Tulisan Dr.Ir.Hamzah Lubis,SH.M.Si berjudul: “Prinsip
Subsidiarity: Pengelolaan Lingkungan Berbasis Budaya Lokal”, telah dimuat pada
Majalah Rona di Medan, Volume 11 Nomor 2 tahun 2012, hal.5-8
Pendahuluan
Hamzah Lubis,
Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim
Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal Medan *Pusat Kajian Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS
HAM-RI
Konsep pembangunan berkelanjutan dalam perumusan kebijakkan
pembangunan suatu negara, sebenarnya sudah disepakati dalam Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Jenero 1992. Konsep yang berupaya mensejahterakan
bangsa tanpa merusak lingkungan. Prakteknya sulit dilapangan. Indonesia adalah
salah satu negara yang mengaku memakai pembangunan berkelanjutan, tetapi begitu
krisis ekonomi melanda seolah menghalalkan segala cara, mengeksploitasi sumber
daya alam. Kondisi Lingkungan bukan semakin baik tetapi semakin mengenaskan
Pembangunan berkelanjutan yang disepakati dunia dibangun
di atas 16 prinsip utama. Perinsip pembangunan berkelanjutan itu terdiri dari:
1.Kedaulatan dan tanggungjawab negara
2.Hak membangun
3.Warisan bersama umat manusia
4.Kepedulian bersama antar umat manusia
5.Kewajiban untuk tidak menimbulkan bahaya lingkungan
6.Keadilan antar generasi
7.Tanggungjawab bersama tapi berbeda
8.Keberhari-hatian
9.Perinsip pencegahan
10.Kewajiban untuk menganalisa dampak lingkungan
11.Perinsip subsidiarity
12.Bertetangga baik dan berkewajiban bekerjasama
13.Kewajiban untuk memberitahu lebih dahulu dan berkonsultasi dengan
iktikat baik
14.Kewajiban untuk tidak mendiktriminasi bahaya lingkungan
15.Hak yang sama untuk mengakses lingkungan
16.Perinsip pencemar dan pengguna
membayar.
Mengacu kepada pola
berfikir global , bertindak
lokal maka penulis ingin membahas kesepakatan
internasional nomor 11 tentang perinsip
subsidiarity, dengan materi tentang
pengelolaan lingkungan berbasis budaya lokal. Strategi perinsip subsidiarity sudah mulai
dilaksanakan dalam pembangunan berkelanjutan, tetapi masih belum maksmal.
Menurut World
Conservation Union (WCU) pada Kongres Perlindungan Alam se Dunia, 4-11 Oktober
2000 di Amman, Yordania, menempatkan negara Indonesia sebagai “negara pemusnah”
ke-empat makhluk hidup setelah India, Brazil dan China. Pada sektor kehutanan
saja kerusakan hutan tahun 1998-2000 mencapai 3,8 juta hektar are pertahun dan
kurun waktu 2000-2003 mencapai 4,1 juta
ha pertahun. Hutan –hutan tidak lama lagi akan berubah menjadi sabana dan
padang pasir.
Hutan Sulawesi hampir lenyap serta hutan Sumatera akan
punah diprediksi pada tahun 2005 oleh Forest Watch Indonesia (FWI) dan Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sedangkan Bank Dunia memprediksi pada tahun
2008. Sedangkan hutan Kalimantan akan punah tahun 2010.
Dasar Hukum
Internasional tentang Subsidiarity.
Perinsip ke-11
pembangunan berkelanjutan tentang subsidiarity, adalah keputusan yang terbaik bagi penmgelolaan lingkungan dibuat
oleh tingkatan pemerintah maupun kemasyarakatan
yang paling rendah. Dalam hal ini sesuai dengan
Undang-Undang tentang otonomi Daerah, maka otonomi itu sebenarnya bertumbu pada
pemerintahan desa atau pemerintahan sejenisnya.
Caring for The Eorth :
A Strategy for the sustainable Living yang diterbitkan ICUN –UNEP – WWF (1991) telah memasukkan prinsip memampukan masyarakat untuk memelihara lingkungan mereka
sendiri sebagai salah satu prinsip pembangunan masyarakat berkelanjutan. Untuk mencapai hal ini masyarakat memerlukan wewenang , kekuasaan dan pengetahuan yang memadai.
