Hamzah Lubis,
Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim
Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal Medan *Pusat Kajian Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS
HAM-RI
*KSA XLII/1999 LEMHANNAS
*aktifis hukum/ham/lingkungan/pendidikan
Tabloit Sinondang Mandailing edisi Mei-Juni 2008, adalah
edisi Pemerintahan Redakturpun menyajikan tokoh-tokoh Mandailing yang pernah
memerintah seperti Mr.S.M.Amin sebagai gubernur pertama Sumatera Utara,
demikian juga S.S.Paruhuman yang menjadi Gubernur Muda dan tokoh-tokoh lainnya.
Edisi Pemerintahan (kekuasaan, penulis) semakin klop dengan headline judul yang
menghabiskan 90% halaman serta memakai
“tanda perintah” yang berjudul : Bangkitlah Etnis Mandailing!
Ada yang salah dengan judul ini, tidak. Dari
membaca judul saja, paling tidak ada dua kesimpulan: (1) bahwa etnis Mandailing
selama ini terkebelakang/tertidur dan (2) sudah saatnya etnis Mandailing bangkit dan ini bukan hanya sebatas himbauan
tapi sudah keharusan. Tentu; bila merujuk ke-edisi Pemerintahan, secara
inplisit makna dari “Bangkitlah Etnis Mandailing!”, artinya sudah saatnya
Mandailing kembali “berkekuasaan”.
Apakah
selama ini etnis Mandailing tidak berkekuasaan? Secara individu,ya. Banyak
individu etnis Mandailing yang menjadi Gubernur, Bupati, Camat, Kepala Desa,
Panglima bahkan Wakil Presiden, dan lembaga kekuasaan lainnya. Secara
Masyarakat Hukum Adat, etnis Mandailing tidak-- lagi-- berkekuasaan. Tentang
legalitas formal kekuasaan ini, penulis pertanyakan dalam tulisan yang
berjudul: Masih Adakah (Suku Bangsa) Mandailing (edisi Februari-Maret 2008).
Ja
Padomuan seorang Pembaca Menulis (edisi Mei-Juni 2008) menjawab bahwa secara de
facto etnis Mandailing ada, tapi secara
de jure jawabannya ”abu-abu”. Persoalan dilemparkan kembali kepada penulis agar
menjelaskan syarat-syarat (kalau ada) sampai memprakarsai pembentukan lembaga
pengusulan, dan kalau tidak mau melaksanakannya ”diancaman” NATO.
Sepemahaman
penulis, dalam budaya Mandailing tidak dikenal budaya ancam (kekerasan pskhis)
apalagi dalam budaya wacana dalam tulisan ilmiah. Silakan berseberangan, karena
ini keragaman. Apalagi tutur kata etnis Mandailing dikenal dengan lemah-lembut. Dalam sistem
sosial etnis Mandailing, setiap orang punya peran masing-masing. Ada yang tukang ngomong (parhobar), tentu orang lain pula yang menjadi pekerjanya, tentu adapula bagian pendanaan, bagian pengawasan dan
berbagai peran lainnya. Paling tidak, sebagai parhobar, penulis melalui media ini telah menyampaikan sesuatu yang tidak pengenakkan, karena bukan
puji-pujian atas kebesaran dan kejayaan
etnis Mandailing masa lalu.
Kekuasaan Yang Hilang
Diakui memang, bahwa Indonesia didirikan di atas
kumpulan etnik sebagai ke-binneka-an,
untuk menyatu dalam ke-tunggal- ikaan
dalam bentuk negara modern Indonesia. Namun pada kenyataannya baik ketika teks
proklamasi dibacakan ataupun ketika Undang-undang Dasar 1945 disahkan, tidak
ada penyebutan suku bangsa (masyarakat hukum adat), dan hanya tercantum pada
penjelasan UUD 1945, pasal 18. Grand
strategi dilakukan untuk meniadakan-- langsung atau tidak langsung-- akar
budaya dan kekuasaan masyarakat adat dengan memblow up kata ”persatuan Indonesia” dan menistakan kata ”kebinnekaan”
dan bahkan kata ”persatuan” diplintir menjadi ”seragam” yang salahsatu
turunannya adalah Undang-Undang Pemerintahan Desa yang seragam di seluruh
Indonesia.
