Dr.Ir. Hamzah Lubis, SH.,M.Si
“Wahai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) dan ulil amri (pemegang
kekuasaan) diantara kamu”, QS.Annisa:59. “Sejarah mencatat, saya ulangi lagi
sejarah mencatat para santri telah mewakafkan hidupnya untuk kemerdekaan
Indonesia”, Presiden Joko Widodo. ”Tanpa
Resolusi Jihad tidak ada perlawanan yang heroik. Jika tidak ada perlawanan yang
heroik, berarti tidak ada hari Pahlawan
10 Nopember” Panglima TNI Jenderal Gatot
Nurmantyo.
Pengantar
Peran laskar Hizbullah dan laskar Sabilillah dalam mempertahankan
kemerdekaan Republik Indonesia pada awal kemerdekaan menjadi salahsatu topik
diskusi antara Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (NU) Sumatera Utara dengan
Kasdam I Bukit Barisan. Diskusi berlangsung di Kodam I/Bukit Barisan, Selasa,
19 Januari 2016 lalu. Rombongan PWNUSU dipimpin Ketua, KH. Afifuddin Lubis dan
penulis adalah salah seorang dari
rombongan. Dalam diskusi, Brigjen TNI Widagdo Hendro.S, sangat mahir
menjelaskan peran laskar NU ini khususnya dalam mempertahankan kemerdekaan di
Kota Surabaya yang melahirkan Hari Pahlawan dan Hari Santri Nasional. Dengan
”Resolusi Jihat” Nahdlatul Ulama, menyihir pesantren, kiyai dan santri serta umat Islam untuk berjihad
mempertahankan kemerdekaan.
Kendati
terlambat, kendati peran organisasi, ulama dan laskar-laskar Islam terhilangkan
(?) selama 60 (enam puluh) tahun, Joko
Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia memberi pengakuan atas peran kaum
sarungan (santri) ini. “Sejarah
mencatat, saya ulangi lagi sejarah mencatat para santri telah mewakafkan
hidupnya untuk kemerdekaan Indonesia. Para santri dengan cara masing-masing
melawan penjajah menyusun kekuatan mengatur strategi”, ujar Joko Widodo, pada penetapan Hari Santri
Nasional tanggal 22 Oktober 2015 lalu. Melalui Keputusan Presiden Nomor 22
tahun 2015 menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. ”Untuk
itu dengan seluruh pertimbangan pemerintah menetapkan tanggal 22 Oktober
sebagai Hari Santri Nasional”, ucapnya.
Sukarelawan PETA
Tentara
penjajah Jepang, tanggal 3 Oktober 1943 mengeluarkan Osamu Seirei No.44 tentang
pembentukan tentara sukarela Pembela Tanah Air (Bo-ei Giyugun Kanbu Renseitai). Tentara sukarela Pembela Tanah Air
(PETA) direncanakan terdiri atas 65 Daidan (batalyon) di Jawa dan 3 Daidan di
Bali.
Sturuktur PETA, tiap Daidan beranggotakan 535 personil
dipimpin Daidancho (komandan batalyon) pangkat setingkat Mayor dibantu kepala
staf berpangkat Shodancho. Setiap Daidan terdiri 4 Chudan (kompi) yang dipimpin
Chudanco (komandan kompi) pangkat setingkat Kapten. Tiap Chudan terdiri 3
Shodan yang dipimpin Shodancho (komandan peleton) pangkat setingkat Letnan.
Tiap Shodan terdiri dari 4 Bundan yang dipimpin Bundancho (komandan regu)
pangkat setingkat Sersan. Tiap Bundan (regu) beranggotakan 22 Giyuhei-prajurit. Tentara sukarela PETA dilatih langsung oleh tentara Jepang dan
berada dibawah komando Panglima Tentara Jepang. PETA adalah cikal bakal TNI.
Tujuan
pembentukan PETA, agar tentara Jepang bersama sukarelawan mempertahankan wilayah teritorial di Jawa dan Bali dan bersama-sama melawan
sekutu. Pada sisi lain, penjajah Jepang menemukan catatan arsip kolonial
Belanda, bahwa selang waktu 100 tahun, antara 1800-1900 telah terjadi 112 kali
pemberontakan yang dilakukan tokoh-tokoh tarikat (pesantren) bersama santri dan
rakyat dengan semangat tempur yang tinggi (jihad
fi sabililah).
Oleh karena
itu, Jepang berketetapan, memberi porsi yang tinggi bagi kalangan tokoh umat
Islam. Para kiyai, ulama, guru agama
Islam diberi kesempatan menjadi Daidancho (Komandan Batalyon), pangkat
tertinggi dalam sturuktur PETA untuk pribumi.
