Tulisan
Dr.Ir.Hamzah Lubis, SH.,M.Si berjudul “Tindak Pidana Perikanan di ZEE” telah dimuat
pada Jurnal Varia Peradilan Mahkamah Agung-RI, No. 318 Edisi Mei tahun 2012,
hal.99-104
Hamzah Lubis, Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim
Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal Medan *Pusat Kajian Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS
HAM-RI
*KSA XLII/1999 LEMHANNAS
*aktifis hukum/ham/lingkungan/pendidikan
Nampaknya, terdapat perbedaan pemahaman antara
hakim karir dengan hakim ad hoc dalam
menerapkan hukuman pidana perikanan di
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Para hakim menyadari bahwa saat
ini, di ZEEI belum ada perjanjian kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan
negara lain. Namun dalam penerapan
hukuman pidana perikanan ada yang menetapkan hanya hukuman denda saja
dan ada pula hukuman denda plus subsider kurungan. Tulisan ini mencoba mengurai
pemahaman dari dua aliran ini.
Pendahuluan
Ketika seorang calon Hakim Ad
Hoc Pengadilan Perikanan menyelesaikan diklat,
yang dipahami dan diyakininya
tidak ada hukuman badan ataupun kurungan bagi tindak pidana di ZEE. Namun ketika memutus perkara bersama
hakim karir, terjadi benturan pendapat – pada umumnya – yang menyebabkan
keyakinan hakim ad hoc berkurang
sehingga mengalah atau tetap bertahan dengan memilih disenting opinion (DO). Jaksa Penuntut Umum
(JPU) akan melakukan banding bagi putusan pidana denda ”tidak ada” subsider
kurungan. Beberapa putusan Pengadilan Tinggi menganulir putusan hakim
pengadilan tingkat pertama dan menguatkan tuntutan Jaksa dengan memasukkan
subsider kurungan (pada hal dakwaan jaksa memasukkan Pasal 102 UU No. 31/2004:
tidak ada kurungan). Akhirnya, hakim ad
hoc merobah keyakinannya. Hanya sebagian kecil yang masih bertahan dengan
keyakinan tidak ada hukuman kurungan atau bentuk hukuman badan lainnya sehingga
terus melakukan DO.
Perbedaan putusan
pada subtansinya pada cara
pandang yang berbeda terhadap ZEE sebagai locus delicti dengan
penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana khususnya Pasal 30 ayat 2. Ayat 2 dari pasal ini menyatakan:
”Jika dijatuhkan hukuman denda dan denda tidak dibayar, maka diganti dengan
hukuman kurungan”. Karena para tekong (nakhoda) kapal perikanan diduga tidak
mampu membayar denda, maka untuk mengeksekusi
putusan, hukuman denda ditambah dengan subsider hukuman kurungan.
Wilayah Yuridiksi
Undang-undang
perikanan mempopulerkan istilah hukum ”Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP)”
Republik Indonesia. WPPRI meliputi genangan air, waduk, sungai, danau dan
perairan. Dengan menyebutkan ZEEI adalah
WPPRI, dapat memberi asumsi bahwa aturan hukum di ZEEI sama dengan aturan hukum
di laut teritorial, danau, sungai dan
lainnya yang juga WPPRI. Dengan demikian dapat dipahami dalam diskusi sesama
hakim, seringkali memahami ZEE sebagai laut teritorial dengan hak berdaulat
negara. Pada hal, ZEEI adalah wilayah
yuridiksi dengan kedaulatan terbatas.
”Hak-hak berdaulat” negara di
perairan dijelaskan pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 6 tahun 1996 tentang
Perairan Indonesia yang menyatakan : ”Kedaulatan Negara Republik Indonesia di
perairan Indonesia meliputi laut
teritorial, perairan kepulauan dan perairan pedalaman serta ruang udara di
atas laut teritorial, perairan kepulauan dan perairan pedalaman serta dasar
laut dan tanah di bawahnya termasuk sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”. ZEEI tidak
termasuk dalam kedaulatan negara, di luar wilayah negara, masuk dalam kategori
”wilayah yurisdiksi”.