Sebenarnya hak – hak masyarakat adat diakui dan telah
diatur dalam instrumen hukum konvensi ILO Nomor 109 tahun 1984 tentang
Masyarakat Adat dan Penduduk Pribumi
Asli Negara Merdeka, konvensi PBB
tentang Keanekaragaman Hayati (Ratifikasi UU No.5/1994), Perjanjian tentang Hak
–Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (1996),
Deklarasi dan
Program Aksi Wina yang telah disetujui Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia
tanggal 25 Juni 1993 yang mengakui hak-hak masyarakat tradisionil, seperti di
bawah ini: Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia mengakui martabat
yang inheren dan kontribusi unik dari masyarakat asli terhadap pembangunan serta
pluralitas masyarakat, dan dengan sangat menegaskan kembali komitment
masyarakat internasional terhadap kesejahteraan ekonomi, sosial dan budaya
mereka, serta untuk memungkinkan mereka menikmati hasil dari pembangunan yang
berkesinambungan.
Negara harus
menjamin adanya partisipasi masyarakat asli yang bebas dan seutuhnya dalam
seluruh asfek masyarakat, terutama yang menyangkut hal-hal yang menjadi
kepedulian mereka. Dengan
mempertimbangkan pentingnya pemajuan dan perlindungan hak dari penduduk asli,
serta konstribusi pemajuan dan perlindungan taersebut terhadap stabilitas
politik dan sosial di negara-negara dimana masyarakat semacam itu berada,
negara-negara harus sesuai dengan hukum internasional, mengambil
langkah-langkah bersama yang positif dalam menjamin adanya penghormatan
terhadap semua hak asasi manusia dan
kebebasan asasi dari penduduk asli, berdasarkan persamaan hak dan non
diskriminasi, serta mengakui nilai dan keanekaragaman dari identitas, kebudayaan
dan organisasi sosial mereka yang berbeda.
Demikian juga
terlihat pada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, pada pasal
27 dijelaskan : Di negara-negara dimana terdapat golongan minoritas berdasarkan
etnis, agama atau bahasa, orang-orang yang tergabung dalam kelompok-kelompok
minoroitas tersebut tidak dapat diingkari
haknya, dalam, komuinitas bersama anggota lain dari kelompok mereka,
untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan agama
mereka sendiri, atau untuk menggunakan bahasa mereka sendiri.
Dasar Hukum Nasional
perangkat hukum nasional Indonesia yang "beradat" kembali mengakui masyarakat adat dengan hukum adatnya setelah dilakukan amandemen UUD 1945 pada Pasal 18B ayat (2) yang berbunyi: "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionilnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI". Pada pasal lainnya, Pasal 28-I ayat (3) disebutkan: "Identitas budaya dan hak masyarakat tradisionil dihormati selarah dengan perkembangan zaman dan peradaban".
perangkat hukum nasional Indonesia yang "beradat" kembali mengakui masyarakat adat dengan hukum adatnya setelah dilakukan amandemen UUD 1945 pada Pasal 18B ayat (2) yang berbunyi: "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionilnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI". Pada pasal lainnya, Pasal 28-I ayat (3) disebutkan: "Identitas budaya dan hak masyarakat tradisionil dihormati selarah dengan perkembangan zaman dan peradaban".
Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok –Pokok Agraria jelas memberi pengakuan khusus tentang kluster rakyat yang
memang “rakyat” dalam bentuk hukum .....rakyat.....Adat, dengan hak
adatnya. Pasal 2 ayat (4) dengan jelas
dicantumkan kekuasaan masyarakat adat. “Hak menguasai negara tersebut
diatur pelaksanaannya dapat dikuasakan
kepada daerah-daerah SWATANTRA
masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan
dengan kepentingan Nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah”
Pada Pasal 2 undang-undang taersebut dijelaskan bahwa: (1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal-pasal 1, bumi dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. (2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk: a.Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut ; b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa ; c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Pada Pasal 2 undang-undang taersebut dijelaskan bahwa: (1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal-pasal 1, bumi dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. (2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk: a.Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut ; b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa ; c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Pasal 2 ayat (3) menjelaskan: "Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara Hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Demikian pula Pasal 2 ayat (4) yang menyatakan: "Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada Daerah –daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah".
