1. Proses
pemidanaan dalam hal ini mengandung pengertian umum dan konkret. Dalam arti
umum, proses pemidanaan sebagai wewenang sesuai asas legalitas, yaitu poena dan
crimen harus ditetapkan lebih dahulu apabila hendak menjatuhkan pidana atas
diri pelaku pidana. Dalam arti konkret, proses pemidanaan berkaitan dengan
penetapan pidana melalui infrastruktur penitensier (hakim, petugas lembaga
pemasyarakatan, dan sebagainya). Di sini terkandung tuntutan moral, dalam wujud
keterkaitan filosofis pada satu pihak, dan keterkaitan sosiologis dalam kerangka
hubungan antar manusia dalam masyarakat. Secara sosiologis, masyarakat sebagai 'system of institutionnal trust/sistem
kepercayaan yang melembaga, dan terpadu melalui norma yang diekspresikan dalam
struktur kelembagaan seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga
koreksi. Terjadinya kejahatan atas diri korban bermakna penghancuran sistem
kepercayaan tersebut, pengaturan hukum pidana dan hukum lain yang menyangkut
masalah korban berfungsi sebagai sarana pengembalian sistem kepercayaan
tersebut.
2. Adanya
argumen kontrak sosial, yaitu negara memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap
kejahatan dan melarang tindakan yang bersifat pribadi, dan argumen solidaritas sosial
bahwa negara harus menjaga warga negaranya dalam memenuhi kebutuhannya/apabila
warga negara mengalami kesulitan, melalui kerja sama dalam masyarakat
berdasarkan atau menggunakan sarana yang disediakan oleh negara. Hal ini bisa
dilakukan baik melalui peningkatan pelayanan maupun melalui pengaturan hak.
3. Perlindungan
korban dikaitkan dengan salah satu tujuan pemidanaan, yaitu penyelesaian
konflik. Penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh adanya tindak pidana,
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Hal ini
juga diadopsi dalam rancangan konsep KUHP Nasional yang baru (Pasal 47 ayat 1
ke-3).
Penulis sepakat
untuk beberapa hal pendapat Muladi tersebut. Namun ada bebarapa hal yang perlu
dikembangkan, yaitu bahwa pertama perlindungan terhadap korban diartikan sebagai
apabila pelaku telah dipidana dan diproses. Padahal, proses pemidanaan tidak
hanya pada saat hakim mulai bekerja, namun dalam saat tingkat kepolisian pun
proses pemidanaan tersebut telah dimulai, dan korban terlibat didalamnya. Oleh karena
itu, perlindungan korban perlu pula ditekankan perhatian terhadap bagaimana
bekerjanya proses peradilan pidana tersebut dilangsungkan oleh aparat penegak
hukum mulai dari kepolisian. Apakah bekerjanya aparat penegak hukum tersebut justru
menimbulkan 'second viktimization’terhadap
korban.
Korban kejahatan
dapat hadir dalam proses peradilan pidana dengan dua kualitas berbeda. Pertama,
korban hadir sebagai saksi. Fungsi korban untuk memberi kesaksian dalam rangka
pengungkapan kejahatan yang sedang dalam proses pemeriksaan, baik pada tahap
penyidikan, tahap penuntutan, maupun pada tahap pemeriksaan di sidang
pengadilan. Kedua, korban hadir sebagai pihak yang dirugikan. Fungsi korban
dalam hal ini, yaitu mengajukan tuntutan ganti kerugian terhadap pelaku
kejahatan yang telah mengakibatkan atau menimbulkan kerugian/penderitaan pada
dirinya.
Paradigma
perlindungan korban dikonstruksikan oleh hukum dan perundang-undangan yang
berlaku, yaitu KUHP dan KUHAP termasuk kebijakan instansional birokrasi penegak
hukum. Oleh karena itu, bentuk perlindungan korbanpun telah dikonstruksikan
dalam perundang-undangan. Dalam hal ini berarti bahwa realitas sosial
perlindungan korban dimungkinkan mengalami pendegradasian karena adanya
kekurangan atau hambatan dalam perundang-undangan, sehingga kurang mengakomodasi
respons terhadap korban.
