KULIAH KE-1 HPI-3
HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF
ISLAM DAN PERBANDINGANNYA DENGAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA
Lysa Angrayni
Dosen Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
Abstrak
Hukum diciptakan untuk mengatur kehidupan manusia
dalam masyarakat. Dalam perkembangannya, klasifikasi hukum dikenal beragam
sesuai dengan bidang yang diatur, salah satu contohnya adalah hukum pidana.
Hukum Pidana di Indonesia dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nya
sebagai salah satu sub sistem hukum nasional pada dasarnya merupakan aturan
hukum yang diciptakan oleh manusia yang sudah tentu memiliki banyak
kelemahan-kelemahan di dalam penerapannya atau proses penegakan hukum itu
sendiri. Namun, hal ini berbeda dengan Hukum Pidana dalam perspektif Islam yang
aturan-aturan hukumnya berasal dari ketentuan agama yang pada hakikatnya
mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Abstract
The law was created to regulate human life in society . In the process, the legal classification known to vary according to the field is set , one example is the criminal law . Criminal Law in Indonesia with the Code of Penal ( Penal Code ) as one of its sub- national legal system is basically the rule of law created by man who certainly has a lot of weaknesses in the application or enforcement of the law itself . However , this is different from the perspective of Islamic Criminal Law in the rules of law derived from religious provisions which essentially contains a benefit for human life in this world and in the hereafter .
Kata Kunci: Hukum Pidana,
Islam, Indonesia.
Pendahuluan
Kehidupan manusia dalam pergaulan masyarakat membutuhkan suatu keadaan yang tertib agar dapat menjalani hidup dengan tenteram, damai, dan sejahtera. Kebutuhan akan ketertiban ini merupakan syarat yang paling fundamental bagi terciptanya suatu masyarakat yang teratur. Sedangkan ketertiban itu sendiri merupakan tujuan yang paling pokok dan pertama dari segala hukum.1 Hal ini merupakan implikasi dari sebuah kenyataan hidup bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT hidup berdampingan dengan manusia lainnya.
1 Mochtar
Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam
Pembangunan, Cet. ke-2, Alumni, Bandung, 2006, halaman 3.
Hukum, sebagai aturan bagi manusia untuk bertingkah laku
yang pada saat ini masih berlaku dan digunakan di Indonesia sebagai hukum
positif merupakan produk buatan manusia dan bahkan ada yang merupakan produk
hukum warisan kolonial contohnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
diadopsi menjadi hukum nasional yang sampai sekarang masih diberlakukan. Produk
hukum tersebut pada dasarnya adalah buatan manusia yang sudah tentu memiliki
banyak kelemahan-kelemahan di dalam penerapannya atau proses penegakan hukum
itu sendiri. Proses penegakan hukum khususnya seringkali dipandang bersifat
diskriminatif, inkonsisten, tidak memakai paramater yang objektif, dan
mengedepankan kepentingan kelompok tertentu. Tolok ukur yang digunakan adalah
seringkali terjadi disparitas pidana atau
perbedaan dalam menjatuhkan pidana untuk berbagai macam kejahatan.
Di dunia, kita mengenal bermacam-macam sistem hukum, yaitu
sistem hukum Civil Law, Common Law, Hukum Adat maupun Hukum Islam. Meskipun
warga Indonesia mayoritas memeluk agama Islam, namun pengaruh Hukum Islam
tidaklah menonjol didalam sistem hukum yang ada di Indonesia baik dari segi
substansi, struktur, maupun budaya hukum itu sendiri. Bahkan Abdul Jamil pernah
memberikan komentar bahwa meskipun umat Islam mayoritas di Negeri ini, akan
tetapi ruang bagi penegakan Hukum Islam hanya tersedia di Pengadilan agama.2
Hukum pidana Islam (fiqh
jinayah) merupakan syariat Allah SWT yang mengatur ketentuan hukum mengenai
tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani
kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci
dari Al Qur‟an dan Hadist.3 Hukum pidana Islam pada hakikatnya mengandung
kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Syariat
Islam dimaksud, secara materil mengandung kewajiban asasi bagi setiap manusia
untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi syariat menempatkan Allah
2 Lihat dalam Abdul
Jamil, Hukum Islam di Indonesia Setelah
Pemberlakuan Undang- Undang No.7 tahun 1989, dalam Jurnal Hukum dan
Keadilan, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Vol.I, 1989, halaman 83.,
sebagaimana dikutip oleh Yesmil Anwar & Adang, Pembaruan Hukum Pidana, Reformasi Hukum Pidana, Grasindo, Jakarta,
2008, halaman 102.