Sebagai bukti, Presiden Joko Widodo menyebutkan 11 anggota PETA dari
kalangan santri pada peresmian Hari Santri Nasional. Hasil penelitian Agus
Sunyoto, dari enam puluhan delapan bataliyon PETA, hampir separuh komandan
bataliyonnya adalah kiyai. Belum lagi
dihitung yang kiyai yang menjabat
komandan kompi, komandan peleton,
komandan regu dan prajurit.
Laskar Hizbullah
Para kiyai
dari pesantren membentuk tentara militan di kalangan pesantren dan santri.
Laskar Hibullah (tentara Allah) dan laskar Sabililah (Jalan Allah) didirikan
tahun 1942. Laskar Hizbullah adalah organisasi semi militer yang anggotanya
terdiri dari pemuda-pemuda Islam. Komando sipritualnya adalah KH.Hasyim Asy’ari (Rois Akbar NU) dan
Panglima militernya KH Zaenul Arifin. Santri pesantren dan anggota Ansyor-NU
(pemuda) adalah pemasok yang paling besar dalam keanggotaan Hizbullah.
Para kiyai,
ulama, yang sudah dewasa dan orangtua masuk dalam laskar Sabilillah dengan
panglimanya KH.Masykur dari NU. Kedua laskar ini mendapat latihan kemiliteran dari tentara
Jepang. Kedua laskar ini adalah laskar rakyat yang paling kuat di Indonesia.
Namun, dalam sejarah bangsa, laskar tersebut tersisihkan. Perjuangan mereka
sulit ditemukan dalam buku-buku sejarah dan museum-museum perjuangan
kemerdekaan.
Banyak orang
tidak mengetahui bahwa Panglima Laskar Hizbullah KH.Zainul Arifin adalah putra
Barus (Tapanuli Tengah) yang pernah nyantri di pesantren Purbabaru
(Musthofawiyah), Mandailing Natal. Dia mendapat pelatihan militer selama 2
(dua) bulan dari tentara Jepang. Keberanian, kecerdasan dan ketangkasannya
menyebabkan ia menjadi Komandan Batalion dan kemudian menjadi Panglima
Hizbullah.
Ia memiliki
pasukan yang sangat terlatih dan militan. Anggotanya yang ribuan orang,
terutama di Jawa dan Sumatera yang sebagian besar telah mengikuti pendidikan
militer gaya Jepang. Dibawah komandonya, para pemuda, santri, tanpa gamang,
mengingat ini panggilan jihad membela negara bangsa, antri mendaftarkan diri
masuk laskar Hizbullah.
Perjalanan
karirnya, KH.Zainul Arifin diangkat
sebagai Sekretaris pada Pucuk Pimpinan TNI atau semacam Sekjen Dephankam.
Kemudian menjadi Wakil Ketua DPR dari
Partai Nahdlatul Ulama dengan ketuanya Mr.Sartono (PNI). Iapun diangkat sebagai Wakil Perdana Menteri
(Waperdam) dalam kabinet Ali Sastroamidjoyo-I.
Nasib naas,
ketika mengimami sholat Idil Adha tahun 1962 di Mesjid Baiturrahman di halaman
Istana Merdeka dengan Soekarno sebagai makmum, mendapat serangan udara secara mendadak. Bungkarno selamat,
tetapi KH.Zainul Arifin itu mengalami luka-luka. Setelah itu kesehatannya mulai
menurun. KH. Zainul Arifin wafat 2 Maret 1963 di Jakarta pada usia 54
tahun.
NU dan TNI
Agak aneh memang, ketika Indonesia
diproklamasikan dalam suasana tidak damai (baca:perang), tidak ada tentara
negara yang mempertahankan kemerdekaan tersebut. Tentara negara, Tentara Keamanan Rakyat (TKR)
baru dibentuk 50 (lima puluh) hari kemudian, 5 Oktober 1945. Kendati tidak ada
tentara negara, tetapi perang melawan penjajah berkecamuk, dipimpin
laskar-laskar dan tokoh rakyat. Bahkan
ketika TKR-pun sudah terbentuk, peran laskar-laskar dan rakyat Indonesia tidak
dapat dinafikan.
