HAK-HAK MASYARAKAT ADAT

Tulisan Dr.Ir.Hamzah Lubis,SH.M.Si berjudul: “Hak-Hak Masyarakat Adat” telah dimuat pada Tabloti NU Nes, No. 6  Edisi Minggu Ke-1 Oktober  2011 hal.5 Kol.1-4 

Hamzah Lubis, Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal  Medan *Pusat Kajian  Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS HAM-RI
*KSA XLII/1999 LEMHANNAS *aktifis hukum/ham/lingkungan/pendidikan

        Indonesia didirikan atas kumpulan masyarakat-masyarakat, ketika Indonesia di proklamirkan tanggal 17 Agustus 1945 dan ketika Undang-undang Dasar 1945 disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, tidak ada satu kata-pun yang menyebutkan masyarakat adat atau kata-kata adat. Perangkat Hukum Nasional Indonesia “baru”  mengakui masyarakat adat dengan hukum adatnya setelah dilakukan amandemen  UUD 1945. Undang-undang Dasar 1945 yang diamandemen  pada pasal 18 B ayat (2) yang berbunyi :  “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan  masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI”. Padahal lain, pasal 28-I ayat (3) : “Indentitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Pada UUD 1945 (sebelum diamandemen) hanya pada penjelasan Pasal (18). Ini kerja besar pertama masyarakat adat.
            Pengakuan Internasional
Badan-badan dunia, mengakui eksistenti masyarakat adat. Hak – hak masyarakat adat diakui dan telah diatur dalam instrumen hukum konvensi ILO Nomor 109 tahun 1984 tentang Masyarakat Adat dan Penduduk  Pribumi Asli Negara Merdeka,  demikian juga Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati (ratifikasi 1994), Perjanjian tentang Hak –Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ratifikasi 1996).
Demikian juga Deklarasi dan Program Aksi Wina yang telah disetujui Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia tanggal 25 Juni 1993 yang mengakui hak-hak masyarakat tradisionil, seperti di bawah ini: “ Konferensi  Dunia Hak Asasi Manusia mengakui martabat yang inheren dan kontribusi unik dari masyarakat asli terhadap pembangunan serta pluralitas masyarakat, dan dengan sangat menegaskan kembali komitment masyarakat internasional terhadap kesejahteraan ekonomi, sosial dan budaya mereka, serta untuk memungkinkan mereka menikmati hasil dari pembangunan yang berkesinambungan”.
            ”Negara harus menjamin adanya partisipasi masyarakat asli yang bebas dan seutuhnya dalam seluruh asfek masyarakat, terutama yang menyangkut hal-hal yang menjadi kepedulian mereka.  Dengan mempertimbangkan pentingnya pemajuan dan perlindungan hak dari penduduk asli, serta konstribusi pemajuan dan perlindungan tersebut terhadap stabilitas politik dan sosial di negara-negara dimana masyarakat semacam itu berada, negara-negara harus sesuai dengan hukum internasional, mengambil langkah-langkah bersama yang positif dalam menjamin adanya penghormatan terhadap  semua hak asasi manusia dan kebebasan asasi dari penduduk asli, berdasarkan persamaan hak dan non diskriminasi, serta mengakui nilai dan keanekaragaman dari identitas, kebudayaan dan organisasi sosial  mereka yang berbeda”.
            Demikian juga terlihat pada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, pada Pasal 27 dijelaskan : “Di negara-negara dimana terdapat golongan minoritas berdasarkan etnis, agama atau bahasa, orang-orang yang tergabung dalam kelompok-kelompok minoroitas tersebut tidak dapat diingkari  haknya, dalam, komunitas bersama anggota lain dari kelompok mereka, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan agama mereka sendiri, atau untuk menggunakan bahasa mereka sendiri”.
            Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Jenero 1992, yang melahirkan Konvensi  Pembangunan Berkelanjutan , dibangun di atas 16 prinsip utama  yang  salahsatu diantaranya adalah prinsip subsidiarity. Perinsip subsidiarity, adalah keputusan yang  terbaik bagi pengelolaan lingkungan dibuat oleh tingkatan pemerintah maupun kemasyarakatan  yang  paling  rendah.Biasanya kemasyarakatan yang paling rendah dalah kampung, huta, nagari atau sebutan lainnya yang orotirasnya pada pengetua adat.

            Pengakuan Nasional
        Ketika Indonesia merdeka, ketika Rezim Ordelama dan Orde Baru berkuasa, masyarakat adat menjadi bulan-bulanan pemerintah. Hanya pada Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan-Peraturan Pokok Agraria yang memberi pengakuan hak adatnya. " Hak menguasai negera tersebut diatur pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan peraturan pemerintah" (Pasal 2 ayat 4). Undang-undang yang memihat rakyat dengan landreformnya, kendati masih diakui tapi substansinya tidak terlaksanakan.

        Ketika UUD 1945 diamandemen maka semua perundang-undangan di bawah UUD harus juga mengakui dan menghormati masyarakat adat. Misalnya,  UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan: “Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya  masih ada dan diakui keberadaannya , serta tidak bertentangan dengan  kepentingan nasional” (pasal 4 ayat 3). 
            Demikian juga UU No.27 th.2007 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan Pulau-pulau Kecil mengakui dengan jelas hak masyarakat adat atas pesisir dan pulau-puau kecil. Pasal 61 ayat (1):  “Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal atas Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah dimanfaatkan secara turun – temurun”. Ayat (2): “Pengakuan hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan acuan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang berkelanjutan”.
            Bila undang-undang dasar dan perundang-undangan di bawahnya mengakui dan menghormati masyarakat adat, pertanyaannya adalah masyarakat adat yang mana yang diakui oleh negara secara de jure?  Untuk itu, masyarakat adat perlu melakukan re-legalisasi kembali masyarakat adat (masyarakat adat lebih tua dari republik ini), sebelum melaksanakan hak-hak dan kewenangannya. Inilah tahapan kerja besar kedua masyarakat adat. Sebuah proses beradat untuk mencapai ber”kekuasaan” adat. Ia kan....***
.

No comments:

Post a Comment