ENVIRONMENTAL ACCOUNTING SUMBERDAYA HUTAN

Tulisan Dr.Ir.Hamzah Lubis, SH.,M.Si berjudul:  “Environmental Accounting Sumberdaya Hutan”, telah dimuat pada Majalah bulanan Dandapala Mahkamah Agung-RI,  edisi bulan  Juni  2015
Hamzah Lubis, Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal  Medan *Pusat Kajian  Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS HAM-RI
*KSA XLII/1999 LEMHANNAS *aktifis hukum/ham/lingkungan/pendidikan

      Bila pada pengadilan tindak pidana korupsi, nilai “kerugian negara” dihitung oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), siapa dan bagaimana pula menghitung nilai “kerugian negara” dari pidana perusakan sumberdaya alam?  Konsultan ekonomi lingkungan semisal Masyarakat Akuntansi Sumberdaya Alam Indonesia (MASLI), Jaksa Penuntut Umum atau Hakim itu sendiri? Nilai kerugian negara perlu diketahui, sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan tingginya tuntutan  oleh Penuntut Umum atas pidana denda,  penjara dan subsider kurungan. Putusan pidana hakim perikanan, hakim lingkungan dan calon hakim perusakan hutan (Psl.53 UU No.18/2013) harus mempertimbangkan nilai kerugian negara. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan gambaran umum perhitungan nilai sumberdaya alam yang dirusak dan/atau dicemarkan oleh pelaku pidana. Tulisan ini fokus pada sumberdaya alam hutan, namun dengan metoda yang sama, dapat diterapkan pada sumberdaya perikanan dan sumberdaya alam lainnya.

Nilai Ekonomi Hutan
            Menurut Davis dan Johnson (1987) nilai ekonomi merupakan persepsi harga yang diberikan terhadap barang atau jasa  pada waktu dan tempat tertentu. Harga yang diberikan terhadap sesuatu barang atau jasa pada dasarnya ditentukan oleh kesediaan individu untuk membayar (willingness to pay) yang lazim diukur dengan nilai uang dalam transaksi kegiatan ekonomi atau nilai pasar (market value).   Nilai ekonomi hutan berdasarkan nilai kesediaan untuk membayar mempresentasikan kurva permintaan (demand).  Oleh karena itu, pada eksploitasi hutan yang mengakibatkan kerusakan hutan maka nilai willingness to pay  akan semakin tinggi  dengan semakin tingginya kerusakannya hutan. Pada sisi lain, masyarakat yang terpaksa menanggung resiko atas kerusakan hutan akan menerima nilai ekonomi (willing to accept) yang mempresentasikan kurva supply.  Dengan demikian, kondisi optimum dalam pengelolaan hutan terjadi pada saat nilia willingness to pay  sama dengan willing to accept .
            Nilai ekonomi merupakan salah-satu ukuran yang sering dijadikan dasar dalam analisa, namun ukuran ini sangat relatif tergantung kepada sifat  barang, hubungan dengan barang lainnya dan orang yang menilai. Nilai yang dapat diukur umumnya hanya berdasarkan pada sebagian karaktetistik yang terkait dengan keinginan atau preferensi seseorang. Dalam hal ini kemampuan seseorang untuk menilai sangat berkaitan dengan  tingkat kemakmuran (consumer surplus) dan mekanisme kelembagaan yang mengatur intraksi berbagai keinginan. Salahsatu penilai nilai ekonomi hutan adalah Badan Pusat Statistik (BPS).
Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai institusi pemerintah telah mengeluarkan produk nilai ekonomi hutan dalam Produc Domestric Regional Brotu (PDRB) sektor kehutanan. PDRB sektor kehutanan berdasrkan nilai pasar (market value) dari hasil kayu dan hasil non kayu  yang terbatas. Perhitungan PDRB menggunakan klasifikasi baku standar BPS, kurang akurat  sebab terdapat manfaat hutan yang belum terhitung. Misalnya nilai ekonomi hasil hutan yang langsung ke masyarakat, illegal logging, illegal trading, nilai tambah, rehabilitasi hutan, produksi air, udara bersih, nilai keberadaan, efisiensi kelembagaan,  manfaat hutan yang masuk ke sektor non hutan seperti industri kayu gergajian dan awetan, industry kayu lapis dan sejenisnya, industry bahan bangunan dari kayu, industri barang lainnya dari kayu masuk ke sentor industri,  jasa wisata hutan namun masuk sektor jasa-jasa lainnya dan belum masuknya manfaat hutan yang bersifat negatif  seperti erosi dan deforestasi (Santosa, 2005). Oleh karena itu, tidaklah tepat mengambil nilai ekonomi hutan berdasarkan PDRB kehutanan produk BPS sebagai bahan pertimbangan untuk mendapatkan keadilan yang se-adil-adil-nya.

