1. Terorisme
Terdapat tiga hal yang menjadi
penting untuk diketahui terkait dengan kejahatan kontemporer yang satu ini.
Pertama, pelaku kejahatan ini
tidak hanya berasal dari individu yang
mengatasnamakan penolakan terhadap suatu kebijakan
negara, tetapi dapat juga berasal dari negara yang diwakili oleh pemerintahan
otoriter untuk mempertahankan kedudukannya, sehingga kelompok yang dianggap
mengganggu pemerintahan bersangkutan berusaha dihilangkan .
Kedua, pelaku terorisme tidak
selamanya digerakkan oleh suatu kelompok
(organisasi), tetapi dapat pula oleh seorang (individu) saja. Ketiga,
istilah terorisme pada awalnya bertendensi positif, sebab negara berusaha
dipertahankan dengan mengatasnamakan kepentingan umum, sehingga siapa yang
hendak merongrong negara dan pemerintahan harus dijerat dengan hukum yang
berlaku.
Pertama, sebagai unjuk bukti dari negara juga bisa dianggap sebagai
pelaku teror dapat dirujuk dari pengertian teroririsme yang dikemukakan oleh
Fattah (1997):
"Terrorism comes from terror,
which comes from Latin word "terrere", meaning to frighten. Originally,
the word "terroe' was used to designate a mode of governing, aond word
"terrorism" was emplplayed to describe the systematic use of terror,
especially by government, as a means of coercion to force the governed into
submission."
Jadi, menurut Fattah terorisme
berasal dari kata " teror," yang berasal dari kata
Latin"terrere",lartg berarti menakut-nakuti. Awalnya, kata "
terroe" digunakan untuk menunjuk-
an cara memerintah, dan kata "terorisme"
digunakan untuk menggambarkan penggunaan teror secara sistematis, terutama oleh
pemerintah, sebagai sarana pemaksaan untuk memaksa diatur sehingga menjadi
tunduk." Pengertian ini sebagaimana dikemukakan oleh Fattah, sering
dijadikan bahan analisis terhadap "kepincangan" Amerika Serikat dalam
memerangi terorisme. Di satu sisi selalu mempropagandakan perang melawan
teroris, tetapi di sisi lain banyak melakukan aksi teror dari pasukannya yang
di kirim seperti di Afganistan, Irak, hingga menimbulkan banyak korban dari
penduduk sipil.
Soal yang kedua, teroris bukan
hanya dari suatu kelompok saja, ilustrasi kasus terhadap terorisme yang
dilakukan oleh individu dapat diamati dalam kasus Theodore John Kacynski yang
melakukan serangkaian terror bom selama hampir 15 tahun hanya seorang diri.
Pelaku yang oleh Federal Bureau of Investigation (FBI) dijuluki sebagai
Unabomber itu baru tertangkap pada tahun 1996 (Nitibaskara:2002). Pela ku
terorisme individual lainnya yang tak kalah menggegerkan masyarakat Amerika
Serikat (AS) adalah Timothy Mc' Veigh. Prestasinya menghancurkan gedung
bertingkat delapan belas di Oklohama City pada tahun 1995, dan dicatat oleh
pers AS sebagai "the worst domestic terrorism in American history." Adapun
untuk skala terorisme yang dilakukan oleh suatu kelompok, kasus ini sekarang
banyak yang terjadi, seperti kelompok Osama bin Laden, ISIS, di Indonesia ada
NII.
Terakhir, istilah terorisme pernah
berkonotasi positif, yaitu dapat ditesuri berdasarkan sejarah revolusi Perancis
(1793-1794), guna meredam kekacauan dan pemberontakan rakyat, yang mencirikan
bahwa kegiatan rezim tersebut bersifat terorganisasi, deliberate, dan
sistematis, dan bertujuan untuk menggantikan sistem yang korup dan tidak
demokratis. Rezim Perancis setelah Revolusi ini disebut " Republik de la
terreul' (Republik Teror) di bawah pimpinan Robespierre.
