Tulisan Dr.Ir.Hamzah
Lubis,SH.,M.Si berjudul : ” NU, PMII dan Lingkungan Hidup” telah dimuat pada SK. Prestasi Reformasi, 3 Agustus 2015
Hamzah Lubis, Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim
Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal Medan *Pusat
Kajian Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS HAM-RI
*KSA XLII/1999 LEMHANNAS *aktifis
hukum/ham/lingkungan/pendidikan
Nahdlatul Ulama
adalah organisasi Islam terbesar di dunia dengan 89 juta warganya. NU adalah organisasi yang konsen terhadap
lingkungan. Misalnya, Muktamar NU ke-29
di Tasik Malaya, tanggal 1-5 Desember 1994 telah memfatwakan haram hukumnya merusak lingkungan. PMII, organisasi mahasiswa yang didirikan NU
telah menetapkan lingkungan hidup sebagai satu dari tiga nilai dasar
pergerakannya. Demikian juga pada muktamar NU ke-33 di Jombang, tanggal 1-5
Agustus 2015 akan membahas fatwa tentang perusakan lingkungan hidup khusus
perusakan sumberdaya alam. Komisi fatwa muktamar akan membahas salah satu
kesimpulan dari bahtsul
masail diniyah waqi’iyah yang
menyatakan haram hukum merusak sumberdaya alam, mengalih-fungsikan lahan, kewajiban merehabilitasi dan kewajiban
masyarakat mempertahan fungsi lingkungan hidup. Tulisan ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi pemikiran bagi
calon komisi fatwa muktamar dari
pengurus cabang dan pengurus wilayah.
Isu Lingkungan Hidup
Keprihatinan
atas kerusakan lingkungan, pertamakalinya diangkat Swedia pada sidang umum PBB tahun 1968. Sebagai solusinya, Swedia
mengusulkan agar PBB melaksanakan konferensi
lingkungan hidup. Konferensi internasional pertama dilaksanakan tanggal 5–16 Juni 1972 di
Stockolm, Swedia. Konferensi menghasilkan “Stockholm
Declaration”, yang memuat 26 asas, bertemakan satu bumi (one earth) dengan 5 deklarasi. Deklarasi
tentang pemukiman, pengelolaan sumber daya alam, pencemaran, pendidikan dan pembangunan. Kemudian, tanggal 5 Juni ditetapkan sebagai
Hari Lingkungan Hidup se-Dunia4.
Lingkungan
hidup dalam perspektif, setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
(Pasal 28H UUD-1945), sebagai bagian dari hak asasi manusia (Pasal 65 UU No.
32/2009). Indonesia telah memiliki tiga undang-undang lingkungan hidup, UU No.
4 tahun 1982 tentang Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Dalam pengelolaan lingkungan, terdapat berbagai rezim pembangunan. Mulai
dari developmentatif, environmentatif dan sustainable development dengan etika
lingkungan mulai dari shallow ecology sampai deep ecology. Pola pikir manusianya yang developmentis- eksploitatis yang mengeksploitasi sumberdaya alam, environmentalis yang antropocentris, konservasionis yang menempatkan kesejahteraan dan
berkelanjutan, preservasionis yang menempatkan sumberdaya alam tidak boleh disentuh dan eco-religi yang menempatkan pengelolaan lingkungan sebagai bagian agama.
Lingkungan Islami
Bila
masyarakat dunia mulai “heboh” membicarakan lingkungan sejak tahun 1972, agama
(Islam) telah membicarakannya 15 abad yang silam. “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan
di muka bumi sesudah Tuhan
memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
orang-orang yang yang beriman”
(QS. Al-A’raf : 85). “Dan janganlah kamu merugikan manusia
terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi
dengan membuat kerusakan” (QS.Hud:85).
“Dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan” (QS.Al-Qashash :
77).
Hubungan
manusia dengan alam adalah hubungan yang dibingkai konsep “kemakhlukan” (eco-religy) yang patuh dan tunduk kepada Allah SWT. Dalam mazhab “kemakhlukan” ini manusia
memperoleh konsesi dari Maha Pencipta memperlakukan alam semesta dengan dua
tujuan. Pertama Al-Intifa’ (pendayagunaan) dalam arti mengkonsumsi maupun
memproduksi. Kedua Al-I’tifar (mengambil
pelajaran) dari hubungan manusia dengan alam maupun antara alam itu sendiri
(ekosistem), baik bersifat konstruktif (ishlah)
maupun berakibat destruktif (ifsod).
Tindakan ifsod terhadap lingkungan
dikategorikan sebagai kerusakan (mafasid) yang harus dihindari dan
ditanggulangi. Dengan demikian tindakan pengrusakan dan pelaku pengrusakan
lingkungan dikategorikan sebagai “melanggar “ syariat Allah.
Eco-Religion
Buku Man and Nature : The Spritual
Crisis Of Man ( London, 1976) karya Seyyed assein Nasr menjelaskan bahwa
krisis lingkungan berkorelasi dengan
krisis spritual-eksistensial yang menerpa kebanyakan manusia modern. Karena persepsi yang salah terhadap alam, maka manusia
telah menghancurkan dunia secara teori sebelum manusia menghancurkan dalam
praktek.
