Dosen Institut Teknologi
Medan
Anggota Association of Diving Scholl Internasional
Anggota Dewan Daerah
Perubahan Iklim Prov.Sumatera Utara
E-mail: hamzah_blh@yahoo.com
Abstract
Entrepreneurs
engaged in the management of natural resources have a social responsibility to
the local environment. Active role of entrepreneurs to empower the local
environment and community impacts positively on the communities and the
sustainability of the company itself. This entrepreneur role relation research
is conducted in Poncan Marine Resort, Sibolga. The research method is through
observation, questionnaires and interviews involving relevant institution at
the city scope, employees and tourists. The results shows that the role of
entrepreneurs in economic empowerment (10.30%), social (9.0%) and culture
(41.40%) is categorized “low”. As a result, the capacity of the public (71%)
and participation (15.90%) is also low. One of the consequences is dominant
reef damages is caused by the public (90%). The coral reefs cover remains
ranged between 27.83% to 29% with coral species from 15 to 16 types.
Keywords : 1. Corporate roles 2. Community empowerment 3.
Community capacity
4. Environmental damage
Peran pengusaha
Setiap pengusaha berkewajiban untuk
mensejahterakan masyarakat di sekitar lokasi usaha. Menurut Soekadijo (2010) terdapat
empat aspek kewajiban pengusaha pariwisata. Aspek ekonomi untuk meningkatkan
kesejahteraan ekonomi masyarakat (economy
growth), asfek sosial untuk menciptakan kesejahteraan sosial (social progress), asfek budaya untuk
memperkenalkan kesenian dan
kebudayaan (cultural progress) dan aspek lingkungan untuk mempertahankan tata kehidupan yang serasi dan seimbang (ecological balance). Spillane (1987)
memasukkan aspek kecintaan pada tanah air.
Pengusaha pariwisata harus mengelola
asfek ekonomi agar pariwisata memberi
manfaat ganda (multiplier effect)
pada sektor lainnya (Sugeng, 2007) seperti pada
transportasi, komunikasi, jasa akomodasi, perdagangan, usaha makan
minum, kesempatan kerja, kesempatan berusaha, peningkatan pendapatan, peningkatan eksport dan devisa negara (Hatmi,
1993; Suwantoro, 2001; Pendit, 1995; Lubis, 2002). Mengembangkan sosial-budaya
masyarakat lokal (Suwantoro, 2001,
Kamal, 2011) yang
memiliki kekhususan (Beller, 1990) untuk menjadi sumber daya pariwisata. Dengan demikian pariwisata
mendorong pelestarian dan pemanfaatan budaya (Pendit,
1995; Suwantoro, 2001, Kamal, 2011), mengangkat harkat dan
martabat masyarakat (Suwantoro, 2001) serta keperibadian bangsa dan
cinta tanah air (Spillane, 1987). Pariwisata alam akan meningkatkan pelestarian
lingkungan, program kebersihan dan
kesehatan (Suwantoro, 2001; Pendit, 1995, Dahuri, 1993). Menurut Holthus
(2000), pengusaha pariwisata sekarang ini telah menganggap penting pelestarian
lingkungan dan akan mendapat perlawanan apabila melakukan perusakan lingkungan.
Pengusaha
pariwisata (Sekneg, 2007a) memiliki tanggung jawab coorporate social responsibility
pada ekonomi,
sosial, budaya dan lingkungan, pelayanan
wisatawan dan pengelolaan lingkungan obyek wisata. Peran-peran pengusaha
sebagai berikut:
a.
Pemberdayaan ekonomi masyarakat
Pengusaha pariwisata memiliki 11 kewajiban dalam peningkatan kapasitas
ekonomi masyarakat. Kebijakan peningkatan kapasitas ekonomi diantaranya: pengembangan
kemitraan dengan usaha mikro, kecil dan koperasi, mengutamakan penggunaan produk masyarakat
setempat, memberikan kesempatan kerja kepada tenaga kerja lokal, prioritas menjadi konsinyasi pariwisata, prioritas untuk ikut melakukan
pengelolaan pariwisata. Perusahaan membantu peningkatan pengetahuan
dan keterampilan masyarakat, melakukan
pelatihan usaha pariwisata,
penanaman modal melalui kepemilikan saham (Sekneg, 2009, Depbudpar,
2004).
b.
Pemberdayaan sosial masyarakat
Pengusaha
pariwisata memiliki 10 kewajiban dalam peningkatan kapasitas sosial masyarakat.
Kebijakan peningkatan kapasitas sosial diantaranya: berperan aktif
dalam program pemberdayaan
masyarakat, saling menghargai dan
menghormati antara pengusaha dan masyarakat, menyediakan sarana ibadah, melarang segala bentuk kegiatan yang
berkaitan dengan perjudian, prostitusi dan
perdagangan narkoba di area pengusahaannya dan daerah sekitar,
memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif,
memberikan informasi yang benar tentang usaha pariwisata dan mencegah
kegiatan yang melanggar hukum dan segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan (Sekneg, 2009,
Depbudpar, 2004).
c.
Pemberdayaan budaya masyarakat
Pemerintah
memberikan penghormatan terhadap identitas budaya dan hak-hak masyarakat
tradisional. Budaya lokal adalah
salahsatu daya tarik pariwisata. Pelestarian dan pengembangan budaya akan
meningkatkan kunjungan wisatawan yang secara langsung akan meningkatkan
pendapatan pengusaha dan pendapatan masyarakat. Oleh karena itu, pengusaha
pariwisata mempunyai 3 kewajiban peningkatan kapasitas budaya masyarakat lokal.
Kewajiban tersebut adalah: menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya dan
nilai-nilai yang hidup dala masyarakat
setempat, menjaga kelestarian lingkungan alam dan budaya dan menghormati
nilai-nilai agama, adat istiadat dan tata nilai masyarakat di pulau dan sekitar
pulau (Sekneg, 2009, Depbudpar, 2004).
d. Pelayanan wisatawan
Wisatawan
memiliki dan dan kewajiban dalam pengelolaan pariwisata pulau kecil. Terdapat
14 hak wisatawan, diantaranya mendapat informasi yang
akurat dan bertanggung jawab, pelayanan
yang tidak diskriminatif; mendapat
kenyamanan, keramahan, perlindungan, keamanan dan keselamatan wisatawan,
mendapat perlindungan asuransi pada usaha
pariwisata dengan kegiatan yang berisiko tinggi misalnya wisata selam, mendapatkan tenaga kerja/pelayanan
yang berkompetensi melalui pelatihan dan pendidikan, mendapatkan standar usaha, mendapatkan produk, pelayanan dan
pengelolaan usaha pariwisata yang
berstandar dan bersertifikasi.