Sehubungan
dengan upaya perlindungan korban melalui peradilan pidana selama ini banyak
ditelantarkan. Masalah Kejahatan senantiasa difokuskan pada apa yang dapat
dilakukan terhadap penjahat dan kurang dipertanyakan apa yang dapat dilakukan terhadap
korban. Setiap orang menganggap bahwa jalan terbaik untuk menolong korban
adalah dengan menangkap si penjahat, seakan-akan penjahat merupakan
satu-satunya sumber kesulitan bagi korban.
Hal ini terlihat
dari pendapat Marc Ancel mengenai 'social defence'. Konsep modern social
defence menurutnya diinterpretasikan sebagai 'The prevention of crime and
the treatment of offenders. Dikemukakan oleh Ancel lebih lanjut, bahwa
konsekuensi dari konsep modern 'social defence' tersebut berarti tujuan
dari politik hukum pidana adalah 'systematic
resocialization of offender. Konsep ini berusaha menjaga hak-hak sebagai
manusia dari pelaku kejahatan, meskipun ia harus membayar kejahatan atau
hukumannya.
Jelaslah
terlihat dari pendapat Marc Ancel tersebut, bahwa konsep perlindungan
sosial diasumsikan sebagai pencegahan kejahatan dan pembinaan pelaku
kejahatan, mengindikasikan korban kurang mendapat perhatian dari konsep
ini. Perlindungan terhadap korban hanya diartikan secara tidak langsung dengan
pencegahan terjadinya kejahatan, yang seolah sudah tercapai bila
pelakunya telah dipidana. Perlindungan korban menjadi teranulir dan
limitatif dalam konsep ini, dan tidak memberikan wawasan bagi upaya
pencarian 'acces to justice and fair
treatment to the victim' maupun pemikiran terhadap compensation, restitution, dan assistance.
Dalam Simposium
pembaharuan Hukum Nasional 1980, dinyatakan perumusan yang luas mengenai
konsep perlindungan masyarakat, yaitu di samping perlindungan masyarakat dari
kejahatan serta keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat,
juga dimasukkan unsur perlunya memperhatikan kepentingan korban.
Perspektif
perlindungan korban sebagai unsur dalam kebijakan perlindungan masyarakat
dicantumkan pula pada hasil Kongres di Milan Italia, sebagaimana dikutip Barda
Nawawi Arief dalam Declaration of Justice for Victim of Crime and
Abuses of Power, yang menyatakan bahwa: “Victims rights should be perceived
as an integral part of total criminal justice system.” Oleh karena
itu, ditegaskan Barda Nawawi Arief bahwa perhatian terhadap hak korban harus
dilihat sebagai bagian integral dari keseluruhan kebijakan criminal.
Berdasar
terminologi di atas, jelaslah dan perlu digarisbawahi bahwa dalam rangka
perlindungan hukum terhadap korban, maka perlindungan korban harus dijadikan
sebagai bagian dalam upaya penegakan hukum pidana sebagai bagian dari
kebijakan sosial yang merupakan usaha bersama untuk meningkatkan
kesejahteraan/social welfare policy
dan social defence policy yang mengakomodasi hak-hak korban.
Apabila dikaitkan
dengan perlindungan korban, maka perspektif viktimologi memberikan muatan
kebijakan terhadap perlindungan korban. Dalam sisi upaya orientasi
viktimologi untuk mencapai kesejahteraan, maka terkait pula dengan
kebijakan perlindungan korban sebagai bagian integral dari kebijakan
perlindungan masyarakat secara keseluruhan, yaitu dalam rangka mencapai
kesejahteraan sosial.
Perlindungan
korban adalah sebagai bagian integral pula dari kebijakan kriminal. G.
Peter Hoefnagels mengutip pendapat Marc Ancel, bahwa “The science of
criminal policy is the science of crime prevention ..., criminal policy is the
rational organization of the social reaction of crime science of crime
prevention. Dalam bagannya Hoefnagels mengemukakan bahwa Criminal policy
as a science of policy is part of a larger policy: The Law enforcement policy
... The legislative and enforcement policy is in turn part of social policy.
