Hamzah Lubis,
Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim
Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal Medan *Pusat Kajian Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS
HAM-RI
*KSA XLII/1999 LEMHANNAS
*aktifis hukum/ham/lingkungan/pendidikan
Mengutip tulisan H.Pandapotan Nasution,SH, Pemimpin Umum Tabloit Sinondang Mandailing, edisi pertama
Juni 2007 yang berjudul : Renungan
Tentang Mandailing, pada salahsatu alineanya dituliskan: “Nilai luhur warga
masyarakat Mandailing terdapat dalam budaya
dan adat Mandailing. Dengan budaya dan adat Mandailing inilah masyarakat Mandailing sebagai
etnik diakui keberadaannya. Jika
budaya dan adat Mandailing hilang, maka hilang pulalah etnik Mandailing”. Pada
alinea lain, Pemimpin Umum menginginkan Mandailing sebagai national dignity (kebesaran bangsa) dan national identity (sifat khas bangsa). Mandailing sebagai entitas
budaya masih ada, dapat dipahami namun jika Mandailing sebagai etnik (suku bangsa) masih
perlu tandatanya. Tulisan ini, sebagai bahan renungan bagi mereka-mereka yang
masih cinta akan Mandailig.
Pengakuan
Masyarakat Adat
Diakui memang,
bahwa Indonesia didirikan di atas kumpulan etnik sebagai ke-binneka-an, untuk menyatu dalam ke-tunggal- ikaan dalam bentuk negara
modern Indonesia. Namun pada kenyataannya baik ketika teks proklamasi dibacakan
ataupun ketika Undang-undang Dasar 1945 disahkan, tidak ada penyebutan suku
bangsa (baca masyarakat adat), dan hanya tercantum pada penjelasan UUD 1945, pasal 18.
Perangkat hukum kembali “beradat” setelah dilakukan amandemen UUD 1945 pada pasal 18 B ayat (2) yang berbunyi : “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI”. Pada pasal 28-I ayat (3) dipertegas lagi : “Indentitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Perangkat hukum kembali “beradat” setelah dilakukan amandemen UUD 1945 pada pasal 18 B ayat (2) yang berbunyi : “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI”. Pada pasal 28-I ayat (3) dipertegas lagi : “Indentitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Undang-Undang No.5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok –Pokok Agraria hanya memberi pernyataan “ dapat dikuasakan” dan “sekedar diperlukan” dalam pengelolaan
tanah oleh masyarakat adat . “Hak
menguasai negara tersebut diatur
pelaksanaannya dapat dikuasakan
kepada daerah-daerah swatantra masyarakat-masyarakat
hukum adat, sekedar diperlukan dan
tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional, menurut ketentuan-ketentuan
peraturan pemerintah”(pasal 2 ayat 4)..
Pelaksanaan hak-ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat-masyarakat
hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa
sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan
peraturan – peraturan lain yang lebih tinggi. Beranjak dari kondisi ini hanya
beberapa suku bangsa (etnik) -- misalnya Minangkabau-- yang diakui swatantra masyarakat hukum adat dalam bidang
pertanahan.
Turunannya adalah Undang-undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan memberi pengakuan atas keberadaan hutan adat.
“Penguasaan
hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang
kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya , serta tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional” (pasal 4 ayat 3). Hutan dapat ditetapkan sebagai hutan
adat oleh pemerintah
sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan
masih ada dan diakui keberadaannya.
UU
No.27 th.2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil lebih
tegas mengakui hak masyarakat adat atas pesisir dan pulau-puau kecil.
“Pemerintah mengakui, menghormati,
dan melindungi hak-hak Masyarakat
Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal atas Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil yang telah dimanfaatkan secara turun – temurun”. “Pengakuan
hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dijadikan acuan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil yang berkelanjutan”.