Pada Pasal 3 dinyatakan pula: " Dengan mengingat
ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2
pelaksanaan hak-ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
pelaksanaan hak-ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional
dan negara , yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak
boleh bertentangan
dengan Undang-Undang dan peraturan – peraturan lain yang
lebih tinggi .
Kendati
undang-undang ini memberikan legitimasi kekuasaan adat pada masyarakat adatnya, namun masyarakat
adat secara sistematis disingkirkan dari proses dan agenda nasional. Para
pembuat kebijakan secara tidak adil dan tidak demokratis mengambil hak
usul-usul, hak atas wilayah adat, hak untuk menegakkan sistem/ ideologi dan
adat istiadat, hak ekonomi dan hak politik.
Misalnya, Undang-Undang
Pokok Kehutanan (UUPH No.5/1967) yang tidak memamasukkan UU No.5 tahun 1960 tentang Undang-Undang
Pokok Agraria, sehingga secara hukum kedua Undang-Undang ini memiliki domain yang berbeda. Maka
praktek yang akan dilakukan dilapangan adalah : Setiap tanah yang berada
dikawasan hutan diluar UUPA, sehingga
hak rakyat adat atas tanah, air, dan angkasa dalam hutan dianggp tidak sah.
Akibatnya komplik-komplik sosial terus berlangsung
antara masyarakat adat dengan pengusaha dan penguasa. Dan yang selalu kalah
adalah masyarakat adat, karena pengusaha dapat berlindung dalam simbol “ rakyat
“ dan penguasa dengan simbol “ Penguasa
“ Indonesia.
Tekanan juga
datang dari ekses globalisasi ekonomi yang berorientasi kapitalisme dan
indualisme. Paham ini akan mengikis peran dan nilai komunalis dan kolektifitas
masyarakat adat. Masyarakat adat berikut kehidupan tradisionalnya yang sering
kali dicitrakan anti budaya, anti modernitas, tertinggal bahkan penghambat
pembanguan yang berorientasi ekonomi. Stigma tersebut pada akhirnya menjadikan
pemerintah mengeluarkan kebijakan yang
menganggap kebijakan yang sah adalah tindakan sepihak atas nama pembangunan.
Berbasis Lokal
Akar masalah Lingkungan adalah hegemoni Negara terhadap hak-hak
rakyatnya. Kekuasaan pemerintah yang sangat besar dengan legitimasi pasal 33
UUD1945 memberi kuasa kepada negara
untuk mengeksplostasi alam yang digunakan untuk mensejahterakan
“rakyat”. Sayangnya, undang-undang dan
penjelasannya tidak menjelaskan rakyat yang mana, karena seorang Menteri,
seorang Gubernur, Bupati, Konglomerat, Koruptor tetap mengaku rakyat. Mensejahterakan Koruptor, Konglomerat......juga
mensejahterakan rakyat
Mengacu kepada Undang-Undang Otonomi Daerah, maka
kewenaggan lebih banyak di daerah tingkat dua kabupaten/kota, merobah model
sentralisasi menjadi desentralisasi. Dan bila dilihat lebih teliti, maka sentra
otonomi ini berada di tingkat desa-desa. Dan harus diingat, bahwa di desa-desa
pada umumnya yang berkuasa adalah tokoh informal leader yang lebih didominasi
pimpinan adat/suku dan pimpinan agama.
Arah pendekatan berbasis masyarakat dan budaya lokal ini terlihat dengan
perubahan pemerintahan desa dengan sebutan wilayah adat seperti Keuchik
(Aceh), Nagori (Simalungun) dan Nagari
(Minangkabau).
Bukan hanya itu,
wilayah pemerintahan bukan lagi berdasarkan
daerah pemereintahan desa tetapi mengacu kepada kewilayahan adat seperti wilayah pemerintahan ada nagari di Sumatera
Barat. Model pemerintahan desa telah pula disesuaikan dengan model pemerintahan
adat pada masa penjajahan dan atau
awal-awal kemerdekaan
Sistem kapilitas
individualis dengan men-Tuhankan teknologi ternyata gagal menyelamatkan lingkungan bumi. Masyarakat
bumi cemas. Pembesaran dan percepatan kerusakan ozon, pemanasan global,
kenaikan air laut dan lainnya terus berlangsung. Banyak studi yang menunjukkan
masyarakat adat di Indonesia secara
tradisional berhasil menjaga lingkungan. Misalnya hutan adat Temedak di
Kerinci, sistem Hompong pada masyarakat
Rimba (Kubu), Laya ser hanjop pada masyarakat Arfak, adat Sosi di
Maluku, sistem perladangan berotasi masyarakat Dayak dan lainnya. Sistem hutan kerakyatan telah menjadi trent
pengelolaan hutan dunia dan telah diadapsi pada 57 Negara.
