach tahun 2013 di
Jakarta, Temu Teknis Aparat Penegak Hukum tahun 2014 di Bandung, Temu Teknis Aparat Penegak Hukum tahun 2015
di Surabaya, Refreshing Coach tahun 2015 di Bandung, pada Diklat Jaksa
Perikanan 2015 di Medan dan lainnya.
Logika hukum
yang dibangun bahwa ketika Indonesia merdeka, laut teritorial yang diakui hanya
3 (tiga) mill, sehingga antar pulau dipisahkan oleh laut bebas. Dengan
disahkannya konvensi hukum laut internasional (United Nations Convention On The Law Of The Sea - UNCLOS) 1982,
maka diakuinya rezim negara kepulauan, hak ekskusif atas laut (ZEE) dan
lainnya. Untuk mendapatkan hak-hak
tersebut, Indonesia meratifikasinya melalui Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985.
1.
Defenisi ZEE-Indonesia
Seringkali orang menyamakan laut ZEE-Indonesia adalah sama
dengan Perairan Indonesia atau sama dengan Laut
Teritorial Indonesia dan/atau ZEE-Indonesia adalah bagian dari Perairan
Indonesia atau bagian dari Laut Teritorial Indonesi. Menurut Pasal 55 UNCLOS,
ZEE didefiniskan sebagai suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut
teritorial. Perundang-undangan Indonesia mendefenisikan ZEE-Indonesia sebagai: (1)
bukan Wilayah Negara Indonesia [Pasal 1 ayat (3) UU 43 tahun 2008], (2) bukan Laut wilayah Indonesia [Pasal 2 UU No.5 tahun 1983]
dan (3) bukan Laut Teritorial Indonesia [Pasal 1 ayat (21) UU 45 tahun 2009]. ZEE-Indonesia adalah ”wilayah yurisdiksi” [Pasal
8 ayat (1) UU No.43 tahun 2008; Pasal 7 ayat (2) UU No.32 tahun 2014]. Pada wilayah
Perairan Indonesia negara memiliki kewenangan “kedaulatan” sedangkan dengan
wilayah yurisdiksi (ZEE-Indonesia) hanya
kewenangan “tertentu” berupa “hak berdaulat” [Pasal 1 ayat (5) UU No.43
tahun 2008; Pasal 7 ayat (3) huruf c UU
No.32 tahun 2014; Pasal 7 UU No.43 tahun 2008].
2.
Persyaratan ratifikasi
Ratifikasi sebagai ”persetujuan” dan/atau ”pernyataan mengikatkan diri”
bangsa dan negara sebagaimana dinyatakan Pasal
6 ayat (2) dan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional. Persyaratan ratifikasi UNCLOS dengan keharusan meratifikasi
secara utuh dan tanpa terkecuali. ”Tidak ada persyaratan atau pengecualian yang dapat diajukan
terhadap konvensi ini kecuali secara tegas diizinkan oleh pasal-pasal lain
konvensi ini (Pasal 309 UNCLOS).
Dalam hukum
Indonesia, dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 1 bagian ke-14 huruf
(c ) UU No.17 tahun 1985: ”Konvensi ini tidak membenarkan negara-negara
mengadakan persyaratan (reservation)
terhdap ketentuan-ketentuan dalam konvensi pada waktu mengesahkan karena seluruh ketentuan konvensi ini merupakan satu
paket yang ketentuan-ketentuannya sangat erat hubungannya satu dengan yang
lain, dan oleh karena itu hanya dapat disahkan sebagai satu kebulatan yang
utuh”. Artinya, semua ketentuan UNCLOS harus diikuti secara total.
3.
Rezim hukum khusus
Berdasarkan Bab
V UNCLOS, di ZEE berlaku rezim hukum khusus (Pasal 55 UNCLOS). Kekhususannya adalah: (1) hukum nasional yang
berlaku di ZEEI harus tunduk dengan UNCLOS (Pasal 55), (2) hukum nasional yang
berlaku di ZEEI harus sesuai dengan UNCLOS [Psl.56 ayat (2), Psl 58 ayat (3),
Pasal 73 ayat (1)], (3) hukum nasional
yang berlaku di ZEEI harus relevan
dengan UNCLOS [Pasal 58 ayat (1)]
dan (4) hukum nasional yang berlaku di
ZEEI tidak bertentangan dengan UNCLOS [Pasal 58 ayat (3)].
4.
