Hamzah Lubis,
Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim
Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal Medan *Pusat Kajian Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS
HAM-RI
*KSA XLII/1999 LEMHANNAS
*aktifis hukum/ham/lingkungan/pendidikan
Indonesia didirikan atas kumpulan
masyarakat-masyarakat, ketika Indonesia di proklamirkan tanggal 17 Agustus 1945
dan ketika Undang-undang Dasar 1945 disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945,
tidak ada satu kata-pun yang menyebutkan masyarakat adat atau kata-kata adat. Perangkat Hukum Nasional Indonesia
“baru” mengakui masyarakat adat dengan
hukum adatnya setelah dilakukan amandemen
UUD 1945. Undang-undang Dasar 1945 yang diamandemen pada pasal 18 B ayat (2) yang berbunyi : “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI”. Padahal lain, pasal 28-I ayat (3) : “Indentitas budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban”. Pada UUD 1945 (sebelum diamandemen) hanya pada penjelasan
Pasal (18). Ini kerja besar pertama masyarakat adat.
Pengakuan Internasional
Badan-badan dunia, mengakui
eksistenti masyarakat adat. Hak – hak masyarakat adat diakui dan telah diatur
dalam instrumen hukum konvensi ILO Nomor 109 tahun 1984 tentang Masyarakat Adat
dan Penduduk Pribumi Asli Negara
Merdeka, demikian juga Konvensi PBB
tentang Keanekaragaman Hayati (ratifikasi 1994), Perjanjian tentang Hak –Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya (ratifikasi 1996).
Demikian juga Deklarasi dan
Program Aksi Wina yang telah disetujui Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia
tanggal 25 Juni 1993 yang mengakui hak-hak masyarakat tradisionil, seperti di
bawah ini: “ Konferensi Dunia Hak Asasi
Manusia mengakui martabat yang inheren dan kontribusi unik dari masyarakat asli
terhadap pembangunan serta pluralitas masyarakat, dan dengan sangat menegaskan
kembali komitment masyarakat internasional terhadap kesejahteraan ekonomi,
sosial dan budaya mereka, serta untuk memungkinkan mereka menikmati hasil dari
pembangunan yang berkesinambungan”.
”Negara
harus menjamin adanya partisipasi masyarakat asli yang bebas dan seutuhnya
dalam seluruh asfek masyarakat, terutama yang menyangkut hal-hal yang menjadi
kepedulian mereka. Dengan
mempertimbangkan pentingnya pemajuan dan perlindungan hak dari penduduk asli,
serta konstribusi pemajuan dan perlindungan tersebut terhadap stabilitas
politik dan sosial di negara-negara dimana masyarakat semacam itu berada,
negara-negara harus sesuai dengan hukum internasional, mengambil
langkah-langkah bersama yang positif dalam menjamin adanya penghormatan
terhadap semua hak asasi manusia dan
kebebasan asasi dari penduduk asli, berdasarkan persamaan hak dan non
diskriminasi, serta mengakui nilai dan keanekaragaman dari identitas,
kebudayaan dan organisasi sosial mereka
yang berbeda”.
Demikian
juga terlihat pada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, pada Pasal
27 dijelaskan : “Di negara-negara dimana terdapat golongan minoritas
berdasarkan etnis, agama atau bahasa, orang-orang yang tergabung dalam
kelompok-kelompok minoroitas tersebut tidak dapat diingkari haknya, dalam, komunitas bersama anggota lain
dari kelompok mereka, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk menjalankan
dan mengamalkan agama mereka sendiri, atau untuk menggunakan bahasa mereka
sendiri”.
Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Jenero 1992, yang melahirkan Konvensi Pembangunan Berkelanjutan , dibangun di atas
16 prinsip utama yang salahsatu diantaranya adalah prinsip
subsidiarity. Perinsip subsidiarity, adalah keputusan yang terbaik bagi pengelolaan lingkungan dibuat
oleh tingkatan pemerintah maupun kemasyarakatan
yang paling rendah.Biasanya kemasyarakatan yang paling
rendah dalah kampung, huta, nagari atau sebutan lainnya yang orotirasnya pada
pengetua adat.
Pengakuan
Nasional
Ketika Indonesia merdeka, ketika Rezim Ordelama dan Orde Baru berkuasa, masyarakat adat menjadi bulan-bulanan pemerintah. Hanya pada Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan-Peraturan Pokok Agraria yang memberi pengakuan hak adatnya. " Hak menguasai negera tersebut diatur pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan peraturan pemerintah" (Pasal 2 ayat 4). Undang-undang yang memihat rakyat dengan landreformnya, kendati masih diakui tapi substansinya tidak terlaksanakan.
Ketika Indonesia merdeka, ketika Rezim Ordelama dan Orde Baru berkuasa, masyarakat adat menjadi bulan-bulanan pemerintah. Hanya pada Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan-Peraturan Pokok Agraria yang memberi pengakuan hak adatnya. " Hak menguasai negera tersebut diatur pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan peraturan pemerintah" (Pasal 2 ayat 4). Undang-undang yang memihat rakyat dengan landreformnya, kendati masih diakui tapi substansinya tidak terlaksanakan.
Ketika UUD 1945 diamandemen maka semua perundang-undangan di bawah UUD
harus juga mengakui dan menghormati masyarakat adat. Misalnya, UU No.41 tahun 1999 tentang
Kehutanan: “Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat
hukum adat, sepanjang kenyataannya masih
ada dan diakui keberadaannya , serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional” (pasal 4 ayat 3).
Demikian
juga UU No.27 th.2007 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan Pulau-pulau Kecil
mengakui dengan jelas hak masyarakat adat atas pesisir dan pulau-puau kecil.
Pasal 61 ayat (1): “Pemerintah mengakui,
menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional,
dan Kearifan Lokal atas Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah
dimanfaatkan secara turun – temurun”. Ayat (2): “Pengakuan hak-hak Masyarakat
Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dijadikan acuan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
yang berkelanjutan”.
Bila
undang-undang dasar dan perundang-undangan di bawahnya mengakui dan menghormati
masyarakat adat, pertanyaannya adalah masyarakat adat yang mana yang diakui
oleh negara secara de jure? Untuk itu,
masyarakat adat perlu melakukan re-legalisasi kembali masyarakat adat
(masyarakat adat lebih tua dari republik ini), sebelum melaksanakan hak-hak dan
kewenangannya. Inilah tahapan kerja besar kedua masyarakat adat. Sebuah proses
beradat untuk mencapai ber”kekuasaan” adat. Ia kan....***
.
No comments:
Post a Comment