KEMBALI KE PENDIDIKAN ISLAMI

Tulisani /Makalah Dr.Ir.Hamzah Lubis,SH., M.Si berjudul: Kembali Ke Pendidikan Islami, adalah makalah pada  Dialog Intraktif  Pendidikan di  kampus Institut Teknologi Medan, tgl 22 September 2006 (Penyunting)

 KEMBALI KE PENDIDIKAN ISLAMI
Oleh : Dr.(Cand.) Ir.Hamzah Lubis,SH.,M.Si.
Putra Gunungtua, Tinggiran, Sei Aur
Candidat Doktor Lingkungan dan aktifis lingkungan di Medan

Pendahuluan.
                                The lost generation’, ungkapan ini menjadi penting disaat peradaban manusia  mulai kehilangan jati dirinya. Kapitalisme, sebagaimana dibanggakan oleh Francis Fukuyama, sebagai  ’the end of history’ ternyata hanya menghasilkan produk- produk yang   memarjinalkan   fitrah  dan  fungsi  manusia.  Berbagai  fenomena   kehidupan membuktikan     hal   tersebut.  Manusia  -  manusia  modern  yang  berjalan  tanpa ruh (kesadaran manusia akan hubungannya Tuhan), di  belantara kehidupan yang memangsa satu   dengan  lainnya sehingga  dan  anak – anak  kelaparan  di  sepanjang  lorong  kehidupan.
    Sementara itu, aktivitas sosial budaya sebagai produk ‘turunan’ dari peradaban kapitalisme hanya menghasilkan fatamorgana kebahagian. Kenyataannya, rasialisme tetap terjadi, kerusakam moral, kebebasan seksual, aids, kriminalitas dan segudang penyakit sosial budaya yang tidak bisa disembuhkan. Semua ini menggambarkan bahwa peradaban kapitalisme hanya mampu berdiri satu kaki, mencapai kemajuan namun menghilangkan jati diri manusia  sejati.
    Kata kunci dari semua ini adalah pendidikan. Sistem pendidikan adalah produk orisinil dari sebuah peradaban. Sistem pendidikan modern sebagai anak kandung dari peradaban kapitalisme telah terbukti gagal mengangkat harkat dan martabat manusia. Manusia hanya maju di satu sisi tetapi hancur di sisi yang lain. Sedangkan sosialisme – komunisme sudah lebih dahulu gagal dalam mendidik dan membina umatnya sendiri dan akhirnya berkiblat pada sistem pendidikan ala Barat.
    Kini ummat manusia kembali dihadapkan pada kenyataan bahwa sistem pendidikan modern yang sekuler (memisahkan kehidupan  dunia dan agama) hanya tinggal menunggu waktu kehancurannya. Indikasi banyaknya generasi yang hilang sudah dirasakan, baik di negara – negara Barat, maupun di negara-negara yang mengadopsi sistem pendidikan modern tersebut. Anak –anak muda sebagai penerus peradaban manusia dimasa datang, tanpa semangat menatap masa depannya. Kekacauan kehidupan yang dihadapinya akibat peradaban sekuler sangat mempengaruhi dan membuat mereka gamang dalam hidup ini. Pada  saat itulah, sistem pendidikan Islami , sistim pendidikan yang  kembali ke akar budaya dan agama , yang dapat membawa manusia kembali ke fitrahnya ( back to basic ) sangat dibutuhkan.
Kerisis Pendidikan
        Pendidikan, oleh banyak orang dianggap sebagai proses sosial yang teramat penting. Hal ini terungkap dalam jargon sebagai ‘agent of social change’. Konsekuensinya, maju mundurnya suatu bangsa  tidak terlepas dari seberapa jauh bangsa tersebut berhasil meningkatkan sumber daya manusia (SDM)-nya.
    Pendidikan pada  abad-21 ditandai oleh pentingnya etika dan moral, meningkatnya peran profesionalisme, dan orientasi pada desentralisasi. Pendidikan ke depan  tidak saja atribut dan birokrasi kurikulum pendidikan yang harus diubah, tetapi filsafat dan paradigma pendidikan selama ini juga harus diubah. Kurikulum pendidikan dasar saat ini hanya menindas siswa. Sebab paradigma pendidikan dilakukan dengan cara ‘baca, hafal, ingat’. Siswa dianggap sebagai tabungan, kepala siswa diisi tabungan hafalan dan esok di tagih waktu ujian. Ini  sangat membebani, membuat stress hingga mereka menganggap sekolah mengerikan.
    Memperbincangkan sistem pendidikan dinegeri ini, memang tidak pernah ada habisnya. Hal ini mengingat kegagalan demi kegagalan yang menimpa sistem pendidikan kita. Ada anekdot ganti mentri ganti kurikulum, ganti tahun ganti buku. Bahkan banyak pakar yang telah menyatakan bahwa lonceng kematian bagi pendidikan kita telah berbunyi (pernyataan ini dikemukakan Mochtar Buchori, mantan Rektor IKIP Muhammadiyah Jakarta).