Terdapat pula 11 kewajiban wisatawan diantaranya menghormati norma agama, adat istiadat, budaya, dan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat,
memelihara dan melestarikan lingkungan, menjaga
ketertiban dan keamanan, mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kegiatan yang
melanggar hukum, melestarikan daya tarik
wisata, menciptakan suasana aman, tertib, bersih, berperilaku santun, dan
menjaga kelestarian lingkungan di destinasi pariwisata (Sekneg, 2009,
Depbudpar, 2004).
e. Pengelolaan lingkungan obyek wisata
Pengusaha pariwisata memiliki 59
kewajiban dalam pengelolaan lingkungan obyek pariwisata. Kebijakan pengelolaan
lingkungan diantaranya: melakukan analisis mengenai dampak
lingkungan, analisis risiko lingkungan hidup, audit lingkungan hidup, dana
penjaminan pemulihan fungsi lingkungan, membayar gantai rugi atas kerusakan sumberdaya alam, membayar biaya pemulihan; melestarikan lingkungan dan
budaya, daya tarik wisata dan destinasi wisata.
Dilarang mengambil terumbu karang untuk bahan bangunan, ornamen aquarium,
kerajinan tangan, bunga karang, melakukan pengerukan pasir reklamasi pantai.
Tersedianya fasilitas lingkungan seperti sanitasi, intlasi pengelolaan limbah
cair, pengolahan limbah padat,
konservasi sumber air tawar, pemeliharaan flora, fauna serta terumbu
karang dan tidak melakukan introduksi
biota dari luar pulau (Sekneg, 2009, 2009a, 2007, Depbudpar, 2004).
Masyarakat
pesisir
Secara administratif masyarakat pesisir berdomisili
di pulau kecil dan di kecamatan yang memiliki laut (Sekneg, 2007). Masyarakat pesisir
identik dengan kemiskinan. Hal ini ditandai dengan lingkungan tempat tinggal
yang kumuh, rendahnya aspirasi dan akses terhadap pelayanan sosial dasar
seperti pendidikan dan kesehatan serta
bantuan sosial lainnya (Depsos, 2005). Ketidakberdayaan
masyarakat sebagai hasil proses
dehumanisasi oleh berbagai pihak (Kartasasmita, 1996). Untuk
mengatasinya dengan pemberdayaan (empowerment) agar mampu membebaskan diri
dari kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan untuk memperkuat posisi individu
dan masyarakat dalam sturuktur kekuasaan (Kartasasmita,1996, Lumbangaol ,2002).
Pemberdayaan masyarakat lokal
Pembangunan
pariwisata bukan hanya masalah ekonomi (peningkatan pendapatan) tetapi juga
masalah harkat dan martabat manusia (Kusumastanto, 2000). Oleh karena itu,
pembangunan semestinya menjadi “pedagogi
pembebasan” untuk meningkatkan harkat dan martabat bukan sebaliknya merendahkan harkat dan
martabat manusia. Pembangunan sebagai proses penyadaran (conscientization) untuk menumbuhkan
kesadaran kritis individu dan masyarakat tentang situasi lingkungannya
dan kemampuannya mengendalikan
lingkungannya (Amien, 2005).
Pemberdayaan masyarakat berfungsi untuk meningkatkan
kemampuan masyarakat (Kartasasmita, 1996), dengan peningkatan kemampuan
memanfaatkan dan memelihara sumberdaya pesisir serta meningkatkan aksebilitas terhadap kegiatan
ekonomi (Butar-butar,1998). Peningkatan
kemampuan diarahkan untuk menghasilkan daya (power) yaitu kekayaan, status sosial, pendidikan, penguasaan
informasi dan ketrampilan. Untuk itu harus ada perbaikan akses masyarakat
terhadap sumberdaya alam, teknologi, pasar dan pendanaan. Dengan pemberdayaan,
maka masyarakat lokal tidak lagi menjadi obyek tetapi menjadi subyek
pembangunan. Masayarakat lokal sebagai penguat bukan sebagai penopang
berdirinya suatu usaha (Lumbangaol, 2002).
Dalam
pemberdayaan masyarakat pesisir perlu dipahami adanya keunikan karakteristik
nelayan yang bersifat sosiologis maupun bersifat ekologis. Sistem sosial masyarakat pesisir tergantung sebagian
atau sepenuhnya pada kelimpahan
sumberdaya pesisir dan laut (Adiwibowo, 1995). Demikian juga sistem
ekologis pulau kecil yang rentan dengan kerusakan lingkungan (Fauzi, 2005). Oleh karena itu, pemberdayaan nelayan harus memakai
prinsip-prinsip pemberdayaan yang sesuai karakteristik masyarakat pesisir. Tuwo
(2011) menetapkan prinsip penciptaan lapangan kerja, sumber permodalan, sumber
teknologi baru, pasar dan solidaritas
serta aksi kolektif masyarakat. Satria (2002) menetapkan prinsip tujuan, pengetahuan
dan penguatan nilai lokal, keberlanjutan (sustainability), ketepatan
kelompok sasaran dan keselarasan. Pemberdayaan
masyarakat akan meningkatkan kapasitas masyarakat.
Partisipasi masyarakat lokal
Partisipasi masyarakat dalam bentuk peran serta
masyarakat dalam pengelolaan lingkungan pulau kecil. Partipasi masyarakat dipengaruhi persepsi
masyarakat, pemberdayaan masyarakat yang
dilakukan Pemerintah Daerah dan pengusaha pariwisata.
Persepsi merupakan hasil proses
penafsiran yang positif terhadap kebijakan dengan belajar dari pengalaman masyarakat selama ini . Persepsi yang
tinggi diikuti dengan partisipasi yang
tinggi (Lumbangaol, 2002). Terdapat 19 kebijakan partisipasi masyarakat
lokal dalam pengelolaan pariwisata pulau kecil. Kebijakan partisipasi dalam
bentuk kewajiban dan larangan. Kewajiban tersebut diantaranya menjaga dan
melestarikan daya tarik wisata, menciptakan
suasana aman, tertib, bersih, berperilaku santun, menjaga kelestarian
lingkungan destinasi pariwisata, mengendalikan pencemaran lingkungan hidup
dan melestarikan plasma nuftah. Larangan
masyarakat diantaranya: perusakan terumbu karang, lamun dan mangrove, mengambil terumbu karang , menggunakan bahan
peledak dan bahan beracun, penambangan
pasir , penambangan mineral, pembangunan fisik menimbulkan kerusakan
lingkungan, kegiatan yang merusak
pesisir pulau kecil (Sekneg, 2009, 2009a, 2007, Depbudpar, 2004).
Metoda penelitian
Penelitian
peran pengusaha dalam pemberdayaan masyarakat di sekitar perusahaan dilakukan
pada perusahaan PT. Marine Resort yang mengelola kawasan pariwisata Poncan
Marine Resort di Pulau Poncan Gadang, Kota Sibolga. Metoda penelitian dengan
observasi, quisoner dan wawancara. Responden adalah pimpinan intansi terkait di
tingkat kota, pimpinan dan karyawan PT Sibolga Marine Resort, wisatawan dan
masyarakat di sekitar lokasi usaha (Kota Sibolga).
Hasil
penelitian
Pengelolaan lingkungan obyek wisata
Pengelolaan lingkungan obyek wisata
sangat rendah. Pengelolaan lingkungan berdasarkan penilaian pemerintah sebesar sebesar 39 persen sedangkan penilaian pengusaha sebesar 77,90 persen.