Pidana perikanan di ZEE
Pidana
perikanan di ZEE diatur pada Pasal 73 ayat 3 UNCLOS: ”Hukuman Negara pantai
yang dijatuhkan terhadap pelanggaran
peraturan perundang-undangan perikanan
di Zona Ekonomi Eksklusif tidak
boleh mencakup pengurungan, jika tidak
ada perjanjian sebaliknya antara
negara-negara yang bersangkutan atau setiap bentuk pidana badan
lainnya”. Ketentuan UNCLOS ini diadopsi
(tidak sepenuhnya) melalui Pasal 102 UU No.45 tahun 2009.
Berhubung
UNCLOS telah diratifikasi, maka negara Indonesia memiliki wilayah yurisdiksi dengan kewenaangan
”tertentu” dan hak ”berdaulat” atas ZEE-Indonesia termasuk mengadili orang di
ZEE-Indonesia. Pada sisi lain, dengan ratifikasi maka hukum UNCLOS menjadi
”hukum nasional” serta ”hukum nasional” harus harus
tunduk, harus sesuai, harus relevan dan
tidak bertentangan dengan UNCLOS. UNCLOS menyatakan hukuman tidak boleh
“mencakup pengurungan” dan “atau setiap bentuk
pidana badan lainnya”. Dengan demikian pidana pengurungan yang dilarang dalam
hukum nasional adalah (1)
penjara, (2) kurungan dan (3) subsider kurungan. Sedangkan “setiap bentuk pidana badan lainnya” yang dilarang
dalam hukum nasional adalah pidana mati.
Mengambil
contoh, putusan Pengadilan Perikanan Ranai pada WNA di ZEE-Indonesia sejak
tahun 2011 sampai Agustus 2014, telah diputus
sebanyak 104 perkara, hanya 1 (satu) putusan yangdengan pidana denda
saja yaitu putusan tahun 2011 dengan majilis hakim Udut Hutajulu,SH; Ir.Hamzah
Lubis,SH,M.Si dan Sugeng Sulistiawan, SH. Pada tingkat banding, putusan
dikoreksi menjadi denda dan kurungan pengganti. Untuk WNA di ZEE penulis
tetap konsisten (insya Allah) dan dalam putusan-putusan melakukan disenting
opinion. ”Pendekar” keadilan yang
mengikuti aliran ini Hakim Agung Djoko Sarwoko, SH., MH; Dr.
H. Suhadi, SH, MH; Dr.Andi Samsan Nganro,SH.,M.Hum dan lainnya.
5. Rumusan
Refreshing Coach 2015
Putusan hanya
menerapkan pidana denda bagi WNA di ZEE masuk dalam rumusan hasil Refreshing
Coach Hakim Perikanan Tahun 2015 tanggal 01 – 04 Desember 2015 di Bandung. Rumusan
poin 7 (tujuh) berkaitan penerapan Pasal 102 dengan ketentuan: (a) hanya pidana
denda yang dijatuhkan terhadap terdakwa dalam perkara perikanan di wilayah
ZEEI; (b) amar pidana denda tidak dapat digantikan (subsidair) dengan pidana
kurungan;(c) menyimpangi ketentuan huruf a dan b diatas, bila kedua negara
telah melakukan perjanjian bilateral; dan (d) ketentuan ini sejalan dengan
ketentuan Pasal 73 ayat (3) UNCLOS yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 17
Tahun 1985.
6.
Rapat Peleno kamar MA
Putusan hanya
menerapkan pidana denda bagi WNA di ZEE, juga menjadi rumusan pleno kamar
Mahkamah Agung yang diikuti oleh kamar pidana, kamar perdata, kamar agama,
kamar militer, dan kamar TUN tanggal 11 Desember 2015 lalu. Rumusan hukum
ini telah ditandatangani dan disampaikan oleh Hakim Agung Dr. H. Suhadi, SH,
MH. Dalam pengantarnya, Suhadi menerangkan bahwa dalam Kamar Pidana, ada
4 (empat) isu hukum yang mengemuka yaitu: narkotika, titik singgung
antara perkara tata usaha negara dan perkara tindak pidana korupsi,
illegal fishing, dan penyitaan terhadap asset negara. Rumusan bidang perikanan (illegal fishing), “dalam
perkara illegal fishing di wilayah ZEEI terhadap terdakwa hanya dapat dikenakan
pidana denda tanpa dijatuhi kurungan pengganti denda”.
