KEMBALI KE PENDIDIKAN ISLAMI
Oleh : Dr.(Cand.) Ir.Hamzah Lubis,SH.,M.Si.
Putra Gunungtua, Tinggiran, Sei
Aur
Candidat Doktor
Lingkungan dan aktifis lingkungan di Medan
Pendahuluan.
‘The
lost generation’, ungkapan ini menjadi penting disaat peradaban
manusia mulai kehilangan jati dirinya.
Kapitalisme, sebagaimana dibanggakan oleh Francis Fukuyama, sebagai ’the end of history’ ternyata hanya
menghasilkan produk- produk yang
memarjinalkan fitrah dan
fungsi manusia. Berbagai
fenomena kehidupan
membuktikan hal tersebut.
Manusia - manusia
modern yang berjalan
tanpa ruh (kesadaran manusia akan hubungannya Tuhan), di belantara kehidupan yang memangsa satu dengan
lainnya sehingga dan anak – anak
kelaparan di sepanjang
lorong kehidupan.
Sementara itu,
aktivitas sosial budaya sebagai produk ‘turunan’ dari peradaban kapitalisme
hanya menghasilkan fatamorgana kebahagian. Kenyataannya, rasialisme tetap
terjadi, kerusakam moral, kebebasan seksual, aids, kriminalitas dan segudang
penyakit sosial budaya yang tidak bisa disembuhkan. Semua ini menggambarkan
bahwa peradaban kapitalisme hanya mampu berdiri satu kaki, mencapai kemajuan
namun menghilangkan jati diri manusia
sejati.
Kata kunci dari semua ini adalah pendidikan. Sistem pendidikan adalah
produk orisinil dari sebuah peradaban. Sistem pendidikan modern sebagai anak
kandung dari peradaban kapitalisme telah terbukti gagal mengangkat harkat dan
martabat manusia. Manusia hanya maju di satu sisi tetapi hancur di
sisi yang lain. Sedangkan sosialisme – komunisme sudah lebih dahulu gagal dalam
mendidik dan membina umatnya sendiri dan akhirnya berkiblat pada sistem
pendidikan ala Barat.
Kini ummat manusia kembali dihadapkan pada kenyataan bahwa sistem
pendidikan modern yang sekuler (memisahkan kehidupan dunia dan agama) hanya tinggal menunggu waktu
kehancurannya. Indikasi banyaknya generasi yang hilang sudah dirasakan, baik di
negara – negara Barat, maupun di negara-negara yang mengadopsi sistem
pendidikan modern tersebut. Anak –anak muda sebagai penerus peradaban manusia
dimasa datang, tanpa semangat menatap masa depannya. Kekacauan kehidupan yang
dihadapinya akibat peradaban sekuler sangat mempengaruhi dan membuat mereka
gamang dalam hidup ini. Pada saat
itulah, sistem pendidikan Islami , sistim pendidikan yang kembali ke akar budaya dan agama , yang dapat
membawa manusia kembali ke fitrahnya ( back to basic ) sangat
dibutuhkan.
Kerisis Pendidikan
Pendidikan, oleh banyak orang dianggap
sebagai proses sosial yang teramat penting. Hal ini terungkap dalam jargon
sebagai ‘agent of social change’. Konsekuensinya, maju mundurnya suatu
bangsa tidak terlepas dari seberapa jauh
bangsa tersebut berhasil meningkatkan sumber daya manusia (SDM)-nya.
Pendidikan pada abad-21 ditandai
oleh pentingnya etika dan moral, meningkatnya peran profesionalisme, dan
orientasi pada desentralisasi. Pendidikan ke depan tidak saja atribut dan birokrasi kurikulum
pendidikan yang harus diubah, tetapi filsafat dan paradigma pendidikan selama ini
juga harus diubah. Kurikulum pendidikan dasar saat ini hanya menindas siswa.
Sebab paradigma pendidikan dilakukan dengan cara ‘baca, hafal, ingat’. Siswa dianggap sebagai tabungan, kepala siswa
diisi tabungan hafalan dan esok di tagih waktu ujian. Ini sangat membebani, membuat stress
hingga mereka menganggap sekolah mengerikan.