Berdasarkan apa yang telah
dikemukakan di atas, maka selanjutnya terorisme dapat disimpulkan kalau
pelakunya terdiri atas dua golongan: (a) negara (state terrorism) yang biasanya
dilakukan oleh rezim pemerintahan yang korupsi, represif, dan otoriter; (b)
non-negara (nonstate terrorism), yaitu terorisme yang ditujukan terhadap
negara, baik yang mengatasnamakan individu maupun suatu kelompok.
Memang agak sulit untuk
mendapatkan definisi yang tepat perihal terorisme, banyak penjelasan yang
dikemukakan atas itu, baik melalui para ahli, perjanjian internasional maupun
oleh suatu lembaga, berikut uraiannya:
a. Terrorism
has been defined as the sub-state application of violence or threatened violence
intended to show panic inm society, to weaken or every ouerthrow the incumbents,
and to bring about political change. It shades on occasion into guerrilla
warfare (although unlike guerrillas, terrorists are unable or unwilling to take
or hold territory) and even a substitute for war between state." (Laqueur,
1996: 24);
b. Recognizingthe
growinglinks between terrorism and organized crime, including illicit trafficking in arms, narcotics, human beings
and money laundering (Conuention of the Organkation of the Islamic
Conference on Combalting International Terorism ( I 999) ;
c. International terrorism is terrorism conducted
with support of foreign governments or organization andlor directed against foreign
nations, institutions, or governments (US Central Intelligence Agency/ClA) ;
d. Terrorism is
unlawful use of force or violence against person or property to intimidate or
coerce a gouvrnment, the civilian population, or any segment there of in
furtherance of political or social objectiues (US Fedcral Bureau of
Inaestigation /FBl);
e. Terrorism is
premeditated, politically motivated violence perpetrated against a noncombatant
target by subnational groups or clandestine state agents, usually intended to
influence an audience International terrorism is terrorism involving the
citizens or territory of more than one country (U S Departmens of State and
Defense) ;
f. Act of
terrorism" means an activity that involues a violent act or an act
dangerous to human lifu that is a violation of
the criminal laws of the US or of any State or that would be a criminal violation
if committed within the jurisdiction of the US or of any State, and appears to
be intended: (i) to intimidate or coerce a civilian population; (ii) to
influence the policy of a government by
intimidation or coercion, or (iii) to
affect the conduct of a government by assassination or kidnapping (Black
Law Dictionary).
Pengertian terorisme yang telah
dikemukakan di atas, pada pokoknya menggambarkan kalau negaralah yang menjadi
objek penyerangan meskipun sasaran antaranya melalui serangan, pengancaman,
kekerasan secara acak (tidak terdapat hubungan dengan pelaku) kepada property
negara, alat kekuasaan negara (seperti kepolisian dan tentara), hingga pada
penduduk sipil.
Selanjutnya, bagaimana dengan
hukum nasional kita mengatur tentang kejahatan terorisme? Hal ini dapat diamati
berdasarkan Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dalam Pasal 6 UU a quo ditegaskan:
"Pelaku tindah pidana terorisme
adaaah setiap orang yang dengon sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, atau
menimbulkan korban yong bersifat massal. Dengan cara merampas kemerekaan atau hiangnyo nyawa dan harta benda orong
lain. Mengakibatkan kerusakan atau
hehancuran terhadap objek-objeh vital yong
strotegis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas
internasional."
Adapun dalam Pasal 7 ditegaskan pula:
"setiop orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau
tindakan ancaman kekerasan yang dimoksudkan untuk menimbulkan suasana teror otau
rasa takut terhadap orang secara luas atau
mengakibatkan kerusakan atau hehancuran terhadap objek-objek vitol yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas
publik, atau fasilitas internosional."
