Relasi Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat Dengan Kerusakan Lingkungan

                                                     Dr. Ir. Hamzah Lubis, SH., M.Si

Dosen Institut Teknologi Medan
Anggota Association of  Diving Scholl Internasional
Anggota Dewan Daerah Perubahan Iklim Prov.Sumatera Utara
                                       E-mail: hamzah_blh@yahoo.com
                                                                   Abstract
Entrepreneurs engaged in the management of natural resources have a social responsibility to the local environment. Active role of entrepreneurs to empower the local environment and community impacts positively on the communities and the sustainability of the company itself. This entrepreneur role relation research is conducted in Poncan Marine Resort, Sibolga. The research method is through observation, questionnaires and interviews involving relevant institution at the city scope, employees and tourists. The results shows that the role of entrepreneurs in economic empowerment (10.30%), social (9.0%) and culture (41.40%) is categorized “low”. As a result, the capacity of the public (71%) and participation (15.90%) is also low. One of the consequences is dominant reef damages is caused by the public (90%). The coral reefs cover remains ranged between 27.83% to 29% with coral species from 15 to 16 types.

Keywords :  1. Corporate roles 2. Community empowerment 3. Community capacity
                     4. Environmental damage
                                   
Peran pengusaha
Setiap pengusaha berkewajiban untuk mensejahterakan masyarakat di sekitar lokasi usaha. Menurut Soekadijo (2010) terdapat empat aspek kewajiban pengusaha pariwisata. Aspek ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat (economy growth), asfek sosial untuk menciptakan kesejahteraan sosial (social progress), asfek budaya untuk memperkenalkan  kesenian dan kebudayaan  (cultural progress) dan aspek lingkungan untuk  mempertahankan tata kehidupan  yang serasi dan seimbang (ecological balance). Spillane (1987) memasukkan aspek kecintaan pada tanah air.
Pengusaha pariwisata harus mengelola asfek ekonomi agar pariwisata memberi   manfaat ganda (multiplier effect) pada sektor lainnya (Sugeng, 2007) seperti pada  transportasi, komunikasi, jasa akomodasi, perdagangan, usaha makan minum,  kesempatan kerja, kesempatan berusaha, peningkatan pendapatan,  peningkatan eksport dan devisa negara (Hatmi, 1993; Suwantoro, 2001; Pendit, 1995; Lubis, 2002). Mengembangkan sosial-budaya masyarakat lokal  (Suwantoro, 2001, Kamal, 2011) yang memiliki kekhususan (Beller, 1990) untuk menjadi sumber daya  pariwisata. Dengan demikian pariwisata mendorong pelestarian dan pemanfaatan budaya (Pendit, 1995; Suwantoro, 2001, Kamal, 2011), mengangkat harkat dan martabat masyarakat (Suwantoro, 2001) serta keperibadian bangsa dan cinta tanah air (Spillane, 1987).  Pariwisata alam akan meningkatkan pelestarian lingkungan,    program kebersihan dan kesehatan (Suwantoro, 2001; Pendit, 1995, Dahuri, 1993). Menurut Holthus (2000), pengusaha pariwisata sekarang ini telah menganggap penting pelestarian lingkungan dan akan mendapat perlawanan apabila melakukan perusakan lingkungan.
Pengusaha pariwisata (Sekneg, 2007a) memiliki tanggung jawab coorporate social responsibility  pada ekonomi, sosial,  budaya dan lingkungan, pelayanan wisatawan dan pengelolaan lingkungan obyek wisata. Peran-peran pengusaha sebagai berikut:
a.       Pemberdayaan ekonomi masyarakat
Pengusaha pariwisata memiliki 11 kewajiban dalam peningkatan kapasitas ekonomi masyarakat. Kebijakan peningkatan kapasitas ekonomi diantaranya: pengembangan kemitraan dengan usaha mikro, kecil dan koperasi,   mengutamakan penggunaan produk masyarakat setempat, memberikan kesempatan kerja kepada tenaga kerja lokal, prioritas  menjadi konsinyasi  pariwisata, prioritas untuk ikut melakukan pengelolaan  pariwisata.  Perusahaan membantu peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat, melakukan  pelatihan usaha pariwisata,  penanaman modal melalui kepemilikan saham (Sekneg, 2009, Depbudpar, 2004).
b.      Pemberdayaan sosial masyarakat
Pengusaha pariwisata memiliki 10 kewajiban dalam peningkatan kapasitas sosial masyarakat. Kebijakan peningkatan kapasitas sosial diantaranya: berperan aktif dalam  program pemberdayaan masyarakat,  saling menghargai dan menghormati antara pengusaha dan masyarakat, menyediakan sarana ibadah,  melarang segala bentuk kegiatan yang berkaitan dengan perjudian, prostitusi dan  perdagangan narkoba di area pengusahaannya dan daerah sekitar, memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif,  memberikan informasi yang benar tentang usaha pariwisata dan mencegah kegiatan yang melanggar hukum dan segala bentuk perbuatan  yang melanggar kesusilaan (Sekneg, 2009, Depbudpar, 2004).
c. Pemberdayaan budaya masyarakat
            Pemerintah memberikan penghormatan terhadap identitas budaya dan hak-hak masyarakat tradisional. Budaya lokal adalah salahsatu daya tarik pariwisata. Pelestarian dan pengembangan budaya akan meningkatkan kunjungan wisatawan yang secara langsung akan meningkatkan pendapatan pengusaha dan pendapatan masyarakat. Oleh karena itu, pengusaha pariwisata mempunyai 3 kewajiban peningkatan kapasitas budaya masyarakat lokal. Kewajiban tersebut adalah: menjaga dan menghormati  norma agama, adat istiadat, budaya dan nilai-nilai  yang hidup dala masyarakat setempat, menjaga kelestarian lingkungan alam dan budaya dan menghormati nilai-nilai agama, adat istiadat dan tata nilai masyarakat di pulau dan sekitar pulau (Sekneg, 2009, Depbudpar, 2004).
d. Pelayanan wisatawan
            Wisatawan memiliki dan dan kewajiban dalam pengelolaan pariwisata pulau kecil. Terdapat 14 hak wisatawan, diantaranya mendapat informasi yang akurat dan bertanggung jawab,  pelayanan yang tidak diskriminatif;  mendapat kenyamanan, keramahan, perlindungan, keamanan dan keselamatan wisatawan, mendapat perlindungan asuransi pada usaha   pariwisata dengan kegiatan yang berisiko tinggi misalnya wisata  selam, mendapatkan tenaga kerja/pelayanan yang berkompetensi melalui pelatihan dan pendidikan, mendapatkan standar usaha, mendapatkan produk, pelayanan dan pengelolaan usaha pariwisata  yang berstandar dan bersertifikasi.