3 Lihat dalam Dede
Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta
: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, 1992), halaman 86., sebagaimana
dikutip oleh Zainuddin Ali, Hukum Pidana
Islam, Cet. 1., Sinar Grafika, Jakarta, 2007, halaman 1.
SWT
sebagai pemegang segala hak.4 Setiap orang hanya pelaksana yang
berkewajiban memenuhi perintah Allah SWT tersebut. Perintah Allah SWT yang
dimaksud, harus ditunaikan baik untuk kemaslahatan manusia pribadi maupun orang
lain. Berbeda dengan hukum pidana positif yang nyata-nyata buatan manusia.
Karena produk hukum tersebut merupakan olahan pikiran dari manusia, pastilah
mempunyai kekurangan maupun celah-celah sehingga manusia dengan seenaknya dapat
melakukan perbuatan yang melanggar hukum.
Berdasarkan uraian diatas, penulis mencoba untuk melihat
hal-hal apa saja yang diatur di dalam hukum pidana Islam itu sendiri, serta
bagaimana perbandingannya dengan hukum pidana positif dalam sebuah tulisan sederhana
yang berjudul Hukum Pidana dalam
Perspektif Islam dan Perbandingannya dengan Hukum Pidana di Indonesia.
Diharapkan melalui tulisan yang sederhana ini dapat menambah wawasan bagi semua
pihak yang masih samar terhadap eksistensi hukum pidana baik dalam perspektif
Islam maupun perpektif Hukum nasional.
Cakupan Hukum
Pidana Islam serta Perbandingannya dengan Hukum Pidana Nasional
Apabila berbicara mengenai hukum pidana, konsekuensi dari
hal tersebut adalah bahwa setiap hal-hal atau perbuatan yang melanggar hukum
maka akan menimbulkan hukuman bagi pelakunya. Perbuatan melanggar hukum di
dalam hukum positif yang berlaku di suatu Negara pada prinsipnya berbeda dengan
perbuatan melanggar hukum yang ditentukan di dalam hukum Islam.
Cakupan melanggar hukum di dalam hukum positif hanya terbatas kepada perbuatan yang salah atau melawan hukum terhadap bidang-bidang hukum tertentu seperti bidang hukum pidana, perdata, tata usaha Negara, hukum pertanahan dan sebagainya. Sedangkan di dalam hukum Islam, terhadap hal-hal yang dianggap salah atau melanggar hukum adalah sesuatu yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum syariat, yang dasar hukumnya dapat ditemui di dalam Al Qur‟an, Hadist, maupun Ijtihad para ulama. Ketentuan-ketentuan syariat ini tidak hanya berkaitan dengan hubungan muamalah saja, tetapi juga menyangkut
4 Zainuddin Ali, Ibid.
ibadah,
yang pada dasarnya pelanggaran terhadap ketentuan tersebut semuanya akan
mendapatkan hukuman, meskipun hukuman terhadap perbuatan tersebut ada yang
diterima di dunia maupun ada hukuman yang akan diberikan di akhirat kelak.
Jika berbicara mengenai hukum pidana Islam atau yang dinamakan dengan Fikih Jinayah, maka akan dihadapkan kepada hal-hal mempelajari ilmu tentang hukum syara‟ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah) dan hukumannya (uqubah), yang diambil dari dalil-dalil terperinci. Jadi, secara garis besar dapat diketahui bahwa objek pembahasan atau cakupan dari hukum pidana Islam adalah jarimah atau tindak pidana serta uqubah atau hukumannya.5 Namun jika melihat cakupan yang lebih luas lagi, maka cakupan hukum pidana Islam pada dasarnya hampir sama dengan yang diatur di dalam Hukum Pidana positif, karena selain mencakup masalah tindak pidana dan hukumannya juga disertai dengan pengaturan masalah percobaan, penyertaan, maupun gabungan tindak pidana. Berikut ini dijelaskan hal-hal yang berupa tindak pidana (jarimah) dan hukuman (uqubah) dalam Hukum Pidana Islam.
