Dr.Ir.Hamzah Lubis,SH.,M.Si
Anggota Anti Corruption Forum (ACF), Dosen
dan Praktisi Hukum.
“Sesungguhnya
pembalasan bagi orang yang memerangi Allah dan Rasulnya dan membuat kerusakan di
muka bumi, hukuman mereka dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki
mereka secara menyilang, atau dibuang di negeri (tempat kediamannya). Yang
demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat
mereka akan mendapat siksaan besar” (Q.S. Al-Maidah:33).
Pengantar
Putusan hakim,
selalu “genit” untuk dikomentari. Dalam kasus pidana, misalnya putusan hakim
dengan pidana pokok penjara, maka dengan pidana yang dianggap berat, pihak
pengadu merasa sudah menemukan keadilan namun
pada sisi lain pihak terpidana merasa tidak menemukan keadilan atau kedua belah pihak merasa putusan hakim tidak
berkeadilan. Demikian juga, bila putusan pidana dianggap ringan, maka pihak
terpidana merasa mendapatkan keadilan sedangkan pihak pengadu tidak mendapatkan
keadilan atau keduanya merasa putusan hakim tidak berkeadilan. Demikian juga
komentar pihak lain, yang punya dan
tidak punya kepentingan dengan putusan.
Oleh karena itu,
maka wajarlah satu putusan hakim mendapat tanggapan yang berbeda dari masing-masing
pihak dengan kepentingannya masing-masing. Putusan hakim yang tebang pilih,
terlalu ringan, tajam ke bawah tumpul
ke atas atau sebaliknya terlalu berat, tidak berkeprimanuisaan, melanggar hak asasi manusia (hak hidup) melebihi
kekuasaan Tuhan (misalnya hukuman mati, karena menurutnya yang berhak
“mematikan” orang adalah Tuhan bukan manusia) atau tudingan lainnya. Demikian
juga, komentar yang sama dari para pihak terhadap putusan-putusan pidana korupsi.
Pidana
Korupsi
Dalam
memutus berat-ringannya pidana korupsi (dalam range yang dibolehkan
undang-undang) hakim wajib
mempertimbangkan sifat baik dan jahat dari terdakwa, mempertimbangkan
besar-kecilnya kerugian material diakibatkan korupsi, besar-kecilnya kerugian
sosial akibat korupsi dan frekuensi korupsi yang dilakukan terdakwa. Semua ini
bersifat subjektif, dalam batasan yang sangat luas. Misalnya pidana penjara
mulai dari beberapa bulan sampai seumur hidup bahkan sampai pidana mati. Oleh
karena itu, selain hakim memiliki dan meyakini alat bukti, hakim juga harus
meyakini putusan pidana yang sesuai dengan kesalahannya serta dapat dipertanggungjawabkan
kepada Tuhan. pertanggungjawaban dalam bentuk tulisan dan ucapan ”Demi keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan peradilan Tuhan di alam akhirat.
Fiqih
Korupsi
Korupsi dalam
fiqih atau literatur Islam, secara
spesifik tidak diperoleh. Namun berdasarkan tindakan-tindakan yang dikategorikan sebagai korupsi dihubungkan
dengan kejahatan maliyyah dalam
fiqih, terdapat unsur yang mengisbatkan
makna korupsi, berupa: (1) tasharruf,
yaitu perbuatan yang menerima, memberi dan mengambil, (2) penghianatan terhadap
amanah kekuasaan dan (3) kerugian yang ditanggung masyarakat luas.
Dari
tiga unsur korupsi di atas, kajahatan
korupsi menunjukkan persamaan dengan kejahatan harta benda dalam fiqih Islam,
berupa:
1.
Dari segi mengambil
harta orang lain secara tidak sah, korupsi mirip dengan pencurian (sariqah). Namun korupsi lebih bejat dari
pencurian, karena: (a) pencurian dilakukan secara sembunyi sedangkan korupsi
dilakukan terang-terangan, (b) pencurian tidak selalu berkaitan dengan
kepercayaan (amanah) pemiliki harta, sedangkan korupsi selalu
berkaitan dengan kepercayaan (amanah)
pemilik harta (publik), (c) harta yang dicuri adalah harta peribadi atau
publik, sedangkan yang dikorupsi pasti harta publik yang besar dan berdampak
lebih massif, (d) harta yang dicuri yang berada di tangan orang lain sedangkan
harta yang dikorupsi berada dibawah kekuasaan koruptor. Karena kejahatan
korupsi lebih bejat dari pencurian maka pidana korupsi seyogianya lebih
berat dari pidana sariqah, berupa potong
tangan.
2.