            Terdapat  pula 11 kewajiban wisatawan diantaranya menghormati norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat,  memelihara dan melestarikan lingkungan, menjaga ketertiban dan keamanan,  mencegah segala bentuk perbuatan yang     melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum,  melestarikan daya tarik wisata, menciptakan suasana aman, tertib, bersih, berperilaku santun, dan menjaga kelestarian lingkungan di destinasi pariwisata (Sekneg, 2009, Depbudpar, 2004). 
e. Pengelolaan lingkungan obyek wisata
               Pengusaha pariwisata memiliki 59 kewajiban dalam pengelolaan lingkungan obyek pariwisata. Kebijakan pengelolaan lingkungan diantaranya: melakukan analisis mengenai dampak lingkungan, analisis risiko lingkungan hidup, audit lingkungan hidup, dana penjaminan pemulihan fungsi lingkungan, membayar gantai rugi  atas kerusakan sumberdaya alam, membayar  biaya pemulihan; melestarikan lingkungan dan budaya, daya tarik wisata dan destinasi wisata.  Dilarang mengambil terumbu karang untuk bahan bangunan, ornamen aquarium, kerajinan tangan, bunga karang, melakukan pengerukan pasir reklamasi pantai. Tersedianya fasilitas lingkungan seperti sanitasi, intlasi pengelolaan limbah cair,  pengolahan limbah padat, konservasi sumber air tawar, pemeliharaan flora, fauna serta terumbu karang  dan tidak melakukan introduksi biota dari luar pulau (Sekneg, 2009, 2009a, 2007, Depbudpar, 2004).
Masyarakat pesisir
Secara administratif masyarakat pesisir berdomisili di pulau kecil dan di kecamatan yang memiliki laut (Sekneg, 2007). Masyarakat pesisir identik dengan kemiskinan. Hal ini ditandai dengan lingkungan tempat tinggal yang kumuh, rendahnya aspirasi dan akses terhadap pelayanan sosial dasar seperti pendidikan dan kesehatan  serta bantuan sosial lainnya (Depsos, 2005). Ketidakberdayaan masyarakat sebagai hasil proses  dehumanisasi oleh berbagai pihak (Kartasasmita, 1996). Untuk mengatasinya dengan pemberdayaan (empowerment) agar mampu membebaskan diri dari kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan untuk memperkuat posisi individu dan masyarakat  dalam  sturuktur kekuasaan (Kartasasmita,1996,  Lumbangaol ,2002).
            Pemberdayaan masyarakat lokal
Pembangunan pariwisata bukan hanya masalah ekonomi (peningkatan pendapatan) tetapi juga masalah harkat dan martabat manusia (Kusumastanto, 2000). Oleh karena itu, pembangunan semestinya menjadi  “pedagogi pembebasan” untuk meningkatkan harkat dan martabat  bukan sebaliknya merendahkan harkat dan martabat manusia. Pembangunan sebagai proses penyadaran (conscientization) untuk menumbuhkan  kesadaran kritis individu dan masyarakat tentang situasi lingkungannya dan kemampuannya mengendalikan  lingkungannya (Amien, 2005). 
Pemberdayaan masyarakat berfungsi untuk meningkatkan kemampuan masyarakat (Kartasasmita, 1996), dengan peningkatan kemampuan memanfaatkan dan memelihara sumberdaya pesisir serta  meningkatkan aksebilitas terhadap kegiatan ekonomi (Butar-butar,1998). Peningkatan  kemampuan diarahkan untuk menghasilkan daya (power) yaitu kekayaan, status sosial, pendidikan, penguasaan informasi dan ketrampilan. Untuk itu harus ada perbaikan akses masyarakat terhadap sumberdaya alam, teknologi, pasar dan pendanaan. Dengan pemberdayaan, maka masyarakat lokal tidak lagi menjadi obyek tetapi menjadi subyek pembangunan. Masayarakat lokal sebagai penguat bukan sebagai penopang berdirinya suatu usaha (Lumbangaol, 2002).
Dalam pemberdayaan masyarakat pesisir perlu dipahami adanya keunikan karakteristik nelayan yang bersifat sosiologis maupun bersifat ekologis. Sistem sosial masyarakat pesisir tergantung sebagian atau sepenuhnya pada kelimpahan  sumberdaya pesisir dan laut (Adiwibowo, 1995). Demikian juga sistem ekologis pulau kecil yang rentan dengan kerusakan lingkungan (Fauzi, 2005). Oleh karena itu, pemberdayaan nelayan harus memakai prinsip-prinsip pemberdayaan yang sesuai karakteristik masyarakat pesisir. Tuwo (2011) menetapkan prinsip penciptaan lapangan kerja, sumber permodalan, sumber teknologi baru,  pasar dan solidaritas serta aksi kolektif masyarakat. Satria (2002) menetapkan prinsip tujuan, pengetahuan dan penguatan nilai lokal, keberlanjutan (sustainability),  ketepatan kelompok sasaran dan  keselarasan. Pemberdayaan masyarakat akan meningkatkan kapasitas masyarakat.
            Partisipasi masyarakat lokal
Partisipasi masyarakat dalam bentuk peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan pulau kecil.  Partipasi masyarakat dipengaruhi persepsi masyarakat, pemberdayaan masyarakat  yang dilakukan Pemerintah Daerah dan pengusaha pariwisata.
Persepsi merupakan hasil proses penafsiran yang positif terhadap kebijakan dengan belajar dari pengalaman  masyarakat selama ini . Persepsi yang tinggi  diikuti dengan partisipasi yang tinggi (Lumbangaol, 2002).  Terdapat 19 kebijakan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan pariwisata pulau kecil. Kebijakan partisipasi dalam bentuk kewajiban dan larangan. Kewajiban tersebut diantaranya menjaga dan melestarikan daya tarik wisata, menciptakan  suasana aman, tertib, bersih, berperilaku santun, menjaga kelestarian lingkungan destinasi pariwisata, mengendalikan pencemaran lingkungan hidup dan  melestarikan plasma nuftah. Larangan masyarakat diantaranya: perusakan terumbu karang, lamun dan mangrove,  mengambil terumbu karang , menggunakan bahan peledak dan bahan beracun,  penambangan pasir , penambangan mineral, pembangunan fisik menimbulkan kerusakan lingkungan,  kegiatan yang merusak pesisir pulau kecil (Sekneg, 2009, 2009a, 2007, Depbudpar, 2004).
Metoda penelitian
            Penelitian peran pengusaha dalam pemberdayaan masyarakat di sekitar perusahaan dilakukan pada perusahaan PT. Marine Resort yang mengelola kawasan pariwisata Poncan Marine Resort di Pulau Poncan Gadang, Kota Sibolga. Metoda penelitian dengan observasi, quisoner dan wawancara. Responden adalah pimpinan intansi terkait di tingkat kota, pimpinan dan karyawan PT Sibolga Marine Resort, wisatawan dan masyarakat di sekitar lokasi usaha (Kota Sibolga).
Hasil penelitian
Pengelolaan lingkungan obyek wisata
            Pengelolaan lingkungan obyek wisata sangat rendah. Pengelolaan lingkungan berdasarkan penilaian pemerintah  sebesar sebesar 39 persen sedangkan  penilaian pengusaha sebesar 77,90 persen. Rendahnya  pengelolaan lingkungan berkorelasi dengan rendahnya  tutupan terumbu karang di lokasi obyek wisata. Tutupan dan jumlah jenis karang sebelum dan setelah menjadi obyek wisata tidak jauh berbeda.  Tutupan karang tahun 1997 sebesar 27,83 persen (Efendi, 1997) dan tahun 2009 sebesar 29,00 persen (Coremap - LIPI, 2009). Jumlah jenis terumbu karang tahun 2006 (15 jenis) dan tahun 2009  sebanyak 16 jenis (Coremap - LIPI, 2006;  2009).
