Hamzah Lubis,
Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim
Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal Medan *Pusat Kajian Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS
HAM-RI
*KSA XLII/1999 LEMHANNAS
*aktifis hukum/ham/lingkungan/pendidikan
Tabloit Sinondang
edidi Maret-April 2008, menyajikan topik pelestarian adat Mandailing.
H.Pandapotan Nasution,SH menulis dengan judul: Adat Dalam Tantangan Zaman, yang menggambarkan besarnya intrusi terhadap
adat dan budaya serta terjadinya “erosi” adat dan budaya Mandailing. Erosi
adat ini dipertegas Ompung Ryan Lubis
dengan memberi contoh dengan memudar dan hilangnya prangkat pemerintahan adat Namora-Natoras dalam kerajaan-kerajaan
Mandailing.
Kegelisahan akan masa depan adat dan budya Mandailing
telah diantisipasi dengan gerakan-gerakan ke-Mandailing-an baik secara pribadi maupun lembaga. Ada
organisasi massa Mandailing: Himpunan Keluarga Mandailing (HIKMA) dengan lambang segilima dan ada pula Himpunan
Keluarga Mandailing (HIKMA) berlambang segitiga (dalihan na tolu ?) dengan pimpinan pusat di Jakarta, demikian pula
Badan Musyawarah Pemangku Adat Mandailing (BM-PAM) yang didirikan di Medan
tanggal 18 April 2001, dan organisasi massa lain yang berorientasi kedaerahan
dan ke-Mandailing-an. Ada lembaga seperti Yayasan Pencerahan Mandailing yang menerbitkan
Tabloit Sinondang, ada individu seperti
H.Bachta Nizar Lubis,SH, H.Pandapotan Nasution,SH dan lainnya yang
sangat konsen terhadap Mandailing.
Gerakan-gerakan kultural ini, nampaknya mulai
mengevolusi ke ranah pendanaan untuk
pelestarian adat dan budaya. Hal ini dapat terlihat dari Tajuk Sinondang dan tulisan Ompu Ryan Lubis yang berjudul: Dana Buat Pelestarian Adat Mandailing
yang menggulirkan Gerakan Seribu Mandailing (GSM) yang intinya agar orang-orang
Mandailing dapat menyumbang Rp.1.000,- tiap bulan untuk pelestarian adat dan
budaya Mandailing.
Gerakan GSM ini
diadopsi dari Gerakan Seribu Minang (Gebu Minang) yang diketuai Ir.Azwar Anas, tetapi etnis
Minangkabau telah melakukan lompatan bukan
lagi sekedar ide untuk pendanaan dalam tataran mempertahankan adat dan
budaya tetapi sudah pada tataran peningkatan ekonomi rakyat. Dengan Gebu Minang
telah mampu menghimpun dana untuk membentuk
ratusan bank pengkreditan rakyat
(BPR) dan lumbung pitih nagari (LPN).
Apakah gerakan GSM ini akan disahuti?
Seperti ditulis Sri Mulyani
Nasution (Tentang Berterima Kasih, Sinondang edisi Maret-April 2008) keberhasilan
GSM ini tergantung akan nilai
kesukarelaan membantu (altruisme) dan atau nilai individualisme ( marsipaiaskon api di gurung-gurung na be) pada masyarakat Mandailing.
Kendati kita
optimis (baca: misalkan) akan pendanaan serta pelestarian adat dan budaya Mandailing,
apakah hanya dengan adat dan budaya Mandailing ini sudah cukup kita wariskan
kepada anak-cucu generasi Mandailing
masa depan? Penulis telah mencoba “memancing” pembaca tentang bagaimana
Mandailing masa depan yang diharapkan dalam tulisan : Masih Adakah (Suku Bangsa) Mandailing (edisi Februari-Maret 2008).
Menurut penulis, pelestarian adat dan budaya tidak cukup
untuk mengantisipasi hilangnya Mandailing dalam percaturan budaya dan politik
global. Antitesa yang sering tidak kita sadari yang berakibat pada keterlambatan penyusunan strategi dan ketiadaan tindakan
bahwa: orang menganggap sudah tidak
saatnya lagi membicarakan adat, budaya,
masyarakat adat dan semua yang berbau ke-etnis-an. Orang-orang yang
masih membicarakan etnis dianggap tidak
nasionalis, tidak menggelobal karena katanya sekarang ini, jangankan adat dan
budaya lokal ; batas budaya nasionalpun tidak jelas lagi. Oleh karena itu,
ketika ada pesta perkawinan kendati pada awalnya di-adati dengan adat
Mandailing tetapi dalam perjalanannya pengantin dan keluarga dengan bangga
memakai berbagai pakaian etnis lain. Atau juga orang Mandailing tidak lagi
mengajari anak-anaknya berbahasa Mandailing dan lebih mementingkan bahasa
Inggris dan Mandarin. Mungkin juga bahkan malu mengaku orang Mandailing dan mengaku menjadi etnis Batak, misalnya.
Padahal antitesa dari menggelobalnya dunia, adalah
menguatnya etnisitas kelompok di seluruh penjuru dunia untuk mempertahankan
diri agar survive dalam pertarungan
budaya global. Awal tahun 2008 ini, pemerintah Australia
terpaksa -- konsekwensi janji kampanye--mengakui hak-hak masyarakat adat
(tradisonil) suku Aborigin termasuk hak-hak penguasaan atas tanah dan
laut teritotial masyarakat adat, demikian juga proklamasi kemerdekaan suku
Albania di Eropa, dan geliat etnis Tibet
menuntut kemerdekaan dari pemerintahan
RRC.