Dua ketentuan yang telah dikutip
di atas, sepintas lalu tidak ada perbedaan, tetapi dalam hal menjerat
pelakunya, terdapat perbedaan yang signifikan. Pasal 6 sebenarnya terkualifikasi
sebagai delik materiil, hal ini terlihat dari frasanya "menimbulkan
suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas." Harus ada
akibat dari perbuatan si pelaku itu, yakni menimbulkan suasana teror, dan
seterusnya. Adapun pada Pasal 7 ketentuannya tergolong sebagai delik formil, sebagaimana
dalam frasanya "dimaksudkan untuk menimbulkan suasana teror." Yaitu
baru bermaksud, atau dalam tahap permulaan pelaksanaan saja sudah dapat
terjerat dalam tindak pidana terorisme. Sebaiknya, ketentuan Pasal 7 dihapus
saja, dengan alasan, tindak pidana terorisme merupakan kejahatan yang sudah
digolongkan kejahatan ekstra, maka cukup dengan Pasal 6 pun sudah dapat
menjerat pelakunya. Dalam frasa "sengaja" sudah tercakup dalam makna
"dengan maksud." Lebih konkretnya untuk penjelasan atas ketentuan
ini dapat merujuk ke KLIHP, tindak pidana makar yang
dalam konteks "serangkaian permulaan pelaksanaan" put sudah terjerat
dengan ancaman pidana, selesai atau tidak selesainya mewujudkan perbuatannya
sama semua ancaman pidananya.
Beralih pada sudut pandang
kriminologi atas jenis kejahatan ini. Dengan perspektif "etiologi
kejahatan" basis utamanya dapat dirujukan kembali teori radikal yang
pernah dikemukakan oleh Richard Quinney dan William Chambils. Kedua ahli
tersebut memandang kalau kejahatan berawal dari dominannya sistem kapitalisme,
sehingga mereka yang berada dalam tekanan atas sistem itu melakukan
pemberontakan. Kendatipun demikian dalam beberapa kejahatan terorisme bukan
lagi mengatasnamakan sosialisme untuk melawannya, seringkali ideologi atas nama
agama dalam paradigmahitamputih sebagai pijak menolak sistem kapitalisme
tersebut.
Setidaknya, faktor penyebab kejahatan terorisme
terjadi, seperti kasus-kasus teror yang terjadi di Indonesia dapat dibagi
sebagai berikut:
a. Dengan perubahan
rezim pemerintahan yang berdampak pada terbukanya hubungan antar negara, belum
lagi sarana dan tekhnologi informasi sehingga memudahkan komunikasi antar
setiap orang, maka jaringan terorisme denganlebih gampang memperluas pula
pengaruhnya ke beberapa negara;
b. Dengan masuknya jaringan terorisme ke dalam negeri, pada
akhirnya gampang merekrut anggota yang berasal dari golongan ekonomi menengah,
golongan yang anti-kemapanan. Dari golongan-golongan merekalah kemudian
dijadikan kelompok baru untuk melakukan aksi teror sebagai bagian dari perang
terhadap isu kapitalisme global, termasuk perang terhadap negara sendiri dengan
melakukan perusakan secara massal terhadap property negara;
c. Untuk negara
seperti Indonesia, masih dalam tahap negara berkembang, belum mampu memberikan
kesejahteraan merata, menyebabkan banyak yang memilih jalan melawan kebijakan
pemerintahan dengan masuk dalam kelompok jaringan terorisme;
d. Ketimpangan yang terjadi di mana-mana, seperti kemiskinan,
daerah tertinggal, lalu pejabat pemerintah banyak yang melakukan korupsi maka
banyak pula memilih jalan radikalisme agama untuk mengganti sistem pemerintahan
berdasarkan "ideologi suci" yang dipahaminya;
e. Perlakukan sewenang-wenang terhadap anggota terorisme
akibat tertangkap oleh aparat penegak hukum menjadi pemicu "balas
dendam" dari anggotanya yang belum tertangkap, yakni mereka yang masih
dalam persembunyian.