Rendahnya pengelolaan lingkungan
berkorelasi dengan rendahnya tutupan
terumbu karang di lokasi obyek wisata. Tutupan dan jumlah jenis karang sebelum
dan setelah menjadi obyek wisata tidak jauh berbeda. Tutupan karang tahun 1997 sebesar 27,83
persen (Efendi, 1997) dan tahun 2009 sebesar 29,00 persen
(Coremap - LIPI, 2009). Jumlah jenis terumbu karang tahun 2006 (15 jenis) dan
tahun 2009 sebanyak 16 jenis (Coremap -
LIPI, 2006; 2009).
Rendahnya pengelolaan lingkungan
karena pengusaha berorientasi profit tidak berorientasi lingkungan. Pengusaha
hanya mengeksploitasi obyek wisata (Suparmoko, 1997,
Sutiyanti, 2005) tidak menyisihkan sebagian keuntungan
untuk memperbaiki kerusakan lingkungan (Kusumastui,
2003). Keserakahan
semakin meningkat ketika Pemerintah Daerah menerapkan berbagai kebijakan ekonomi
berbiaya tinggi yang dikonpensasikan
pengusaha dengan mengekstrak sumberdaya alam secara berlebihan (Fauzi, 2005). Pengusaha
pariwisata berorientasi pada pariwisata massal seperti Pulau Bali yang hanya memperhitungkan jumlah kunjungan
wisatawan tanpa peduli terhadap kondisi lingkungan dan sosial (Benyamin, 1997).
Peningkatan ekonomi masyarakat
Hasil penelitian atas sebelas kewajiban pengusaha dalam pengembangan
ekonomi masyarakat, menurut penilaian
pemerintah daerah dan pengelola pariwisata sudah tinggi sedangkan penilaian
masyarakat lokal rendah. Penilaian pemerintah dan pengusaha sudah terlaksana
dengan baik sebesar 72,70 persen.
Penilain masyarakat lokal dengan dengan 3 isu utama yaitu penempatan tenaga kerja di perusahaan, pemasaran
kerajinan lokal di ekowisata dan bantuan permodalan bagi masyarakat lokal hanya
10,30% baik. Peneletian Beyda (2000) pada lokasi yang berdekatan bahwa pengusaha tidak peduli dengan pengusaha
kecil. Penelitian Sitanggang (2006) di Kota
Sibolga menunjukan bahwa penyebab
masyarakat lokal sulit berkembang karena belum adanya investor yang bertindak sebagai mitra usaha bagi
masyarakat lokal.
Peningkatan sosial masyarakat
Pengusaha pariwisata Pulau Poncan
Gadang memiliki 10 kewajiban dalam
pengendalian dan peningkatan kehidupan sosial masyarakat lokal. Hasil
penelitian berdasarkan penilaian Pemerintah Daerah dan pengusaha sudah tinggi
sedangkan penilaian masyarakat lokal sangat rendah. Pengembangan sosial
berdasarkan penilaian pemerintah sudah
baik 90 persen dan penilaian pengusaha 100 persen. Penilaian masyarakat lokal dengan topik keterlibatan masyarakat dalam
perencanaan pariwisata, keterlibatan dalam Amdal/Ukl-UPL dan keterlibatan dalam
pengelolaan pariwisata hanya 9 persen menyatakan baik. Pengendalian dan
peningkatan sosial masyarakat yang rendah menyebabkan pariwisata berdampak
negatif terhadap kehidupan sosial masyarakat lokal (Dahuri, 1993)
Peningkatan budaya masyarakat
Masyarakat Kota Sibolga memiliki budaya yang
khas. Perpaduan suku bangsa Batak Toba, Karo, Angkola, Mandiling, Pakpak, Nias,
Melayu, Minangkabau, Aceh yang memiliki bahasa dan budaya yang berbeda termasuk
pola kekerabatan yang berbeda (patrilineal
dan matrilineal) melahirkan masyarkat
baru dengan sebutan “Masyarakat Pesisir” (Beydha, 2000). Masyarakat pesisir ini
memiliki bahasa spesifik bahasa “Baiko-baiko” atau bahasa “Munak-munak” sebagai
gabungan berbagai bahasa lokal, memiliki kesenian pesisir seperti “Sikambang”,
makanan khas seperti “Sambam Pacak” dan budaya lainnya. Pelestarian bahasa dan
budaya dengan mengemasnya kepentingan
pariwisata (Tauhid, 2009).
Pelaksanaan pengembangan budaya
lokal oleh pengusaha pariwisata berdasarkan penilaian Pemerintah Daerah dan
pengusaha pariwisata sudah sangat tinggi (100 persen). Data ini sangat kontras
dengan penilaian masyarakat lokal yang rendah.
Dengan isu pemanfaatan kesenian lokal di obyek wisata hanya 41,40 persen
menyatakan baik. Rendahnya
partisipasi pengusaha menyebabkan seni dan budaya masyarakat lokal tidak
berkembang dengan baik. Data ini menunjukkan bahwa pengusaha pariwisata gagal
mengemas kebudayaan
lokal yang tinggi untuk pariwisata (Tauhid, 2009) padahal wisatawan asing
senang melihat penampilan budaya lokal (Sutiyanti, 2005).
Pengembangan kapasitas masyarakat
Kapasitas masyarakat bergantung pada
pemberdayaan masyarakat yang dilakukan Pemerintah Daerah dan pengusaha
pariwisata. Pemberdayaan masyarakat yang dilakukan pemerintah hanya 40,40
persen dan oleh pengusaha sebesar 10,43 persen (versi masyarakat). Rendahnya
pemberdayaan masyarakat berkorelasi dengan rendahnya kapasitas masyarakat.
Hasil penelitian menunjukkan tingkat pengetahuan masyarakat hanya 35 persen. Pengetahuan yang rendah berhubungan dengan
pendidikan yang rendah. Pendidikan yang rendah berhubungan dengan pendapatan
yang rendah (Budhiarta,1999). Pengetahuan yang rendah berkorelasi dengan keberanian mendapatkan hak (18 persen) dan tindakan untuk mengatasi
kerusakan lingkungan (15 persen). Penelitian Khazali (2002)
menunjukkan pemberdayaan melalui pembinaan, pelatihan dan pemberian bantuan
kerkorelasi positif dengan partisipasi masyarakat. Kapasitas masyarakat yang
rendah menunjukkan bahwa pemberdayaan yang dilakukan pemerintah dan pengusaha
gagal. Pada hal kapasitas masyarakat
yang rendah menyebabkan partisipasi masyarakat yang rendah pula
(Kartasasmita, 1996).
Partisipasi
masyarakat lokal
Partisipasi masyarakat dipengaruhi
persepsi dan kapasitas masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan persepsi
masyarakat yang tinggi (74,50 persen) yang akan diikuti dengan partisipasai yang
tinggi (Lumbangaol, 2002). Hasil penelitian bahwa dari 19 item kebijakan partisipasi masyarakat yang
dilakukan dengan baik hanya 15,90 persen. Persepsi yang tinggi dengan partisipasi yang rendah dari
masyarakat karena masyarakat tidak dapat berpartisipasi dalam obyek tersebut disebabkan
ketidakmampuan masyarakat dan kondisi lingkungan yang tidak menunjang
(Dipokusumo, 1999). Penelitian Kusumastuti (2003)
di Kepulauan Seribu menunjukkan hal yang sama. Rendahnya partisipasi berhubungan terbalik dengan perusakan terumbu karang.