Banyak
perundangan nasional yang mengakui keberadaan masyarakat adat seperti pada UU
No.29 tahun 1999 Hak Asasi Manusia, Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya dan lain-lain. Lembaga PBB telah lebih awal mengakui
eksistensi masyarakat adat. Konvensi ILO
Nomor 109 tahun 1984 tentang Masyarakat Adat dan Penduduk Pribumi Asli Negara Merdeka, konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati
(Ratifikasi UU No.5/1994), Perjanjian tentang Hak –Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya (1996), Deklarasi dan Program Aksi Wina yang telah disetujui Konferensi
Dunia Hak Asasi Manusia tanggal 25 Juni 1993 dan lainnya.
Hak-hak masyarakat tradisionil,
dalam program aksi Wina dijelaskan : “ Negara
harus menjamin adanya partisipasi
masyarakat asli yang bebas dan seutuhnya dalam seluruh asfek masyarakat,
terutama yang menyangkut hal-hal yang menjadi kepedulian mereka. Dengan mempertimbangkan pentingnya pemajuan
dan perlindungan hak dari penduduk asli, serta konstribusi pemajuan dan
perlindungan tersebut terhadap stabilitas politik dan sosial di negara-negara
dimana masyarakat semacam itu berada, negara-negara harus sesuai dengan hukum
internasional, mengambil langkah-langkah bersama yang positif dalam menjamin
adanya penghormatan terhadap semua hak asasi manusia dan kebebasan asasi
dari penduduk asli, berdasarkan persamaan hak dan non diskriminasi, serta mengakui nilai dan keanekaragaman dari
identitas, kebudayaan dan organisasi sosial
mereka yang berbeda”.
Demikian
juga terlihat pada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, pada
pasal 27 dijelaskan : “Di negara-negara dimana terdapat golongan minoritas
berdasarkan etnis, agama atau bahasa, orang-orang yang tergabung dalam
kelompok-kelompok minoroitas tersebut tidak dapat diingkari haknya, dalam komunitas bersama anggota lain
dari kelompok mereka, untuk menikmati
budaya mereka sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan agama mereka sendiri,
atau untuk menggunakan bahasa mereka sendiri”.
Ketika masyarakat adat diakui
keberadaannya (de jure) oleh negara, negara akan memberikan sebagian kewenangannya
kepada masyarakat adat. Kewenangan masyarakat
adat diantaranya adalah:
1.
Hak atas kepemilikan tanah
Hak penguasaan atas tanah oleh
masyarakat adat dapat dikuasakan
kepada daerah-daerah
masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar
diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional, menurut
ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah”. Pelaksanaan hak-ulayat dan hak-hak
yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta
tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan – peraturan lain
yang lebih tinggi.
2.
Hak Atas Kepemilikan Hutan
Hak-hak masyarakat adat atas hutan diantaranya adalah:
Hak-hak masyarakat adat atas hutan diantaranya adalah:
a.melakukan
pemungutan hasil hutan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
b.melakukan
kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
c.mendapat pemberdayaan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraannya.
3.
Hak Atas Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
a.Peranserta Dalam Perencanaan
Perencanaan pengelolaan atas: (a)
rencana strategis , (b) rencana zonasi,
(c) rencana pengelolaan dan (d)
rencana aksi WP3K. Pemerintah daerah
dalam menyusun rencana pengelolaan
dengan melibatkan masyarakat
berdasarkan norma, standart dan
pedoman dilakukan melalui konsultasi publik dan/ atau musyawarah adat baik formal maupun nonformal.
b. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir
Hak pengusahaan perairan pesisir
adalah hak pengusahaan air laut, kolom air laut sampai permukaan dasar laut
dengan menstratakan masyarakat adat
dengan badan usaha. Dalam pemberian HP-3
salahsatunya wajib memperhatikan kepentingan masyarakat adat dan salah satu
kewajiban operasional pemegang hak HP-3 adalah: “mengakui, menghormati, dan melindungi
hak-hak masyarakat adat dan atau
masyarakat lokal, memperhatikan
hak masyarakat adat untuk mendapatkan
akses ke sempadan pantai dan muara sungai “.