Politik kriminal sebagai usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan
adalah melalui jalur penal dan nonpenal. Dalam tulisan ini dikhususkan
kebijakankriminal melalui sarana hukum pidana.
Sehubungan
dengan tujuan sistem peradilan pidana secara keseluruhan, penulis mengutip La
Patra bahwa ‘All the Criminal Justice System sub systems
legitimately may expect to participate
in one or more of these activities in order to contribute to the entire
system's welfare'. Lebih lanjut dikemukakan La Patra, bahwa three major goals
of the overall CJS are the identification and processing offenders, the control
of violence, and the provision
emergency services.
Untuk menjelaskan hal tersebut
perlu dikemukakan terlebih dahulu bagan sebagai berikut:
Kebijakan
kesejahteraan sosial
Kebijakan
Sosial Tujuan
Kebijakan
Perlindungan Masyarakat
Sarana
Penal
Kebijakan
Kriminal
Sarana
Nonpenal
Jelaslah bahwa
keterpaduan antara kebijakan kriminal dan kebijakan sosial mencakup kebijakan
kesejahteraan masyarakat dan kebijakan perlindungan masyarakat berkonsekuensi pada
perlunya perhatian terhadap korban. Dalam hal ini social defence
sebenarnya tidak hanya ditujukan sebagai 'the systematic resocialization of
the offender sebagaimana dikemukakan Marc Ancel di atas, tetapi terfokus
pula pada perlindungan hak asasi dan martabat korban dalam proses peradilan
pidana yang juga tak lepas dari kebijakan untuk mencapai kesejahteraan bagi
korban atau masyarakat. Dalam kata lain orientasi viktimologi juga tak lepas
dari kesejahteraan masyarakat, masyarakat yang tidak menderita atau masyarakat
yang tidak menjadi korban dalam arti luas.
Sehubungan
dengan bagan tersebut, menarik pendapat yang dikemukakan oleh Jaksa Agung dalam
Seminar Nasional ‘menggugat pemikiran Hukum Positivistik di Era Reformasi, yaitu
bahwa hukum dan penegakan hukum tidaklah memiliki tujuan sendiri yang terlepas
dari tujuan masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain dinyatakan bahwa
berdasarkan keterkaitan kebijakan pidana dan kebijakan penegakan hukum dengan
kebijakan sosial, maka pandangan dan pendekatan positivistik dalam penegakan
hukum jelas tidak akan mendukung upaya pencapaian tujuan masyarakat.
Penulis
sependapat dengan hal tersebut, bahwa dalam rangka pencapaian perlindungan dan
kesejahteraan khususnya bagi korban, maka orientasi yang perlu diperhatikan
adalah keadilan substansial dalam rangka perlindungan terhadap korban dengan
memperhatikan nilai-nilai humanisme. Dinyatakan oleh Bassiouni sebagaimana
dikutip Barda Nawawi Arief, bahwa tujuan yang ingin dicapai oleh pidana pada
umumnya terwujud dalam kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai tertentu
yang perlu dilindungi. Kepentingan sosial itu menurut Bassiouni yaitu:
1. Pemeliharaan
tertib masyarakat.
2. Perlindungan
warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya yang tak dapat
dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain.
3. Memasyarakatkan
kembali (resosialisasi) para
pelanggar hukum.
4. Memelihara
atau mempertahankan integritas pandangan dasar tertentu mengenai keadilan
sosial, martabat kemanusiaan, dan keadilan individu.
Bertolak dari
pemikiran di atas, sudah sewajarnya bahwa kepentingan korban diperhatikan. Oleh
karena itu, masalah utama atau objek hukum pidana seyogianya di samping masalah
perbuatan pidana, pertanggungjawaban, dan pidana, juga meliputi permasalahan
korban..
Perlindungan
korban dalam peradilan pidana terkait dengan perlindungan korban sebagai bagian
dari kebijakan perlindungan masyarakat dan kebijakan kesejahteraan sebagai bagian
dari kebijakan sosial. Keterpaduan antara kebijakan kriminal dan kebijakan
sosial berkonsekuensi pada perlunya perhatian terhadap korban. Pengakomodasian
hak-hak asasi korban melalui perlindungan hukum terhadapnya merupakan bagian
integral pula dari keseluruhan kebijakan kriminal.