Perusakan terumbu Pulau Poncan Gadang sebesar 90 persen disebabkan oleh
masyarakat nelayan hanya 10 persen akibat sampah dan limbah domestik. Perusakan dengan peracunan 30
persen, penambangan 30 persen, pemboman
15 persen, jangkar 5 persen, bubu 5
persen dan jaring sebesar 5 persen (Lubis, 2009). Pemboman terumbu karang
kendati illegal ternyata mendapatkan
pendapatan maksimal bagi nelayan karena tidak punya pilihan lain (Soede, 2000).
Kesalahan tidak boleh sepenuhnya dituduhkan pada masyarakat nelayan (Sitanggang, 2006). Pemerintah Daerah dan pengusaha
pariwisata berperan dalam melakukan pemberdayaan untuk meningkatkan kesadaran
dan kapasitas masyarakat yang akan membuahkan partisipasi yang tinggi.
Kesimpulan
1.
Peningkatan ekonomi masyarakat lokal menurut
pemerintah dan pengusaha mencapai72,70 persen sedangkan penilaian
masyarakat hanya sebesar 10,30 persen.
2.
Peningkatan sosial masyarakat berdasarkan
penilaian Pemerintah Daerah dan pengusaha mencapai 90,0 persen dan 100,0 persen
sedangkan penilaian masyarakat hanya 9,0 persen.
3. Peningkatan
budaya masyarakat berdasarkan penilaian
Pemerintah Daerah dan pengusaha pariwisata sudah mencapai 100 persen sedangkan
penilaian masyarakat hanya 41,40 persen.
4. Rendahnya
pemberdayaan masyarakat berkorelasi dengan rendahnya kapasitas masyarakat. Pemberdayaan
masyarakat yang dilakukan pengusaha 10,43 persen akibatnya keberanian mendapatkan hak (18 persen) dan tindakan untuk
berpartisipasi mengatasi kerusakan lingkungan (15 persen).
5. Partisipasi masyarakat dipengaruhi persepsi dan kapasitas masyarakat. Persepsi
positif masyarakat 74,50 persen namun partisipasi
masyarakat 15,90 persen.
6. Rendahnya pemberdayaan masyarakat berkorelasi dengan
rendahnya partisipasi masyarakat termasuk dalam pengelolaan lingkungan. Akibatnya
perusakan terumbu karang oleh masyarakat
(90%). Tutupan terumbu karang hanya berkisar 27,83% sampai 29,00% dengan jenis karang 16-16 jenis.
Daftar pustaka
Amien,A.M. 2005. Kemandirian Lokal:
Konsepsi Pembangunan, Organisasi dan Pendidikan Dari Perspektif Sains Baru.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Adiwibowo, S. 1995. Adaptasi
Ekologi Masyarakat di Wilayah Pesisir. Kursus Pelatihan Integrated
Coastal Zone Planning and Management
Angkatan-I, 3 April – 9 September 1995. Kerjasama ADB, Bakosurtanal, PPLH-IPB. Bogor
Butar-Butar, M.
1998. Pengembangan Pengelolaan
Sumberdaya Wilayah Pesisir Laut
di Daerah. Konferensi Nasional-I Pengelolaan Sumberdaya Pesisir tanggal 10-20 Maret 1998. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Benyamin, I.M. 1997. Proses
Pengembangan Wisata Alam dan Dampaknya Pada Lingkungan Terutama Pada Asfek
Sosial dan Ekonom: Studi Kasus Pantai Bali. Disertasi. Sekolah Pascasarjana
Insitut Pertanian Bogor. Bogor
Beydha, I. 2000. Pengembangan Wilayah
Daerah Tujuan Wisata Pandan dan Pengaruhnya Terhadap Peningkatan Pendapatan
Masyarakat di Kecamatan Sibolga, Kabupaten Tapanuli Tengah. Tesisi. Sekolah
Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara. Medan
Budhiartha, A.A. G. 1999. Kajian
Pengembangan Pariwisata Bahari Pengaruhnya Terhadap Kesejahteraan Masyarakat
Pesisir di Nusa Lembangon Bali,Tesis Program Pascasarjana, Insitut
Pertanian Bogor, Bogor
Beller, W. D’ Ayala, Hein, P. 1990. Sustainable Development and
Environmetal Management of Small
Islands. UNESCO. Paris
Dahuri, R. 1993. Daya Duk.ung Lingkungan dan Pengembangan Pariwisata Bahari
Berlekanjutan. Seminar Nasional Manajemen
Kawasan Pesisir Untuk Ekotourisme Dalam Rangka Dies Natalis ke-30
Insitut Pertanian Bogor. Program Studi
Magister Manajemen, Insitut Pertanian
Bogor, Bogor
Dipokusumo,
B. 1999. Analisis Pemberdayaan Masyarakat Pada Pemukiman Lahan Kering di Provinsi Nusatenggara Barat.
Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor
Depsos, 2005. Panduan Oprasional
Program Pemberdayaan Fakir Miskin di Wilayah Pesisir Pantai. Departemen
Sosial-RI. Jakarta
Depbudpar, 2004.
Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor : km.67/um.001/MKP/2004 Tentang
Pedoman Umum Pengembangan
Pariwisata di Pulau-Pulau Kecil. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Jakarta
Efendi, Y., Indrawadi., Imam, S.,
Yennafri., Samsuardi., Yunaldi.,
Ofrijohan., Yan, S., Ferry, E., Abror.,
Era, S. 1997. Laporan Penelitian Studi
Kondisi Fisik dan Penyebaran Terumbu Karang di Pantai Barat Sumatera Utara.
Bappeda Provinsi Sumatera Utara – Posteri Puslitbang Oseanologi – LIPI, Medan
Fauzi, A. 2005. Kebijakan Perikanan
dan Kelautan: Isu, Sintesis dan Gagasan.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Hatmi,S. 1993. Analisa
Pengembangan Daerah Pariwisata Desa Pantai Sialang Buah Kecamatan Teluk
Mengkudu. Tesis. Sekolah
Pascasarjana, Insitut Pertanian Bogor. Bogor
Holthus, P. 2000. Sustainable Management of Oceans and
Coasts: The Rule of The Private
Sector. Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources Vol.3 No. 1,
2000. Center for Coastal and Marine Resources Studies, Institut Pertanian Bogor, Bogor
Kamal, M. 2011.
Pengaruh Kebudayaan Terhadap Kegiatan Usaha Kepariwisataan. Jurnal Ilmiah Pariwisata. Vol.7 No. 1 Juni
2011. Akademi Pariwisata Medan.
Medan Hal.99-107
Khazali,
M.; Dietriech, G.B. ; Victor, P.H.N. 2002. Kajian Partisipasi Masyarakat
Dalam Pengelolaan Mangrove: Studi Kasus
di Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa
Barat. Indonesian Journal of Coastal and
Marine Resources. Vol. 4 No. 3,
2002.Center for Coastal and Marine Resources Studies, Institut Pertanian Bogor, Bogor
Kartasasmita, G.