Dari segi kekuasaan,
korupsi lebih mirip dengan risywah. Risywah lebih umum dari korupsi, karena: (a) kekuasaan dalam risywah tidak hanya meliputi jabatan
formal dan sturuktural kenegaraan tetapi juga kekuasaan non-formal dari tokoh
masyarakat bahkan rakyat melalui hak politiknya dapat menentukan seseorang memperoleh jabatan politik atau
tidak, (b) penguasa dalam risywah tidak hanya terbatas pada penguasa negara
saja, tetapi juga penguasa diluar sturuktur pemerintahan, (c) risywah tidak hanya terjadi dalam kontek
hubungan penguasa dan rakyatnya secara politik, juga meliputi hubungan antara
pemimpin dengan yang dipimpin secara ekonomi dan budaya, (d) risywah terjadi dua arah baik dari
rakyat dengan penguasa maupun dari pengusaha dengan rakyatnya sedangkan suap
hanya bisa terjadi dari rakyat kepada penguasa. Oleh karena itu, hukuman kepada
koruptor harus lebih berat daripada hukuman pada risywah.
3.
Dari segi penggelapan
harta publik, ghulul mempunyai karakteristik yang dekat dengan korupsi, karena
korupsi maupun ghulul sama-sama
melibatkan kekuasaan dan menyangkut harta publik serta dilakukan pihak yang
berada di dalam maupun di luar kekuasaan. Yang termasuk ghulul adalah: (a) menilap uang negara (publik) baik dengan
motivasi disimpan maupun untuk keperluan di luar tugasnya sebagai pejabat,
seperti pesta pernikahan, syukuran, wisata keluarga, (b) tidak mengembalikan
asset negara pada saat selesai tugas, misalnya mengubah status rumah dinas, mobil dinas menjadi milik
pribadi atau memindahkan perabotan rumah dinas ke rumah pribadi. Oleh karena
itu, hukuman kepada koruptor harus lebih berat dari pidana ghulul.
4.
Dari segi dampak yang
ditimbulkannya, korupsi mirip hirabah
yakni sama-sama termasuk fasad, yaitu
perbuatan yang merusak tatanam publik. Sebagaimana hirabah dalam bentuk qathu’u
al-thariq atau syariqah kubra
(pencurian besar), korupsi juga mengancam harta sekaligus jiwa orang banyak.
Korupsi sama dengan hirabah dalam
bentuk qathu’u al-thariq dalam hal:
(a) mengancam jiwa dan harta orang banyak (publik) karena korupsi dapat
menyebabkan kelaparan, kebodohan bahkan menjadikan masyarakat rentan terhadap
penyakit gara-gara tidak memadainya pendapatan masyarakat sehingga tidak mampu
menjangkau makanan bergizi dan pengobatan yang memadai, (b) menambah kerusakan
di muka bumi karena korupsi dapat menimbulkan kehancuran dan kerugian dahsyat
yang harus ditanggung masyarakat, seperti rusaknya lingkungan hidup, tidak tegaknya
hukum, rendahnya mutu pelayanan aparat dan lainnya. Oleh karena itu, hukuman
kepada koruptor harus lebih berat dari
pidana hirabah
Kejahatan
Koruptor
Dari
analisis di atas, korupsi sesungguhnya lebih dahsyat daripada hirabah dalam bentuk qathu’u al-thariq dengan alasan: (a)
jiwa yang terancam oleh tindakan korupsi jauh lebih banyak ketimbang qathu’u al-thariq, (b) harta yang
diambil melalui korupsi jauh lebih banyak dibanding dengan melalui qathu’u al-thariq, dan (c) dampak yan
ditimbulkan oleh korupsi jauh lebih massif daripada yang ditimbulkan qathu’u al-thariq.
Sebagai
kejahatan modern, korupsi terus berkembang, baik jenis, modus operandi, motif, pelaku,
maupun polanya. Dampak kerusakan yang diakibatkannyapun semakin meluas baik
terhadap kedaulatan negara, kesejahteraan rakyat, penegakan hukum sampai dengan
moralitas bangsa bahkan korupsi penghayatan agama. Oleh karena itu, perbuatan
korupsi dalam konteks agama sama dengan fasad,
yakni perbuatan yang merusak tatanam kehidupan yang pelakunya dikategorikan
melakukan jinayat al-kubra (dosa
besar).
Pelakunya harus
dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kakinya atau di usir (penjara).
“Sesungguhnya pembalasan bagi orang yang memerangi Allah dan Rasulnya dan
membuat kerusakan di muka bumi, hukuman mereka dibunuh atau disalib atau
dipotong tangan dan kaki mereka secara menyilang, atau dibuang di negeri
(tempat kediamannya). Yang demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk mereka
di dunia, dan di akhirat mereka akan mendapat siksaan besar” (Q.S.