    Proses sosial hasil pendidikan  modern yang semula diharapkan akan menghasilkan manusia-manusia unggul ternyata malah meruntuhkan sendi – sendi peradaban manusia yang hakiki. Moral dan perilaku anak didik kita dewasa ini sungguh mengerikan. Kebebasan seksual telah menjadi trend dan seolah-olah merupakan tanda dan kebanggan  mereka (anak didik) sedang memasuki budaya modern. Sementara itu, kejahatan lainnya seperti narkoba dan tawuran, menghiasi hari-hari dunia pendidikan di negeri ini. Disisi lain, anak didik yang berprestasi terancam tidak bisa mengembangkan potensinya dikarena anggaran di sektor pendidikan yang kecil. Kendati undang-undang menyatakan anggaran pendidikan minimal 20 persen, masih ada daerah yang anggaran pendidikannya hanya 5 (lima) persen.   
Pandangan  yang mengatakan bahwa semakin pandai seseorang  akan semakin baik pula  moralnya di zaman dengan pendidikan modern ini, semakin jauh dari kenyataannya. Berkembangnya seseorang menjadi sarjana tidak menjamin perkembangan kepribadian dan tingkat moralnya. Tidak ada jaminan bahwa membengkaknya jumlah sarjana berarti semakin tingginya nilai kebenaran dalam kehidupan masyarakat.
Pendidikan Sekuler
       Sistem pendidikan bukanlah sesuatu yang bebas nilai. Pendidikan sangat tergantung pada pandangan hidup (ideologi) yang diterapkan. Faktanya, sistem pendidikan yang  diterapkan bercorak sekuler. Pilihan ini terpengaruh oleh silaunya peradaban modern (Barat?) dengan “Renaissance”-nya. Padahal peradaban sekuler hanyalah memproduk peradaban “satu kaki” yang tidak stabil karena berlangsung hanya revivalisme mono dimensional, yakni kebangkitan intelektual ansich tanpa ruh.
    Pemikiran sekuleris berasal dari sejarah gelap Eropa Barat di abad pertengahan, saat kekuasaan agamawan  yang berpusat di gereja mendominasi semua lapangan kehidupan. Para agamawan berkolusi dengan kaisar dan raja-raja, menjadikan agama  sebagai alat untuk memeras, menganiaya dan menghisap rakyat. Timbullah pergolakan sengit para filosof dan cendikiawan. Sebagai protes, sebagian mereka mengingkari adanya agama secara mutlak (atheisme), sedangkan yang lainnya mengakui adanya agama, tetapi menyerukan agar dipisahkan dari kehidupan dunia dan  pemisahan antara agama dengan negara (skularisme).
    Sekulerisme sama sekali tidak mengingkari adanya agama, akan tetapi juga tidak menjadikannya berperan dalam kehidupan. Ide ini dianggap sebagai jalan tengah (kompromi) antara pemuka agama yang menghendaki segala sesuatunya harus tunduk kepada mereka (dengan mengatas namakan agama) dengan para filosof dan cendikiawan yang mengingkari adanya agama (atheis) dan dominasi para pemuka agama. 
Kerusakan Sistem Pendidikan   
         Pendidikan adalah masalah yang serius bagi negara, sarana untuk kelangsungan regenerasi,  meningkatkan kualitas hidup dan moralitas. Karenanya, persoalan pendidikan adalah persoalan kelangsungan suatu bangsa,  bahkan kegagalan pendidikan bisa menjadi penyebab jatuhnya suatu negara, ambruknya sebuah bangsa. Karenanya, masalah tersebut mestinya terkait dengan pemikiran dan kebudayaan di samping mengaktifkan aktivitas keilmuan dan teknologi semata. Sayangnya, peran ini gagal dimainkan lembaga pendidikan.             
Institusi pendidikan tersebut adalah  sekolah, keluarga, masyarakat dan negara. Sekolah semestinya mampu mengontrol perilaku anak didik agar tidak menyimpang disamping membentuk pribadi yang bertanggungjawab. Namun peran sekolah  melakukan kontrol sosial ini amat rapuh, karena terbatasi oleh waktu dan ruang. Sekolah hanya mampu mengawasi anak di wilayah sekolah saja.
        Keluarga, sebagai sekolah pertama semestinya mampu mengontrol nak lebih progresif. Ikatan keluarga adalah ikatan yang penuh ketauladanan dan berdimensi etis, seharusnya mampu membangun pribadi anak  yang bertanggung jawab.  Sayangnya hal ini bergantung penuh pada ketauladanan orang tua. Jika orang tua akrab menyimpang, maka anakpun akan menyimpang. Keluarga sudah  rapuh dalam berperan sebagai kontrol sosial.
