Dr.Ir.Hamzah Lubis,SH.,M.Si**
Keanekaragaman Hayati
Ketika Indonesia
sudah merdeka 71 tahun yang lalu, namun
kita masih melihat, mendengar dan membaca, ditemukannya busung lapar dan gizi buruk serta dampak turunannya. Kita juga
sering menghabiskan energi untuk berdebat antara mengimpor beras atau kenaikan
harga beras terus melonjak. Padahal sebenarnya, Indonesia adalah negara yang
kaya raya, negara terkaya kedua megabiodeiversity
setelah Brazil.
Menurut data Badan
Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, Indonesia memiliki 77 jenis tanaman
pangan sumber karbohidrat, 75 jenis
sumber lemak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, 110 jenis rempah dan bumbu
serta 40 jenis bahan minuman. Salahsatu
tanaman lokal karbohidrat adalah sagu. Indonesia memeliki lahan sagu mendekati
6 juta hektar. Setiap 1 hektar bisa menghasilkan 20-40 ton tepung sagu kering.
[Bandingkan dengan padi, untuk menghasilkan 30 juta ton padi dibutuhkan
persawahan 12 juta hektar]. Oleh karena
itu, bila satu juta hektar saja lahan sagu kita panen bisa memberi makan seluruh rakyat Indonesia setahun. Jadi, jika
kebijakan pangan kita tidak berasisasi
dan gandumisasi, tidak ada kekurangan
pangan, termasuk di Papua. Bahkan Papua akan menjadi lumbung pangan nasional.
Pola Konsumsi
Konsumsi pangan kita
telah berubah. Pangan bukanlah sekadar sumber nutrisi. Pangan berkelindan
dengan kehidupan sosial, keagamaan, budaya dan berbagai aspek ekonomi. Misalnya di Kabupaten
Asmat, Papua. Ketika mereka yang masih
dalam tradisi meramu berkenalan dengan beras dan mi instan. Beras dan mi instan
memang mudah disiapkan dan rasanya enak. Namun, keduanya tidak berasal dari
tanaman liar yang tumbuh di hutan. Padi penghasil beras harus dibudidayakan dan
dengan prosedur pasca panen yang panjang. Apalagi terigu penghasil mi, yang
jelas-jelas bukan produksi dalam negeri. Maka ketika selera lidah tak bisa
dipenuhi-karena tak bisa menanam padi dan tak bisa beli karena mahal-muncullah beragam
persoalan. Pangan di tingkat yang paling rendah, sebagai sumber nutrisi, bahkan
tak bisa terpenuhi. Kekurangan gizi dan kelaparan mengancam dan tingkat
kesehatan menurun.
Olahan gandum yang
tidak dikenal tahun 1960-an, perlahan merajai
meja makan masyarakat Indonesia
degan produk terpopulernya mi instan. Proporsi gandum sebagai pangan pokok di Indonesia terus melonjak dari 0
tahun 1960-an, menjadi 21 persen pada
2015 naik menjadi 25,4 persen pada 2017.
Berdasarkan data terbaru United State Departemen of Agriculture , tahun
2017/2018 Indonesia menjadi
pengimpor gandum terbesar di dunia
dengan volume 12,5 juta ton. Volume
impor gandum ini jauh lebih besar daripada impor beras 500.000 ton oleh
pemerintah baru-baru ini.
Tentang gandum, kita
harus ingat, doktrin Henry Kissinger untuk kepentingan Amerika Serikat: “Kuasai
minyak, maka kamu akan menguasai bangsa. Kuasai makanannya, maka kamu akan
menguasai masyarakatnya”. Maka gandum
awalnya masuk ke pasar domestik Indonesia melalui hibah kemanusiaan AS dibawah
payung public law (PL) 480 pada 1969.
Dan akhirnya, lidah Indonesia terbiasa, ketergantungan gandum (baca: impor).
Padahal, impor beras yang memicu kegaduhan publik, dapat diatasi dengan
intensifikasi dan ektensifikasi. Sedangkan impor gandum senyap dari politik,
padahal lebih berbahaya dari berasisasi, karena gandum hanya cocok ditanam didaerah subtropis. Setiap
makan gandum, sepenuhnya harus ekspor
yang artinya bergantung pada negara lain. Untuk keluar dari jebakan impor,
satu-satunya jalan adalah kembali pada keberagaman pangan lokal.
Lihatlah, ketika 10
tahun Indonesia merdeka (1954) porsi beras dalam memenuhi pangan pokok
rnasyarakat hanya 53,5 persen, sisanya dipenuhi dari ubi kayu 22,26 persen,
jagung 18,9 persen, dan umbi-umbian 4,99 persen. Tahun 1981, pola konsumsi
pangan pokok bergeser drastis. Beras menempati porsi 81,1 persen, ubi kayu
10,02 persen dan jagung 7,82 persen. Pada 1999, konsumsi ubi kayu tinggal 8,83
Persen dan jagung 3,1 persen. Sedangkan
10 provinsi yang paling banyak mengkonsumsi umbi-umbian adalah: 1. Papua 30,39
persen, 2.Maluku 12,69 persen 3.Papua Barat 9,94 persen 4.Maluku Utara 9,23
persen 5. Sulawesi Tengah 5,10 persen
6.Sulawesi Tenggara 4,47 persen, 7. Nusa Tenggara Timur 3,00 persen 8. Sulawesi Utara 1,53 persen, 9.Jawa Timur
2,28 persen, 10.Lampung 2,27 persen. Dan akankah terus berubah, sehingga
ketahanan pangan kita semakin goyah?