Wilayah yurisdiksi, dijelaskan
pada Pasal 1 ayat (3) UU No. 43
tahun 2008 tentang Wilayah Negara, yang menyatakan bahwa: ”Wilayah yurisdiksi
adalah wilayah di luar wilayah negara yang terdiri atas: zona
ekonomi eksklusif, landas
kontinen dan zona tambahan dimana negara memiliki hak-hak berdaulat dan
kewenangan tertentu lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan dan hukum internasional”.
Dari hal-hal di atas dapat
disimpulkan bahwa ZEEI adalah WPPRI namun ZEEI bukanlah ” kedaulatan negara”
(Psl. 4 UU No. 6/1996), berada ”diluar wilayah negara” (Psl. 1 (3) UU No.
43/2008) dan pelaksanaan hukum tunduk pada ”hukum internasional” (Psl.7 UU No.
43/2008).
Hukum Internasional
Kendati ZEEI bukanlah ” kedaulatan
negara” , berada ”diluar wilayah negara”
namun ZEEI adalah Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia. Sebagai WPPRI, negara memiliki hak-hak berdaulat
dan hak-hak lainnnya dengan ketentuan ”sesuai hukum internasional”. Pasal 7 UU No. 43 tahun 2008 menyatakan: ”Negara
Indonesia memiliki hak-hak berdaulat dan
hak-hak lainnya di wilayah yurisdiksi
yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan Hukum Internasional”.
Hukum Internasional yang
mengatur Zona Ekonomi Eksklusif adalah United Nations Conference on The Law of The Sea (UNCLOS). UNCLOS telah
diratifikasi Pemerintah Indonesia dengan
Undang-undang Nomor 17 tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS.
Ratifikasi dilakukan terhadap
UNCLOS secara utuh dan menyeluruh. Pasal
(1) UU No. 17 tahun 1985 menyatakan:
”Mengesahkan United Nations Conference on
The Law of The Sea (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut)
yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Inggris dilampirkan pada
undang-undang ini”. Pada penjelasannya dinyatakan: ”Konvensi ini tidak membenarkan
negara-negara mengadakan persyaratan (reservation)
terhadap ketentuan-ketentuan dalam konvensi
pada waktu mengesahkan, karena seluruh ketentuan konvensi ini merupakan satu paket yang ketentuan-ketentuannya sangat erat
hubungannya satu dengan yang lain, dan
oleh karena itu hanya dapat disahkan
sebagai satu kebulatan yang utuh” (angka 14 huruf c).
Dengan diratifikasinya UNCLOS , dengan demikian
apa yang diatur UNCLOS ”menjadi aturan hukum mengikat” di Indonesia. Hal ini
dinyatakan pada Pasal 15 ayat (2) UU No.24 th. 2000 tentang Perjanjian
Internasional, yang berbunyi: “ Suatu perjanjian internasional mulai
berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan sebagaimana
ditetapkan dalam perjanjian tersebut”.
Hukum Internasional di ZEE
ZEE menurut
UNCLOS dinyatakan dalam Bab V Pasal 55 yang menyatakan bahwa: ”Zona Ekonomi Eksklusif
adalah suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial, yang tunduk
pada rezim hukum khusus yang ditetapkan dalam
bab ini berdasarkan mana hak-hak dan yurisdiksi Negara pantai
dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan
Negara lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan yang relevan konvensi ini”.
Bab V
UNCLOS tentang ZEE (mulai Pasal 55 sampai Pasal 75) mewajibkan hukum nasional negara
pantai: ”tunduk, harus sesuai, harus relevan, tidak bertentangan ” dengan UNCLOS.
Hukum Nasional ”tunduk” dengan UNCLOS dinyatakan pada Pasal 55 : ”Zona
Ekonomi Eksklusif adalah suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut
teritorial, yang tunduk pada rezim hukum khusus yang ditetapkan dalam bab ini berdasarkan mana hak-hak dan
yurisdiksi Negara pantai dan hak-hak
serta kebebasan-kebebasan Negara lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan yang
relevan konvensi ini”.