JARIMAH atau TINDAK PIDANA
Secara bahasa jarimah mengandung pengertian dosa,
durhaka. Larangan- larangan syara’ (hukum
Islam) yang diancam hukuman had (khusus)
atau takzir pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan hukum syariat yang mengakibatkan pelanggarnya
mendapat ancaman hukuman. Larangan-larangan syara‟
tersebut
bisa berbentuk melakukan perbuatan yang dilarang ataupun tidak melakukan suatu perbuatan yang diperintahkan. Melakukan
perbuatan yang dilarang misalnya seorang memukul orang lain dengan benda tajam
yang mengakibatkan korbannya luka atau tewas. Adapun contoh jarimah
berupa tidak melakukan suatu perbuatan yang diperintahkan ialah
seseorang tidak memberi makan anaknya yang masih kecil atau seorang suami yang
tidak memberikan nafkah yang cukup bagi keluarganya.
Dalam bahasa Indonesia, kata jarimah berarti perbuatan
pidana atau tindak pidana. Kata lain yang sering digunakan sebagai padanan
istilah jarimah ialah
5 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, halaman ix.
kata
jinayah. Hanya, dikalangan fukaha (ahli fikh, red) istilah jarimah pada umumnya digunakan untuk semua pelanggaran terhadap
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara‟, baik mengenai jiwa ataupun
lainnya. Sedangkan jinayah pada
umumnya digunakan untuk menyebutkan perbuatan pelanggaran yang mengenai jiwa
atau anggota badan seperti membunuh dan melukai anggota badan tertentu. 6
Jarimah, memiliki unsur umum dan unsur khusus. Unsur umum jarimah adalah
unsur-unsur yang terdapat pada setiap jenis jarimah, sedangkan unsur khusus
adalah unsur-unsur yang hanya terdapat pada jenis jarimah tertentu yang tidak
terdapat pada jenis jarimah yang lain.
Unsur umum daripada
Jarimah terbagi ke dalam tiga unsur yakni unsur
formal, materil dan moril. Unsur formal (al-Rukn
al-Syar’iy) adalah adanya ketentuan nash yang melarang atau memerintahkan
suatu perbuatan serta mengancam pelanggarnya. Unsur materil (al-Rukn al-Madi) adalah adanya tingkah
laku atau perbuatan yang berbentuk jarimah
yang melanggar ketentuan formal. Sedangkan unsur moril (al-Rukn al Adabiy)
adalah bila pelakunya seorang mukalaf,, yakni orang yang perbuatannya
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Walaupun secara umum jarimah
terbagi kedalam tiga unsur di atas, akan tetapi secara khusus setiap jarimah memiliki unsur-unsur tersendiri,
dan inilah yang dinamakan dengan unsur khusus
jarimah.7
Adapun pembagian jarimah
pada dasarnya tergantung dari berbagai sisi. Jarimah dapat ditinjau dari sisi berat -ringannya sanksi hukum,
dari sisi niat pelakunya, dari sisi cara mengerjakannya, dari sisi korban yang
ditimbulkan oleh suatu tindak pidana, dan sifatnya yang khusus. Ditinjau dari
sisi berat ringannya sanksi hukum serta ditegaskan atau tidaknya oleh Al Qur‟an
dan Hadist, jarimah dapat dibagi atas jarimah hudud, jarimah qhishas/diyat, dan jarimah ta’zir.8 Untuk lebih jelasnya, akan dijelaskan satu
persatu mengenai bentuk-bentuk jarimah atau tindak pidana berdasarkan berat
ringannya hukuman.
1.
Tindak Pidana Hudud (jarimah hudud)
6 H.A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan
dalam Islam), Ed.2., Cet.3., PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2000,
halaman 12.
7 Ibid.
8 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan
Syariat dalam Wacana dan Agenda, Cet.1., Gema Insani Press, Jakarta, 2003,
halaman 22
Jarimah atau tindak pidana hudud merupakan tindak pidana
yang paling serius dan berat dalam hukum pidana Islam. Tindak pidana ini pada
dasarnya merupakan tindak pidana yang menyerang kepentingan publik, namun bukan
berarti tidak mempengaruhi kepentingan pribadi manusia sama sekali. Yang
terpenting dari tindak pidana hudud ini adalah berkaitan dengan apa yang
disebut hak Allah.
Adapun ciri khas
daripada tindak pidana hudud ini adalah sebagai berikut :9
a.
Hukumannya tertentu dan terbatas,
dalam arti bahwa hukuman tersebut telah ditentukan
oleh syara‟
dan tidak ada batas minimal maupun maksimalnya;
b.
Hukuman tersebut merupakan hak
Allah semata-mata, atau kalau ada hak manusia disamping hak Allah maka hak
Allah yang lebih dominan.