Memperbincangkan sistem pendidikan dinegeri ini, memang tidak pernah ada
habisnya. Hal ini mengingat kegagalan demi kegagalan yang menimpa sistem
pendidikan kita. Ada anekdot ganti mentri ganti kurikulum, ganti tahun
ganti buku. Bahkan banyak pakar yang telah menyatakan bahwa lonceng kematian
bagi pendidikan kita telah berbunyi (pernyataan ini dikemukakan Mochtar
Buchori, mantan Rektor IKIP Muhammadiyah Jakarta).
Proses sosial hasil pendidikan
modern yang semula diharapkan akan menghasilkan manusia-manusia unggul
ternyata malah meruntuhkan sendi – sendi peradaban manusia yang hakiki. Moral
dan perilaku anak didik kita dewasa ini sungguh mengerikan. Kebebasan seksual
telah menjadi trend dan seolah-olah merupakan tanda dan kebanggan mereka (anak didik) sedang memasuki budaya
modern. Sementara itu, kejahatan lainnya seperti narkoba dan tawuran, menghiasi
hari-hari dunia pendidikan di negeri ini. Disisi lain, anak didik yang berprestasi
terancam tidak bisa mengembangkan potensinya dikarena anggaran di sektor
pendidikan yang kecil. Kendati undang-undang menyatakan anggaran pendidikan minimal
20 persen, masih ada daerah yang anggaran pendidikannya hanya 5 (lima) persen.
Pandangan yang mengatakan bahwa semakin pandai
seseorang akan semakin baik pula moralnya di zaman dengan pendidikan modern
ini, semakin jauh dari kenyataannya. Berkembangnya seseorang menjadi sarjana
tidak menjamin perkembangan kepribadian dan tingkat moralnya. Tidak ada jaminan
bahwa membengkaknya jumlah sarjana berarti semakin tingginya nilai kebenaran
dalam kehidupan masyarakat.
Pendidikan Sekuler
Sistem pendidikan bukanlah sesuatu yang
bebas nilai. Pendidikan sangat tergantung pada pandangan hidup (ideologi) yang diterapkan. Faktanya,
sistem pendidikan yang diterapkan
bercorak sekuler. Pilihan ini terpengaruh oleh silaunya peradaban modern (Barat?) dengan “Renaissance”-nya.
Padahal peradaban sekuler hanyalah memproduk peradaban “satu kaki” yang tidak
stabil karena berlangsung hanya revivalisme mono dimensional, yakni
kebangkitan intelektual ansich tanpa ruh.
Pemikiran sekuleris berasal dari sejarah gelap Eropa Barat di abad
pertengahan, saat kekuasaan agamawan
yang berpusat di gereja mendominasi semua lapangan kehidupan. Para
agamawan berkolusi dengan kaisar dan raja-raja, menjadikan agama sebagai alat untuk memeras, menganiaya dan
menghisap rakyat. Timbullah pergolakan sengit para filosof dan cendikiawan. Sebagai
protes, sebagian mereka mengingkari adanya agama secara mutlak (atheisme), sedangkan yang lainnya
mengakui adanya agama, tetapi menyerukan agar dipisahkan dari kehidupan dunia
dan pemisahan antara agama dengan negara
(skularisme).
Sekulerisme sama sekali tidak mengingkari adanya agama, akan tetapi juga
tidak menjadikannya berperan dalam kehidupan. Ide ini dianggap sebagai jalan
tengah (kompromi) antara pemuka agama yang menghendaki segala sesuatunya harus
tunduk kepada mereka (dengan mengatas namakan agama) dengan para filosof dan cendikiawan
yang mengingkari adanya agama (atheis) dan dominasi para pemuka agama.
Kerusakan Sistem Pendidikan
Pendidikan adalah masalah yang serius
bagi negara, sarana untuk kelangsungan regenerasi, meningkatkan kualitas hidup dan moralitas.
Karenanya, persoalan pendidikan adalah persoalan kelangsungan suatu
bangsa, bahkan kegagalan pendidikan bisa
menjadi penyebab jatuhnya suatu negara, ambruknya sebuah bangsa. Karenanya,
masalah tersebut mestinya terkait dengan pemikiran dan kebudayaan di samping
mengaktifkan aktivitas keilmuan dan teknologi semata. Sayangnya, peran ini
gagal dimainkan lembaga pendidikan.