G. Peter
Hoefnagels mengutip pendapat Marc Ancel bahwa the science of criminal policy is the science of crime prevention, criminal
policy is the rational organization of the social reaction of crime science of
crime prevention. Dalam bagannya, Hoefnagels mengemukakan bahwa 'Criminal policy as a science of policy is part
of a larger policy: The law enforcement policy, dan bahwa criminal policy dan law enforcement policy
adalah bagian dari social policy.
Politik kriminal sebagai usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan, melalui
jalan penal sistem peradilan pidana dan nonpenal. Jalur penal meliputi hukum
pidana materiel, hukum pidana formal, dan hukum pelaksanaan pidana.
Penanggulangan kejahatan melalui sarana penal lazimnya diawali dengan langkah
merumuskan norma-norma hukum pidana yang di dalamnya terkandung unsur-unsur
yang bersifat substantif, struktural, dan kultural dari masyarakat yang bersangkutan.
Untuk selanjutnya, secara operasional dilakukan dalam bekerjanya peradilan
pidana.
Sehubungan
dengan tujuan sistem peradilan pidana secara keseluruhan, penulis mengutip La
Patra bahwa 'All the CJS (Criminal Justice System) sub systems legitimately
may expect to participate in one or more of these activities in order to contribute
to the entire system's welfare.
Social
policy berorientasi tidak hanya pada 'social welfare policy, tetapi juga
memperhatikan 'social defence policy.
Marc Ancel dalam konsepsi modernnya mengemukakan sebagai “The Prevention of Crime and the treatment of offender yang menuntun
pada 'a true judicial humanism'.
Konsep Social defence ini memiliki
konsekuensi bahwa politik hukum pidana yang rasional bertujuan pada 'the systematic resocialization of the
offender
Sebagaimana pada
bab terdahulu, penulis kurang menyetujui pendapat Marc Ancel yang membatasi
tujuan sosial defence policy pada
resosialisasi dari pelaku kejahatan. Penulis menegaskan, bahwa a true judicial humanism harus menjadi paradigma
yang dikembangkan untuk pengakomodasian perlindungan korban. Keseimbangan
terhadap hak-hak korban harus pula diperhatikan. Keseimbangan kepentingan
pelaku dan korban dalam rangka perlindungan hak-hak asasinya adalah menjadi
perspektif bekerjanya peradilan pidana.
Keterkaitan
politik kriminal untuk menanggulangi kejahatan, memiliki tiga esensial bagian,
yaitu input, proses, dan output yang tak lepas dari norma-norma didalamnya.
Analisis dari proses peradilan pidana membutuhkan analisis dari input
dimentions, yang merupakan dimensi masukan awal (raw input), dan instrumental input, maupun environtmental input dari lingkungan strategis yang bersifat
nasional seperti doktrin dasar bangsa Indonesia Pancasila dan Pembukaan UUD'45 dan
batang tubuh, taraf regional, maupun dalam kancah global dengan nilai
kemanusiaan beradab yang diakui secara internasional. Dimensi instrumental
input adalah mendasar bagaimana penegak hukum bertindak, yaitu khususnya dalam lembaga dan pranata
hukum pidana, melalui KUHAP, KUHP, dan perundang-undangan pidana lainnya. Terkait
dengan peran penting lingkungan strategis dalam operasionalisasi sistem
peradilan pidana, maka nilai-nilai mendasar dalam taraf formulasi memiliki
urgensi yang memengaruhi taraf aplikasi maupun taraf eksekusi hukum
pidana,Pendapat Prof. Muladi yang mengetengahkan model realistik sebagai
falsafah sistem peradilan pidana dengan sebutan model keseimbangan kepentingan
penting untuk dikemukakan. Model ini memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus
dilindungi oleh hukum pidana, yaitu kepentingan negara, kepentingan umum,
kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana, dan kepentingan korban
kejahatan.