1996. Pembangunan Untuk Rakyat, Memadukan
Pertumbuhan dan Pemerataan. CIDES. Jakarta
Kusumastuti,D.S.R.2003. Peranserta
Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil di TNL. Kepulauan
Seribu. PSL-Universitas Indonesia. Jakarta
Lubis, H.
2002. Pengelolaan Ekowisata Bahari di Pulau Unggas, Tapanuli Tengah.
Tesis. Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara. Medan
Lubis, M.R.K.
2009. Analisis Pengelolaan Terumbu Karang
Untuk Pengembangan Ekowisata Bahari di Pulau Poncan Kota Sibolga, Provinsi
Sumatera Utara.Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor
Lumbangaol, R.
2002. Kajian Pengelolaan Sumberdaya
Pulau-Pulau Kecil: Studi Kasus Kepulauan Tobea Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi
Tenggara.Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Pendit, N.S.
1995. Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar.
Pradnya Paramita. Jakarta
Satria, A. 2002. Karakteristik Sistem Sosial Masyarakat
Pesisir. PKSPL-IPB. Bogor
Suparmoko, M.
1997. Ekonomi Sumberdaya Alam dan
Lingkungan. BPFE-UGM, Yokyakarta
Sutiyanti, S. M.
2005. Pengharuh Wisatawan Dalam Menjaga Kelestarian Obyek Wisata . Jurnal Ilmiah Pariwisata. Vol.1 No. 2 Desember 2005.
Akademi Pariwisata Medan. Medan
Sitanggang,L.P.2006. Studi
Pemamfaatan Ruang Untuk Pengembangan Pariwisata di Kawasan Pesisir Sibolga.
Tesis. Sekolah Pascasarjana, Insitut Pertanian Bogor.
Bogor
Soekadijo, R.G.
2010.Anatomi Pariwisata: Memahami
Pariwisata Sebagai Syatemic Linkage. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Spillane, J.J.
1987. Parawisata Indonesia Sejarah dan Prosesnya. Kanisius, Yokyakarta
Sugeng, K.W dan Ngatemin.
2007. Potensi dan Prospek Industri
Pariwisata Kota Sabang. Jurnal
Ilmiah Pariwisata. Vol. 3 No. 2
Desember 2007.
Soede,
C.P .; H.S.J. Cesar; J.S. Pet. 2000. Economic Issues Relatedto Blast Fising on
Indonesian Coral reefs. Indonesian Journal of Coastal and Marine
Resources Vol.3 No. 2, 2000.Center
for Coastal and Marine Resources Studies,
Institut Pertanian Bogor, Bogor
Suwantoro,G. 2001. Dasar – Dasar Pariwisata. Andi.
Yokyakarta
Sekneg, 2007. Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Sekretariat Negara.
Jakarta.
..........., 2007a. Undang-undang
Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Sekretariat Negara.
Jakarta
………, 2009, Undang-undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Sekretariat Negara.
Jakarta
..........., 2009a. Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Sekretariat Negara. Jakarta
Tauhid, B. 2007. Akuntabilitas Pariwisata Sumatera
Utara. Jurnal Ilmiah Pariwisata.
Vol.3 No. 1 Juni 2007.
Akademi Pariwisata Medan. Medan
Tuwo, A. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut. Brilian Internasional, Jakarta
Makalah pada Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Untuk Ketahanan Pangan, oleh Ikatan Alumni Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan (IKA PSL) USU dengan Prodi PSL-USU, di Medan, tanggal 28 Maret 2018,
Proseding ISBN No.978-602-50367-6-7
c. Community culture empowerment
The government respects cultural identity and the rights of traditional communities. Local culture is one of the main attractions of tourism. Preservation and development of culture will increase tourist visits which will directly increase entrepreneur income and community income. Therefore, tourism entrepreneurs have 3 obligations to increase the cultural capacity of local communities. These obligations are: maintain and respect religious norms, customs, culture and values that live in local communities, maintain the preservation of the natural and cultural environment and respect religious values, customs and values of the people on the island and around the island (Sekneg , 2009, Depbudpar, 2004).
d. Tourist services
Tourists have and and obligations in the management of small island tourism. There are 14 tourist rights, including obtaining accurate and responsible information, non-discriminatory services; get the comfort, friendliness, protection, security and safety of tourists, get insurance protection in tourism businesses with high risk activities such as diving tours, get competent workforce / services through training and education, get business standards, get products, service and business management standard and certified tourism.
There are also 11 obligations of tourists including respecting religious norms, customs, culture, and values that live in society, maintain and preserve the environment, maintain order and security, prevent all forms of acts that violate decency and activities that violate the law, preserve attraction tourism, creating a safe, orderly, clean, well-mannered atmosphere, and preserving the environment in tourism destinations (Sekneg, 2009, Depbudpar, 2004).
e. Environmental management of tourism objects
Tourism entrepreneurs have 59 obligations in environmental management of tourism objects. Environmental management policies include: analyzing environmental impacts, environmental risk analysis, environmental audits, guarantee funds for restoring environmental functions, paying the loss of the environment for damage to natural resources, paying recovery costs; preserving the environment and culture, tourist attractions and tourist destinations. It is forbidden to take coral reefs for building materials, aquarium ornaments, handicrafts, sponges, dredging beach reclamation sand. Availability of environmental facilities such as sanitation, intlation of liquid waste management, solid waste management, conservation of fresh water sources, maintenance of flora, fauna and coral reefs and not introducing biota from outside the island (Sekneg, 2009, 2009a, 2007, Depbudpar, 2004).
Coastal communities administratively, coastal communities live on small islands and in sub-districts that have the sea (Sekneg, 2007). Coastal communities are identical with poverty. This is indicated by slum dwellings, low aspirations and access to basic social services such as education and health and other social assistance (MOSA, 2005). Community powerlessness as a result of the dehumanization process by various parties (Kartasasmita, 1996). To overcome this with empowerment so as to be able to free themselves from poverty, ignorance, backwardness to strengthen the position of individuals and society in the power structure (Kartasasmita, 1996, Lumbangaol, 2002).
Empowerment and Community
Participation Relations with Environmental Damage
Dr. Ir. Hamzah Lubis, SH., M.Sc
Lecturer at the Medan Institute of Technology
Member of the Association of Diving Scholl International
Member of the North Sumatra Province Regional Climate Change Council
E-mail: hamzah_blh@yahoo.com
Abstract
Entrepreneurs are engaged in the management of natural resources and have a social responsibility to the local environment. Active role of entrepreneurs to empower the local environment and community impacts positively on the communities and the sustainability of the company itself. This entrepreneur role research is conducted in Poncan Marine Resort, Sibolga. The research method is through observation, questionnaires and interviews involving relevant institutions at the city scope, employees and tourists. The results shows that the role of entrepreneurs in economic empowerment (10.30%), social (9.0%) and culture (41.40%) is categorized "low". As a result, the capacity of the public (71%) and participation (15.90%) is also low. One of the consequences is dominant reef damages is caused by the public (90%). The coral reefs cover remains ranged between 27.83% to 29% with coral species from 15 to 16 types.