Hukuman had ini
tidak bisa digugurkan oleh perseorangan (orang yang menjadi korban atau
keluarganya) atau oleh masyarakat yang diwakili oleh Negara karena hal tersebut
merupakan konsekuensi bahwa hukuman had itu adalah hak Allah. Sedangkan jenis
dari tindak pidana hudud ini, ada tujuh macam yaitu :10
a.
Tindak pidana zina;
b.
Tindak pidana tuduhan palsu zina (qadzaf);
c.
Tindak pidana meminum minuman keras (syurb al-khamr);
d. Tindak pidana pencurian;
e. Tindak pidana perampokan;
f.
Murtad;
g. Tindak pidana pemberontakan (al-bagyu).
2.
Tindak Pidana Qishas/Diyat
Tindak pidana qishas atau diyat merupakan tindak pidana
yang diancam dengan hukuman qishas atau diyat yang mana ketentuan mengenai hal
ini sudah ditentukan oleh syara‟. Qishas ataupun diyat merupakan hak manusia
(hak individu) yang hukumannya bisa dimaafkan atau digugurkan oleh korban atau
keluarganya.
9 Ahmad Wardi Muslich, Op.Cit., halaman x.
10 Ibid.
Adapun definisi qishas menurut Ibrahim Unais adalah
„menjatuhkan hukuman kepada pelaku persis seperti apa yang dilakukannya‟.11 Oleh karena perbuatan yang dilakukan oleh
pelaku adalah menghilangkan nyawa orang lain (membunuh), maka hukuman yang
setimpal adalah dibunuh atau hukuman mati. Dasar hukum qishas terdapat didalam
beberapa ayat Al Qur‟an, diantaranya di dalam
surah Al-Baqarah ayat 178, yang artinya : “ hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu qishas berkenaan dengan orang-orang yang dibunh; orang
merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.
Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang
siapa yang melampaui batas sesudah itu, baginya siksa yang sangat pedih.”
Sedangkan pengertian diyat menurut Sayid Sabiq adalah
„sejumlah harta yang dibebankan kepada pelaku, karena terjadinya tindak pidana
(pembunuhan atau penganiayaan) dan diberikan kepada korban atau walinya‟.12 Diyat merupakan uqubah
maliyah (hukuman yang bersifat harta), yang diserahkan kepada korban apabila ia
masih hidup, atau kepada wali (keluarganya) apabila ia sudah meninggal. Adapun
dasar hukum diyat di dalam Al Qur‟an terdapat dalam Surah An-Nisaa‟ ayat 92,
yang artinya : “…dan barang siapa membunuh seorang
mukmin karena tersalah, (hendaklah) ia memerdekakan hamba sahaya yang beriman
serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (terbunuh itu) kecuali
jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah.”
Tindak pidana qishas atau diat secara garis besar ada dua
macam yaitu pembunuhan dan penganiayaan. Namun apabila diperluas maka
cakupannya ada lima macam, yaitu :13
a.
Pembunuhan sengaja;
b.
Pembunuhan menyerupai sengaja;
c.
Pembunuhan karena
kesalahan;
11 Ibid, halaman 149.
12 Ibid, halaman 166-167.
13 Ibid, halaman xi.
d.
Penganiayaan sengaja;
e.
Penganiayaan tidak
sengaja.
3.
Tindak Pidana Ta’zir
Tindak pidana ta‟zir adalah tindak pidana yang dincam
dengan hukuman ta‟zir. Pengertian
ta‟zir menurut bahasa adalah ta‟dib, yang artinya memberi pelajaran. Ta‟zir juga diartikan dengan Ar-Raddu wal
Man‟u, yang artinya menolak atau mencegah. Sedangkan pengertian ta‟zir menurut
Al-Mawardi adalah
„hukuman
pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan hukumannya oleh
syara‟.‟14
Di dalam buku Fiqh Jinayah H.A. Djazuli mengemukakan bahwa
tindak pidana ta‟zir terbagi menjadi tiga bagian, yaitu :15
a.
Tindak hudud atau qishas/diyat yang
subhat atau tidak memenuhi syarat, namun sudah merupakan maksiat. Misalnya
percobaan pencurian, percobaan pembunuhan, pencurian di kalangan keluarga, dan
pencurian aliran listrik.
b.