Berdasar
terminologi persoalan bekerjanya peradilan pidana, memunculkan suatu pemahaman
kritis mengenai ‘bagaimanakah mengeliminasi bekerjanya peradilan pidana yang dapat
bersiſat kriminogen dan viktimogen karena disfungsionalisasi hukum pidana.
Terminologi ini mengakomodasi "accountability
for criminal justice”
seperti nilai HAM untuk direfleksikan.
Perlindungan
korban pada hakikatnya merupakan perlindungan hak asasi manusia. Sebagaimana
dikemukakan Separovic, bahwa The rights
of the victim are a component part of the concept of human rights.
Aspek HAM dalam
peradilan pidana merupakan dimensi masukan strategis. Dalam taraf nasional,
seperti nilai HAM dalam Pancasila, dan dalam taraf global, standar dalam instrument HAM internasional
memberikan muatan kemanusiaan yang diakui masyarakat beradab. Beberapa standar
HAM internasional dapat dikemukakan sebagai berikut:
·
Code of Conduct for Law
Enforcement Officials.
·
Basic Principle on the
Independence of the Judiciary.
·
Basic Priciple on the
Role of Lawyers.
·
Guidelines on the Role
of Prosecutors.
·
Declaration of Basic
Principle of Justice for Victims of Crime and the Abuse of Power.
·
Declaration on the
protection of all persons from being subjected to torture and other cruel.
·
Universal Declaration
of Human Rights.
Instrumen
internasional tersebut memuat khususnya kepentingan dan hak asasi korban.
Implementasi HAM yang mencakup demokrasi dan penegakan hukumnya perlu diakui dan
disesuaikan dengan standar ‘International Civil and Political Right.
Perspektif HAM
di atas memberikan wawasan bagi adanya perhatian terhadap korban dan aspek
etika serta profesionalitas aparat penegak hukum. Dalam hukum pidana positif
KUHP dan KUHAP, beberapa aspek HAM dalam asas-asasnya sudah pula tercantum,
antara lain: asas legalitas, non-retroaktivitas,penghormatan
terhadap martabat kemanusiaan, proporsionalitas, persamaan di muka hukum,
peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, bantuan hukum, ganti kerugian.
Layanan untuk
masyarakat dunia dalam bidang pencegahan kejahatan dan peradilan pidana yang
dilakukan penasihat antara regional dan misi konsultasi, misi perumusan Lembaga
PBB membantu untuk penerapan standar dan panduan PBB dan membantu perencanaan
program-program nasional. Bentuk bantuan tersebut mencakup bidang-bidang
teknis, khususnya bagi korban sebagai berikut:
1. Kebijaksanaan
dan prosedur untuk melindungi para korban dan model perundang-undangannya.
2. Program
restitusi, kompensasi, dan jadwal pendanaan.
3. Layanan
kesehatan, sosial, dan hukum bagi para korban perlindungan anak, rumah
perlindungan bagi wanita-wanita yang dianiaya, pusat krisis perkosaan.
4. Keterlibatan
korban dalam tata cara peradilan; alternative selain proses peradilan.
5. Layanan
khusus dari polisi dan prosedur khusus bagi korban serta program-program
pelatihannya.
6. Pelaporan
terjadinya korban dan studi tentang korban.
7. Kompensasi
bagi korban penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan ekonomi.
Penulis
berpendapat, substansi dalam cakupan bidang-bidang tersebut untuk lebih
mengoptimalkan perlindungan korban haruslah juga menjadi wacana dan
dikembangkan dalam kerangka kebijakan pembangunan hukum nasional.Declaration
of Basic Principle of Justice for Victims of Crime and the Abuse of Power
yang disetujui oleh Majelis Umum PBB 29 November 1985 (resolusi 40/34)
atas rekomendasi Kongres ketujuh, menyatakan perlindungan korban antara
lain dalam wujud sebagai berikut:
1. Korban
kejahatan harus diperlakukan dengan penuh rasa hormat terhadap martabatnya,
serta diberi hak untuk segera menuntut ganti rugi. Mekanisme hukum dan
administrasinya harus dirumuskan dan disahkan untuk memungkinkan korban
kejahatan memperoleh ganti rugi.