Nilai Manfaat Hutan
            Nilai manfaat hutan sangat ditentukan oleh hubungan timbal- balik antara subyek penilai (manusia) yang memiliki berbagai nilai dengan obyek yang dinilai.  Menurut Turner (1994) dan Young (1992) total nilai ekonomi (total economic value) hutan adalah penjumlahan nilai guna (use-value) dihitung berdasarkan willingness to pay dengan bukan nilai guna (non-ise value) berupa nilai yang diberikan seseorang karena rasa simpatik atau penghargaan hak (right) atas hutan.  Total ekonomi hutan menurut Davids and Johnson (1987)  berupa penjumlahan  nilai pasar (market value), nilai kegunaan ( value in use) dan nilai sosial (social value). Suparmoko (2000) menetapkan total nilai ekonomi hutan atas penjumlahan nilai  penggunaan (instrument value/use value) dan  nilai yang terkandung di dalamnya (instristic value/ non-use value).
Nilai manfaat hutan, artinya  selain menghitung nilai ekonomi hutan yang langsung dibayar di pasar (willingness to pay) juga menghitung nilai-nilai yang tidak secara langsung bernilai di pasar. Penghitungan semua nilai manfaat dari hutan baik nilai manfaat langsung maupun nilai manfaat tidak langsung seringkali disebut dengan valuasi ekonomi  dengan metoda environmental accounting.  Environmental  accounting  adalah penghitungan semua asset fisik yang menyangkut semua hal yang berharga, tidak hanya modal-modal manufakctur (mesin, pabrik, jalan), namun juga modal manusia (pengetahuan, keterampilan dan pengalaman) serta modal lingkungan hidup (environmental capital) seperti hutan, kualias tanah, lingkungan hijau dan sebagainya.

Environmental  Accounting Hutan
            Penghitungan nilai manfaat hutan dengan menganalisis manfaat hutan yang bernilai pasar maupun tidak bernilai pasar yang manfaatnya dirasakan langsung maupun tidak langsung. Dalam tulisan  ini, penulis mengelompokkan nilai manfaat utama hutan dihitung berdasarkan atas: (1) nilai pasar (market value), (2) nilai kegunaan ( value in use),(3) nilai  ekologi (ecology value) dan (4) nilai sosial (social value). Dari berbagai literatur,  penulis mengelompokkon komponen manfaat hutan berupa:

1. Nilai pasar (market value) teridiri atas:
(1) kayu bulat (logs) untuk penggergajian, (2) kayu bahan pulp dan kertas (pulp woods), (3) kayu lapis (palywood),  (4) kayu limbah (waste) untuk bahan particle  board, fibre board dan wastepaper , (5) bahan baku industri penggergajian dan awetan, (6) bahan baku industri kayu lapis, (7) bahan baku industri meubel dan bahan bangunan, (8) bahan baku industri pengolahan dengan bahan baku kayu, (9) non-kayu (getah, damar, bambu, dan lainnya), (10) bahan  ekstraktif (gums, resins and oils), (11) nilai pasar yang hilang akibat illegal logging, dan (12) nilai pasar yang hilang akibat illegal trading.

2. Nilai kegunaan ( value in use) manfaat hutan untuk:
(1) jasa wisata, (2) air minum masyarakat desa dan perkotaan , (3) air untuk irigasi, (4) air untuk perkebunan, (5) air untuk industri, (6) air untuk perikanan, (7) air untuk peternakan, (8) udara bersih untuk kesehatan, (9) udara untuk pengendali iklim,  (10) penghambat pemanasan global, (12) penghasil carbon (carbon trade),  (13) plasma nuftah, (14) pendidikan, (15) nilai tambah, (16) nilai keberadaan, (17) rehabilitasi hutan, (18) rehabilitasi lahan dan  (19) kehilangan nilai tambah.