Institusi pendidikan tersebut adalah sekolah, keluarga, masyarakat dan negara.
Sekolah semestinya mampu mengontrol perilaku anak didik agar tidak menyimpang
disamping membentuk pribadi yang bertanggungjawab. Namun peran sekolah melakukan kontrol sosial ini amat rapuh,
karena terbatasi oleh waktu dan ruang. Sekolah hanya mampu mengawasi anak di
wilayah sekolah saja.
Keluarga, sebagai sekolah pertama semestinya mampu mengontrol nak lebih
progresif. Ikatan keluarga adalah ikatan yang penuh ketauladanan dan berdimensi
etis, seharusnya mampu membangun pribadi anak yang bertanggung jawab. Sayangnya hal ini bergantung penuh pada ketauladanan
orang tua. Jika orang tua akrab menyimpang, maka anakpun akan menyimpang.
Keluarga sudah rapuh dalam berperan
sebagai kontrol sosial.
Masyarakat, beserta hukum, ideologi dan pandangan hidup (way of life)
yang diterapkannya, semestinya mampu “memaksa’ seseorang untuk mematuhi aturan
dan norma-norma hidup. Kenyataan anak-anak hidup dalam lingkungan yang tidak
mempunyai pandangan hidup yang jelas : pandangan tauhid ataukah pandangan
syirik. Tak Karena sistem masyarakat yang ada tidak lagi memberikan batasan antara yang menyimpang dan
yang tidak menyimpang; di “medan” inilah anak muda menjadi liar dan posmo
lepas dari kontrol sosial.
Tidak bermamfaat bicara tentang kepribadian bangsa, jika institusi
bernama sekolah, keluarga dan masyarakat; terbukti rapuh dan tidak bisa
menjamin terbentuknya kepribadian seseorang. Lantas kepada siapa atau kepada
apa lagi kita berharap
Sebuah survey menanyakan alasan orang melakukan kejahatan
dengan hasil 58,55% karena kurangnya
keyakinan pada agama, 20,07% tidak ada penerapan hukum; 14,31 % karena
ketidakadilan sosial dan 7,06 % terpaksa
karena tekanan hidup. Siapa yang dapat mencegah perilaku kriminal atau
kejahatan moral? Sebanyak 69,70% ingat
kepada Tuhan; 26,57% takut dihukum dan 3,71
% malu terhadap keluarga. Pengaruh
yang paling besar dalam mencegah kriminal, 52,97% pendidikan agama; 20,81 % lingkungan
dan keluarga;organisasi 19,14% dan 5,76%
karena pendidikan formal.
Dari sini jelas, bahwa agama memiliki
kontrol diri (self control) yang signifikan bagi setiap individu, karena
dalam apapun merasa dikontrol oleh Al-khalik. Dengan demikian, kriminalitas
atau kejahatan moral akan terminimalisasi. Nilai-nilai agama inilah yang seharusnya diajarkan kepada anak didik mulai tingkat dasar sampai
perguruan tinggi. Penanaman nilai-nilai agama dalam pendidikan nasional baru
merupakan suplement ( 2 jam per minggu?).
Lingkungan dan keluarga, memiliki peranan
penting dalam penanaman nilai-nilai
agama pada anak. Kontrol dari lingkungan
(masyarakat) dan keluarga ternyata terbukti efektif untuk mencegah seseorang
melakukan kejahatan. Sayangnya, hal inilah yang mulai luntur dari kehidupan
masyarakat. Seiring dengan derasnya laju budaya kapitalisme, lingkungan
(masyarakat) dan keluarga-keluarga-pun berubah
menjadi masyarakat yang individualistik. tidak perduli pada lingkungan. Maka
tidak heran kalau anak didik pun lebih
senang mencari dunianya sendiri.
Kembali ke Pendidikan Islam
Pemerintah tidak pernah serius mengurus pendidikan.