2. Korban
kejahatan harus diberi informasi mengenai peran mereka, jadwal waktu, dan
kemajuan yang telah dicapai dalam penanganan kasus mereka. Penderitaan dan
keprihatinan korban kejahatan harus selalu ditampilkan dan disampaikan pada
setiap tingkatan proses.
Jika ganti rugi yang menyeluruh tidak dapat diperoleh dari pelaku kenakalan, dalam
kasus-kasus kerugian fisik atau mental yang parah, negara berkewajiban memberi
ganti rugi kepada korban kejahatan atau keluarganya.
3. Korban
kejahatan harus menerima ganti rugi kepada korban kejahatan atau keluarganya.
Di Indonesia
perspektif HAM sebagai implementasi TAP MPR No. XVII Tahun 1988 dituangkan
dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pengesahan perangkat internasional
masih menjadi agenda rencana Aksi Nasional HAM Manusia Indonesia 1998-2003,
sebagai upaya 'positivization of rights' untuk memperkuat posisi
Indonesia sebagai negara hukum.
Pengkondisian
HAM dalam peradilan pidana merupakan pendekatan yang harus digunakan dalam
hukum pidana materiel, formal, khususnya dalam rangka perlindungan terhadap korban,
yaitu melalui penyusunan KUHP baru, dan penyempurnaan KUHAP, hak korban untuk access
to justice and fair treatment, assistance, restitusi, and compensation.
Pengimplementasian
HAM memunculkan pula pembaruan untuk terwujudnya "Sistem Peradilan Pidana
Terpadu' (termasuk penasihat hukum) guna menjalankan fungsi kontrol sebagai
usaha 'negative entrophy' mewujudkan Criminal Justice System.
Penggambaran La Patra bahwa proses peradilan pidana sebagai suatu sistem dengan
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, serta pemasyarakatan membutuhkan kerja sama dan
koordinasi dari subsistem maupun di luar sistem peradilan pidana, yaitu dalam
lapisan pertama masyarakat, dan lapisan kedua aspek ekonomi, teknologi,
pendidikan, dan politik.
Hal ini
melibatkan peran political will
pemerintah, apparat penegak hukum, dan masyarakat dalam jaringan kerja sama. Dalam
rangka diseminasi berbagai standar internasional HAM, maka peran legal education berupa pendidikan dan
latihan menjadi penting bagi penegak hukum, pakar hukum, pejabat badan nasional
terkait, LSM dan sosialisasi kepada masyarakat luas.
Berdasar
terminologi di atas, dapat dikemukakan bahwa perlindungan korban dalam konsep
luas meliputi dua hal, yaitu:
1. Perlindungan
hukum untuk tidak menjadi korban kejahatan atau yang identik dengan
perlindungan hak asasi manusia atau kepentingan hukum seseorang. Berarti
perlindungan korban tidak secara langsung.
2. Perlindungan
untuk memperoleh jaminan atau santunan hukum atas penderitaan atau kerugian
orang yang telah menjadi korban kejahatan, termasuk hak korban untuk memperoleh
assistance dan pemenuhan hak untuk 'acces to justice and fair treatment.,
Hal ini berarti adalah perlindungan korban secara langsung.
Bentuk
perlindungan korban secara tidak langsung dalam kebijakan kriminal, yaitu untuk
memperoleh hak hidup, keamanan, dan kesejahteraan. Melalui keterpaduan
kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial, maka perlindungan terhadap korban
mengindikasikan bahwa setiap perumusan kebijakan pembangunan harus mencakup
upaya terhadap perlindungan masyarakat.
Terminologi
tersebut sejalan dengan hasil kongres PBB yang merupakan instrumen hukum dari
perkembangan internasional yang harus diacu dalam pembangunan hukum di Indonesia
ini. Dalam kongres kelima tahun 1975 di Geneva tentang Pencegahan Kejahatan dan
Perlakuan Terhadap Pelaku Kejahatan memiliki tema Pencegahan dan Penanggulangan
Kejahatan: Tantangan Perempat Abad Terakhir Abad XX, Persoalan yang dibahas
antara lain mencaku:
1. Perubahan
bentuk dan dimensi kriminalitas baik tingkat nasional maupun internasional.
