Hamzah Lubis, Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim
Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal Medan *Pusat Kajian Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS
HAM-RI
*KSA XLII/1999 LEMHANNAS
*aktifis hukum/ham/lingkungan/pendidikan
Nahdlatul
Ulama adalah organisasi Islam terbesar di dunia dengan 89 juta warganya. NU adalah organisasi yang konsen terhadap
lingkungan. Misalnya, Muktamar NU ke-29
di Tasik Malaya, tanggal 1-5 Desember 1994 telah memfatwakan haram hukumnya merusak lingkungan. PMII, organisasi mahasiswa yang didirikan NU
telah menetapkan lingkungan hidup sebagai satu dari tiga nilai dasar
pergerakannya. Demikian juga pada muktamar NU ke-33 di Jombang, tanggal 1-5
Agustus 2015 akan membahas fatwa tentang perusakan lingkungan hidup khusus
perusakan sumberdaya alam. Komisi fatwa muktamar akan membahas salah satu
kesimpulan dari bahtsul masail diniyah
waqi’iyah yang menyatakan haram hukum merusak
sumberdaya alam, mengalih-fungsikan lahan,
kewajiban merehabilitasi dan kewajiban masyarakat mempertahan fungsi
lingkungan hidup. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi calon komisi fatwa muktamar dari pengurus cabang dan pengurus wilayah.
Isu Lingkungan
Hidup
Keprihatinan
atas kerusakan lingkungan, pertamakalinya diangkat Swedia pada sidang umum PBB tahun 1968. Sebagai solusinya, Swedia
mengusulkan agar PBB melaksanakan konferensi
lingkungan hidup. Konferensi internasional pertama dilaksanakan
tanggal 5–16 Juni 1972 di Stockolm, Swedia. Konferensi menghasilkan “Stockholm Declaration”, yang memuat 26
asas, bertemakan satu bumi (one earth)
dengan 5 deklarasi. Deklarasi tentang pemukiman, pengelolaan sumber daya alam,
pencemaran, pendidikan dan pembangunan. Kemudian, tanggal 5 Juni ditetapkan sebagai
Hari Lingkungan Hidup se-Dunia4.
Lingkungan hidup dalam perspektif,
setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat (Pasal 28H UUD-1945),
sebagai bagian dari hak asasi manusia (Pasal 65 UU No. 32/2009). Indonesia
telah memiliki tiga undang-undang lingkungan hidup, UU No. 4 tahun 1982 tentang Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Dalam pengelolaan lingkungan, terdapat berbagai rezim pembangunan. Mulai
dari developmentatif, environmentatif dan sustainable development dengan etika
lingkungan mulai dari shallow ecology sampai deep ecology. Pola pikir manusianya yang developmentis- eksploitatis yang mengeksploitasi sumberdaya alam, environmentalis yang antropocentris, konservasionis yang menempatkan kesejahteraan dan berkelanjutan, preservasionis
yang menempatkan sumberdaya alam tidak
boleh disentuh dan eco-religi yang
menempatkan pengelolaan lingkungan
sebagai bagian agama.
Lingkungan Islami
Bila masyarakat dunia mulai “heboh”
membicarakan lingkungan sejak tahun 1972, agama (Islam) telah membicarakannya
15 abad yang silam. “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka
bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu orang-orang yang yang beriman” (QS. Al-A’raf : 85). “Dan
janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu
membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan” (QS.Hud:85). “Dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS.Al-Qashash : 77).
Hubungan manusia dengan alam adalah
hubungan yang dibingkai konsep “kemakhlukan” (eco-religy) yang patuh dan
tunduk kepada Allah SWT. Dalam mazhab
“kemakhlukan” ini manusia memperoleh konsesi dari Maha Pencipta memperlakukan
alam semesta dengan dua tujuan. Pertama
Al-Intifa’ (pendayagunaan) dalam arti
mengkonsumsi maupun memproduksi. Kedua Al-I’tifar
(mengambil pelajaran) dari hubungan manusia dengan alam maupun antara alam
itu sendiri (ekosistem), baik bersifat konstruktif (ishlah) maupun berakibat destruktif (ifsod). Tindakan ifsod terhadap
lingkungan dikategorikan sebagai kerusakan
(mafasid) yang harus dihindari
dan ditanggulangi. Dengan demikian tindakan pengrusakan dan pelaku pengrusakan
lingkungan dikategorikan sebagai “melanggar “ syariat Allah.
Eco-Religion
Buku Man and Nature :
The Spritual Crisis Of Man ( London, 1976) karya Seyyed assein Nasr
menjelaskan bahwa krisis lingkungan berkorelasi dengan krisis
spritual-eksistensial yang menerpa kebanyakan manusia modern. Karena persepsi yang
salah terhadap alam, maka manusia telah menghancurkan dunia secara teori
sebelum manusia menghancurkan dalam praktek.