Dengan mempelajari beberapa faktor
penyebab kejahatan terorisme, maka selanjutnya langkah penanggulangan yang dapat
diambil sebagai berikut:
a.
Setiap negara harus melakukan kerja sama
internasional dalam menelusuri jejaring terorisme;
b. Seyogianya pemerintah melakukan koordinasi lintas
instansi, lintas nasional secara berkesinambungan baik melalui langkah represif,
preventif, preemtil maupun rehabilitasi;
c. Memotong jaringan terorisme melalui
resosialisasi dan reintegrasi para pelaku terorisme ke dalam masyarakat;
d. Pembangunan ekonomi sejahtera dan merata ke
setiap daerah, sehingga tak ada lagi
daerah yang merasa dimarginalkan;
e.
Melakukan penyuluhan dan sosialisasi
tentang bahaya ancaman terorisme;
f. Menanamkan sikap anti terorisme dalam setiap pendidikan
formal mulai dari tingkat pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, demi
menghindari pengaruh radikalisme dari jaringan teroris terhadap generasi
selanjutnya.
Terorisme sebagai kejahatan yang
terorganisasi, bahkan sudah ditempatkan sebagai kejahatan transnasional, perlu pula
diperhatikan fase penanggulangan dalam tahap penindakannya, kendatipun kejahatan
ini telah digolongkan sebagai kejahatan yang sifatnya ekstra, sebaiknya lebih
diutamakan pendekatan persuasif terhadap mereka, menyerahkan diri secara
sukarela dengan jaminan pemerintah harus menanggung perekonmian keluarganya.
Penegakan hukum atas pelaku teroris jangan sampai over-kriminalisasi, harus
tetap berjalan dalam due process of law,jangan membiasakan pelaku ditembak di
tempat, tetapi hukumlah dengan melindungi juga hak asasinya hingga jatuhnya
putusan pengadilan inkrah.
2. Cyber Crime
Beberapa kejahatan yang dahulu
bersifat konvensional, banyak bertransformasi dalam kejahatan jenis baru,
penipuan online, penghinaan melalui online, pengancaman melalui online, dan
judi online. Sifat kebaruan dari pola kejahatannya itu karena menggunakan
sarana internet. Bahkan yang tidak tergolong kejahatan dalam hukum pidana,
hanya kriminologi memandangnya sebagai kejahatan juga sudah terjadi melalui media
online,seperti prostitusi online.
Selain itu, dalam kejahatan yang
sudah dianggap sebagai kejahatan kontemporer pun mengalami transformasi,
seperti perdagangan narkotika melalui online, cyber terorism, hingga
perdagangan orang secara o nline (trafficking) .
Pendekatan sosiologi kriminal
sudah pastinya memberikan kesimpulan kalau cyber crimefaktor penyebab utamanya,
karena perkembangan teknologi yang dapat memudahkan setiap orang untuk menjalin
komunikasi, dengan melalui sarana elektronik yang berakses internet.
Digolongkan kemudian cyber crime
sebagai kejahatan kontemporer dengan berpijak pada kekosongan hukum atas perbuatan
yang dilakukan oleh pelakunya, sebab dahulu dari beberapa perbuatannya tidak
terakomodasi dalam regulasi hukum pidana. Iadi, dapatlah dikatakan kalau cyber
crime diklasifikasikan sebagai tindak pidana khusus, bukan karena pola
kejahatannya saja yang sulit teridentifikasi, namun juga disebabkan
undang-undang yang akan menjeratnya belum ada. Cyber crime dapal dikatakan
sebagai dasar dilembagakannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Dengan demikian, kalau sebelumnya
sulit menjerat pidana bagi pelaku cyber crime, seperti pembobolan bank yang menggunakan
kredit palsu hanya dengan tindak pidana pencurian dan tindak pidana pemalsuan,
kini akan terjerat dengan kejahatan di bidang ITE. Termasuk pula, pembobolan website,
akun-akun milik pemerintah, akun badan negara, sebagaimana sama sekali tidak
akan mampu terjerat dengan KUH Pidana, sekarang akan terjerat dengan UU ITE.