Hak-hak
masyarakat adat dalam bidang pertanahan,
hak-ahak atas hutan dan segala hasilnya, hak-hak atas tanah perburuan dan
peternakan, hak-hak atas perairan , hak atas air dan sumberdaya alam, hak atas
pesisir dan pulau-pulau kecil dengan hasil-hasilnya tidak diakui lagi dan
bahkan diprivatisasi dengan terbitnya undang-undang yang mengatur bidang-bidang
tersebut. UUNo.5 tahun 1960 hanya menyebutkan “ dapat dikuasakan” dan “sekedar
diperlukan” kepada masyarakat hukum adat. Proses ”penbonsaian” dengan berbagai
strategi dan berlangsung lama, sehingga masyarakat hukum adat di Indonesia
sekarat.
Kilas balik kebijakan
Masyarakat Hukum Adat berlangsung ketika
amandemen UUD 1945 dilakukan dengan memasukkan kalimat yang berbunyi : “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI” (pasal 18 B ayat (2)) dan dipertegas
lagi pada pasal 28-I ayat (3) yang
berbunyi: “Indentitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Mengembalikan Hak-Hak Masyarakat Adat
Undang-undang Dasar 1945 (hasil amandemen) sebagai
dasar hukum--termasuk didalamnya pengakuan masyarakat hukum adat-- telah
melahirkan undang-undang sebagai turunannya seperti UU No.27 tahun 2007 yang
dengan jelas dan terang manyatakan bahwa: ” Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi
hak-hak Masyarakat Adat...” dan bukan hanya masyarakat adat tetapi juga ”Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal”
(pasal 1).
Kendati
undang-undang dasar mengamanahkan pengakuan masyarakat adat dan hak-hak
tradisionalnya, serta hak-hak masyarakat
trasional dan identitas budayanya namun ini terbatas hanya ”sepanjang
kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya , serta tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional” (pasal 4 ayat 3 UU. No.41/1999). Untuk memenuhi keriteria:
(1) sepanjang kenyataannya masih ada, (2) diakui keberadaannya oleh masyarakat
dan (3) tidak bertentangan dengan kepentingan nasional , serta untuk menjaga ketertiban umum maka pemerintah perlu melakukan verifikasi dan
legalisasi.
”Masyarakat hukum adat diakui
keberadaannya , jika menurut kenyataannya
memenuhi unsur antara lain :
1.Masyarakatnya masih dalam bentuk penguyuban (rechtsgemeenschap);
2.Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
3.Ada wilayah hukum adat yang jelas;
4.Ada pranata dan perangkat hukum , khususnya peradilan adat, yang masih
ditaati; dan
5.Masih mengadakan pemungutan
hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya
untuk pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-hari”.
“Pengukuhan keberadaan dan
hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Peraturan Daerah. Peraturan Daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat,
aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada didaerah bersangkutan , serta
instansi atau pihak lain yang terkait”. Hasil penelitian para pakar hukum adat
ini harus memenuhi keriteria penelitian hukum adat yang meliputi :
1.Tatacara penelitian
2.Pihak-pihak yang diikutsertakan
3.Materi penelitian, dan
4.Keriteria penelitian keberadaan masyarakat hukum adat.
Dari
undang-undang ini terlihat bahwa untuk legalisasi masyarakat hukum adat
termasuk Masyarakat Hukum Adat Mandailing, dengan Peraturan Daerah (Perda)
setelah mempertimbangkan: (1) hasil penelitian para pakar hukum adat, (2) aspirasi
masyarakat setempat, (3) dan tokoh masyarakat adat yang ada didaerah bersangkutan , serta (4)
instansi atau pihak lain yang terkait.
Langkah Selanjutnya?
Ketika etnis Mandailing kerkeinginan untuk ”membangkitkan batang tarandam”, mendudukkan
kembali Masyarakat Hukum Adat dan
kekuasaannya, maka langkah yang harus dilakukan adalah untuk memenuhi prosedur
dan persyaratan pengakuan Masyarakat Hukum Adat sesuai perundang-undangan.
Perlu
sosialisasi untuk menghasilkan pemahaman dan keinginan yang sama kepada tokoh masyarakat adat baik di rura Mandailing maupun di tano parantoan, sosialisasi kepada
masyarakat setempat dan dialog-dialog intensif kepada intansi terkait termasuk kepada anggaota DPRD.