Tindak pidana yang ditentukan oleh Al
Qur‟an dan
Hadist,
namun tidak
ditentukan sanksinya. Misalnya, penghinaan, saksi palsu, tidak melaksanakan
amanah, dan menghina agama.
c.
Tindak pidana yang ditentukan oleh
Ulul Amri untuk kemaslahatan umum. Dalam hal ini, nilai ajaran Islam dijadikan
pertimbangan penentuan kemaslahatan umum. Persyaratan kemaslahatan ini secara
terinci diuraikan dalam bidang studi Ushul Fiqh. Misalnya pelanggaran atas
peraturan lalu lintas.
Selain berdasarkan pengklasifikasian di atas, pembagian
tindak pidana menurut hukum pidana Islam yang juga penting adalah berdasarkan
aspek korban kejahatan. Sehubungan dengan ini, Abd al-Qadir‟Awdah membagi
perbuatan manusia ke dalam empat bagian, baik berupa perbuatan tindak pidana
maupun yang bukan tindak pidana, yaitu :16
a.
Sebagian perbuatan manusia itu
merupakan hak Allah murni. Misalnya shalat dan
zakat. Yang berkaitan
dengan hukum pidana adalah misalnya
merampok,
14 Ibid, halaman xii.
15 H.A. Djazuli, Op.Cit., halaman 13.
16 Ibid, halaman 15-16.
mencuri,
dan zina. Dalam hal ini, pemaafan individu si korban tidak mempengaruhi sanksi
yang diberikan atau diterapkan. Penanggulangan masalah ini pada hakikatnya
kembali kepada kemaslahatan masyarakat.
b.
Sebagian perbuatan manusia itu
merupakan hak perorangan yang murni. Misalnya utang, gadai, dan penghinaan.
Perbuatan jenis ini baru dapat dijatuhi hukuman, jika ada pengaduan atau
gugatan dari pihak korban. Pemaafan korban dapat mempengaruhi sanksi secara penuh.
c.
Perbuatan-perbuatan yang melanggar
hak jamaah dan hak adami, namun hak jamaah lebih dominan. Misalnya menuduh zina
dan mencemarkan agama.
d.
Perbuatan-perbuatan yang melanggar
hak jamaah dan hak adami, namun hak adami lebih dominan. Misalnya pembunuhan.
4.
UQUBAH atau HUKUMAN
Maksud pokok dari diadakannya hukuman adalah untuk
memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia dan menjaga manusia dari
hal-hal yang dapat merusak kehidupan umat manusia, karena pada dasarnya Islam
memberikan petunjuk dan pelajaran kepada manusia. Hukuman diberikan bukan hanya
untuk pembalasan, namun ditetapkannya hukuman adalah untuk memperbaiki individu
agar dapat menjaga masyarakat dan tertib sosial.
Hukuman mempunyai dasar, baik yang berasal dari Al Qur‟an, Hadist, maupun
dari lembaga legislatif yang mempunyai kewenangan menetapkan hukuman, seperti
untuk kasus ta‟zir.17 Selain itu hukuman harus bersifat pribadi. Artinya hanya dikenakan kepada
yang melakukan kejahatan, sehingga tidak ada yang dinamakan dengan ”dosa warisan”.
Suatu hukuman, meskipun tidak disenangi, namun tetap
ditujukan untuk mencapai kemaslahatan bagi individu dan masyarakat. Untuk itu
suatu hukuman dapat dianggap baik apabila :18
a.
Untuk mencegah seseorang dari berbuat maksiat;
b.
Batas maksimum atau minimum suatu
hukuman tergantung kepada kebutuhan kemaslahatan masyarakat yang menghendaki;
17 Ibid, halaman 25.
18 Ibid, halaman 26-27.
c.
Memberikan hukuman kepada orang
yang melakukan kejahatan bukan berarti membalas dendam, tetapi sesungguhnya
adalah untuk kemaslahatannya;
d.
Hukuman adalah upaya terakhir dalam
menjaga seseorang supaya tidak jatuh ke dalam suatu maksiat.
Apabila berbicara mengenai hukum pidana positif di
Indonesia, maka yang terbayang hanyalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
peninggalan kolonial Belanda yang masih diberlakukan sampai saat ini. Padahal,
seiring dengan perkembangan hukum yang ada, hukum pidana yang ada di Indonesia
tidak hanya terbatas kepada ketentuan yang terdapat di dalam KUHP saja, namun
juga terdapat di dalam beberapa perundang-undangan di luar KUHP yang mengatur
perbuatan-perbuatan pidana yang secara khusus tidak ditemukan pengaturannya di
dalam KUHP.