Pemerintah
sebenarnya menyadari kesalahan pengelolaan lingkungan yang meninggalkan
masyarakat lokal. Agenda –21 Indonesia tentang Strategi Nasional untuk pembangunan berlanjutan misalnya dalam bidang kehutanan
telah memasukkan aspek pembagian
keuntungan yang adil dari kegiatan kehutanan baik komersial maupun
konservasi / rehabilitasi terutama dengan masyarakat lokal.
Indikator pengelolaan hutan
berkelanjutan selain pelestarian fungsi produksi dan ekalogis juga memasukkan fungsi sosial budaya yaitu
terjaminnya akses terhadap perolehan sumber daya, adanya pengakuan atas hak-hak tradisional dan adanya jaminan
manfaat hutan bagi masyarakat lokal dan
peran serta masyarakat.
Ke – Binnekaan
Indonesia memiliki slogan “ Bhinneka Tunggal Ika “ yang berarti Indonesia memiliki keberagaman
budaya, adat, agama, dll. Yang menyatu
pada satu kesatuan Indonesia. Yang terjadi selama ini ada upaya strategis untuk
menghapus kebhinnekaan untuk mewujudkan
ke ikaan. Keberagaman masyarakat dan struktur adat dijadikan menjadi satu pola
semisal perintahan Desa dan perangkatnya, yang mengakibatkan konflik – konflik
sosial dan masyarakat tersebut dari akar budayanya
Undang - Undang tentang Daerah No.22 1999 diharapkan
menjadi payung untuk mengakomodasi keberagaman sistem pemerintahan lokal
berbasis masyarakat lokal, yang menempatkan desa dan sebutan lainnya sebagai
ujung tombak otonomi daerah. Kelembagaan lokal yang berbasis budaya lokal
adalah sebuah cara untuk pengembalian
kekuasaan pengurusan Sumber daya alam dari pemerintah kepada masyarakat.
Misalnya
pemerintahan Nagari di Sumatera Barat
yang wilayahnya Nagari berdasarkan wilayah kekuasaan hukum adat. Pemerintahan Nagari mengaku adanya kepemilikan pribadi,
ulayat kaum, ulayat suku serta ulayat Nagari .
Pemerintahan Nagari adalah “ Negara Kecil “ dalam negara dalam bentuk
wali Nagari (eksekutif) yang dipilih langsung oleh masyarakat; Badan perwakilan
anak Nagari-BPAN (yudikatif) dan Lembaga Adat Nagari-LAN (lembaga kultural) dan Badan Musyawarah adat
dan syarak Nagari (BMASN), sebagai lembaga syariah. Pemerintahan Nagari berhak
mengatur “ Negara “ Nagari termasuk
membuat badan Usaha Nagari dan penetapan
pajak Nagari.
Pemerintahan Nagari berdasarkan Perda Propinsi Sumatera
Barat No.9 tahun 2000 tentang Pemerintahan Nagari dijelaskan bahwa:
1.Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang terdiri dari
himpunan beeberapa suku yang mempunyai wilayah dan batas-batas tertentu, mempunyai harta
kekayaan sendiri, serta berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
2.Pemerintahan nagari adalah suatu pemerintah otonom berdasar
asal-usul nagari yang berada dalam sisitim pemerintah negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diselenggarakan oleh pemerintah nagari bersama BPAN.
Indonesia yang
“beradat” kembali mengakui masyarakat adat dengan hukum adatnya setelah
dilakukan amandemen UUD 1945 pada pasal
18 B ayat (2) yang berbunyi : “Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI”. Padahal
lain, pasal 28-I ayat (3) : “Indentitas budaya dan hak masyarakat tradisional
dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Beranjak dari konsep
otonomi daerah dan pengakuan atas budaya lokal, maka pembangunan Indonesia
seyogianya berbasis peran serta masyarakat yang melibatkan masyarakat adat.
