PENDIDIKAN
DAN MITIGASI BENCANA
Dr.Ir.Hamzah Lubis,SH.,M.Si
Dosen,
Pembina SMP IT-NU (Full Day)
Jl.Pukat I No.37 Medan Tembung
Sk. Prestasi
Reformasi No.480, 21 Desember 2015, hal.6 kol.1-4
“Telah tampak kerusakan di
darat dan di laut disebabkan karena
perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat)
perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)“ (Q.S.Ar-Rum:41).
Tulisan ini adalah pengembangan dari
makalah penulis pada seminar Peran Perguruan Tinggi dalam Menanggulangi Bencna dan Kerusakan Lingkungan yang dilaksanakan
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di kampus Institut Teknologi Medan,
tanggal 20 Nopember 2015. Seminar ini sebagai antisipasi tren bencana (sepuluh
tahun terakhir), pada tahun 2016 berpeluang didominsi bencana hidrometeorologi.
Puncak bencana hidrometeorologi 2016 diprediksi pada bulan Januari-Februari
2016.
Peraturan Kebencanaan
Masalah bencana alam telah diatur dalam
berbagai perundang-undangn. Undang-undang yang khusus mengenai penanggulangan
bencana adalah undang-undang nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana. Penanggulangan bencana juga menjadi bagian berbagai perundang-undangan
nasional. Misalnya Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (dirubah dengan UU No.1 tahun 2014) yang mewajibkan
pelaksanaan mitigasi bencana dalam perencanaan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil. Terdapat pula peraturan pemerintah, diantaranya PP No.21 tahun 2008
tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, PP No.64 tahun 2010 tentang
Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisisr dan Pulu-Pulau Kecil dan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Dalam perundang-undangan, telah diatur
misalnya tentang hak-hak masyarakat. Pasal 26 UU N0.24 tahun 2007, mengatur
hak-hak masyarakat, diantaranya: (1) hak mendapatkan perlindungan sosial dan
rasa aman, khususnya bagi kelompok masyarakat rentan bencana, (2) hak mendapatkan
pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan
bencana, (3) hak mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau
lisan tentang
kebijakan penanggulangan bencana, (4) hak berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan
program penyediaan bantuan pelayanan kesehatan termasuk dukungan, (5) hak berpartisipasi
dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan penanggulangan bencana, khususnya
yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya dan (6) hak melakukan pengawasan sesuai dengan
mekanisme yang diatur atas pelaksanaan penanggulangan bencana. Demikian juga hak
mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar dan hak memperoleh ganti kerugian
karena terkena bencana yang disebabkan oleh kegagalan konstruksi.
Evaluasi Kebencanaan 2015
Evaluasi atas
bencana selama tahun 2015, berdasarkan sumber bencana yang mematikan, bahwa
longsor menjadi bencana alam yang paling
mematikan yang menyebabkan kematian 147
jiwa. Sumber bencana berdasarkan kerugian ekonomi, maka kebakaran hutan dan
lahan yang paling dominan. Kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan
menurut perhitungan Bank Dunia sebesar Rp.221 triliun. Angka ini dua kali lipat
dibandingkan dengan kerugian ekonomi akibat gempa dan tsunami Aceh tahun 2004.
Total kerugian tersebut belum termasuk kerugian di sektor pendidikan dan kesehatan.
Di sektor
pendidikan, berbulan-bulan siswa sekolah pada beberapa provinsi di Sumatera di
liburkan. Di sektor kesehatan, kebakaran hutan dan lahan ini menyebabkan 24
orang meninggal dan lebih dari 600.000 jiwa menderita penyakit infeksi saluran
pernapasan (ISPA). Kebakaran hutan dan lahan juga menyedot anggaran BNPB
sebesar Rp.720 milyar, belum termasuk dana pemadaman api dari kementerian
lainnya. Kerugian ini merupakan kerugian bencana alam yang tertinggi dalam
sejarah bencana di Indonesia.