            Rendahnya pengelolaan lingkungan karena pengusaha berorientasi profit tidak berorientasi lingkungan. Pengusaha hanya mengeksploitasi obyek wisata (Suparmoko,  1997, Sutiyanti, 2005) tidak menyisihkan sebagian keuntungan untuk memperbaiki kerusakan lingkungan (Kusumastui, 2003).  Keserakahan semakin meningkat ketika Pemerintah Daerah menerapkan berbagai kebijakan ekonomi berbiaya tinggi yang  dikonpensasikan pengusaha dengan mengekstrak sumberdaya alam secara berlebihan (Fauzi,  2005). Pengusaha pariwisata berorientasi pada pariwisata massal seperti Pulau Bali yang hanya memperhitungkan jumlah kunjungan wisatawan tanpa peduli terhadap kondisi lingkungan dan sosial (Benyamin, 1997).
Peningkatan ekonomi masyarakat
            Hasil penelitian atas sebelas kewajiban pengusaha dalam pengembangan ekonomi masyarakat, menurut  penilaian pemerintah daerah dan pengelola pariwisata sudah tinggi sedangkan penilaian masyarakat lokal rendah. Penilaian pemerintah dan pengusaha sudah terlaksana dengan baik sebesar 72,70 persen.  Penilain masyarakat lokal dengan dengan 3 isu utama yaitu penempatan tenaga kerja di perusahaan, pemasaran kerajinan lokal di ekowisata dan bantuan permodalan bagi masyarakat lokal hanya 10,30% baik. Peneletian Beyda (2000) pada lokasi yang berdekatan  bahwa pengusaha tidak peduli dengan pengusaha kecil. Penelitian Sitanggang (2006) di Kota Sibolga menunjukan bahwa penyebab  masyarakat lokal sulit berkembang karena belum adanya investor  yang bertindak sebagai mitra usaha bagi masyarakat lokal.
Peningkatan sosial masyarakat
            Pengusaha pariwisata Pulau Poncan Gadang memiliki  10 kewajiban dalam pengendalian dan peningkatan kehidupan sosial masyarakat lokal. Hasil penelitian berdasarkan penilaian Pemerintah Daerah dan pengusaha sudah tinggi sedangkan penilaian masyarakat lokal sangat rendah. Pengembangan sosial berdasarkan penilaian pemerintah  sudah baik 90 persen dan penilaian pengusaha 100 persen.  Penilaian masyarakat lokal  dengan topik keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pariwisata, keterlibatan dalam Amdal/Ukl-UPL dan keterlibatan dalam pengelolaan pariwisata hanya 9 persen menyatakan baik. Pengendalian dan peningkatan sosial masyarakat yang rendah menyebabkan pariwisata berdampak negatif terhadap kehidupan sosial masyarakat lokal (Dahuri, 1993)
Peningkatan budaya masyarakat
            Masyarakat Kota Sibolga memiliki budaya yang khas. Perpaduan suku bangsa Batak Toba, Karo, Angkola, Mandiling, Pakpak, Nias, Melayu, Minangkabau, Aceh yang memiliki bahasa dan budaya yang berbeda termasuk pola kekerabatan yang berbeda (patrilineal dan matrilineal) melahirkan masyarkat baru dengan sebutan “Masyarakat Pesisir” (Beydha, 2000). Masyarakat pesisir ini memiliki bahasa spesifik bahasa “Baiko-baiko” atau bahasa “Munak-munak” sebagai gabungan berbagai bahasa lokal, memiliki kesenian pesisir seperti “Sikambang”, makanan khas seperti “Sambam Pacak” dan budaya lainnya. Pelestarian bahasa dan budaya dengan mengemasnya   kepentingan pariwisata (Tauhid, 2009).
            Pelaksanaan pengembangan budaya lokal oleh pengusaha pariwisata berdasarkan penilaian Pemerintah Daerah dan pengusaha pariwisata sudah sangat tinggi (100 persen). Data ini sangat kontras dengan penilaian masyarakat lokal yang  rendah. Dengan isu pemanfaatan kesenian lokal di obyek wisata hanya 41,40 persen menyatakan baik. Rendahnya partisipasi pengusaha menyebabkan seni dan budaya masyarakat lokal tidak berkembang dengan baik. Data ini menunjukkan bahwa pengusaha pariwisata gagal mengemas kebudayaan lokal yang tinggi untuk pariwisata (Tauhid, 2009) padahal wisatawan asing senang melihat penampilan budaya lokal (Sutiyanti, 2005).
Pengembangan   kapasitas masyarakat
            Kapasitas masyarakat bergantung pada pemberdayaan masyarakat yang dilakukan Pemerintah Daerah dan pengusaha pariwisata. Pemberdayaan masyarakat yang dilakukan pemerintah hanya 40,40 persen dan oleh pengusaha sebesar 10,43 persen (versi masyarakat). Rendahnya pemberdayaan masyarakat berkorelasi dengan rendahnya kapasitas masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan tingkat pengetahuan masyarakat hanya 35 persen.  Pengetahuan yang rendah berhubungan dengan pendidikan yang rendah. Pendidikan yang rendah berhubungan dengan pendapatan yang rendah (Budhiarta,1999). Pengetahuan yang rendah  berkorelasi dengan keberanian mendapatkan hak (18 persen) dan tindakan untuk mengatasi kerusakan lingkungan (15 persen). Penelitian Khazali (2002) menunjukkan pemberdayaan melalui pembinaan, pelatihan dan pemberian bantuan kerkorelasi positif dengan partisipasi masyarakat. Kapasitas masyarakat yang rendah menunjukkan bahwa pemberdayaan yang dilakukan pemerintah dan pengusaha gagal. Pada hal kapasitas masyarakat  yang rendah menyebabkan partisipasi masyarakat yang rendah pula (Kartasasmita, 1996).
Partisipasi masyarakat lokal
            Partisipasi masyarakat dipengaruhi persepsi dan kapasitas masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan persepsi masyarakat yang tinggi (74,50 persen) yang  akan diikuti dengan partisipasai yang tinggi  (Lumbangaol, 2002). Hasil penelitian bahwa dari 19 item kebijakan partisipasi masyarakat yang dilakukan dengan baik hanya 15,90 persen. Persepsi yang tinggi dengan partisipasi yang rendah dari masyarakat karena masyarakat tidak dapat berpartisipasi  dalam obyek tersebut disebabkan ketidakmampuan masyarakat dan kondisi lingkungan yang tidak menunjang (Dipokusumo, 1999). Penelitian Kusumastuti (2003) di Kepulauan Seribu menunjukkan hal yang sama. Rendahnya partisipasi berhubungan terbalik dengan perusakan terumbu karang. Perusakan terumbu Pulau Poncan Gadang sebesar 90 persen disebabkan oleh masyarakat nelayan hanya 10 persen akibat sampah dan limbah domestik.  Perusakan dengan peracunan 30 persen, penambangan 30 persen, pemboman  15 persen, jangkar  5 persen,  bubu  5 persen dan jaring sebesar 5 persen (Lubis, 2009). Pemboman terumbu karang kendati illegal ternyata mendapatkan pendapatan maksimal bagi nelayan karena tidak punya pilihan lain (Soede, 2000). Kesalahan tidak boleh sepenuhnya dituduhkan pada masyarakat nelayan (Sitanggang, 2006). Pemerintah Daerah dan pengusaha pariwisata berperan dalam melakukan pemberdayaan untuk meningkatkan kesadaran dan kapasitas masyarakat yang akan membuahkan partisipasi yang tinggi.