Pada intinya, tindak pidana di dalam KUHP dibedakan menjadi
dua yaitu kejahatan dan pelanggaran. Contoh dari kejahatan yang diatur di dalam
KUHP adalah kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan terhadap ketertiban
umum, kejahatan tentang sumpah palsu dan keterangan palsu, kejahatan terhadap
kesusilaan, penghinaan, kejahatan terhadap nyawa, penganiayaan, pencurian, dan
sebagainya. Sedangkan tentang pelanggaran hanya mengatur kejahatan yang
sifatnya kurang serius atau dikatakan sebagai tindak pidana yang ringan.19
Selain itu, di dalam hukum pidana materil, baik yang
terdapat di dalam KUHP maupun ketentuan pidana khusus di luar KUHP, selain
memuat unsur- unsur perbuatan atau pidana juga memuat sanksi terhadap pelaku
perbuatan pidana tersebut. Hal ini pada dasarnya sama dengan
ketentuan-ketentuan pidana yang terdapat di dalam sumber-sumber hukum Islam,
dimana selain memuat tentang jarimah atau
tindak pidana, sumber-sumber hukum tersebut
juga mengatur masalah penghukuman atau yang dinamakan dengan uqubah dalam hukum pidana Islam.
Jika diperbandingkan ketentuan di dalam hukum pidana Islam
dengan ketentuan hukum pidana positif, pada dasarnya dapat dilihat bahwa hukum
pidana Islam merupakan hukum yang mengatur tentang kejahatan dan
sanksi-sanksinya, yang tujuannya adalah untuk memelihara kehidupan manusia
didalam agamanya,
19 Topo Santoso, Op.Cit., halaman 83-84.
dirinya,
akalnya, hartanya, kehormatannya dan hubungannya antara pelaku kejahatan, si
korban dan umat. Sedangkan hukum pidana positif hanya cenderung berpihak kepada
si pelaku saja, meskipun pada dasarnya hukum pidana positif bertujuan untuk
memelihara kehidupan manusia didalam masyarakat agar tertib dan damai.
Mengapa demikian ? Karena pengaturan hukum pidana positif
hanya mengarah kepada penghukuman bagi si pelaku tanpa memperhatikan kerugian
maupun hak-hak yang harus diterima si korban. Sedangkan di dalam hukum pidana
Islam, disamping penghukuman bertujuan mendatangkan efek jera bagi pelaku
maupun masyarakat, namun keberpihakan kepada korban juga menjadi
perhatian di dalam ketentuan syara‟. Hal ini terlihat di dalam tindak pidana Qishas, dimana terdapat pemaafan
dari pihak korban atau ahli waris sehingga pelaku dapat saja membayar diyat
kepada korban atau ahli warisnya sebagai konsekuensi dari pemaafan tersebut.
Sebagai contoh perbandingan yang lain, dapat diambil
mengenai masalah perzinaan. Di dalam hukum positif, KUHP tidak melarang
hubungan seksual yang dilakukan atas dasar suka sama suka dam keduanya belum
menikah. KUHP hanya melarang perbuatan perzinaan yang dilakukan atas dasar suka
sama suka dimana salah seorang atau keduanya sudah terikat perkawinan dan hal
itupun hanya dapat ditindak apabila ada pengaduan dari pihak istri atau suami
si pelaku. Konsekuensinya, apabila tidak ada pengaduan maka perzinaan
seolah-olah menjadi sesuatu yang ”dihalalkan”, padahal perbuatan tersebut dari
segi agama jelas-jelas merupakan dosa besar. Sedangkan di dalam hukum pidana
Islam, apapun bentuk perzinaan, baik hubungan suka sama suka yang dilakukan
oleh yang sudah terikat pernikahan maupun yang masih sama-sama ”lajang” tetap
dikenakan hukuman tindak pidana perzinaan sesuai dengan ketentuan syara‟.
Selain itu, hukum pidana yang masih berlaku di Indonesia
saat ini, apabila dilihat dari filosofi terbentuknya hukum positif tersebut
lebih mengutamakan kebebasan, menonjolkan hak-hak individu yang lebih
mengutamakan si pelaku, dan kurang berhubungan dengan moralitas umat manusia
pada umumnya.20 Hukum positif hanya lebih mengarah kepada upaya
menanggulangi kejahatan,
20 Ibid.
cenderung
berupaya untuk menghukum pelaku, namun seringkali mengabaikan hak-hak korban.