Agama memiliki “ lima filosofi R “
dalam menyelamatkan lingkungan yaitu : (1) Reference, yaitu keyakinan yang dapat diperoleh dari teks kitab
suci dan kepercayaan yang dimiliki masing-masing, (2) Respect, penghargaan kepada semua makhluk yang diajarkan oleh agama
sebagai makhluk Tuhan, (3) Restrain,
kemampuan untuk mengelola dan mengontrol sesuatu supaya penggunaannya tidak
mubazir, (4) Redistribusian, kemampuan untuk menyebarkan kekayaan;
kegembiraan dan kebersamaan melalui
langkah dermawan; misalnya zakat, infaq dan sadaqah dalam islam, (5) Resposibility, sikap bertanggungjawab
dalam merawat kondisi lingkungan dan
alam.
Ilmuan dan pengambil kebijakan telah mulai menyadari pentingnya agama dalam mendiskusikan persoalan lingkungan. Eco-religi, menjadi trend model pengelolaan lingkungan ke depan.
Dalam dua dekade terakhir ini, setidaknya ada upaya para ilmuan dan agamawan
bersatu untuk menyikapi lingkungan. Hal tersebut terlihat sejak pertemuan
pemimpin agama dan sains dalam : Join
Appeal by Religion and Science for the Environment, bulan Mei 1992 di
Washington.D.C. Para ilmuan dan pemimpin agama bersatu menyatakan: “Kami yakin bahwa sains dan agama dapat
bekerjasama untuk mengurangi dampak yang berarti dan membuat resolusi atas krisis lingkungan
yang terjadi di bumi”. World Wildlife Fund (WWF) telah memfasilitasi
pertemuan seluruh pemuka agama untuk menghadapai krisis lingkungan di Assisi,
Italya tahun 1996 yang telah menghasilkan Assisi
Declaration, yang merupakan pernyataan peran dan pandangan agama dalam
pengelolaan lingkungan.
Lingkungan hidup dalam perspektif
Islam, telah menjadi nilai dasar Pergerakan Mahaswa Islam Indonesia (PMII). Islam
telah mengatur harmoni antara manusia dengan Tuhan (hablum minallah), hubungan manusia dengan manusia (hablum minannas) dan hubungan manusia
dengan lingkungan (hablum bil alam).
Ideologi harmoni ini telah diadopsi organisasi mahasiswa yang dilahirkan NU
(PMII) menjadi kebijakan organisasi sebagai Nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII. Demikian
juga NU telah mengadopsi lingkungan dan perspektif Al-Quran dengan menfatwakan
haram hukumnya merusak lingkungan hidup.
NU dan Lingkungan
Nahdlatul Ulama
telah memfatwakan „haram“ hukum merusak/ mencemari lingkungan dalam Muktamar ke
29 di Tasik Malaya tanggal 1-5 Desember 1994. Setiap tindakan yang
mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup harus dikategorikan sebagai perbuatan
maksiyat (munkar) yang diancam dengan hukuman. Mencemari/merusak
lingkungan (udara, air dan tanah) serta
keseimbangan ekosistem adalah haram dan
termasuk perbuatan kriminal (sirayat).
Oleh karena itu, terhadap kerusakan wajib diganti (rehabilitasi) oleh
pencemar.
Selain pidana
denda, hukum Islam menerapkan pidana penjara, potong tangan dan kaki sampai
pada hukuman mati. “ Sesunguhnya imbalan
terhadap orang yang memerangi Allah dan RasulNya dan membuat kerusakan di muka
bumi hanyalah mereka dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka
dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang
demikian itu (sebagai) suatu penghinaan
untuk mereka di dunia. Dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang
besar” (QS. Al-Maidah ayat 33).
Pada muktamar NU ke-33 tahun 2015 ini, akan dibahas pula
kesimpulan bahtsul masail diniyah waqi’iyah tentang kerusakan sumberdaya alam. Kesimpulan (awal) bahtsul masail
adalah:
1.
Haram melakukan ekploitasi sumber daya alam yang menyebabkan kerusakan lingkungan, baik yang dilakukan
pemerintah maupun oleh swasta, yang memiliki izin atau illegal karena mudhorot kerusakannya
lebih besar daripada mashlahatnya.
2.
Haram melakukan alih fungsi lahan
produktif seperti lahan pertanian, perkebunan atau ladang menjadi
perumahan, perkantoran, pabrik atau jalan. Alih fungsi lahan menyebabkan
menurunnya produksi pangan. Pemerintah berkewajiban menghentikan alih fungsi
lahan yang mengakibatkan mudhorot secara luas.
3.
Hukumnya wajib, bagi pelaku eksploitasi sumberdaya alam untuk menanggung
kerugian dan merehabilitasi sumberdaya alam.
4.
Hukumnya wajib, bagi masyarakat melakukan gerakan amar ma’ruf dan nahi
munkar dan berjihad sesuai kemampuannya
menolak eksploitasi sumberdaya disekiktarnya.
Perhitungan perbandingan nilai mashlahat
berbanding dengan nilai mudhorotnya tidak
seyogianya dinilai dengan nilai pasar (willingness
to pay) yang lazimnya diukur dengan
uang dalam transaksi ekonomi (market
value). Nilai ekonomi sumberdaya
alam yang dirusak harus dihitung misalnya dengan metoda valuasi ekonomi
menggunakan environmental accounting
sumberdaya alam. Semoga fatwa muktamar nantinya benar-benar bermanfaat bagi
manusia dalam alam. Amin.***
No comments:
Post a Comment