Konsep pembangunan masyarakat yang melibatkan masyarakat adat. Konsep
pembangunan partisipatif berbasis adat lokal ternyata telah terbukti berhasil
dan telah diadopsi PBB pada 57 negara di
dunia dalam bentuk hutan kemasyarakatan.
Penutup
Penutup
Beranjak dari konsep otonomi daerah dan pengakuan atas budaya lokal,
maka pembangunan Indonesia seyogianya berbasis peran serta masyarakat yang
melibatkan masyarakat adat. Konsep pembangunan masyarakat yang melibatkan
masyarakat adat. Konsep pembangunan partisipatif berbasis adat lokal ternyata
telah terbukti berhasil dan telah diadopsi
PBB pada 57 negara di dunia dalam bentuk hutan kemasyarakatan
Mengacu kepada
Amandemen Undang-Undang Dasar 1995 dan UU No.5 tahun 1960 maka pemerintah
seyogianya memberikan kekuasaan kepada masyarakat adat. Berikan hak masyarakat
untuk mengatur, menyelenggarakan pengguanaan, persediaan dan pemeliharaan
bumi,air, dan ruang angkasa termasuk
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi,
air dan ruang angkasa serta menentukan dan mengatur hubungan – hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa. Yang diperlukan adalah penguasaan dan kekuasaan rakyat seperti
diamanatkan Amandemen UUD 1945 .***
Daftar Bacaan:
----------------, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan
Hak Politik, ditetapkan
Majilis Umum PBB 16
Desember 1966, Jakarta: Komnas HAM, 2004
----------------, Peraturan Daerah Provinsi Sumatera barat No.9 tahun 2000 tentang
Pemerintahan Nagari
----------------,UU No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Poko-Pokok Agraria,
Jakarta, Jembatan
---------------, Deklarasi dan rancangan Aksi Vina, Keputusan
Konferensi Dunia Hak
Asasi manusia,
tgl.25 Juni 1993, Jakarta, Komnas HAM, 2003
___ ______ Indonesia Urutan Keempat Pemusnah Spesies, Jurnal
Kehati, Jakarta,
Oktober
2001 hal-8
_________,Masa Depan Keanekaragaman Hayati Indonesia 2010,
Warta Kehati,
Jakarta,
Januari 2001.
Baya Viktor Mambai, 1995, Masyarakat Esmapano, KAPI dan AOU di
Kawasan
Konsevasi Lorlutz, Irian Jaya, Jayapura : WWF
Budhi Iridjarja, dkk, 1989, Program Kaum Tani : Diklovasi Mengenai
Prinsip-prinsip
Dan
Program dari Konferensi Dunia Mengenai Pembaharuan Agraria dan
Pembangunan Pedesaan, Jakarta : YIBHI
Harwosono Soedjito, 1996, Masyarakat Dayak : Peladang Berpindah dan
Pelestarian
Nuftah,
Jakarta : Konphalindo
Korel Phil Erosi,1999, Tanah kita, Hidup Kita, Jakarta : Sinar
Harapan
Mubariq Akmol, 1994, Sumber
Daya Lokal untuk Masyarakat Lokal :
Sebuah Impian,
Jakarta : Konphalindo.
Muladi Sugiono, 1999, Kritik
Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia ketiga,
Jakarta
: Pustaka Pelajar.
Otto Sumarwoto, 2001, Atur Diri Sendiri : Pradigma Baru
Pengelolaan Lingkungan
Hidup, Yogyakarta : UGM Press
PM. Laksono dkk, 2000, Menjaga Alam Membela Masyarakat : Komunitas
Lokal dan
Pemanfaatan Mangrove di Teluk Bintani, Jakarta : Rovphalindo
PPBB LH-SU, 2001, Pola
Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan
Hidup
Sumatera Utara, Medan : Bapeldasu.
Sarwono Kusumaatmadja, 1997, Agenda 21 Indonesia, Strategi Nasional
untuk
Pembangunan Berkelanjutan, Jakarta : KLH
No comments:
Post a Comment