3. Nilai  ekologi (ecology value) manfaat hutan berupa:
(1) perlindungan daerah aliran sungai (DAS), (2) perlindungan atas daya tangkap air (cathment protection),  (3) ekologi dan konservasi satwa liar (ecology and wildlife conservation), (4) pengendalian erosi tanah (soil erosion control), (5) pengendalian deforestasi, (6) pengendalian produktifitas lahan, (7) pengendalian dis-efisiensi hara, (8) pengendalian lapisan top soil, (9) pengendalian produksi tanaman, (10) pengendalian banjir , (11) pengendalian lonsor, (12) pengendalian sumberdaya hayati dan  (13) keberadaan pilihan  pelestarian ( pengatur cuaca, pengatur atas air, penghasil udara bersih, penyerap pencemaran  udara,dan lain-lain).

4. Nilai sosial (social value) hutan terdiri atas:
(1) kayu untuk bahan bangunan tempat tinggal (building poles), (2)  kayu bakar “rencek” dan arang kayu (fuelwood and charcoal), (3) bahan-bahan anyaman (weaving materials), (4) kayu special (special woods and ashes),  (5) nilai religi hutan, (6) nilai budaya hutan, (7) nilai hasil hutan yang langsung dikonsumsi masyarakat , (8) nilai ekonomi masyarakat berupa daun untuk  makanan ternak, (9) pekerja peramu  hasil hutan, (10) pekerja industri kehutanan, (11) efisiensi kelembagaan, (12) rehabilitasai hutan dan lahan (penyiapan lahan, pengadaan bibit  dan penanaman) dan (13) kesenangan lainnya.

Pemodelan Nilai manfaat Hutan
            Sistem adalah mekanisme yang beroperasi di dunia nyata, maka model merupakan  abstraksi (abtraction) atau penyederhanaan (simplication) dari suatu system. Tentu saja suatu model tidak mungkin memiliki semua atribut dari sistem.  Pembuatan model dilakukan  untuk membantu konseptualisasi dan pengukuran terhadap sistem yang rumit, memerlukan biaya besar, sulit ataupun destruktif  pada sistem nyata (Maamena, 2003).
           Permodelan diawali dengan menguraikan seluruh komponen yang akan mempengaruhi efektivitas dari operasi suatu sistem. Dalam hal ini adalah komponen utama dan komponen nilai manfaat hutan. Langkah selanjutnya adalah penyaringan komponen mana yang akan dipakai dalam pemebuatan model. Suatu model dibentuk karena adanya hubungan sebab - akibat (causal) yang mempengaruhi struktur didalamnya baik secara langsung antar dua struktur, maupun akibat dari berbagai hubungan yang terjadi pada sejumlah struktur, hingga membentuk umpan - balik (causal loop). Kausal loop yang mempengaruhi positif (similarity) diberi tanda “S” dan kausal loop yang mempengaruhi negative (opportunity) diberi tanda “ O”.
            Selanjutnya pembuatan model berdasarkan causal loop dengan memasukkan memasukkan equation wondows model.  Equation wondows model, adalah causal loop model dalam bentuk rumus-rumus matematik dalam pemorograman. Setelah pengujian hasil  Equation windows  Simulasi adalah kegiatan pelaksanaan percobaan model, secara teratur dan direncanakan. Dalam model kuantitatif simulasi dilakukan  dengan memasukkan data-data ke dalam model, dimana perhitungan dilakukan untuk mengetahui prilaku gejala atau proses. 
        Dalam dekade terakhir ini simulasi menjadi suatu peralatan penting dalam mengambil  keputusan. Hal ini terutama akibat tersedianya perkembangan perangkat keras (hardward) dan perangkat lunak (software) komputer. Dengan adanya komputer, maka model – model simulai pada umumnya adalah model matematik. Saat ini pembuatan model system dynamics umumnya dilakukan dengan menggunakan software yang dirancang khusus. Sofware tersebut seperti Powersim, Vensim, Stella, dan Dynamo. Dengan software tersebut model dibuat secara grafis dengan simbol-simbol atas variabel dan hubungannya. Untuk praktisnya penghitungan nilai sumberdaya alam, ada baiknya Mahkamah Agung membuat program pemodelan  environmental accounting” untuk  panduan hakim. 
             Penulis pernah membuat beberapa permodelan, misalnya model  perhitungan nilai sumberdaya alam terumbu karang, pemodelan daya dukung sumberdaya alam dan pemodelan manajemen pengelolaan sumberdaya alam menggunakan Sofware Powersim 2005. Pemilihan Powersim sebagai perangkat lunak simulasi model karena kemudahannya dan kecanggihannya yang terus berkembang namun ramah pengguna (Muhammadi et al.,  2001).***

No comments:

Post a Comment