Ketahanan
Pangan
Deklarasi Nyeleni,
hasil dari Forum Global Pertama Kedaulatan Pangan yang berlangsung di Mali,
2007, daulat pangan didefenisikan sebagai hak setiap orang untuk sehat, menghasilkan
pangan sesuai budaya serta dengan cara yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Daulat pangan berarti menghargai aspirasi dan kebutuhan mereka yang memproduksi,
mendistribusi, dan kemudian mengonsumsi makanan di pusat sistem pangan dan
kebijakan, daripada didikte pasar dan korporasi. Fokus pada pangan untuk rakyat,
sebagai penyedia membangun sistem pangan
Iokal, mengembangkan kontrol lokal membangun pengetahuan dan keahlian, serta
bekerja dengan alam. Mengikuti gerakan ini, seyogianya pangan harus sesuai
dengan kondisi lokal lingkungan dan masyarakatnya. Namun, untuk menerapkannya,
perlu kebijakan pemerintah yang mendukung diversifikasi produksi di setiap
wilayah.
Sumber makanan pokok
lokal rata-rata memiliki karbohidrat tinggi dan dalam bentuk tepung
kandungannya setara dengan beras dan terigu. Selain itu, hampir semua sumber
bahan pangan lokal itu juga memiliki kadar protein rendah-kecuali tepung jagung-selain
juga bebas gluten, protein yang biasanya ada di gandum dan kerap memicu masalah
kesehatan. Beberapa sumber pangan ini, seperti jagung kuning, ubi jalar dan ubi
kayu kuning memiliki kandungan beta karoten
tinggi yang berguna sebagai antioksidan. Olehkarena itu, seyogianya kebijakan politik pangan kita tidak
berasisasi atau gandumisasi tapi makanan
lokal untuk masyarakat lokal. Sepakat kan.....
* Tulisan Dr.Ir.Hamzah Lubis,SH.M.Si berjdul: "Lingkungan dan Ketahanan Pangan", dimuat
pada SK. Prestasi Reformasi, No. 532 Thn.18, Tgl.12 Maret 2018, hal.6, kol.1-7; media online:
http://prestasireformasi.com/2018/03/12/artikel/
**Pengelola Sekolah Hijau: MDA, SD, SMP NU Jl.Pukat I/37 Medan
Nama : Sandri c hutasoit
ReplyDeleteNim. : 17-202-263
Kelas :4m6
Menurut Saya....
Bahan pangan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu bahan pangan asal tumbuhan (nabati) dan bahan pangan asal hewan (hewani),Kedua bahan pangan ini memiliki karakteristik yang berbeda sehingga memerlukan penanganan dan pengolahan yang berbeda pula Berdasarkan hal tersebut maka pengolahan menjadi penting. Pengolahan penting karena dapat memperpanjang masa simpan, meningkatkandaya tahan, meningkatkan kualitas, nilai tambah dan sebagai sarana diversifikasi produk. Dengan demikian maka suatu produk menjadi memiliki daya ekonomi yang lebih setelah mendapat sentuhan teknologi pengolahan.gizi buruk dan busung lapar terjadi karena kurangnya perhatian pemerintah dalam pengelolaan pangan tersebut langkah dalam penanggulangan hal tersebut yakni mengurangi impor baik barang-barang konsumsi (terutama barang mewah) maupun bahan mentah dan bahan penolong untuk industri dan menggantikannya dengan meningkatkan bahan/produk dalam negeri dengan melalui pengembangan industri substitusi. dan juga meningkatkan industri yang lemah yang akan meningkatkan devisa bagi masyarakat Indonesia.
NAMA : ADE SYAHPUTRA
ReplyDeleteNIM : 17202020
KELAS: EXTENTION
ASSALAMUALAIKUM
Pengolahan penting karena dapat memperpanjang masa simpan, meningkatkandaya tahan, meningkatkan kualitas, nilai tambah dan sebagai sarana diversifikasi produk.
Nama : Pandu Pradana
ReplyDeleteNim:16202041
XPLI EXTENTION
Jurusan : Teknik Mesin
Menurut saya,sumber pangan di Indonesia sangatlah melimpah.Indonesia kaya akan rempah-rempah yg banyak diminati oleh negara asing sejak 3,5 abad yg lalu.Oleh karena itu dibutuhkan pengolahan pangan yang bertujuan untuk peningkatan kualitas mutu nilai tambah sebagai sarana diversifikasi produk.Pengolahan pangan ini membutuhkan sentuhan teknologi yang membuat nilai pangan itu sendiri menjadi meningkat.Contoh nya padi yang membutuhkan pengolahan sedemikian rupa agar menjadi beras yang layak untuk dikonsumsi.
Nama : loari bertulus Tampubolon
ReplyDeleteNim:18202151
Kelas : 4M4
Jurusan : Teknik Mesin
Menurut saya,sumber pangan di Indonesia sangatlah melimpah.Indonesia kaya akan rempah-rempah yg banyak diminati oleh negara asing sejak 3,5 abad yg lalu.Oleh karena itu dibutuhkan pengolahan pangan yang bertujuan untuk peningkatan kualitas mutu nilai tambah sebagai sarana diversifikasi produk.Pengolahan pangan ini membutuhkan sentuhan teknologi yang membuat nilai pangan itu sendiri menjadi meningkat.Contoh nya padi yang membutuhkan pengolahan sedemikian rupa agar menjadi beras yang layak untuk dikonsumsi.