Sederhana untuk mengetahui apa
yang dimaksud dengan cyber crime, tapi itu hanya berdasarkan arti harfiahnya
saja, namun dari segi penggolongannya cukup banyak yang terkualifikasi sebagai
cyber crime.
Cyber crime ada yang
mengartikannya "kejahatan dunia maya." Ada juga yang memaknainya
"kejahatan internet." Akan tetapi, di dalam berbagai literatur tetap
masih menggunakan bahasa aslinya (bahasa Inggris) dengan menggunakan istilah
" cyber crirne."
Menurut Donner, Marcum, fennings,
Higgins, & Banfield (2014) menjelaskan bahwa cyber crime secara luas dapat dipahami
sebagai perilaku destruktif, pencurian, penggunaan secara illegal, tanpa izin
memodifikasi atau mengkopi informasi, program, aplikasi, peralatan maupun
jaringan komunikasi.
Penggolongan cyber crime oleh
Rogers (dalam Kurniadhani: 2014) yang berangkat dari kategori orang yang masih baru mengenal
internet hinggayang amatiran dan kejahatannya yang sudah berskala besar
terbagi-bagi sebagai berikut:
a. Script Kiddies
(SK), individu dengan kemampuan teknis yang terbatas, tanpa benar-benar
memahami apa dampak dari perilakunya. Faktor-faktor utama kategori ini adalah
ketidakdewasaan (immaturity), peningkatan ego dan pencarian sensasi: efek
adrenalin, memiliki rasa moralitas yang belum berkembang (dapat dilihat dari
skala moralitas Kohlberg, hedonism instrumental naifi. Ciri yang kentara yakni
kerap sesumbar atau pamer tentang eksploitasi yang mereka lakukan, mencari-cari
perhatian hingga menyerang ego dari pihak lain;
b. Ciber-punks (CP),
kelompok yang "memperluas" mentalitas punk ke dunia maya. Kelompok
ini tidak memiliki rasa hormat dan tidak perduli pada wewenang, simbol-simbol
dan norma-norma sosial. Dorongan utama perilaku mereka adalah kebutuhan atas
pengakuan atau ketenaran dari rekan-rekan (peers) dan masyarakat. Demografi
kategori ini didominasi oleh laki-laki berusia 12 hingga 18 tahun. Mereka telah
memahami konsekuensi dari tindakan mereka pada pihak lain,tetapi masih kurang peduli karena
konsekuensi atas diri mereka masih sangat ringan (misalnya, hanya ditampar bila
tertangkap). Mirip dengan SK, kelompok ini juga memiliki rasa moralitas yang
sangat rendah. Rasa takut bukan merupakan penghalang, karena status pernah
ditangkap atau semakin sering tertangkap membuat mereka semakin bangga: identik
dengan lencana kehormatan dan dapat mengangkat reputasi mereka sebagai pahlawan
komputer bawah tanah (undergroundfolk hero).
c. Haaktivist (H), istilah yang digunakan untuk individu ataupun
kelompok yang melakukan perilaku menyimpang, tetapi dengan kamuflase semantik
untuk menyamarkan tindakannya. Para pelaku cenderung membenarkan perilaku destruktifnya
dengan label,pembangkangan publik" dan pembenaran politik dan moral atas
perilakunya. Data empiris menunjukkan bahwa motivasi politik merupakan dorongan
yang tidak terlalu menentukan. Motif yang lebih mendasar adalah balas dendam,
kekuasaan, keserakahan, pemasaran, atau perhatian media;
d. Thieves (T), termasuk kategori penjahat pada umumnya. Motivasi
utamanya adalah perolehan finansial dan keserakahan. Target serangan kelompok
kategon ini biasanya adalah kartu kredit dan rekening bank yaitu penipuan transfer
bank dan penyalahgunaan nomor kartu kredit. Sejalan dengan kejahatan pencurian
ini adalah pencurian identitas.