Disamping itu, ketentuan di dalam hukum pidana Islam lebih tegas dibandingkan
dengan hukum pidana positif. Di dalam hukum positif, apa yang dinamakan dengan
menjatuhkan hukuman lebih cenderung merupakan hak para hakim untuk menentukan
apakah akan dipakai batas minimal atau batas maksimal hukuman yang ditetapkan
undang-undang. Sedangkan di dalam hukum pidana Islam ada hukuman yang dinamakan
dengan hak Allah (had), yang kadarnya
tidak boleh dikurangi atau ditambah.
Hukuman penjara sebagai satu-satunya bentuk hukuman (jika
bukan dianggap sebagai salah satu bentuk hukuman selain hukuman mati karena
hukuman mati jarang dijatuhkan di negara kita) bagi seluruh bentuk kejahatan, ternyata
melahirkan segudang persoalan. Betapa banyak penjahat pemula yang setelah
keluar dari penjara (setelah “berguru” kepada penjahat yang lebih senior)
justru berubah menjadi penjahat yang lebih lihai. Betapa banyak terjadi
penularan penyakit yang berbahaya di dalam penjara karena padatnya jumlah
penghuninya. Betapa banyak penyimpangan seksual yang dialami oleh para
narapidana karena dalam jangka waktu yang cukup lama tidak berhubungan dengan
istri atau suaminya. Betapa besar anggaran yang harus ditanggung oleh negara
untuk memberi makan para narapidana, padahal anggaran itu diambil dari pajak
masyarakat. Betapa banyak waktu produktif para narapidana yang terbuang percuma
hanya untuk mendekam di dalam penjara, yang membuat mereka menjadi pemalas
setelah keluar dari penjara.
Hukum pidana Islam memberikan solusi atas semua persoalan
tersebut. Bentuk hukuman dalam Islam tidak memakan waktu lama sehingga tidak
memakan waktu produktif si terpidana. Hukum pidana Islam tidak mengenal biaya
tinggi dan memberikan efek jera, baik bagi si terhukum maupun masyarakat.
Berbeda dengan hukum konvensional atau hukum positif yang merupakan ciptaan
manusia dan selalu berubah mengikuti perkembangan zaman, hukum pidana Islam
sebagai hukum ciptaan Allah SWT bersifat abadi, fleksibel untuk diterapkan di
segala tempat dan waktu, sesuai dengan fitrah manusia, serta sejalan dengan
logika dan hati nurani manusia.
Batas Berlakunya
Hukum Pidana Islam dan Studi Perbandingannya dengan Hukum Pidana Nasional
Berbicara mengenai ruang lingkup hukum pidana Islam, maka
pada tulisan ini penulis lebih menekankan kepada pandangan mengenai batas-batas
berlakunya hukum pidana Islam atau lebih tepatnya kepada ruang lingkup
berlakunya hukum pidana Islam itu sendiri. Dari segi teoritis, ajaran Islam ini
berlaku untuk seluruh dunia. Akan tetapi, secara praktis sesuai dengan
kenyataan yang ada, tidaklah demikian. Hukum pidana Islam hanya ditemukan
penerapannya pada negara- negara tertentu saja, seperti di negara-negara Islam.
Secara umum, dikenal adanya pandangan atau teori tentang
ruang lingkup berlakunya hukum pidana Islam ini yaitu Teori dari Abu Hanifah,
teori dari Imam Yusuf, serta teori dari Imam Malik, Imam Syafi‟i dan Imam
Ahmad.21 Untuk lebih jelasnya, teori tersebut akan diperinci satu
persatu.
1.
Teori dari Abu Hanifah
Dalam teori ini dikemukakan bahwa aturan-aturan pidana
Islam hanya berlaku secara penuh untuk wilayah-wilayah negeri muslim. Di luar
negeri muslim, aturan tadi tidak berlaku lagi kecuali untuk kejahatan-kejahatan
yang berkaitan dengan hak perseorangan (haqq
al adamy).22 Teori ini mirip dengan asas teritorial dalam hukum positif. Asas
teritorial di dalam KUHP menyatakan bahwa aturan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia hanya berlaku bagi setiap orang yang melakukan
perbuatan pidana di dalam wilayah atau teritorial Indonesia.23
2. Teori dari Imam Yusuf
Teori ini mengemukakan bahwa sekalipun di luar negara
muslim aturan pidana Islam tidak berlaku, akan tetapi setiap yang dilarang
tetap haram dilakukan, sekalipun tidak dapat dijatuhi hukuman.24
Teori ini pada dasarnya mirip dengan asas nasional aktif atau asas
perlindungan, yang memuat prinsip bahwa peraturan pidana Indonesia berlaku terhadap tindak pidana yang
21 H.A. Djazuli, Op.Cit., halaman 10.
22 Ibid.
23 Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,
Cet.1., UMM Press, Malang, 2008, halaman 77.