Keywords: 1. Corporate roles 2. Community empowerment 3. Community capacity
4. Environmental damage
Dr. Ir. Hamzah Lubis, SH., M.Sc
Lecturer at the Medan Institute of Technology
Member of the Association of Diving Scholl International
Member of the North Sumatra Province Regional Climate Change Council
E-mail: hamzah_blh@yahoo.com
Abstract
Entrepreneurs are engaged in the management of natural resources and have a social responsibility to the local environment. Active role of entrepreneurs to empower the local environment and community impacts positively on the communities and the sustainability of the company itself. This entrepreneur role research is conducted in Poncan Marine Resort, Sibolga. The research method is through observation, questionnaires and interviews involving relevant institutions at the city scope, employees and tourists. The results shows that the role of entrepreneurs in economic empowerment (10.30%), social (9.0%) and culture (41.40%) is categorized "low". As a result, the capacity of the public (71%) and participation (15.90%) is also low. One of the consequences is dominant reef damages is caused by the public (90%). The coral reefs cover remains ranged between 27.83% to 29% with coral species from 15 to 16 types.
Keywords: 1. Corporate roles 2. Community empowerment 3. Community capacity
4. Environmental damage
The role of the
entrepreneur
Every entrepreneur is obliged to prosper the
community around the business location. According to Soekadijo (2010) there are
four aspects of the obligations of tourism entrepreneurs. Economic aspects to
improve people's economic prosperity (economy growth), social aspects to create
social welfare, cultural aspects to introduce arts and culture (cultural
progress) and environmental aspects to maintain a harmonious and balanced
ecological system. Spillane (1987) includes aspects of love for the homeland.
Tourism entrepreneurs must
manage the economic effect so that tourism provides a multiplier effect in
other sectors (Sugeng, 2007) such as in transportation, communication,
accommodation services, trade, food and beverage business, employment opportunities,
business opportunities, increased income, increased exports and foreign
exchange (Hatmi, 1993; Suwantoro, 2001; Pendit, 1995; Lubis, 2002). Developing
socio-cultural local communities (Suwantoro, 2001, Kamal, 2011) who have
specificities (Beller, 1990) to become tourism resources. Thus tourism
encourages the preservation and utilization of culture (Pendit, 1995;
Suwantoro, 2001, Kamal, 2011), elevating the dignity of the community
(Suwantoro, 2001) and the personality of the nation and love of the homeland
(Spillane, 1987). Natural tourism will improve environmental preservation,
hygiene and health programs (Suwantoro, 2001; Pendit, 1995, Dahuri, 1993).
According to Holthus (2000), tourism entrepreneurs today have considered
environmental conservation important and will be challenged if they do
environmental damage.
Tourism entrepreneurs (Sekneg,
2007a) have corporate social responsibility responsibilities on economic,
social, cultural and environmental, tourist services and environmental management
of tourism objects. The roles of entrepreneurs are as follows:
a. Community economic empowerment
Tourism entrepreneurs have 11 obligations in
increasing the economic capacity of the community. Economic capacity
improvement policies include: developing partnerships with micro, small and
cooperative businesses, prioritizing the use of local community products,
providing employment opportunities to local workers, priority to tourism
consignment, priority to participating in tourism management. The company helps
increase community knowledge and skills, conducts tourism business training,
invests through share ownership (Sekneg, 2009, Depbudpar, 2004).
b. Community social empowerment
Tourism entrepreneurs have 10 obligations in improving the social capacity of the community. Social capacity improvement policies include: active participation in community empowerment programs, mutual respect and respect between employers and the community, providing worship facilities, prohibiting all forms of activities related to gambling, prostitution and drug trafficking in the area of business and surrounding areas, providing services that are not discriminatory, provide correct information about tourism businesses and prevent unlawful activities and all forms of acts that violate decency (Sekneg, 2009, Depbudpar, 2004).
Tourism entrepreneurs have 10 obligations in improving the social capacity of the community. Social capacity improvement policies include: active participation in community empowerment programs, mutual respect and respect between employers and the community, providing worship facilities, prohibiting all forms of activities related to gambling, prostitution and drug trafficking in the area of business and surrounding areas, providing services that are not discriminatory, provide correct information about tourism businesses and prevent unlawful activities and all forms of acts that violate decency (Sekneg, 2009, Depbudpar, 2004).
c. Community culture empowerment
The government respects cultural identity and the rights of traditional communities. Local culture is one of the main attractions of tourism. Preservation and development of culture will increase tourist visits which will directly increase entrepreneur income and community income. Therefore, tourism entrepreneurs have 3 obligations to increase the cultural capacity of local communities. These obligations are: maintain and respect religious norms, customs, culture and values that live in local communities, maintain the preservation of the natural and cultural environment and respect religious values, customs and values of the people on the island and around the island (Sekneg , 2009, Depbudpar, 2004).
d. Tourist services
Tourists have and and obligations in the management of small island tourism. There are 14 tourist rights, including obtaining accurate and responsible information, non-discriminatory services; get the comfort, friendliness, protection, security and safety of tourists, get insurance protection in tourism businesses with high risk activities such as diving tours, get competent workforce / services through training and education, get business standards, get products, service and business management standard and certified tourism.
There are also 11 obligations of tourists including respecting religious norms, customs, culture, and values that live in society, maintain and preserve the environment, maintain order and security, prevent all forms of acts that violate decency and activities that violate the law, preserve attraction tourism, creating a safe, orderly, clean, well-mannered atmosphere, and preserving the environment in tourism destinations (Sekneg, 2009, Depbudpar, 2004).
e. Environmental management of tourism objects
Tourism entrepreneurs have 59 obligations in environmental management of tourism objects. Environmental management policies include: analyzing environmental impacts, environmental risk analysis, environmental audits, guarantee funds for restoring environmental functions, paying the loss of the environment for damage to natural resources, paying recovery costs; preserving the environment and culture, tourist attractions and tourist destinations. It is forbidden to take coral reefs for building materials, aquarium ornaments, handicrafts, sponges, dredging beach reclamation sand. Availability of environmental facilities such as sanitation, intlation of liquid waste management, solid waste management, conservation of fresh water sources, maintenance of flora, fauna and coral reefs and not introducing biota from outside the island (Sekneg, 2009, 2009a, 2007, Depbudpar, 2004).
Coastal communities administratively, coastal communities live on small islands and in sub-districts that have the sea (Sekneg, 2007). Coastal communities are identical with poverty. This is indicated by slum dwellings, low aspirations and access to basic social services such as education and health and other social assistance (MOSA, 2005). Community powerlessness as a result of the dehumanization process by various parties (Kartasasmita, 1996). To overcome this with empowerment so as to be able to free themselves from poverty, ignorance, backwardness to strengthen the position of individuals and society in the power structure (Kartasasmita, 1996, Lumbangaol, 2002).