e. Virus Writers (VW), dimulai dari masa remaja dan berkembang
hingga menjadi kategori mantan pembuat (ex - writer) sejalan dengan
perkembangan dan kedewasaan kognitif dan kronologisnya. Terdapat sensasi pada
tantangan mental dan latihan akademik (belajar) pada proses pembuatan virus. Latihan
akademik/intelektual terkait konsekuensi virus buatannya biasanya terjadi
setelah virus itu tersebar luas. Sering kali, orang yang menyebarkan virus
bukanlah orang yang menciptakannya. Orang yang menyebarkan virus memiliki
karakteristik dan motivasi yang mirip dengan kelompok CP, yang menginginkan
perhatian, pencarian sensasi, dan tidak takut sanksi;
f. Professional (P),
kelompok kategori yang paling elite dalam kelompok penjahat cyber, yang
memiliki inteligensi kompetitif dan aktivitas yang abu-abu. Individu (P) ini dapat terlibat dalam penipuan
tingkat tinggi hingga spionase korporat. Mereka akan menjual informasi dan property
intelektual pada penawar tertinggi. Sangat sedikit informasi terkait kelompok
klandestin ini karena mereka menggunakan anonimitas yang sangat ketat untuk menutupi
aktivitasnya. Bagi kelompok ini, aktivitasnya merupakan sebuah pekerjaan dan
mereka adalah benar- benar profesional;
g. Ciber-terrorist (CT) dapat berupa bagian dari militer atau
paramiliter sebuah negara dan diposisikan sebagai tentara maupun sebaliknya
sebagai pejuang pembebasan dalam medan perang dunia maya. Tujuan mereka sama
seperti militer tradisional, yaitu untuk memenangkan pertempuran atau
peperangan. CT menjalankan dua fungsi yaitu menyerang sistem pertahanan dan
masyarakat musuh dan melindungi sistemnya sendiri dari serangan serupa dari
pihak lawan.
Berdasarkan penggolongan cyber
crimeyang telah dikemukakan di atas, maka selanjutnya dijelaskan oleh Rogers (2010)
faktor penyebab munculnya kejahatan tersebut, di an-
taranya:
a. Social
learning theory, teori ini mengemukakan bahwa seseorang mula-mulanya belajar
dari lingkungan pergaulannya, melalui proses belajar, imitasi, sehingga pada
akhirnya bisa mandiri melancarkan kejahatannya. Rata-rata dari mereka yang
sudah mahir saling bertukar informasi, mereka pada bersaing menunjukkan kemampuannya
untuk mendapatkan pengakuan yang disebut reinforcement.
b. Moral
dis-engagement theory, oleh karena sulitnya terdeteksi para pelaku cyber
crime, sering kali mendapatkan apresiasi dari keberhasilannya, bergeser
kemudian penilaian terhadap perbuatannya, bahwa ia bekerja sebagai anjing
penjaganya masyarakat, mempertahankan "mata waspada" pada vendor tak
bermoral dan pemerintahan tirani, sehingganya mengalami pembebasan moral, tanpa
lagi memikirkan perasaan bersalah dan kecaman diri sendiri, kendatipun misalnya
ia telah melakukan pembobolan website,
c. Anonymity,
anonimitas cenderung memunculkan kepribadian yang terburuk pada diri individual
ketika ia online, karena mereka yakin bahwa me r eka ano nymo as dan dapat berpura-pura
menjadi persona-persona samaran. Hal ini disebabkan perilaku online merupakan
refleksi diri individu yang sebenarnya dalam kondisi tanpa kontrol diri dan tanpa
norma atau tekanan sosial (Kurniadhani, 2014).