Al-Maidah:33).
Putusan
Berkeadilan
Putusan
berkeadilan menurut hukum negara, adalah berkeadilan berdasarkan
Ketuhanan,”Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Namun karena
Indonesia bukan negara Islam, maka ditak dikenal hukuman sejenis qisas seperti potong tangan, potong
tangan dan kali dan disalib sedangkan
“hukuman mati” dikenal dalam hukum Islam dan hukum Indonesia.
Oleh karena Indonesia
tidak negara Islam, maka pidana yang
dijatuhkan kepada koruptor harus dengan hukum nasional. Karena Indonesia bukan
negara skuler tapi negara berketuhanan, maka diyakini spirit sila kelima
Pancasila, Ketuhahan Yang Maha Esa menjadi roh semua perundang-undangan.
Pelaksanaan hukum nasional dapat diterima hukum Islam, dengan mengacu pada
Al-Quran Surat An-nisa ayat 59: “Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasulnya dan ulil amri
(penguasa, negara) diantara kamu”.
Kendati
hukum Islam telah memungkinkan menerapkan hukuman mati bagi koruptor, namun
hukum nasional baru dapat menerapkannya dalam
“keadaan tertentu”. Apabila tindak pidana
korupsi dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan
keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial
yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak
pidana korupsi.
Oleh
karena itu, serendah-rendah pidana koruptor adalah pidana penjara seumur hidup
(aplikasi: pidana penjara maksimal) dengan pidana denda (hukum Islam) dua kali
lipat dari nilai dikorupsi (aplikasi: denda maksimal). Tentu, dengan mempertimbangkan sifat baik dan
jahat dari terdakwa, menemukan, memahami dan mengikuti nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, mempertimbangkan besar- kecilnya
materi yang dikorupsi, frekuensi korupsi, besar-kecilnya dampak korupsi baik
langsung maupun tidak langsung dari segala asfek kehidupan.
*Tulisan Dr.Ir.Hamzah Lubis,SH.,M.Si berjudul : ” Hukuman Mati Koruptor Dalam Persfektif Islam” telah dimuat
pada SK. Perestasi Reformasi di Medan, No.491 Thn ke XVII, 2 Mei 2016, hal.6, kol.1-7
Bismillah...
ReplyDeleteSaya Hidayat Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UINSU Jurusan Hukum Pidana Islam 5b.
Kasus korupsi adalah sebuab perbuatan yang sangat merugikan banyak pihak. Maka perbuatan ini sangat di benci oleh Allah SWT. Dan ini adalah sebuah persoalan yang paling besar terutama di negeri ibu pertiwi.
Perlu kita ketahui bersama, korupsi ini bukan hanya persoalan mengambil uang yg di lakukan oleh para pejabat, petinggi perusahaan dsb. Akan tetapi ada juga sogok menyogok, gratifikasi dsb.
Dalam islam ini di katakan as-sariqatu (pencurian) kalau yg di lakukan nya adalah mencuri atau mengambil uang. Inspektorat jenderal pemprov su mengatakan bahwa ada 2 kategori korupsi yg pertama adalah memang di lakukan dengan sengaja perbuatan korupsi tersebut. Ada dia yang di jebak oleh oknum agar terjerumus ke korupsi dengan ketidak pemahamannya.
Maka dalam kasus ini kalau dari segi hukumannya memang dalam islam itu kalau mencuri potong tangan akan tetapi apakah dia sampai atau sudah pas ukuran nisabnya. Menurut saya hal ini perlu masuk ke ranah ta'zir atau hakim yg menyeleksi lalu memutuskan berdasarkan dari sumber2 hukum baik islam maupun tidak. Karena penerapan hukuman qishas adalah sangat berat di bangsa kita ini apalagi utk mencapai keadilan tanpa melanggar HAM.
Itulah menurt saya. Apabila ada kata yg salah mohon maaf. Terimakasih
Nama : Romualdus Giantino Siagian
ReplyDeleteNIM :18202085
Jurusan :Teknik Mesin
Kelas : 4m3
Mata kuliah : Pengendalian Lingkungan Industri
Korupsi memang suatu hal yang sangat fatal karna merugikan banyak orang tetapi kita perlu memahami bahwa hukuman mati adalah salah satu seperti membunuh menurut saya, lebih baik dia di hukum atau dipenjara daripada di hukum mati karna itu hukum mati dapat kita katakan merampas nyawa manusia meski dia bersalah karna banyak manusia yang hilaf akan pekerjaan atau keuangan yang dipegang membuatkan tidak sadar akan tanggung jawabnya.