Kesimpulan
1.      Peningkatan ekonomi masyarakat lokal menurut pemerintah dan pengusaha mencapai72,70 persen sedangkan penilaian masyarakat hanya sebesar 10,30 persen.
2.      Peningkatan sosial masyarakat  berdasarkan penilaian Pemerintah Daerah dan pengusaha mencapai 90,0 persen dan 100,0 persen sedangkan penilaian masyarakat hanya 9,0 persen.
3. Peningkatan budaya masyarakat berdasarkan penilaian Pemerintah Daerah dan pengusaha pariwisata sudah mencapai 100 persen sedangkan penilaian masyarakat hanya 41,40 persen.
4. Rendahnya pemberdayaan masyarakat berkorelasi dengan rendahnya kapasitas masyarakat. Pemberdayaan masyarakat yang dilakukan pengusaha 10,43 persen akibatnya keberanian mendapatkan hak (18 persen) dan tindakan untuk berpartisipasi mengatasi kerusakan lingkungan (15 persen).
5.  Partisipasi masyarakat dipengaruhi persepsi dan kapasitas masyarakat. Persepsi positif masyarakat 74,50 persen namun  partisipasi masyarakat 15,90 persen.
6. Rendahnya pemberdayaan masyarakat berkorelasi dengan rendahnya partisipasi masyarakat termasuk dalam pengelolaan lingkungan. Akibatnya perusakan terumbu karang  oleh masyarakat (90%). Tutupan terumbu karang hanya berkisar 27,83% sampai 29,00% dengan jenis  karang 16-16 jenis.