c. Hak Pengawasan dan Pengendalian
Masyarakat adat memiliki hak pengawasan dan
pengendalian dan pulau-pulau kecil melalui (pasal 36):
(a)
perencanaan pengelolaan dengan berdasarkan adat
budaya dan praktik- praktik yang lazim
atau yang telah ada di dalam masyarakat,
(b)
pelaksanaan pengelolaan dengan memunculkan kreativitas dan kemandirian
dalam hal jumlah dan variasi
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sehingga dapat meningkatkan aktvitas ekonomi di tempat-tempat sebelumnya belum
dapat dimamfaatkan, sehingga wilayah kegiatan pengawasan dan pengendalian dapat
diperluas,
(c)
penyelesaian konflik mengenai aturan - aturan
baru yang sengaja dibuat oleh masyarakat karena kebutuhan sendiri ataupun
aturan-aturan yang difasilitasi oleh pemerintah.
d. Pengakuan Penyelesaian Sengketa Adat
Penyelesaian
sengketa dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ditempuh
melalui pengadilan dan /atau di luar pengadilan (pasal 64). Penyelesaian
sengketa diupayakan untuk diselesaikan di luar pengadilan, dilakukan para pihak dengan cara konsultasi, penilaian
ahli, negoisasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase atau melalui adat istiadat/kebiasaan/ kearifan lokal. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan
diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti
kerugian dan/atau mengenai tindakan tertentu guna mencegah terjadinya atau
terulangnya dampak besar akibat tidak dilaksanakannya Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
e. Perlindungan Kawasan Lindung Adat
Konservasi Wp3K untuk menjaga kelestarian ekosistem,
melindungi alur migrasi ikan dan biota
laut, melindungi habitat biota laut dan melindungi situs budaya tradisional
seperti tempat tenggelam kapal khusus, situs sejarah kemaritiman, tempat ritual
keagamaan atau adat. Kawasan konservasi yang m emiliki ciri khas
seperti wilayah yang diatur oleh adat tertentu misalnya sasi, mane’e, panglima
laot, awig-awig, dan atau istilah lain adat tertentu (pasal 28).
Etnik Mandiling Masih Adakah?
Beranjak dari kondisi ini, beberapa pertanyaaan dapat diajukan. Adakah etnik (masyarakat adat) Mandailing
memiliki legalitas atas tanahnya sebagai daerah swatantara? Adakah etnik
Mandailing memiliki kewenangan dalam pengelolaaan hutan, pesisir dan
pulau-pulau kecil? Apakah etnik Mandailing telah memiliki legalitas (de jure)
sebagai masyarakat adat? Atau masih memenuhi persyaratankah etnik
Mandailing untuk disahkan sebagai
masyarakat adat? Bila jawaannya tidak,
berarti secara de jure Mandailing
sebagai etnik suku bangsa tidak ada lagi
dan atau minimal tidak diakui negara.
Kegelisahan
inilah pernah penulis sampaikan dalam bentuk pertanyaan kepada H.Bachta Nizar Lubis, SH Ketua Umum DPD
Himpunan Keluarga Mandailing Sumatera Utara (organisasi Mandailing berskala
nasional yang terdaftar di Departemen Dalam Negeri). Pertanyaannya adalah : Apakah HIKMA ini
adalah organisasi etnis atau organisasi kekeluargaan? Jika organisasi etnis
maka perjuangannya jelas untuk kebangkitan etnis dan tidak mungkin pengurusnya
bukan etnis Mandailing. Jawabannya adalah HIKMA adalah organisasi kedaerahan
dan kekeluargaan yang berarti bisa saja anggota dan pengurusnya tidak etnis
Mandailing. Dan kalau begitu, penulis tidak dapat berharap banyak kepada organisasi
kedaerahan untuk memfasilitasi etnis Mandailing diakui secara sah sebagai
masyarakat adat di Indoneia. Oleh karena itu diperlukan lembaga seperti Institut Mandaikologi, untuk
memfasilitasi kajian, persiapan persyaratan dan pengusulan agar masyarakat adat
Mandailing diakui secara sah sebagai etnis yang punya kewenangan di negara
Indonesia ini. Setuju kan?
*Tulisan ini diedit dari makalah penulis
tgl.08 Nopember 2007 di Hotel Antares, Medan
No comments:
Post a Comment