Metodologi dan sistim pendidikan pun tidak pernah jelas dan cendrung trial and error. Krisis moral anak-anak
didik adalah bentuk terparah dari kegagalan sistim pendidikan. Sementara itu
keluarga yang dahulu dianggap basis dan lembaga control yang pertama terhadap
anak didik, sudah lama kehilangan fungsinya. Pengaruh kehidupan kapitalis telah
merobah sistem keluarga yang harmonis menjadi indivualistik. Jadilah anak kita
mencari tauladan dari lingkungannya yang lain. Padahal di tengah-tengah masyarakat
itulah, pola kehidupan kapitalis yang
materialistik dan cenderung vandalisme berkembang dengan subur. Kontrol masyarakatpun
telah lama hilang berganti dengan anarkisme dan gaya hidup “semau gue”.
Aneh memang, negara
yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, ternyata ideologi pendidikannnya
tidak agamais. Penduduknya yang mayoritas Islam dengan pola
pendidikannya pesantren terus “diobok-obok”. Bayangkan saja, sebuah pesantren
harus mengikuti Ujian Nasional yang
materinya sama dengan sekolah umum.
Tidak ada yang membantah bahwa sistem
pendidikan Islam 13 abad menjadi
penerang dunia barat yang masih kelam. Pendidikan Islam membebaskan semua biaya
sekolah, menghargai dan memuliakan guru dan encerahkan dunia. Ketika obor
penerang itu diboyong ke barat, kemudian diisi dengan minyak dari ideologi kapitalis, indivudualis kita silau dan membebek ke sana. Padahal
sumber cahaya yang asli itu ada di timur, pada perdaban Islam.
Ketika kita terpukau akan fatamorgana renaisance, maka anak didik yang dihasilkan akan taercerabut
dari akar budaya dan juga agamanya. Adakah kita telah tersadar dari mimpi-mimpi
? Bila ya, kembalilah secara kaffah kepada Islam. Pendidikan yang Islami. Mudah-mudahan.
Amin. ***
*Tulisan ini disarikan dari
makalah penulis pada Dialog Intraktif Pendidikan tgl.22 Sept.06 di Kampus ITM
Medan.
* Makalah ini
dibacakan pada dialog intraktif pendidikan di ITM tgl 22 September 2006
Medan
Pendidikan
dan Negara
Hal
penting yang perlu diketahui adalah tanggung jawab negara terhadap
keberlangsungan sistem pendidikan. Hak asasi manusia itu ada dua:pertama, kebutuhan pokok bagi tiap individu
berupa sandang, papan dan pangan. Kedua,kebutuhan asasi bagi seluruh umat
secara umum, yakni keamanan, kesehatan dan pendidikan. Tanggung jawab pemenuhan
kebutuhan asasi yang pertama dipikul oleh kepala keluarga dan bila tidak mampu
kewajiban beralih kepada kerabat terdekat.Hukum yang menjamin pemenuhan
kebutuhan asasi ini tersirat pada kewajiban mencari nafkah pada suami atau
laki-laki dewasa yang mampu. Namun, bila yang bersangkutan tidak mampu, maka
tanggung jawab pemberi nafkah beralih kenegara.
Sementara
itu tanggung jawab pemenuhan kebutuhan asasi yang kedua langsung diserahkan
kepada negara. Negara wajib menyediakan segala sarana yang menjamin
terpenuhimnya kebutuhan asasi ini. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara
kaya dan miskin. Semua rakyat berhak mendapatkannya.
Dalam
hal pendidikan, negara wajib menyediakan sarana pendidikan (guru, buku,
tempat, peralatan) dan mengaturnya agar berjalan
dengan sebaik-baiknya. Semua biaya pendidikan ditanggung oleh negara. Masalah
pendidikian menjadi tanggung jawab negara, karena hal ini menyangkut hajat
hidup rakyat yang vital, berupa penanganan masalah kebodohan dan pemberantasan
buta huruf.
Dengan
demikian, negara harus mengupayakan terselenggaranya pendidikan tanpa
biaya,atau setidaknya dengan biaya murah. Negara harus membuka peluang
yangsebesar-besarnya bagi setiap individu umat untuk mengenyam pendidikan,
sehingga pendidikan tidak hanya dinikmati oleh orang kaya saja dan dijadikan
ajang bisnis oleh kalangan tertentu. Kebutuhan dan upah para guru yang layak
pun menjadi tanggung jawab negara. Karena di pundak negaralah seluruh tanggung
jawab tersebut berada.
No comments:
Post a Comment