Pada sisi lain, pada waktu
yang sama harus pula dibenahi dan
disepakati kelembagaan Masyarakat Hukum Adat Mandailing dan bentuk perangkat
penguasa adatnya; penataan wilayah hukum adat yang jelas sehingga tidak
menimbulkan konflik dengan Masyarakat Hukum Adat lainnya seperti etnis Angkola,
Minangkabau dan Toba dan Pesisir; penataan dan kesepakatan pranata dan
perangkat hukum termasuk peradilan adat,
dan peradilan-peradilan adat yang masih dilakukan, dan pungutan-pungutan adat
yang masih berjalan di tengah-tengah masyarakat. Ketika hal-hal tersebut sudah
ditata kembali, maka hasil penelitianpun diharapkan akan merekomendasikan kelayakan
hak-hak Masyarakat Hukum Adat Mandailing.
Pekerjaan tersebut bukan kerja
kecil tapi horja godang, memerlukan
kerjasama semua pamangku kepentingan dan waktu yang panjang. Karena ini sebuah
kerja besar yang hasilnya akan kita wariskan kepada anak cucu kita; penulis
menyarankan para elit-elit politik dan
pemangku kepentingan etnis Mandailing baik di rura Mandailing maupun di tano
parantoan untuk duduk bersama dengan target menghasilkan lembaga seperti ”Institut
Mandailikologi” untuk memfasilitasi pertemuan-pertemuan dan kajian-kajian pra pengusulan Perda Masyarakat Adat
Mandailing. Saat inilah, seperti pertanyaan Ja Padomuon, kita baca Bacakan
Bismillah untuk horja godang ini.
Setelah lembaga ini memfasilitasi
pertemuan-pertemuan dan kajian-kajian, bahan-bahan hasil kajian ini kemudian disosialisasikan oleh
semua pihak yang berkepentingan (organisasi daerah, lembaga swadaya, individu)
kepada semua etnis Mandailing baik di kampung maupun di rantau. Ketika gaungnya
sudah menggema dan hasilnyapun sudah dapat diprediksi ada kesepahaan dan
keinginan, barulah dibentuk panitia pengusulan yang melibatkan semua pemangku
kepentingan dan pemerintah kabupaten.
Sebelum usulan dilakukan, permasalahan
yang lebih urgen adalah apa dan bagaimana yang akan terjadi ketika Masyarakat
Hukum Adat Mandailing dan hak-hak tradisionalnya diakuinoleh negara? Ketika
”Raja” menjadi ”Raja di Raja” pada singgasana kekuasaannya, apakah akan meningkatkan
kebersamaan dan kesejahteraan etnis Mandailing atau hanya akan mengangkat satu
klan dan menginjak klan lain(prinsip belah bambu), memperkaya klannya,
menimbulkan konflik sosial baru , apakah klas ”hatoban” akan tetap jadi Hatoban,
dan seabrek pertanyaan lainnya yang perlu jawaban.
Penulis tidak akan menggiring
opini untuk mengatakan setuju atau tidak
setuju. Sebagai etnis Mandailing bermarga Lubis dari Singengu yang tinggal di
rantau, ada keinginan dan harapan agar etnis besar Mandailing ini terus ada dan
dapat dinikmati anak-cucu ke depan. Inilah substansi tulisan penulis berjudul:
Masih Adakah (Suku Bangsa) Mandailing (Edisi Februari-Maret 2008), Mandailing
Masa Depan: Beradat, Berbudaya dan Bermartabat (Edisi Mei-Juni 2008) dan
Mandailing Berkekuasaan yang sedang dibaca ini. Wacana ini kendatipun
(misalnya) tidak direspon, paling tidak
sudah penulis sampaikan kepada kaumku etnis Mandailing. Iya kan......
*Tulisan ini disarikan dari ceramah
penulis tgl.07 Mei 2008 pada masyarakat pantai dan
masyarakat adat Melayu di Aula Kantor Camat Secanggang, Langkat.
**Penulis pemerhati
lingkungan pulau-pulau kecil, E-mail: hamzah_blh@yahoo.com ;
hamzah.information@gmail.com.
No comments:
Post a Comment