Empowering local communities
Tourism development is not only
an economic problem (increasing income) but also a matter of human dignity and
dignity (Kusumastanto, 2000). Therefore, development should be a
"liberation pedagogy" to improve dignity and dignity instead of
lowering human dignity. Development as a process of awareness
(conscientization) to foster critical awareness of individuals and society
about the situation of the environment and its ability to control the
environment (Amien, 2005).
Community empowerment serves to
improve the ability of the community (Kartasasmita, 1996), by increasing the
ability to utilize and maintain coastal resources and increase accessibility to
economic activities (Butar-butar, 1998). Capacity building is directed to
generate power, namely wealth, social status, education, mastery of information
and skills. For this reason, there must be an improvement in people's access to
natural resources, technology, markets and funding. With empowerment, local
communities are no longer objects but subject to development. The local
community as reinforcement is not as a support for the establishment of a
business (Lumbangaol, 2002).
In empowering coastal
communities, it is necessary to understand the unique characteristics of
fishermen who are sociological and ecological. The social system of coastal
communities depends in part or entirely on the abundance of coastal and marine
resources (Adiwibowo, 1995). Likewise, the small island ecological system is
vulnerable to environmental damage (Fauzi, 2005). Therefore, the empowerment of
fishermen must use the principles of empowerment that are appropriate to the
characteristics of coastal communities. Tuwo (2011) establishes the principles
of job creation, capital sources, new technology sources, markets and
solidarity and collective action of the community. Satria (2002) establishes
the principle of purpose, knowledge and strengthening of local values,
sustainability, accuracy of target groups and alignment. Community empowerment will
increase community capacity.
Local community participation
Community participation in the form of community
participation in small island environmental management. Community participation
is influenced by community perceptions, community empowerment by local
governments and tourism entrepreneurs.
Perception is the result of a positive process of
interpretation of policy by learning from people's experiences so far. High
perception is followed by high participation (Lumbangaol, 2002). There are 19
policies for the participation of local communities in small island tourism
management. Policy of participation in the form of obligations and
prohibitions. These obligations include maintaining and preserving tourist
attraction, creating a safe, orderly, clean, well-mannered atmosphere,
maintaining the environmental sustainability of tourism destinations,
controlling environmental pollution and preserving plasma nuftah. Community
prohibitions include: destruction of coral reefs, seagrasses and mangroves,
taking coral reefs, using explosives and toxic materials, sand mining, mineral
mining, physical development causing damage to the environment, activities that
damage small island coasts (Sekneg, 2009, 2009a, 2007, Depbudpar, 2004).
Research
method
Research on the role of entrepreneurs
in empowering the community around the company is carried out at the company
PT. Marine Resort which manages the Poncan Marine Resort tourism area on Poncan
Gadang Island, Sibolga City. Research method with observation, quisoner and Interview.
Respondents were leaders of related institutions at the city level, leaders and
employees of PT Sibolga Marine Resort, tourists and the community around the
business location (Sibolga City).
Research result
Environmental management of tourism objects
Environmental management of tourism objects is very low. Environmental
management is based on the government's assessment of 39 percent while the
entrepreneur's assessment is 77.90 percent. The low level of environmental
management correlates with the low cover of coral reefs at tourist sites. Cover
and number of coral species before and after becoming a tourist attraction is
not much different. Coral cover in 1997 was 27.83 percent (Efendi, 1997) and in
2009 amounted to 29.00 percent (Coremap - LIPI, 2009). The number of species of
coral reefs in 2006 (15 species) and in 2009 were 16 types (Coremap - LIPI,
2006; 2009).
The low level of environmental management is because profit-oriented
entrepreneurs are not environmentally oriented. Entrepreneurs only exploit
tourism objects (Suparmoko, 1997, Sutiyanti, 2005) do not set aside some of the
benefits to improve environmental damage (Kusumastui, 2003). Greed is
increasing when the Regional Government implements a variety of high-cost
economic policies that are conspired by employers by extracting natural
resources excessively (Fauzi, 2005). Tourism entrepreneurs are oriented to mass
tourism such as Bali Island which only takes into account the number of tourist
visits without caring for environmental and social conditions (Benjamin, 1997).
Community economic
improvement
The results of the eleven employers' obligations in the development of
the community's economy, according to the assessment of the local government
and tourism managers, were high while the assessment of local communities was
low. Government and businessmen's assessments have been well implemented at
72.70 percent. Assessment of local communities with 3 main issues, namely
placement of workers in the company, marketing of local handicrafts in
ecotourism and capital assistance for local communities is only 10.30% good.
Penelian Beyda (2000) in an adjacent location that entrepreneurs do not care
about small entrepreneurs. Sitanggang Research (2006) in Sibolga City shows
that the causes of local communities are difficult to develop because there are
no investors who act as business partners for local communities.
Community
social improvement
Poncan Gadang Island tourism entrepreneurs have 10 obligations in
controlling and improving the social life of local communities. The results of
the research based on the assessment of the Regional Government and employers
have been high while the assessment of the local community is very low. Social
development based on the government's assessment has been good at 90 percent
and 100 percent of entrepreneur ratings. The assessment of local communities on
the topic of community involvement in tourism planning, involvement in EIA /
AMDAL / UPL and involvement in tourism management only 9 percent said it was
good. Low social control and social improvement causes tourism to have a
negative impact on the social life of local communities (Dahuri, 1993)
Improving community culture
Sibolga City community has a distinctive culture. The combination of the
Toba Batak, Karo, Angkola, Mandiling, Pakpak, Nias, Malay, Minangkabau,
Acehnese tribes who have different languages and cultures including different
kinship patterns (patrilineal and matrilineal) gave birth to a new community
called "Coastal Communities" (Beydha, 2000) This coastal community
has language specific language "Baiko-baiko" or
"Munak-munak" as a combination of various local languages, has
coastal arts such as "Sikambang", typical foods such as "Sambam
Pacak" and other cultures. Preservation of language and culture by packaging
tourism interests (Tauhid, 2009).
The implementation of local culture development by tourism entrepreneurs
based on the assessment of the Regional Government and tourism entrepreneurs is
already very high (100 percent). This data is in stark contrast to the low
assessment of local communities. With the issue of using local art in only
41.40 percent of tourism objects stated good. The low participation of
entrepreneurs causes the art and culture of local communities to not develop
well. This data shows that tourism entrepreneurs fail to package high local
culture for tourism (Tauhid, 2009) whereas foreign tourists like to see the
appearance of local culture (Sutiyanti, 2005).
Community capacity building
The capacity of the community depends on community empowerment carried
out by the Regional Government and tourism entrepreneurs. Community empowerment
carried out by the government is only 40.40 percent and by employers is 10.43
percent (community version). The low level of community empowerment correlates
with the low capacity of the community. The results showed that the level of
public knowledge was only 35 percent. Low knowledge is related to low
education. Low education is associated with low income (Budhiarta, 1999). Low
knowledge correlates with the courage to get rights (18 percent) and actions to
overcome environmental damage (15 percent). Khazali's (2002) research shows
that empowerment through coaching, training and assistance is positively
correlated with community participation. Low community capacity shows that
empowerment by the government and employers fails. In the case of low community
capacity, it also causes low community participation (Kartasasmita, 1996).