Hukum Nasional ”harus sesuai” dengan
UNCLOS dinyatakan pada: (1) Pasal
56 ayat 2 : ”Di dalam
melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajibannya berdasarkan konvensi ini dalam Zona
Ekonomi Eksklusif , Negara pantai harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban
Negara lain dan harus bertindak dengan suatu cara sesuai dengan ketentuan konvensi ini” ; (2)
Pasal 58 ayat 3: ”Hak-hak dan
kewajiban Negara lain di Zona Ekonomi Eksklusif: (3) Dalam hal melaksanakan
hak-hak memenuhi kewajibannya berdasarkan konvensi ini di Zona Ekonomi Eksklusif,
Negara-negara harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban negara pantai
dan harus mentaati peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh
Negara pantai sesuai dengan ketentuan konvensi
ini dan peraturan hukum internasional
lainnya sepanjang ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan bab ini” dan (3) Pasal 73 ayat 1: ”Negara
pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan eksplorasi,
eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di Zona Ekonomi Eksklusif
mengambil tindakan demikian, termasuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan
melakukan proses peradilan, sebagaimana diperlukan untuk menjamin
ditaatinya peraturan perundang-undangan yang ditetapkannya sesuai dengan ketentuan konvensi ini”.
Hukum Nasional ”harus relevan” dengan UNCLOS dinyatakan pada Pasal 58 ayat 1: ”Hak-hak dan kewajiban Negara lain
di Zona Ekonomi Eksklusif: (1).Di Zona Ekonomi Eksklusif, semua Negara, baik Negara
berpantai atau tak berpantai, menikmati, dengan tunduk pada ketentuan yang relevan
konvensi ini, kebebasan-kebebasan pelayaran dan penerbangan,….”.
Hukum Nasional ” tidak
bertentangan” dengan UNCLOS dinyatakan
pada Pasal 58 ayat 3: ”Hak-hak dan
kewajiban Negara lain di Zona Ekonomi Eksklusif: (3) Dalam hal melaksanakan
hak-hak memenuhi kewajibannya
berdasarkan konvensi ini di Zona Ekonomi
Eksklusif, Negara-negara harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban negara pantai
dan harus mentaati peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh
Negara pantai sesuai dengan
ketentuan konvensi ini dan peraturan hukum internasional
lainnya sepanjang ketentuan tersebut tidak
bertentangan dengan ketentuan bab ini”.
Aplikasi dari UNCLOS tentang
ZEE mewajibkan hukum nasional negara pantai, harus: ”tunduk,
harus sesuai, harus relevan, tidak bertentangan ” dengan UCLOS atau dengan
”ekstrim” Djoko Sarwoko (2009) membuat istilah ”hukum Nasional” tidak berlaku
di ZEE. ” Jika tindak pidana dilakukan di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif karena dipandang sebaga wilayah ”innocent
pasage” maka tidak berlaku hukum nasional Indonesia, melainkan tunduk pada hukum
laut Internasional. Dengan demikian jika pidana denda tidak dibayar oleh terpidana meskipun perbuatan pidana dilakukan di wilayah perikanan ZEE Indonesia tidak dapat
diterapkan hukun nasional Indonesia”.
Proses pradilan atas atas
pelanggaran perundang-undangan perikanan di ZEE
diatur pada Pasal 73 ayat 1 UNCLOS: “Negara pantai dapat, dalam
melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi,
konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan
hayati di Zona Ekonomi Eksklusif mengambil tindakan demikian, termasuk menaiki
kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses peradilan,
sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan
yang ditetapkannya sesuai dengan ketentuan konvensi
ini”.
Ketentuan pidana diatur pada Pasal 73 ayat 3 UNCLOS: ”Pidana
Negara pantai yang dijatuhkan terhadap
pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif tidak boleh mencakup pengurungan,
jika tidak ada perjanjian sebaliknya antara negara-negara yang bersangkutan atau setiap bentuk pidana badan lainnya”.
Mengingat hukum nasional Indonesia
di ZEEI
harus : ”tunduk, harus sesuai,
harus relevan, tidak bertentangan ” dengan UNCLOS, dan UNCLOS menyatakan tidak ada hukuman kurungan atau
bentuk pidana badan lainnya, mak semua perundang-undangan nasional yang bertentangan dengan UNCLOS termasuk Pasal 30 ayat (2) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana tentang subsider kurungan, tidak dapat diberlakukan.