Daftar pustaka

Amien,A.M. 2005. Kemandirian Lokal: Konsepsi Pembangunan, Organisasi dan Pendidikan Dari Perspektif Sains Baru. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Adiwibowo, S. 1995. Adaptasi Ekologi Masyarakat di Wilayah Pesisir. Kursus Pelatihan Integrated Coastal  Zone Planning and Management Angkatan-I, 3 April – 9 September 1995. Kerjasama ADB, Bakosurtanal,  PPLH-IPB. Bogor
Butar-Butar, M. 1998. Pengembangan  Pengelolaan  Sumberdaya Wilayah Pesisir  Laut di Daerah. Konferensi Nasional-I Pengelolaan Sumberdaya Pesisir  tanggal 10-20 Maret 1998.  Institut Pertanian Bogor. Bogor
Benyamin, I.M. 1997. Proses Pengembangan Wisata Alam dan Dampaknya Pada Lingkungan Terutama Pada Asfek Sosial dan Ekonom: Studi Kasus Pantai Bali. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Insitut Pertanian Bogor. Bogor
Beydha, I. 2000. Pengembangan Wilayah Daerah Tujuan Wisata Pandan dan Pengaruhnya Terhadap Peningkatan Pendapatan Masyarakat di Kecamatan Sibolga, Kabupaten Tapanuli Tengah. Tesisi. Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara. Medan
Budhiartha, A.A. G. 1999. Kajian Pengembangan Pariwisata Bahari Pengaruhnya Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Pesisir di Nusa Lembangon Bali,Tesis Program Pascasarjana, Insitut Pertanian Bogor, Bogor
Beller, W.  D’ Ayala, Hein, P. 1990. Sustainable Development and  Environmetal  Management of Small Islands. UNESCO. Paris
Dahuri, R. 1993. Daya Duk.ung  Lingkungan dan Pengembangan Pariwisata Bahari Berlekanjutan. Seminar  Nasional  Manajemen  Kawasan Pesisir Untuk Ekotourisme Dalam Rangka Dies Natalis ke-30 Insitut Pertanian Bogor.  Program Studi Magister  Manajemen, Insitut Pertanian Bogor, Bogor
Dipokusumo, B.  1999. Analisis Pemberdayaan Masyarakat Pada Pemukiman  Lahan Kering di Provinsi Nusatenggara Barat. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor
Depsos, 2005. Panduan Oprasional Program Pemberdayaan Fakir Miskin di Wilayah Pesisir Pantai. Departemen Sosial-RI. Jakarta
Depbudpar, 2004. Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor : km.67/um.001/MKP/2004  Tentang  Pedoman Umum Pengembangan Pariwisata di Pulau-Pulau Kecil. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Jakarta
Efendi, Y.,  Indrawadi.,  Imam, S.,  Yennafri.,  Samsuardi., Yunaldi., Ofrijohan., Yan, S., Ferry, E.,  Abror., Era, S. 1997. Laporan Penelitian Studi Kondisi Fisik dan Penyebaran Terumbu Karang di Pantai Barat Sumatera Utara. Bappeda Provinsi Sumatera Utara – Posteri Puslitbang Oseanologi – LIPI, Medan
Fauzi, A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan: Isu, Sintesis dan Gagasan.  Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Hatmi,S. 1993. Analisa Pengembangan Daerah Pariwisata Desa Pantai Sialang Buah Kecamatan Teluk Mengkudu. Tesis. Sekolah  Pascasarjana, Insitut Pertanian Bogor. Bogor
Holthus,  P. 2000. Sustainable Management of Oceans and Coasts: The Rule of The Private  Sector.  Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources Vol.3 No. 1, 2000. Center for Coastal and Marine Resources Studies,  Institut Pertanian Bogor, Bogor
Kamal, M. 2011. Pengaruh Kebudayaan Terhadap Kegiatan Usaha Kepariwisataan. Jurnal Ilmiah Pariwisata. Vol.7  No. 1 Juni  2011.  Akademi Pariwisata Medan. Medan Hal.99-107
Khazali, M.;  Dietriech, G.B. ;  Victor, P.H.N.  2002. Kajian Partisipasi Masyarakat Dalam  Pengelolaan Mangrove: Studi Kasus di Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources. Vol. 4  No. 3, 2002.Center for Coastal and Marine Resources Studies,  Institut Pertanian Bogor, Bogor
Kartasasmita, G. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat, Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. CIDES. Jakarta
Kusumastuti,D.S.R.2003. Peranserta Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil di TNL. Kepulauan Seribu. PSL-Universitas Indonesia. Jakarta
Lubis, H. 2002.  Pengelolaan Ekowisata Bahari di Pulau Unggas, Tapanuli Tengah. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara. Medan
Lubis, M.R.K. 2009. Analisis Pengelolaan Terumbu Karang Untuk Pengembangan Ekowisata Bahari di Pulau Poncan Kota Sibolga, Provinsi Sumatera Utara.Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor
Lumbangaol, R. 2002. Kajian Pengelolaan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil: Studi Kasus Kepulauan Tobea Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara.Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Pendit, N.S. 1995. Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar. Pradnya Paramita. Jakarta
Satria,  A. 2002. Karakteristik Sistem Sosial Masyarakat Pesisir. PKSPL-IPB. Bogor
Suparmoko, M. 1997. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. BPFE-UGM, Yokyakarta
Sutiyanti,  S.  M. 2005. Pengharuh Wisatawan Dalam Menjaga Kelestarian Obyek Wisata . Jurnal Ilmiah Pariwisata. Vol.1  No. 2 Desember   2005.  Akademi Pariwisata Medan. Medan
Sitanggang,L.P.2006. Studi Pemamfaatan Ruang Untuk Pengembangan Pariwisata di Kawasan Pesisir Sibolga. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Insitut Pertanian Bogor. Bogor
Soekadijo, R.G. 2010.Anatomi Pariwisata: Memahami Pariwisata Sebagai Syatemic Linkage. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Spillane, J.J. 1987.  Parawisata Indonesia Sejarah dan Prosesnya. Kanisius, Yokyakarta
Sugeng, K.W dan  Ngatemin.   2007. Potensi dan Prospek Industri  Pariwisata Kota Sabang. Jurnal Ilmiah Pariwisata. Vol. 3  No. 2 Desember   2007.
 Soede, C.P .; H.S.J. Cesar; J.S. Pet. 2000. Economic Issues Relatedto Blast Fising on Indonesian Coral reefs.  Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources Vol.3  No. 2, 2000.Center for Coastal and Marine Resources Studies,  Institut Pertanian Bogor, Bogor
Suwantoro,G. 2001.  Dasar – Dasar Pariwisata. Andi. Yokyakarta
Sekneg, 2007. Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan   Pulau-Pulau Kecil. Sekretariat Negara. Jakarta.
..........., 2007a. Undang-undang Nomor  40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Sekretariat Negara. Jakarta
………, 2009, Undang-undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Sekretariat Negara. Jakarta
..........., 2009a. Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sekretariat Negara. Jakarta
Tauhid, B.  2007. Akuntabilitas Pariwisata Sumatera Utara. Jurnal Ilmiah Pariwisata. Vol.3  No. 1 Juni    2007.  Akademi Pariwisata Medan. Medan
Tuwo, A. 2011.  Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut. Brilian Internasional, Jakarta