Sepanjang tahun
2015 telah terjadi 1.582 bencana yang menewaskan 240 orang, menyebabkan 1,18
juta orang mengungsi, 24.365 rumah rusak yang terdiri atas 4.977 rumah rusak
berat, 3.461 rumah rusak sedang dan 15.27 rumah rusak ringan serta 484 unti
fasilitas umum rusak. Lebih dari 95 persen merupakan bencana hidrometeorologi.
Putting beliung, longsor dan banjir yang paling dominan. Sebaran dominan lima
provinsi yang paling banyak ditimpa bencana adalah Jawa Tengah (363 kejadian),
Jawa Timur (291 kejadian), Jawa Barat (209 kejadian), Sumatera Barat (93
kejadian) dan Aceh (85 kejadian).
Kesiapan
Bencana
Sejumlah
kalangan, termasuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), meragukan
kesiap-siagaan Indonesia menghadapi gempa dan tsunami. Ahli tsunami dari Balai
Pengkajian Dinamika Pantai, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPDP-BPPT) Widjokongko berharap BNPB lebih berperan dalam pengurangan resiko
bencana, tak hanya pada upaya penanggulangan setelah bencana. Mitigasi bencana harus lebih ditingkatkan
daripada penanggulangan. Tanpa mitigasi, korban bencana akan terus bertambah.
Pada
kenyataannya, sepuluh tahun pasca bencana tsunami Aceh, upaya pengurangan
resiko bencana belum terintegrasi dengan rencana pembangunan di daerah. Jikapun
ada program pengurangan resiko bencana, hal itu kebanyakan berupa proyek fisik,
sedangkan penguatan kapasitas dan pendidikan kebencanaan minim sekali. Pengalaman
penulis menjadi nara sumber penanggulangan kebencanaan di beberapa
kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, menunjukkan bahwa pengurangan resiko
bencana belum terintegrasi pada rencana pembangunan, apalagi yang berpola
pelatihan atau peningkatan kapasitas.
Pengurangan
resiko bencana seharusnya lebih mengutakan pendidikan dan pelatihan kapasitas
warga. Hal ini mengacu pada Pasal 26 UU N0.24 tahun 2007, dimana setiap orang
hak mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana. Dalam berbagai kunjungan ke sekolah di berbagai tempat,
sekolah juga belum sepenuhnya melaksanakan amanah undang-undang ini. Titik-titik
tempat evakuasi sementara, daya tampungnya dan petunjuk arahnya juga belum
jelas. Secara umum masyarakat belum siap jika terjadi gempa dan tsunami.
Belajar
dari pengalaman
Belajar dari
pengalaman, kemudian diajarkan pada orang lain akan melahirkan
pengetahuan/kearifan lokal. Misalnya, tsunami Aceh pada tanggal 26 Desember
2004 yang merenggut ratusan ribu nyawa manusia, adalah pengulangan tsunami
beberapa kali sebelumnya. Hasil penelitian geologi memberikan bukti bahwa
tsunami serupa pernah terjadi ditempat yang sama sekitar 550, 1.700 dan 2.400
tahun yang lalu.
Masyarakat Pulau
Simelu belajar dari pengalaman, ketika air laut menyusut pada tsunami Aceh
2004, dengan kearifan lokal, masyarakat berbondong-bondong lari ke bukit.
Korban jiwapun sedikit dibanding daerah lainnya. Demikian juga meningkatnya kesiap-siagaan bencana dari
warga negara Chile, menyebabkan gempa dan tsunami Chile, tahun 2014 hanya
menewaskan 11 orang padahal gempa dan tsunami empat tahun sebelumnya (2010 ) mencapai 550 orang. Pertanyaannya, adakah kita
yang hidup diatas lempeng bencana ini telah beradaptasi dengan bencana seperti
halnya dengan Chile? Semoga……
Medan,
19 Desember 2015
Penulis
Hamzah
Lubis