Hukum Nasional di ZEE
Pidana
perikanan di ZEEI tidak boleh mencakup kurungan atau setiap
bentuk pidana badan lainnya, diatur dalam beberapa undang-undang Republik
Indonesia.
Undang - Undang Nomor 17 tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS menyatakan Pasal 73 ayat 3:
”Pidana Negara pantai yang dijatuhkan
terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif tidak boleh mencakup pengurungan,
jika tidak ada perjanjian sebaliknya antara Negara-negara yang
bersangkutan atau setiap bentuk pidana
badan lainnya”.
Undang - Undang Nomor 31 tahun
2004 tentang Perikanan Pasal 102 yang
menyatakan: ”Ketentuan tentang pidana
penjara dalam undang-undang ini tidak berlaku bagi tindak pidana di bidang
perikanan yang terjadi di wilayah pengelolan perikanan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf (b), kecuali telah ada
perjanjian antara Pemerintah Republik
Indonesia dengan pemerintah Negara yang
bersangkutan”. Pasal 5 ayat 1 huruf b, adalah ZEEI. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif, pada Ketentuan Pidana (bab 7), semua pasal-pasal pidana dalam undang-undang ini, adalah ”pidana denda”
(kendati diundangkan sebelum UNCLOS diratifikasi).
Mengingat
UU No. 17 tahun 1985, UU No. 31
tahun 2004 jo UU Nomor 45 tahun 2009 dan
UU No. 5 tahun 1983 adalah undang-undang yang bersifat khusus (leks spesialis) maka undang-undang yang bersifat
sepesialis meniadakan undang-undang yang
bersifat umum. Oleh karena itu, Pasal 30 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana tentang subsider kurungan ditiadakan dengan kekhususan tindak pidana
perikanan di ZEEI.
Pendapat Ahli
Para ahli yang mendalami hukum
internasional dengan mengacu kepada
UNCLOS dan konvensi laut lainnya menyatakan bahwa tidak ada hukuman
kurungan maupun bentuk hukuman badan lainnya bagi tindak pidana perikanan di
ZEE. Salah seorang yang berpendapat
sama adalah Djoko Sarwoko,SH., MH (Ketua Tunpidsus - MA). Dalam makalah yang
berjudul: Pemidaan Dalam Tindak Pidana Perikanan (2009). Ia berpendapat Pasal
30 ayat 2 KUHP tidak dapat diterapkan. .” Jika tindak pidana dilakukan di wilayah
Zona Ekonomo Eksklusif karena dipandang sebaga wilayah ”innocent
pasage” maka tidak berlaku hukum nasional Indonesia, melainkan tunduk pada
hukum laut Internasonal. Dengan demikian jika pidana denda tidak dibayar oleh terpidana meskipun perbuatan pidana dilakukan di wilayah perikanan ZEE Indonesia tidak dapat
diterapkan hukun nasional Indonesia”.
Bila di atas, Djoko Sarwoko
menjelaskan pidana denda yang tidak
dibayar tidak bisa diterapkan hukum nasional (termasuk Pasal 30 ayat 2 KUHP),
maka di bawah ini ia menjelaskan secara tegas dan memberi contohnya. “Kalau di wilayah ZEE, maka ancaman pidana
dengan denda sebanyaknya Rp. 225 juta (contohnya, penulis) tidak dibayar, maka tidak
dikenal adanya pidana kurungan pengganti, karena terikat dan tunduk pada hukum
laut internasional. Dengan demikian, jika pidana denda tidak dibayar maka tidak
dapat diganti dengan upaya paksa lainnya; apalagi jika terpidana telah kembali ke Negara
asalnya”.
Penutup
Dalam diskusi sesama hakim
tentang dibolehkan atau tidaknya hukuman kurungan bagi tindak pidana perikanan
di ZEE, beberapa hakim meminta agar Mahkamah Agung memperjelas dalam bentuk
Peraturan Mahkamah Agung (Perma) atau Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema)
Republik Indonesia.
Bila kita mengacu kepada Hukum
Internasional, Hukum Nasional dan pendapat ahli tentang tindak pidana perikanan
di ZEE; masih diperlukankah lagi Perma atau Sema? Atau masih
perlukah para hakim
berbeda pendapat dan berbeda
putusan dalam kasus yang sama? Wallahu
alam.***
No comments:
Post a Comment