Makalah pada Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Untuk Ketahanan Pangan, oleh Ikatan Alumni Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (IKA PSL) USU dengan Prodi PSL-USU, di Medan, tanggal 28 Maret 2018,  Proseding ISBN No.978-602-50367-6-7



        Empowerment and Community Participation Relations with Environmental Damage
Dr. Ir. Hamzah Lubis, SH., M.Sc

Lecturer at the Medan Institute of Technology
Member of the Association of Diving Scholl International
Member of the North Sumatra Province Regional Climate Change Council
E-mail: hamzah_blh@yahoo.com

                                                                   Abstract
Entrepreneurs are engaged in the management of natural resources and have a social responsibility to the local environment. Active role of entrepreneurs to empower the local environment and community impacts positively on the communities and the sustainability of the company itself. This entrepreneur role research is conducted in Poncan Marine Resort, Sibolga. The research method is through observation, questionnaires and interviews involving relevant institutions at the city scope, employees and tourists. The results shows that the role of entrepreneurs in economic empowerment (10.30%), social (9.0%) and culture (41.40%) is categorized "low". As a result, the capacity of the public (71%) and participation (15.90%) is also low. One of the consequences is dominant reef damages is caused by the public (90%). The coral reefs cover remains ranged between 27.83% to 29% with coral species from 15 to 16 types.

Keywords: 1. Corporate roles 2. Community empowerment 3. Community capacity
                     4. Environmental damage

Top of Form
Bottom of Form

           The role of the entrepreneur
          Every entrepreneur is obliged to prosper the community around the business location. According to Soekadijo (2010) there are four aspects of the obligations of tourism entrepreneurs. Economic aspects to improve people's economic prosperity (economy growth), social aspects to create social welfare, cultural aspects to introduce arts and culture (cultural progress) and environmental aspects to maintain a harmonious and balanced ecological system. Spillane (1987) includes aspects of love for the homeland.
Tourism entrepreneurs must manage the economic effect so that tourism provides a multiplier effect in other sectors (Sugeng, 2007) such as in transportation, communication, accommodation services, trade, food and beverage business, employment opportunities, business opportunities, increased income, increased exports and foreign exchange (Hatmi, 1993; Suwantoro, 2001; Pendit, 1995; Lubis, 2002). Developing socio-cultural local communities (Suwantoro, 2001, Kamal, 2011) who have specificities (Beller, 1990) to become tourism resources. Thus tourism encourages the preservation and utilization of culture (Pendit, 1995; Suwantoro, 2001, Kamal, 2011), elevating the dignity of the community (Suwantoro, 2001) and the personality of the nation and love of the homeland (Spillane, 1987). Natural tourism will improve environmental preservation, hygiene and health programs (Suwantoro, 2001; Pendit, 1995, Dahuri, 1993). According to Holthus (2000), tourism entrepreneurs today have considered environmental conservation important and will be challenged if they do environmental damage.
Tourism entrepreneurs (Sekneg, 2007a) have corporate social responsibility responsibilities on economic, social, cultural and environmental, tourist services and environmental management of tourism objects. The roles of entrepreneurs are as follows:

            a. Community economic empowerment
           Tourism entrepreneurs have 11 obligations in increasing the economic capacity of the community. Economic capacity improvement policies include: developing partnerships with micro, small and cooperative businesses, prioritizing the use of local community products, providing employment opportunities to local workers, priority to tourism consignment, priority to participating in tourism management. The company helps increase community knowledge and skills, conducts tourism business training, invests through share ownership (Sekneg, 2009, Depbudpar, 2004).

            b. Community social empowerment
Tourism entrepreneurs have 10 obligations in improving the social capacity of the community. Social capacity improvement policies include: active participation in community empowerment programs, mutual respect and respect between employers and the community, providing worship facilities, prohibiting all forms of activities related to gambling, prostitution and drug trafficking in the area of ​​business and surrounding areas, providing services that are not discriminatory, provide correct information about tourism businesses and prevent unlawful activities and all forms of acts that violate decency (Sekneg, 2009, Depbudpar, 2004).

c. Community culture empowerment
            The government respects cultural identity and the rights of traditional communities. Local culture is one of the main attractions of tourism. Preservation and development of culture will increase tourist visits which will directly increase entrepreneur income and community income. Therefore, tourism entrepreneurs have 3 obligations to increase the cultural capacity of local communities. These obligations are: maintain and respect religious norms, customs, culture and values ​​that live in local communities, maintain the preservation of the natural and cultural environment and respect religious values, customs and values ​​of the people on the island and around the island (Sekneg , 2009, Depbudpar, 2004).

d. Tourist services
            Tourists have and and obligations in the management of small island tourism. There are 14 tourist rights, including obtaining accurate and responsible information, non-discriminatory services; get the comfort, friendliness, protection, security and safety of tourists, get insurance protection in tourism businesses with high risk activities such as diving tours, get competent workforce / services through training and education, get business standards, get products, service and business management standard and certified tourism.
            There are also 11 obligations of tourists including respecting religious norms, customs, culture, and values ​​that live in society, maintain and preserve the environment, maintain order and security, prevent all forms of acts that violate decency and activities that violate the law, preserve attraction tourism, creating a safe, orderly, clean, well-mannered atmosphere, and preserving the environment in tourism destinations (Sekneg, 2009, Depbudpar, 2004).

e. Environmental management of tourism objects
               Tourism entrepreneurs have 59 obligations in environmental management of tourism objects. Environmental management policies include: analyzing environmental impacts, environmental risk analysis, environmental audits, guarantee funds for restoring environmental functions, paying the loss of the environment for damage to natural resources, paying recovery costs; preserving the environment and culture, tourist attractions and tourist destinations. It is forbidden to take coral reefs for building materials, aquarium ornaments, handicrafts, sponges, dredging beach reclamation sand. Availability of environmental facilities such as sanitation, intlation of liquid waste management, solid waste management, conservation of fresh water sources, maintenance of flora, fauna and coral reefs and not introducing biota from outside the island (Sekneg, 2009, 2009a, 2007, Depbudpar, 2004).
Coastal communities
administratively, coastal communities live on small islands and in sub-districts that have the sea (Sekneg, 2007). Coastal communities are identical with poverty. This is indicated by slum dwellings, low aspirations and access to basic social services such as education and health and other social assistance (MOSA, 2005). Community powerlessness as a result of the dehumanization process by various parties (Kartasasmita, 1996). To overcome this with empowerment so as to be able to free themselves from poverty, ignorance, backwardness to strengthen the position of individuals and society in the power structure (Kartasasmita, 1996, Lumbangaol, 2002).

