Hamzah Lubis,
Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim
Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal Medan *Pusat Kajian Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS
HAM-RI
Hamzah Lubis, Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
Indonesia terlalu sering dipecundangi keluarga serumpun Malaysia. Dari masalah TKI yang mendapat penyiksaan, pencaplokan hak kekayaan intlektual (HAKI) atas budaya dan kesenian seperti angklung, reog dan batik sampai pada pencaplokan teritorial NKRI (Sipadan dan Ligitan) dan proses aneksasi blok Ambalat. Masalah tapal batas, mula-mula menguasai pulau Sipadan dan Ligitan (de facto), lalu menguasai (de jure) melalui Mahkamah Internasional, tanggal 17 Desember 2002. Dengan pola yang sama, Malaysia kembali klaim Blok Ambalat ( kaya minyak dan gas) menjadi teritorialnya dan memberi konsesi kepada Petronas (BUMN-Malaysia) dan Shell tanggal 16 Februari 2005 untuk mengekplorasi minyak di Blok Ambalat. Sejak saat itu, Ambalat menjadi daerah panas, kapal-kapal perang Indonesia berhadapan dengan kapal-kapal perang Malaysia. Kapal laut dan pesawat udara Malaysia telah memasuki teritorial Indonesia secara tidak sah sebanyak 76 kali selama tahun 2007, 23 kali selama tahun 2008 dan 13 kali (2009).
Sebagai Negara kepulauan
(Unclos,1982), Indonesia berhak atas laut teritorial (12 mill), zona tambahan (24 mill), ZEE (200 mill) dan
landas continental/dasar laut (350 mill bahkan lebih). Batas darat
Indonsia-Malaysia di Kalimantan telah disepakati, garis itu melalui dan
berhenti di ujung timur Pulau Sebatik
pada 401000 LU. Idealnya, garis batas diteruskan ke-arah
laut di sebelah timur sebagai garis batas maritim; yang memisahkan Indonesia
–Malaysia. Ini yang belum disepakati, dan ini yang menjadi sumber permasalahan.
Dalam persfektif hukum
internasional penyelesaian tapal batas antar negara hanya dapat diselesaikan
dengan perundingan (sudah 13 putaran) atau peradilan internasional. Membawa
perselisihan tapal batas negara ke Mahkamah Internasional, mengingatkan trauma
kekalahan pada Pulau Sipadan dan Ligitan. Pengalaman kekalahan di Mahkamah
Internasional (MI), bukan karena lemahnya bukti-bukti historis dan yuridis tetapi hakim Mahkamah Internasional
dalam mengambil keputusan lebih berdasarkan pertimbangan bukti penguasaan
efektif (effective occupation).
Penguasaan efektif telah
dilakukan Malaysia terhadap Sipadan dan Ligitan selama pululan tahun yang
meliputi: (1) keberadaan secara terus menerus (continuous present), (2)
penguasaan secara efektif (effetive
occupation) termasuk aspek administrasi dan
(3) perlindungan dan pelestarian ekologi ( maintainance and ecological reservation) dari kedua pulau tersebut. Oleh karena itu, belajar dari kekalahan
mempertahankan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, maka penguasaan secara efektif
atas blok Ambalat (tentu dengan TNI-AL/Udara) adalah sebuah keharusan.
Yang harus disadari oleh
pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia, masalah Ambalat satu dari sekian
banyak masalah tapal batas dengan berbagai negara tetangga, yang belum selesai
dan setiap saat bisa meledak. Sebagai
titik garis pangkal pengukuran wilayah Indonesia, terdapat 92 pulau-pulau
kecil terluar (PP No.38 th.2002),
diantaranya terdapat 12 pulau tergolong memiliki tingkat ancaman tertinggi
baik ditinjau dari asfek kerusakan
lingkungan hingga kemungkinan lenyapnya
pulau itu maupun kemungkinan disintegrasi bangsa. Pulau yang memiliki
ancaman tertinggi yaitu Pulau Berhala
(Sumatera Utara), Nipah, Rondo, Sekatung,
Morere, Miagas, Marampit, Batek, Dana, Fani, Fanildo dan Brass.
Hingga saat ini terdapat beberapa permasalahan perbatasan
antara Indonesia dengan negara tetangga yang belum terselesaikan secara tuntas,
antara lain dengan Malaysia, Singapura, Australia, Philipina, Vietnam, RRC,
India, Tomor Lorosae dan Papua Newgienie.
Hal ini diperparah
dengan kondisi pulau-pulau kecil terluar yang kurang mendapat perhatian
pemerintah sehingga seperti pulau-pulau yang tidak terurus. Kondisi wilayah
perbatasan laut khususnya pulau-pulau kecil terluar Indonesia pada umumnya:
1). Tidak ada perhatian dari pemerintah dalam
pengembangan prasarana karena dinilai tidak ekonomis, lokasinya jauh dari pusat
pemerintahan serta penduduknya tidak ada;
2). Pengawasan perbatasan yang lemah sehingga
mengakibatkan rawan pelanggaran batas wilayah dan okupasi negara lain
(pertahanan).
3). Aparat penegak hukum yang sangat terbatas sehingga
rawan terhadap masalah pelanggaran hukum.
4). Terjadinya kerusakan lingkungan akibat eksploitasi
sumberdaya alam laut dan berbagai aspek lingkungan lainnya.
5). Belum termanfaatkannya potensi yang besar
menyangkut letak geografis yang sangat strategis ( untuk perdagangan,
pariwisata, pangkalan, dll ).
Beranjak
dari kondisi ini, dalam menghadapi isu tapal batas, penulis menyampaikan saran:
Pertama: issu tapal
batas Indonesia dengan Negara-negara tetangga, ibarat api dalam sekam, terus
panas dan satu saat akan berkobar. Oleh karena itu pemerintah berkewajiban
melindungi NKRI (darat, laut, udara) termasuk blok Ambalat dan sesegera
mungkin mengelola pulau-pulau kecil
terluar (effective occupation)
sebagai beranda depan Negara.
Kedua, kebijakan hubungan bilateral sebagai
suatu hal yang sangat berharga dan perlu dipertahankan dalam menyikapi konflik tapal batas negara
dan perlu mendapat dukungan dari seluruh rakyat Indonesia.
Ketiga, perundingan
tapal batas sering alot, lama dan melelahkan dan sering harus diselesaikan melalui Mahkamah Internasional
atau campur tangan negara lain. Ada kemungkinan, Malaysia sengaja memprovokasi
TNI-AL agar melakukan tindakan balasan (misalnya penembakan) untuk
menginternasionalisasi permasalahan. Di peradilan, lobi-lobi dan tekanan
polotik tidak akan terhindarkan, termasuk tekanan dari negara asal perusahaan
yang mengekplorasi Blok Ambalat (kepentingan ekonomi) dan juga Group Negara
Persemakmuran. Oleh karena itu, pemerintah dan rakyat Indonesia harus berkepala
dingin menghadapi isu Ambalat, tidak terpancing
dengan provokasi, hindarkan internasionalisasi masalah dan terus lakukan
perundingan.
Keempat, Indonesia telah
merdeka selama 64 tahun, namun belum berdaulat penuh. Tapal batas negara
Indonesia pada beberapa titik per batasan belum jelas karena belum diakui negara tetanga,
yang setiap saat bisa diklaim dan dikuasai negara lain. Oleh karena itu,
pemerintah perlu segera melalukan perundingan-perundingan tapal batas dengan
terencana dan professional dari semua
tapal batas yang belum disepakati. Semoga ada manfaatnya. Amin.***
.
No comments:
Post a Comment