2. Kejahatan
korporasi dan kejahatan terorganisasi, peran undang-undang pidana, prosedur
peradilan dan bentuk pengawasan sosial dalam pencegahan kejahatan.
3. Akibat-akibat
sosial ekonomis dari kejahatan (termasuk biaya kejahatan) dan tantangan baru
untuk riset dan perencanaan.
4. Alkohol
dan penyalahgunaan obat bius,
5. Kompensasi
bagi korban kejahatan sebagai penggantian retributif dalam pengadilan
kejahatan.
Kongres
keenam PBB di Caracas tahun 1980 menyatakan pula beberapa persoalan penting
yang bisa diurgensikan dengan perspektif perlindungan korban dalam peradilan
pidana. Kongres keenam ini memberi pertimbangan khusus kepada masalah
kecenderungan baru dalam kejahatan dan penerapan strategi pencegahan kejahatan
yang sesuai; kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang berpengaruh yang sering
kebal terhadap hukum. Kongres ini juga menyatakan bahwa antara pembangunan dan
kejahatan terdapat hubungan yang saling berpengaruh.
Dalam
kongres ketujuh tahun 1985 di Milano Italia, membahas persoalan yang harus
diperhatikan, yaitu: dimensi-dimensi baru kejahatan dan pencegahan kejahatan
dalam konteks pembangunan, kaitan antara kebijakan perkembangan sosial dan
sistem peradilan pidana; proses peradilan pidana dan pandangan-pandangan dalam
dunia yang sedang berubah meliputi kebutuhan untuk merevisi, memperbarui atau
menegaskan kembali bekerjanya sistem peradilan pidana; hak-hak korban kejahatan
dan penyalahgunaan kekuasaan, kompensasi, dan rancangan restitusi serta
cara-cara membantu mereka melalui sistem peradilan. Akhirnya kongres ini
mengeluarkan standar internasional tentang Deklarasi Prinsip Dasar Keadilan Bagi
Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan.
Kongres
kedelapan PBB di Havana Kuba memberi perhatian pula dengan tema utama kejahatan
dan pembangunan serta dikeluarkannya norma dan standar internasional untuk peradilan
pidana (al. Prinsip-prinsip Dasar dari Peranan Penuntut Umum; Prinsip-prinsip
Dasar dari Pengacara).
Dalam
Code of Conduct for Law Enforcement Officials yang diadopsi oleh Majelis Umum
PBB 17 Desember 1979, atas rekomendasi dari kongres kelima dinyatakan bahwa:
Para
penegak hukum harus melaksanakan kewajiban yang diletakkan pada pundak mereka
oleh hukum dengan melayani masyarakat dan melindungi semua orang terhadap tindakan-tindakan
pelanggar hukum.
Pelayanan
kepada masyarakat mancakup bantuan kepada mereka yang secara pribadi ekonomi,
sosial, dan alasan mendesak lainnya memerlukan bantuan negara. Para penegak
hukum tidak boleh melakukan korupsi/kolusi apa pun dan harus dengan keras
melawan semua tindakan yang sedemikian.
Bentuk
perlindungan korban secara langsung, yaitu hak korban untuk memperoleh santunan
dan hak korban untuk 'acces to justice and fair treatment, compensation,
restitution, and asisstance merupakan reaksi terhadap fokus perhatian hukum
pidana yang menempatkan korban sebagai 'forgotten person."