Local
community participation
Community participation is influenced by community perceptions and
capacities. The results of the study show a high public perception (74.50
percent) which will be followed by high participation (Lumbangaol, 2002). The
results of the study show that from 19 items of public participation policies
that were carried out well, only 15.90 percent. High perception with low
participation from the community because the community cannot participate in
the object is due to the inability of the community and environmental
conditions that do not support it (Dipokusumo, 1999). Kusumastuti's research
(2003) in the Thousand Islands shows the same thing. The low participation is
inversely related to the destruction of coral reefs. The 90 percent damage to
the Poncan Gadang Island was caused by the fishing community, only 10 percent
due to domestic waste and waste. Damage with 30 percent poisoning, 30 percent
mining, 15 percent bombing, 5 percent anchor, 5 percent bubu and 5 percent net
(Lubis, 2009). Coral reef bombing even though illegal turns out to get maximum
income for fishermen because they have no other choice (Soede, 2000). Errors
should not be fully accused of fishing communities (Sitanggang, 2006). Local
Governments and tourism entrepreneurs play a role in empowering to increase
community awareness and capacity that will result in high participation.
Conclusion
1. The improvement of the economy of the local community according to the government and entrepreneurs reaches 72.70 percent while the assessment of the community is only 10.30 percent.
2. Community social improvement based on the assessment of the Regional Government and employers reached 90.0 percent and 100.0 percent while the community assessment was only 9.0 percent.
3. Improving community culture based on the assessment of the Regional Government and tourism entrepreneurs has reached 100 percent while the community assessment is only 41.40 percent.
4. The low level of community empowerment correlates with the low capacity of the community. Community empowerment by entrepreneurs 10.43 percent as a result of the courage to get rights (18 percent) and actions to participate in overcoming environmental damage (15 percent).
5. Community participation is influenced by the perception and capacity of the community. Positive public perception is 74.50 percent but community participation is 15.90 percent.
6. The low level of community empowerment correlates with the low level of community participation, including in environmental management. The result is the destruction of coral reefs by the community (90%). Coral reef cover only ranges from 27.83% to 29.00% with coral species 16-16 species.
Bibliography
* Paper at the National Seminar on Natural Resource Management and the Environment for Food Security, by the USU Association of Natural and Environmental Resources Management (IKA PSL) with the PSL-USU Study Program, in Medan, March 28, 2018, Proceeding ISBN No.978-602-50367 -6-7
1. The improvement of the economy of the local community according to the government and entrepreneurs reaches 72.70 percent while the assessment of the community is only 10.30 percent.
2. Community social improvement based on the assessment of the Regional Government and employers reached 90.0 percent and 100.0 percent while the community assessment was only 9.0 percent.
3. Improving community culture based on the assessment of the Regional Government and tourism entrepreneurs has reached 100 percent while the community assessment is only 41.40 percent.
4. The low level of community empowerment correlates with the low capacity of the community. Community empowerment by entrepreneurs 10.43 percent as a result of the courage to get rights (18 percent) and actions to participate in overcoming environmental damage (15 percent).
5. Community participation is influenced by the perception and capacity of the community. Positive public perception is 74.50 percent but community participation is 15.90 percent.
6. The low level of community empowerment correlates with the low level of community participation, including in environmental management. The result is the destruction of coral reefs by the community (90%). Coral reef cover only ranges from 27.83% to 29.00% with coral species 16-16 species.
Bibliography
* Paper at the National Seminar on Natural Resource Management and the Environment for Food Security, by the USU Association of Natural and Environmental Resources Management (IKA PSL) with the PSL-USU Study Program, in Medan, March 28, 2018, Proceeding ISBN No.978-602-50367 -6-7
NAMA : ADE SYAHPUTRA
ReplyDeleteNIM : 17202020
KELAS: EXTENTION
ASSALAMUALAIKUM
Dalam pemberdayaan masyarakat mengapa terdapat dua sifat karateristik sosiologi dan ekologis
Nama : Jimmy ray manurung
ReplyDeleteNim :16202095
jurusan : Teknik Mesin
M.kuliah :Pengendalian Lingkungan Industri
menurut pendapat saya dari judul Relasi Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat Dengan Kerusakan Lingkungan yaitu bahwa peran pengusaha itu berkewajiban untuk mensejahterakan masyarakat di sekitar lokasi usaha dalam sebuah Aspek ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat, asfek sosial untuk menciptakan kesejahteraan sosial, asfek budaya untuk memperkenalkan kesenian dan kebudayaan dan aspek lingkungan untuk mempertahankan tata kehidupan yang serasi dan seimbang. maka dari itu Pengusaha pariwisata memiliki tanggung jawab pada ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan, pelayanan wisatawan dan pengelolaan lingkungan obyek wisata.oleh sebab itu semua tanggung jawab pengusaha harus ditepati dan agar menjaga kelestarian lingkungan dan untuk bupati harus sering memantau keadaan pengelolaan obyek wisata di setiap daerah agar menjaga kelestarian lingkungan di sekitarnya.
Nama : Rocky Al'amin
ReplyDeleteNim. : 18202048
Kelas : 4m2
Relasi Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat Dengan Kerusakan Lingkungan
Menurut saya Peran-peran pengusaha sebagai berikut:
a. Pemberdayaan ekonomi masyarakat
b. Pemberdayaan sosial masyarakat
c. Pemberdayaan budaya masyarakat
d. Pelayanan wisatawan
e. Pengelolaan lingkungan obyek wisata
Partisipasi masyarakat harus ada dalam semua hal, termasuk dalam memelihara kebersihan lingkungan. Lingkungan yang bersih akan mencerminkan kondisi orang-orang yang tinggal di dalamnya. Pemberdayaan lingkungan merupakan cita-cita bersama sehingga juga harus diciptakan secara bersama-sama pula. Berdayanya lingkungan ditandai dengan kondisi lingkungan yang mendukung aktivitas masyarakatnya, artianya aktivitas masyarakat tidak akan terganggu dikarenakan alasan lingkungannya. Misalnya, dikarenakan lingkungan yang kotor menyebabkan gangguan kesehatan sehingga menghalangi aktivitas masyarakat. Pencemaran lingkungan dan segala permasalahannya dapat diatasi jika semua komponen yang ada mau peduli dan bertanggung jawab. Melalui partisipasi aktif, masyarakat diharapkan mau terlibat secara langsung sehingga akan memberikan kontribusi yang nyata sehingga memberikan pengaruh yang besar. Partisipasi masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang berdaya tidak akan terjadi jika partisipasi aktif tidak terbentuk. Partisipasi masyarakat bisa dimulai dari kepedulian masyarakat terhadap informasi-informasi lingkungan, baik manfaat maupun dampak. Kemudian informasi yang ada semakin diperkuat sehingga menjadi sebuah pengetahuan tentang lingkungan. Selanjutnya, lingkungan bisa direkayasa sesuai dengan keinginan masyarakat sehingga bisa menjadi pendukung dalam setiap aktivitasnya.