Banyak konvensi-konvensi internasional yang memberi
pengakuan dan penguatan atas masyarata adat dalam suatu negara. Misalnya
konvensi ILO Nomor 109 tahun 1984 tentang Masyarakat Adat dan Penduduk Pribumi Asli Negara Merdeka, konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati
(Ratifikasi UU No.5/1994), Perjanjian tentang Hak –Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya (1996), Deklarasi dan Program Aksi Wina yang telah disetujui Konferensi
Dunia Hak Asasi Manusia tanggal 25 Juni 1993, Kovenan Internasional tentang Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya dan lain-lain.
Dalam sekala nasional, Undang-undang Dasar 1945 hasil
amandemen telah dengan jelas dan terang mengakui hak-hak masyarakat hukum adat.
Misalnya pada pasal 18 B ayat (2) yang berbunyi : “Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI”. Demkian
juga pasal 28-I ayat (3) dipertegas lagi
: “Indentitas budaya dan hak masyarakat
tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Sebagai sebuah undang-undang dasar yang menjadi
peraturan tertinggi, maka apa yang termaktup dalam undang-undang dasar harus menjadi acuan dalam membuat
undang-undang dan peraturan hukum yang lebih rendah di bawahnya. Ketika hak-hak tradisionil masyarakat adat
diakui Undang-undang Dasar 1945 maka semua undang-undang dan peraturan di
bawahnya akan mempertegas hak-hak
tradisionil masyarakat adat.
Misalnya Undang-undang No.41 tahun 1999 tentang
Kehutanan menjelaskan:“Penguasaan hutan oleh negara tetap
memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya , serta
tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional” (pasal 4 ayat 3). UU No.27
th.2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil . “Pemerintah
mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat,
Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal atas Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil”.
Dampak lain dari otonomi daerah-- suka atau tidak suka--
adalah menguatnya isme kedaerahan dan ke-etnis-an. Otonomi daerah yang terjadi
sudah mirip dengan negara bagian seperti pada Nangro Aceh Darussalam dan Papua.
Pemerintah Pusat dan pemerintahan Propinsi hampir tidak punya kekuasaan untuk “mengatur” pemerintahan
kabupaten dan kota.
Adalah mustahil saat ini orang Mandailing akan terpilih jadi Bupati misalnya di
Bireun (Aceh), di Humbang Hasudutan (Batak Toba), di Tanah Karo ( Karo), Tanah
Datar (Minangkabau) dan daerah lainnya. Ini sebuah kenyataan.
Menguatnya ke etnis-an, dapat pula kita lihat dengan
lahir dan berkembangnya milisi-milisi ke-suku-an seperti laskar Panglima Lot (Aceh), Laskar Hang Jebat
(Melayu), Laskar Joko Tingkir (Jawa), Laskas Muda Minang Bersatu (Minangkabau)
dan laskar Mandailing (?). Dalam pengamatan penulis jangankan aksi, geliat ke-etnis-an sendiri baik di Medan maupun di Mandailing belum ada. Bukankah pengembangan ke-etnis-an
adalah bagian dari ke-binnekaaan (kemajukan)
menuju ke-tunggal ika-an (kesatuan). Kita semestinya dapat mengambil pengalaman etnis Kerinci --dendeng batokok-- yang
lebih kecil dari etnis Mandailing di enclape danau Kerinci, Jambi ternyata siap
dan mampu menjadi sebuah negara Republik Kerinci dan menjadi salahsatu negara bagian Republik Indonesia
Serikat (RIS), terlepas kita setuju atau tidak dengan tindakan politis
tersebut.
Etnis Mandailing memang beradat dan berbudaya. Ia
memiliki bahasa sendiri dan tulisan
(aksara) sendiri serta nama Mandailing dan Natal (etnis pesisir) dijadikan menjadi nama
kabupaten, Kabupaten Mandailing Natal. Undang-undang No.12 Tahun 1998 tanggal
23 Nopember 1998 tentang pendirian Kabupaten Mandailing Natal bukan otomatis mengakui keberadaan masyarakat
adat Mandailing apalagi pengakuan
daerah/teritorial masyarakat adat Mandailing. Teritorial Kabupaten Mandailing
Natal selain memasukkan daerah yang dihuni etnis Mandailing tetapi
juga memasukkan daerah yang dihuni etnis Pesisir (Natal). Pada daerah yang dihuni etnis
Mandailing-pun, kewenangan-kewenangan masyarakat adat (baca: Masih Adakah (suku bangsa) Mandailing, edisi
Februari-Maret 2008) tidak ada. Ini sebuah kenyataan.
Ketika pra-kemerdekaan 17 Agustus 1945 masyarakat adat Mandailing memiliki kekuasaan,
roh Undang-undang Dasar 1945 menghapuskan masyarakat adat dan amandemen
Undang-undang Dasar 1945 kembali
mengakui masyarakat adat. Pertanyaannya apakah kita sepakat mengambil
kekuasaan masyarakat adat Mandailing yang hilang? Bila jawabannya ya, mari kita sama-sama
wujutkan masyarakat adat Mandailing yang beradat, berbudaya dan bermartabat (berkekuasaan).***
*Ir.Hamzah Lubis,SH,MSi adalah pemerhati masyarakat adat, mendalami pesisir & pulau-pulau kecil. E-mail: hamzah_blah@yahoo.com; hamzah.information@gmail.com
No comments:
Post a Comment