Bentuk korban
dalam tulisan ini, di samping meliputi concret victim juga meliputi apa
yang dinamakan abstract victim, termasuk
mereka yang karena kebijakan dalam penegakan hukum tidak dikategorikan sebagai
korban kejahatan, yaitu karena diskresi penegakan hukum, tidak terjangkaunya
perbuatan merugikan yang dialami korban oleh penegakan hukum, atau selektivitas
perilaku penegak hukum yang tidak mengklarifikasi perbuatan tertentu sebagai
telah menimbulkan kerugian atau sebagai kejahatan. Oleh karena itu, korban
dalam tulisan ini tidak hanya ditujukan kepada bentuk kejahatan biasa atau warungan,
tetapi juga menunjuk kepada bentuk perilaku 'illegal abuses of public or
economic power'. Kerugian yang ada berarti tidak hanya kerugian materi
maupun fisik, tetapi termasuk pada kerugian sosial atau social damage, baik dalam nilai-nilai sosial dan moral, keadilan,
hak asasi manusia dan masyarakat, maupun nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat.
Perlindungan
korban tidak hanya berjuang untuk mewujudkan 'the justice of law untuk new
legislation processes (proses pembuatan undang-undang yang baru), tetapi
juga lebih daripada itu yakni mengkaji 'injustice
of law' yang dapat saja dipraktikkan para penegak hukum. Dengan demikian,
konsep perlindungan hukum dalam rangka perlindungan korban adalah bagaimana
mewujudkan hukum sebagai alat perwujudan perlindungan.
Para penegak hukum, baik polisi, jaksa, maupun hakim tidak hanya menerapkan
hukum karena ada sesuatu yang dilanggar, tetapi karena sesuatu yang 'adil/the
just’yang perlu dilindungi dan diwujudkan.
Perlindungan
hukum yang adil dipahami bahwa semua orang diberlakukan sama sebagai manusia
lainnya. Hal ini mencakup dua hal, yaitu penyamaan setiap orang di dalam hukum
yang mendasari asas dan prinsip 'equality before the law'
(persamaan kedudukan di depan hukum) dalam penegakan hukum, yaitu apakah para
penegak hukum telah mewujudkannya, maupun persamaan di dalam hukum/equality in law, sebagai pedoman untuk
menganalisis apakah isi ketentuan peraturan perundang-undangan telah mengatur
persamaan di depan hukum. Konsep ini untuk mengejawantahkan perlindungan korban
sebagai salah satu pihak dalam peradilan pidana, mampukah equality before the law maupun equality
in law direfleksikan dalam perlindungan hukum.
Konsep
perlindungan korban tersebut memunculkan pertanyaan, yaitu bagaimanakah
bekerjanya lembaga dan pranata hukum khususnya dalam peradilan pidana terhadap
perlindungan korban dalam kedua bentuk di atas? Mengingat bekerjanya peradilan
pidana berada dalam dimensi sosial yang melibatkan masyarakat dan berbagai
konstruksi sosial, maka bekerjanya lembaga dan pranata hukum untuk bersungguh-sungguh
melindungi korban harus dilihat sebagai suatu proses sosial yang melibatkan
masyarakat sebagai totalitas.
Paradigma di
atas memberikan suatu kajian bahwa dalam kerangka perlindungan hukum untuk
mewujudkan perlindungan korban dalam peradilan pidana, melibatkan paradigma moral
atau akal budi tidak hanya habitat perundang-undangan/pranata yang harus mengakomodasinya
tetapi juga perilaku penegak hukum/lembaga, dan didukung oleh masyarakat dengan
berbagai aspek kehidupan seperti politik, ekonomi, budaya yang saling
berinteraksi, pengaruh memengaruhi, dan bersinergi.
Sumber:
Maya Indah.2014.Perlindungan Korban: Suatu Perspektif
Viktimologi dan Kriminologi.Kharisma Putra Utama.Jakarta, hal.111-130
Tugas Mandiri:
1.
Jelaskan alasan
perlunya perlindungan terhadap korban kejahatan menurut Muladi?
2.
Apakah akan diperoleh keadilan korban dengan menghukum
pelaku kejahatan? Jelaskan pendapat peribadinya?
3.
Jelaskan kepentingan sosial yang ingin dicapai dalam
hukum pidana?
4.
Jelaskan standar HAM internasional yang anda ketahui?
5.
Jelaskan standar satuan PBB untuk kepentingan korban?
6.
Jelaskan perlindungan korban menurut PBB?
7.
Jelaskan pencegahan kejahatan dan perlakuan terhadap
pelaku kejahatan?