Berpijak dari penyebab kejahatan
tersebut di atas, maka langkah-langkah yang dapat diambil guna penanggulangannya
sebagai berikut:
a. Di tingkatan pencegahan yaitu masyarakat harus konsisten
untuk memposisikan perilaku cyber crime sebagai perilaku yang tidak dapat
diterima dan ditoleransi dalam masyarakat. sebagaimana kriminal di dunia riil,
berhenti memberikan pengakuan kepada pelaku, berhenti menerbitkan buku panduan
maupun tulisan tentang keberhasilan cybercrime yang ditulis oleh para pelaku,
berikan penolakan dan opini tentang kerusakan atau kerugian yang diakibatkan
oleh perilaku cyber crime,Iibatkan pelaku untuk bertemu administrator sistem,
turut merasakan bagaimana banyak usaha, waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk
mengembalikan sistem seperti semula dan merasakan kerusakan dan kerugian dari
terbukanya informasi yang dilindungi sistem tersebut, menanamkan pendidikan
online "sehat" selama masa kritis proses perkembangan individual,
khususnya perkembangan moral masa remaja dan dewasa awal;
b. Di tingkat penindakan sudah pastinya kriminalisasi atas setiap
perbuatan tersebut melalui cyber crime law,bersama dengan itu harus diikuti
dengan pola penindakan dari penyidik yang mengetahui jaringan media dan
informasi elektronik (Kurniadhani, 201 4).
Pada kenyataannya, banyak pelaku
cyber crimeyang berasal dari anak-anak remaja, mereka tidak bertendensi untuk mencari
kekayaan. Ada yang hanya ingin menunjukan keterampilannya, sistemnya coba-coba
(trial and error), di antara teman-temannya ingin menunjukan eksistensi diri,
soal siapa yang paling tinggi pengetahuan internetnya. Dalam hemat penulis,
golongan yang seperti ini seharusnya mendapat perhatian, bakat mereka harus
disalurkan, pemerintah harus menanggung pendidikannya (pemberian beasiswa) agar
kelak dapat dimanfaatkan untuk keamanan negara dari pola kejahatan cyber crime.
Lebih dari pada itu, arus media
kadang melabelisasi semua tindakan yang bisa menerobos jaringan, dianggap sebagai penjahat.
Pada akhirnya, mereka yang berbuat jahat masih merasa dalam golongan yang
baik-baik, mereka dicap sebagai hacker, padahal hacker iuberkonotasi positif.
Hacker adalah sebutan untuk orang atau sekelompok orang yang memberikan
sumbangan bermanfaat untuk dunia jaringan dan sistem operasi, membuat program
bantuan untuk dunia jaringan dan komputer. Hackermerupakan perkerjaan yang
dilakukan untuk mencari kelemahan suatu sistem dan memberikan ide atau pendapat yang dapat memperbaiki
kelemahan sistem yang di temukannya.
Adapun cracker adalah sebutan untuk orangyang mencari kelemahan sistem dan
memasukinya untukkepentingan pribadi dan mencari keuntungan dari sistem yang dimasuki
seperti: pencurian data, dan penghapusan. Jadi, sebenarnya yang dapat
dikualifikasi sebagai cyber crime, adalah cracker.
Sumber:
A.S.Alam dan Amir Ilyas.2018. Kriminologi Suatu Pengantar. Prenadamedia
Group. Jakarta (hal.139 -152)
Tugas Mandiri:
1.
Apakah tujuan mempelajari kriminologi
kontemporer dalam hukum pidana?
2. Apakahyangdimaksud:
c. Terorisme?
d. Cyber crimel
3. Apakah faktor penyebab terjadinya:
c. Terorisme?
d. Cyber crimd
4. Bagaimana cara penanggulangan kej ahatan kontemporer berikut ini:
c. Terorisme?
d. Cyber crimd