7. Keputusan Mengikat (SEMA)
Berdasarkan
Pedoman Sistem Kamar di Mahkamah Agung, rumusan hukum hasil
Rapat Pleno Kamar --diantaranya terdakwa WNA di ZEE dikenakan pidana denda --yang
telah disahkan oleh Ketua Mahkamah Agung sedapat-dapatnya ditaati Majelis
Hakim. Untuk melegitimasi hasil rumusan rapat pleno kamar sebagai
pedoman pelaksanaan tugas, Ketua MA akan menerbitkan Surat Edaran Mahkamah
Agung (SEMA) yang menegaskan pemberlakuan rumusan hukum sebagai pedoman bagi
Kamar dan juga bagi pengadilan tingkat pertama dan banding.
Pembuatan SEMA berdasarkan
Rumusan hukum hasil Rapat Pleno Kamar sudah menjadi konvensi di Mahkamah Agung.
Pelaksanaan rapat pleno dengan hasil rumusan hukum hasil rapat pleno kamar
ditindaklanjuti dengan SEMA. SEMA 7 Tahun 2012, adalah pemberlakuan
rumusan hukum hasil Rapat Pleno Kamar Tahun 2012, SEMA 4 Tahun 2014 adalah
pemberlakuan rumusan hukum hasil Rapat Pleno Kamar Tahun 2013, dan SEMA 5 Tahun
2014, adalah pemberlakuan rumusan hukum hasil Rapat Pleno Kamar Tahun 2014. Insya
Allah rumusan hukum hasil Rapat Pleno Kamar Tahun 2015 akan diikuti Surat
Edaran Mahkamah Agung.
Penutup
Penulis berharap, uraian ini dapat
menambah cara pandang kita terhadap berbagai penafsiran Pasal 102 Undang
–Undang Nomor 45 tahun 2009 yang menghasilkan putusan yang berbeda-beda pula.
Mudah-mudahan putusan yang kita ambil didasari logika dan dasar hukum yang
paling “benar” untuk memperkuat keyakinan kita dalam memutus. Semog….
Daftar
Kepustakaan
01.Hamzah
Lubis. Tindak Pidana Perikanan di
ZEE-Indonesia. Jurnal Varia
Peradilan Mahkamah Agung-RI No.318 bulan Mei 2012
02.Hamzah
Lubis. Tinjauan Hukum: Penahanan, Pidana
Penjara dan Subsider Kurungan di ZEE-Indonesia. Jurnal Varia 03.Keadilan, Nomor 341, edisi April 2014
04.Hamzah
Lubis. Kajian hukum Penenggelaman Kapal
Perikanan, Sk.Prestasi Reformasi di Medan, No. 471 Thn ke-16, edisi Minggu
ke-V September 2015, hal.67 kol 1-5
05.Hamzah
Lubis. WPPRI dan Dakwaan Obscure,
Sk.Prestasi Reformasi di Medan, No. 475 Thn ke-16, edisi 4-10 Nopember 2015, hal.7 kol 1-4
06.Hamzah
Lubis. Metoda Deduksi Pidana Kapal Ikan
Asing di ZEE, Sk.Prestasi Reformasi di Medan, No. 476 Thn ke-16, edisi
11-17 Nopember 2015, hal.7 kol 1-4
07.Hamzah
Lubis. Pidana Korporasi Bidang Perikanan.
Sk.Prestasi Reformasi di Medan, No. 47 9Thn ke-16, edisi 14-20 Desember 2015,
hal.6 kol 1-4
08.Hamzah
Lubis. Internasionalisasi Pidana
Perikanan di ZEE. Sk.Prestasi Reformasi di Medan, No. 482 Thn ke-16,
edisi 25- 31 Januari 2016, hal.6 kol 1-4
09.
Hamzah Lubis. Persepsi Penuntutan
Perusakan Sumberdya Ikan, sk.Prestasi Reformasi di Medan, No. 470 Thn
ke-16, edisi 3-9 September 2015, hal.7 kol 1-5
10.Pleno Kamar Berakhir, Rumusan Hukum pun Lahir ; http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/kegiatan/1220-pleno-kamar-berakhir-rumusan-hukum-pun-lahir
[25/1/2016]
11.Rumusan
hasil Refreshing Coach Hakim Perikanan Tahun 2015 tanggal 01 – 04 Desember 2015
di Bandung
12.Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009 Tentang Perikanan
13.Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
14.Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Ekskkusif Indonesia
15.Undang-Undang Nomor 43
tahun 2008 Tentang Wilayah Negara
16.Undang-Undang Nomor 32 tahun 2014
Tentang Kelautan
17.Undang-Undang Nomor 24
tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional.
18.Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985
tentang Pengesahan UNCLOS
19.Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
20.United Nations Convention On The Law Of The Sea -
UNCLOS) 1982
No comments:
Post a Comment