Agama memiliki “ lima filosofi R “
dalam menyelamatkan lingkungan yaitu : (1) Reference, yaitu keyakinan yang dapat diperoleh dari teks kitab
suci dan kepercayaan yang dimiliki masing-masing, (2) Respect, penghargaan kepada semua makhluk yang diajarkan oleh agama
sebagai makhluk Tuhan, (3) Restrain,
kemampuan untuk mengelola dan mengontrol sesuatu supaya penggunaannya tidak
mubazir, (4) Redistribusian, kemampuan untuk menyebarkan kekayaan;
kegembiraan dan kebersamaan melalui
langkah dermawan; misalnya zakat, infaq dan sadaqah dalam islam, (5) Resposibility, sikap bertanggungjawab
dalam merawat kondisi lingkungan dan alam.
Ilmuan dan pengambil kebijakan telah mulai menyadari pentingnya agama dalam mendiskusikan persoalan lingkungan. Eco-religi, menjadi trend model pengelolaan lingkungan ke depan.
Dalam dua dekade terakhir ini, setidaknya ada upaya para ilmuan dan agamawan
bersatu untuk menyikapi lingkungan. Hal tersebut terlihat sejak pertemuan
pemimpin agama dan sains dalam : Join
Appeal by Religion and Science for the Environment, bulan Mei 1992 di
Washington.D.C. Para ilmuan dan pemimpin agama bersatu menyatakan: “Kami yakin bahwa sains dan agama dapat
bekerjasama untuk mengurangi dampak yang berarti dan membuat resolusi atas krisis lingkungan
yang terjadi di bumi”. World Wildlife Fund (WWF) telah memfasilitasi
pertemuan seluruh pemuka agama untuk menghadapai krisis lingkungan di Assisi,
Italya tahun 1996 yang telah menghasilkan Assisi
Declaration, yang merupakan pernyataan peran dan pandangan agama dalam
pengelolaan lingkungan.
Lingkungan
hidup dalam perspektif Islam, telah menjadi nilai dasar Pergerakan Mahaswa Islam
Indonesia (PMII). Islam telah mengatur harmoni antara manusia dengan Tuhan (hablum minallah), hubungan manusia
dengan manusia (hablum minannas) dan
hubungan manusia dengan lingkungan (hablum
bil alam). Ideologi harmoni ini telah diadopsi organisasi mahasiswa yang
dilahirkan NU (PMII) menjadi kebijakan organisasi sebagai Nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII. Demikian
juga NU telah mengadopsi lingkungan dan perspektif Al-Quran dengan menfatwakan
haram hukumnya merusak lingkungan hidup.
NU dan Lingkungan
Nahdlatul
Ulama telah memfatwakan „haram“ hukum merusak/ mencemari lingkungan dalam
Muktamar ke 29 di Tasik Malaya tanggal 1-5 Desember 1994. Setiap tindakan yang
mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup harus dikategorikan sebagai perbuatan
maksiyat (munkar) yang diancam dengan hukuman. Mencemari/merusak
lingkungan (udara, air dan tanah) serta
keseimbangan ekosistem adalah haram dan
termasuk perbuatan kriminal (sirayat).
Oleh karena itu, terhadap kerusakan wajib diganti (rehabilitasi) oleh pencemar.
Selain
pidana denda, hukum Islam menerapkan pidana penjara, potong tangan dan kaki
sampai pada hukuman mati. “ Sesunguhnya
imbalan terhadap orang yang memerangi Allah dan RasulNya dan membuat kerusakan
di muka bumi hanyalah mereka dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki
mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya).
Yang demikian itu (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka di dunia. Dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar” (QS. Al-Maidah ayat 33).
Pada
muktamar NU ke-33 tahun 2015 ini, akan dibahas pula kesimpulan bahtsul masail diniyah waqi’iyah tentang kerusakan sumberdaya alam. Kesimpulan (awal) bahtsul masail
adalah:
1.
Haram melakukan
ekploitasi sumber daya alam yang
menyebabkan kerusakan lingkungan, baik yang dilakukan pemerintah maupun
oleh swasta, yang memiliki izin atau illegal karena mudhorot kerusakannya lebih besar daripada mashlahatnya.
2. Haram melakukan alih fungsi lahan produktif seperti
lahan pertanian, perkebunan atau ladang menjadi perumahan, perkantoran,
pabrik atau jalan. Alih fungsi lahan menyebabkan menurunnya produksi pangan.
Pemerintah berkewajiban menghentikan alih fungsi lahan yang mengakibatkan
mudhorot secara luas.
3. Hukumnya wajib, bagi pelaku
eksploitasi sumberdaya alam untuk menanggung kerugian dan merehabilitasi
sumberdaya alam.
4. Hukumnya wajib, bagi masyarakat
melakukan gerakan amar ma’ruf dan nahi munkar dan berjihad sesuai kemampuannya menolak eksploitasi
sumberdaya disekiktarnya.
Perhitungan
perbandingan nilai mashlahat berbanding dengan nilai mudhorotnya tidak seyogianya dinilai dengan nilai pasar (willingness to pay) yang lazimnya diukur dengan uang dalam transaksi ekonomi (market value). Nilai ekonomi sumberdaya alam yang dirusak
harus dihitung misalnya dengan metoda valuasi ekonomi menggunakan environmental accounting sumberdaya
alam. Semoga fatwa muktamar nantinya benar-benar bermanfaat bagi manusia dalam
alam. Amin.***
No comments:
Post a Comment