      Masyarakat, beserta hukum, ideologi dan pandangan hidup (way of life) yang diterapkannya, semestinya mampu “memaksa’ seseorang untuk mematuhi aturan dan norma-norma hidup. Kenyataan anak-anak hidup dalam lingkungan yang tidak mempunyai pandangan hidup yang jelas : pandangan tauhid ataukah pandangan syirik. Tak Karena sistem masyarakat yang ada tidak lagi  memberikan batasan antara yang menyimpang dan yang tidak menyimpang; di “medan” inilah anak muda menjadi liar dan posmo lepas dari kontrol sosial.
       Tidak bermamfaat bicara tentang kepribadian bangsa, jika institusi bernama sekolah, keluarga dan masyarakat; terbukti rapuh dan tidak bisa menjamin terbentuknya kepribadian seseorang. Lantas kepada siapa atau kepada apa lagi kita berharap
Sebuah survey  menanyakan alasan orang melakukan kejahatan dengan hasil  58,55% karena kurangnya keyakinan pada agama, 20,07% tidak ada penerapan hukum; 14,31 % karena ketidakadilan sosial dan  7,06 % terpaksa karena tekanan hidup. Siapa yang dapat mencegah perilaku kriminal atau kejahatan  moral? Sebanyak 69,70% ingat kepada  Tuhan; 26,57% takut dihukum dan 3,71 % malu terhadap keluarga.              Pengaruh yang paling besar dalam mencegah kriminal,  52,97% pendidikan agama; 20,81 % lingkungan dan keluarga;organisasi 19,14%  dan 5,76% karena pendidikan formal.
Dari sini jelas, bahwa agama memiliki kontrol diri (self control) yang signifikan bagi setiap individu, karena dalam apapun merasa dikontrol oleh Al-khalik. Dengan demikian, kriminalitas atau kejahatan moral akan terminimalisasi. Nilai-nilai agama  inilah yang seharusnya diajarkan kepada  anak didik mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Penanaman nilai-nilai agama dalam pendidikan nasional baru merupakan suplement ( 2 jam per minggu?).
             Lingkungan dan keluarga, memiliki peranan penting  dalam penanaman nilai-nilai agama pada anak.  Kontrol dari lingkungan (masyarakat) dan keluarga ternyata terbukti efektif untuk mencegah seseorang melakukan kejahatan. Sayangnya, hal inilah yang mulai luntur dari kehidupan masyarakat. Seiring dengan derasnya laju budaya kapitalisme, lingkungan (masyarakat)  dan keluarga-keluarga-pun berubah menjadi masyarakat yang individualistik. tidak perduli pada lingkungan. Maka tidak heran kalau anak didik pun lebih  senang mencari dunianya sendiri. 
Kembali ke Pendidikan Islam
           Pemerintah tidak pernah serius mengurus pendidikan. Metodologi dan sistim pendidikan pun tidak pernah jelas dan cendrung trial and error. Krisis moral anak-anak didik adalah bentuk terparah dari kegagalan sistim pendidikan. Sementara itu keluarga yang dahulu dianggap basis dan lembaga control yang pertama terhadap anak didik, sudah lama kehilangan fungsinya. Pengaruh kehidupan kapitalis telah merobah sistem keluarga yang harmonis menjadi indivualistik. Jadilah anak kita mencari tauladan dari lingkungannya yang lain. Padahal di tengah-tengah masyarakat itulah, pola kehidupan kapitalis  yang materialistik dan cenderung vandalisme berkembang dengan subur. Kontrol masyarakatpun telah lama hilang berganti dengan anarkisme dan gaya hidup “semau gue”.
    Aneh memang, negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, ternyata ideologi pendidikannnya tidak agamais. Penduduknya yang mayoritas Islam dengan pola pendidikannya pesantren terus “diobok-obok”. Bayangkan saja, sebuah pesantren harus mengikuti Ujian  Nasional yang materinya sama dengan sekolah umum.
     Tidak ada yang membantah bahwa sistem pendidikan Islam 13 abad  menjadi penerang dunia barat yang masih kelam. Pendidikan Islam membebaskan semua biaya sekolah, menghargai dan memuliakan guru dan encerahkan dunia. Ketika obor penerang itu diboyong ke barat, kemudian diisi dengan minyak dari ideologi  kapitalis, indivudualis  kita silau dan membebek ke sana. Padahal sumber cahaya yang asli itu ada di timur, pada perdaban Islam.
    Ketika kita terpukau akan fatamorgana renaisance, maka  anak didik yang dihasilkan akan taercerabut dari akar budaya dan juga agamanya. Adakah kita telah tersadar dari mimpi-mimpi ? Bila ya, kembalilah secara kaffah kepada Islam. Pendidikan yang Islami. Mudah-mudahan. Amin. ***