Misalnya,
fatwa Resolusi Jihad untuk mempertahankan kemerdekaan yang dikeluarkan
organisasi Nahdlatul Ulama, menjadi bola
salju mendorong ulama, santi dan rakyat mengambil alih seluruh kekuasaan dari
penjajah. Pertempuran terjadi merata di Indonesia terutama di Surabaya, Semarang
dan Jawa Barat dan lainnya. Dibawah komando para kiyai, lebih dari 20 ribu jiwa
santri dan rakyat Indonesia mempertahankan kemerdekaan. Kehadiran laskar
Hizbullah dan laskar Sabilillah semata-mata untuk memperjuangkan dan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Ketika pada
akhirnya laskar Hizbullah harus dilebur ke dalam TNI (1945) Zainul sangat
kecewa. Ia perihatin melihat banyak kiyai pimpinan dan anggota Sabilillah serta
Hizbullah yang tidak lulus untuk masuk TNI, karena tidak memiliki ijazah formal.
Memang sekolah (baca:mengaji) di pondok secara sarungan tidak memiliki ijazah
formal. Padahal mereka itu yang paling gigih berjuang. Kebijakan itu
dianggapnya sebagai upaya sistematis para bekas perwira KNIL yang berkuasa
dalam TNI untuk menyingkirkan para laskar santri.
Untuk
mengenang perjuangan laskar Hizbullah dan laskar
Sabilillah (laskar santri) , telah dilakukan Kirab Resolusi Jihad dari Kota Surabaya menuju Jakarta. Panglima TNI
Jenderal Gatot Nurmantyo ikut menyambut dan memberi sambutan pada penutupan
Kirab di Monumen Proklamasi, Jakarta. Menurut
Panglima TNI, para santri telah
memberi pengorbanan yang besar untuk
Indonesia. ”Tanpa Resolusi Jihad tidak ada perlawanan yang heroik. Jika
tidak ada perlawanan yang heroik,
berarti tidak ada hari Pahlawan 10 Nopember” ujarnya.
Gatot
mengakui, kemerdekaan Indonesis bukan hasil kerja TNI. ”Setelah merdeka,
barulah TNI lahir. Jadi yang memerdekakan bangsa ini bukanlah TNI, terapi bapak
dan ibu, sehingga TNI anak kandung dari rakyat”, katanya. “Ulama dan santri
bukan sekedar pejuang, tetapi sebagai pelaku perjuangan itu sendiri terutama
dalam konteks Resolusi Jihad dalam
melawan penjajah”, ucapnya.
Bahkan,
dengan tegas Panglima TNI menyebut ada empat peristiwa penting yang pernah
dilewati bangsa Indonesia, yang memasukkan salahsatunya adalah “resolusi
Jihad”. Peristiwa penting pertama proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, kedua
lahirnya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945, ketiga “Resolusi Jihad” pada tanggal 22
Oktober 1945 dan ke empat hari pahlawan pada tanggal 10 Nopember 1945.
Panglima
TNI, menguraikan pejuang kemerdekaan dulu yang dipenuhi para santri dalam
pengertian umum. Panglima Besar Jenderal Sudirman, menurutnya adalah seorang
santri yang sangat religius. Ketika dikepung Belanda, ia mengadakan istighatsah
dan berzikir.
Beranjak dari realita ini, maka kiyai, pesantren dan
santri tidak perlu disangsikan dan telah terbukti nasionalismenya. Maka
sepantasnya, pesantren diberi peran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bila ada yang dirasa kurang dari pesantren, maka tugas kita semua untuk
membenahi dan melengkapinya. Ayo, kita sama-sama membenahi pesantren bukan
membenci apalagi mengucilkannya. Sepakatkan….***
* Tulisan Dr.Ir.Hamzah Lubis,SH.,M.Si berjudul : ” NU-TNI, Mempertahankan Kemerdekaan RI” telah dimuat pada
Hr. Perestasi Reformasi , No.484, 15 Februari 2016, hal.6, kol.1-4
Hr. Perestasi Reformasi , No.484, 15 Februari 2016, hal.6, kol.1-4
Nama : Romualdus Giantino Siagian
ReplyDeleteNIM :18202085
Jurusan :Teknik Mesin
Kelas : 4m3
Mata kuliah : Pengendalian Lingkungan Industri
Mempertahankan NKRI bukan hanya tugas seorang presiden ataupun aparatur negara, tapi tugas seluruh rakyat Indonesia. Kita perlu menjaga martabat negara kita, salah satunya dengan menghargai jasa-jasa pahlawan yang telah membela Indonesia pada zaman penjajahan dahulu. Dewasa ini, banyak para milenials yang mengabaikan sejarah Indonesia dan budayanya. Terkadang mereka hanya fokus dengan perkembangan zaman teknologi yang semakin canggih dan mengikuti budaya luar. Kita sebagai bangsa Indonesia harus bersama-sama menjaga dan mempertahankan RI serta menghargai perjuangan pahlawan Indonesia.