24 H.A. Djazuli, Loc. Cit.
menyerang
kepentingan hukum negara Indonesia, baik yang dilakukan oleh warga negara
Indonesia atau bukan yang dilakukan di luar Indonesia.25
3. Teori dari Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad
Di dalam teori ini dikemukakan bahwa aturan-aturan pidana
Islam tidak terikat oleh wilayah, melainkan terikat oleh subyek hukum. Jadi,
setiap muslim tidak boleh melakukan hal-hal yang dilarang dan atau meninggalkan
hal-hal yang diwajibkan.26 Teori ini mirip dengan asas universal di
dalam hukum pidana positif. Asas Universal di dalam hukum pidana positif sering
juga disebut sebagai asas penyelenggaraan hukum. Berlakunya asas ini tidak saja
untuk melindungi kepentingan nasional Indonesia, tetapi juga untuk melindungi
kepentingan hukum dunia.27
Dari teori-teori di atas terlihat jelas bahwa ruang lingkup
berlakunya hukum pidana Islam pada dasarnya mengatur untuk semua umat Islam,
namun karena umat Islam menyebar diberbagai negara menyebabkan hukum pidana
Islam tidak sepenuhnya diterapkan kepada seluruh umat Islam. Sedangkan di dalam
hukum pidana positif, ruang lingkup berlakunya hukum pidana tidak hanya
terbatas kepada warga negara Indonesia tetapi juga berlaku untuk setiap orang
yang berada dalam wilayah Indonesia.
Penutup
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1.
Secara garis besar, hukum pidana
Islam mencakup dua hal utama, yaitu jarimah atau tindak pidana dan uqubah atau
hukuman. Pada dasarnya cakupan ini sama dengan yang terdapat dalam hukum
positif, dimana hukum pidana positif juga mencakup masalah jenis-jenis tindak
pidana serta sanksi terhadap pelaku tindak pidana tersebut sesuai dengan
kualifikasi tindak pidana.
2.
Sedangkan ruang lingkup dari hukum
pidana Islam lebih mengarah kepada ketentuan lingkup berlakunya hukum pidana
Islam itu sendiri, yang didasarkan kepada teori-teori yang berasal dari Teori
Abu Hanifah, teori Imam Yusuf, serta dari Imam Malik, Imam Syafi‟i dan Imam
Ahmad. Secara
25 Tongat, Op. Cit., halaman 79-80.
26 H.A.Djazuli, Loc. Cit.
27 Tongat, Op. Cit., halaman 87.
teoritis,
teori-teori di dalam hukum pidana Islam ini hampir sama dengan teori atau
prinsip-prinsip berlakunya hukum pidana positif. Hanya saja bedanya, hukum
pidana Islam lebih menonjolkan diri keberlakuannya terhadap umat muslim,
sedangkan hukum positif mengatur prinsip-prinsip keberlakuannya terhadap semua
penduduk Indonesia tanpa membedakan agama maupun warga negara.
Daftar Kepustakaan
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
H.A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan
dalam Islam), Ed.2., Cet.3., PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2000.
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan,
Cet. ke- 2, Alumni, Bandung, 2006.
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan
Syariat dalam Wacana dan Agenda, Cet.1., Gema Insani Press, Jakarta, 2003.
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam
Perspektif Pembaharuan, Cet.1., UMM Press, Malang, 2008.
Yesmil Anwar &
Adang, Pembaruan Hukum Pidana, Reformasi
Hukum Pidana, Grasindo, Jakarta, 2008.
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, Cet. 1., Sinar Grafika, Jakarta, 2007.
Tugas Kuliah:
Buatlah tulisan tentang Hukum Pidana Islam, mininal 3 halaman kuarto, dengan 1,5 spasi. file tulisan dikirim ke WA group, sehingga semua mahasiswa dalam 1 kelas dapat saling mengisi. (fie pdf ada di WA group).
No comments:
Post a Comment