*Tulisan ini disarikan dari makalah penulis pada Dialog Intraktif Pendidikan tgl.22 Sept.06 di Kampus ITM Medan.

























* Makalah ini dibacakan pada dialog intraktif pendidikan di ITM tgl 22 September 2006
Medan




Pendidikan  dan  Negara

                                    Hal penting yang perlu diketahui adalah tanggung jawab negara terhadap keberlangsungan sistem pendidikan. Hak asasi manusia itu ada dua:pertama, kebutuhan pokok bagi tiap individu berupa sandang, papan dan pangan. Kedua,kebutuhan asasi bagi seluruh umat secara umum, yakni keamanan, kesehatan dan pendidikan. Tanggung jawab pemenuhan kebutuhan asasi yang pertama dipikul oleh kepala keluarga dan bila tidak mampu kewajiban beralih kepada kerabat terdekat.Hukum yang menjamin pemenuhan kebutuhan asasi ini tersirat pada kewajiban mencari nafkah pada suami atau laki-laki dewasa yang mampu. Namun, bila yang bersangkutan tidak mampu, maka tanggung jawab pemberi nafkah beralih kenegara.
                        Sementara itu tanggung jawab pemenuhan kebutuhan asasi yang kedua langsung diserahkan kepada negara. Negara wajib menyediakan segala sarana yang menjamin terpenuhimnya kebutuhan asasi ini. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara kaya dan miskin. Semua rakyat berhak mendapatkannya.
                        Dalam hal pendidikan, negara wajib menyediakan sarana pendidikan (guru, buku, tempat,  peralatan) dan mengaturnya agar berjalan dengan sebaik-baiknya. Semua biaya pendidikan ditanggung oleh negara. Masalah pendidikian menjadi tanggung jawab negara, karena hal ini menyangkut hajat hidup rakyat yang vital, berupa penanganan masalah kebodohan dan pemberantasan buta huruf.
                        Dengan demikian, negara harus mengupayakan terselenggaranya pendidikan tanpa biaya,atau setidaknya dengan biaya murah. Negara harus membuka peluang yangsebesar-besarnya bagi setiap individu umat untuk mengenyam pendidikan, sehingga pendidikan tidak hanya dinikmati oleh orang kaya saja dan dijadikan ajang bisnis oleh kalangan tertentu. Kebutuhan dan upah para guru yang layak pun menjadi tanggung jawab negara. Karena di pundak negaralah seluruh tanggung jawab tersebut berada.













No comments:

Post a Comment