            Empowering local communities
Tourism development is not only an economic problem (increasing income) but also a matter of human dignity and dignity (Kusumastanto, 2000). Therefore, development should be a "liberation pedagogy" to improve dignity and dignity instead of lowering human dignity. Development as a process of awareness (conscientization) to foster critical awareness of individuals and society about the situation of the environment and its ability to control the environment (Amien, 2005).
Community empowerment serves to improve the ability of the community (Kartasasmita, 1996), by increasing the ability to utilize and maintain coastal resources and increase accessibility to economic activities (Butar-butar, 1998). Capacity building is directed to generate power, namely wealth, social status, education, mastery of information and skills. For this reason, there must be an improvement in people's access to natural resources, technology, markets and funding. With empowerment, local communities are no longer objects but subject to development. The local community as reinforcement is not as a support for the establishment of a business (Lumbangaol, 2002).
In empowering coastal communities, it is necessary to understand the unique characteristics of fishermen who are sociological and ecological. The social system of coastal communities depends in part or entirely on the abundance of coastal and marine resources (Adiwibowo, 1995). Likewise, the small island ecological system is vulnerable to environmental damage (Fauzi, 2005). Therefore, the empowerment of fishermen must use the principles of empowerment that are appropriate to the characteristics of coastal communities. Tuwo (2011) establishes the principles of job creation, capital sources, new technology sources, markets and solidarity and collective action of the community. Satria (2002) establishes the principle of purpose, knowledge and strengthening of local values, sustainability, accuracy of target groups and alignment. Community empowerment will increase community capacity.

            Local community participation
        Community participation in the form of community participation in small island environmental management. Community participation is influenced by community perceptions, community empowerment by local governments and tourism entrepreneurs.
           Perception is the result of a positive process of interpretation of policy by learning from people's experiences so far. High perception is followed by high participation (Lumbangaol, 2002). There are 19 policies for the participation of local communities in small island tourism management. Policy of participation in the form of obligations and prohibitions. These obligations include maintaining and preserving tourist attraction, creating a safe, orderly, clean, well-mannered atmosphere, maintaining the environmental sustainability of tourism destinations, controlling environmental pollution and preserving plasma nuftah. Community prohibitions include: destruction of coral reefs, seagrasses and mangroves, taking coral reefs, using explosives and toxic materials, sand mining, mineral mining, physical development causing damage to the environment, activities that damage small island coasts (Sekneg, 2009, 2009a, 2007, Depbudpar, 2004).

           Research method
            Research on the role of entrepreneurs in empowering the community around the company is carried out at the company PT. Marine Resort which manages the Poncan Marine Resort tourism area on Poncan Gadang Island, Sibolga City. Research method with observation, quisoner and Interview. Respondents were leaders of related institutions at the city level, leaders and employees of PT Sibolga Marine Resort, tourists and the community around the business location (Sibolga City).   
       
            Research result 
            Environmental management of tourism objects
            Environmental management of tourism objects is very low. Environmental management is based on the government's assessment of 39 percent while the entrepreneur's assessment is 77.90 percent. The low level of environmental management correlates with the low cover of coral reefs at tourist sites. Cover and number of coral species before and after becoming a tourist attraction is not much different. Coral cover in 1997 was 27.83 percent (Efendi, 1997) and in 2009 amounted to 29.00 percent (Coremap - LIPI, 2009). The number of species of coral reefs in 2006 (15 species) and in 2009 were 16 types (Coremap - LIPI, 2006; 2009).
            The low level of environmental management is because profit-oriented entrepreneurs are not environmentally oriented. Entrepreneurs only exploit tourism objects (Suparmoko, 1997, Sutiyanti, 2005) do not set aside some of the benefits to improve environmental damage (Kusumastui, 2003). Greed is increasing when the Regional Government implements a variety of high-cost economic policies that are conspired by employers by extracting natural resources excessively (Fauzi, 2005). Tourism entrepreneurs are oriented to mass tourism such as Bali Island which only takes into account the number of tourist visits without caring for environmental and social conditions (Benjamin, 1997).

            Community economic improvement
            The results of the eleven employers' obligations in the development of the community's economy, according to the assessment of the local government and tourism managers, were high while the assessment of local communities was low. Government and businessmen's assessments have been well implemented at 72.70 percent. Assessment of local communities with 3 main issues, namely placement of workers in the company, marketing of local handicrafts in ecotourism and capital assistance for local communities is only 10.30% good. Penelian Beyda (2000) in an adjacent location that entrepreneurs do not care about small entrepreneurs. Sitanggang Research (2006) in Sibolga City shows that the causes of local communities are difficult to develop because there are no investors who act as business partners for local communities.

            Community social improvement
          Poncan Gadang Island tourism entrepreneurs have 10 obligations in controlling and improving the social life of local communities. The results of the research based on the assessment of the Regional Government and employers have been high while the assessment of the local community is very low. Social development based on the government's assessment has been good at 90 percent and 100 percent of entrepreneur ratings. The assessment of local communities on the topic of community involvement in tourism planning, involvement in EIA / AMDAL / UPL and involvement in tourism management only 9 percent said it was good. Low social control and social improvement causes tourism to have a negative impact on the social life of local communities (Dahuri, 1993)

            Improving community culture
            Sibolga City community has a distinctive culture. The combination of the Toba Batak, Karo, Angkola, Mandiling, Pakpak, Nias, Malay, Minangkabau, Acehnese tribes who have different languages ​​and cultures including different kinship patterns (patrilineal and matrilineal) gave birth to a new community called "Coastal Communities" (Beydha, 2000) This coastal community has language specific language "Baiko-baiko" or "Munak-munak" as a combination of various local languages, has coastal arts such as "Sikambang", typical foods such as "Sambam Pacak" and other cultures. Preservation of language and culture by packaging tourism interests (Tauhid, 2009).
            The implementation of local culture development by tourism entrepreneurs based on the assessment of the Regional Government and tourism entrepreneurs is already very high (100 percent). This data is in stark contrast to the low assessment of local communities. With the issue of using local art in only 41.40 percent of tourism objects stated good. The low participation of entrepreneurs causes the art and culture of local communities to not develop well. This data shows that tourism entrepreneurs fail to package high local culture for tourism (Tauhid, 2009) whereas foreign tourists like to see the appearance of local culture (Sutiyanti, 2005).

            Community capacity building
           The capacity of the community depends on community empowerment carried out by the Regional Government and tourism entrepreneurs. Community empowerment carried out by the government is only 40.40 percent and by employers is 10.43 percent (community version). The low level of community empowerment correlates with the low capacity of the community. The results showed that the level of public knowledge was only 35 percent. Low knowledge is related to low education. Low education is associated with low income (Budhiarta, 1999). Low knowledge correlates with the courage to get rights (18 percent) and actions to overcome environmental damage (15 percent). Khazali's (2002) research shows that empowerment through coaching, training and assistance is positively correlated with community participation. Low community capacity shows that empowerment by the government and employers fails. In the case of low community capacity, it also causes low community participation (Kartasasmita, 1996).

             Local community participation
            Community participation is influenced by community perceptions and capacities. The results of the study show a high public perception (74.50 percent) which will be followed by high participation (Lumbangaol, 2002). The results of the study show that from 19 items of public participation policies that were carried out well, only 15.90 percent. High perception with low participation from the community because the community cannot participate in the object is due to the inability of the community and environmental conditions that do not support it (Dipokusumo, 1999). Kusumastuti's research (2003) in the Thousand Islands shows the same thing. The low participation is inversely related to the destruction of coral reefs. The 90 percent damage to the Poncan Gadang Island was caused by the fishing community, only 10 percent due to domestic waste and waste. Damage with 30 percent poisoning, 30 percent mining, 15 percent bombing, 5 percent anchor, 5 percent bubu and 5 percent net (Lubis, 2009). Coral reef bombing even though illegal turns out to get maximum income for fishermen because they have no other choice (Soede, 2000). Errors should not be fully accused of fishing communities (Sitanggang, 2006). Local Governments and tourism entrepreneurs play a role in empowering to increase community awareness and capacity that will result in high participation.

            Conclusion
1. The improvement of the economy of the local community according to the government and entrepreneurs reaches 72.70 percent while the assessment of the community is only 10.30 percent.
2. Community social improvement based on the assessment of the Regional Government and employers reached 90.0 percent and 100.0 percent while the community assessment was only 9.0 percent.
3. Improving community culture based on the assessment of the Regional Government and tourism entrepreneurs has reached 100 percent while the community assessment is only 41.40 percent.
4. The low level of community empowerment correlates with the low capacity of the community. Community empowerment by entrepreneurs 10.43 percent as a result of the courage to get rights (18 percent) and actions to participate in overcoming environmental damage (15 percent).
5. Community participation is influenced by the perception and capacity of the community. Positive public perception is 74.50 percent but community participation is 15.90 percent.
6. The low level of community empowerment correlates with the low level of community participation, including in environmental management. The result is the destruction of coral reefs by the community (90%). Coral reef cover only ranges from 27.83% to 29.00% with coral species 16-16 species.
Bibliography

* Paper at the National Seminar on Natural Resource Management and the Environment for Food Security, by the USU Association of Natural and Environmental Resources Management (IKA PSL) with the PSL-USU Study Program, in Medan, March 28, 2018, Proceeding ISBN No.978-602-50367 -6-7

 


3 comments:

  1. NAMA : ADE SYAHPUTRA
    NIM : 17202020
    KELAS: EXTENTION

    ASSALAMUALAIKUM

    Dalam pemberdayaan masyarakat mengapa terdapat dua sifat karateristik sosiologi dan ekologis

    ReplyDelete
  2. Nama : Jimmy ray manurung
    Nim :16202095
    jurusan : Teknik Mesin
    M.kuliah :Pengendalian Lingkungan Industri


    menurut pendapat saya dari judul Relasi Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat Dengan Kerusakan Lingkungan yaitu bahwa peran pengusaha itu berkewajiban untuk mensejahterakan masyarakat di sekitar lokasi usaha dalam sebuah Aspek ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat, asfek sosial untuk menciptakan kesejahteraan sosial, asfek budaya untuk memperkenalkan kesenian dan kebudayaan dan aspek lingkungan untuk mempertahankan tata kehidupan yang serasi dan seimbang. maka dari itu Pengusaha pariwisata memiliki tanggung jawab pada ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan, pelayanan wisatawan dan pengelolaan lingkungan obyek wisata.oleh sebab itu semua tanggung jawab pengusaha harus ditepati dan agar menjaga kelestarian lingkungan dan untuk bupati harus sering memantau keadaan pengelolaan obyek wisata di setiap daerah agar menjaga kelestarian lingkungan di sekitarnya.

    ReplyDelete
  3. Nama : Rocky Al'amin
    Nim. : 18202048
    Kelas : 4m2

    Relasi Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat Dengan Kerusakan Lingkungan

    Menurut saya Peran-peran pengusaha sebagai berikut:
    a. Pemberdayaan ekonomi masyarakat
    b. Pemberdayaan sosial masyarakat
    c. Pemberdayaan budaya masyarakat
    d. Pelayanan wisatawan
    e. Pengelolaan lingkungan obyek wisata
    Partisipasi masyarakat harus ada dalam semua hal, termasuk dalam memelihara kebersihan lingkungan. Lingkungan yang bersih akan mencerminkan kondisi orang-orang yang tinggal di dalamnya. Pemberdayaan lingkungan merupakan cita-cita bersama sehingga juga harus diciptakan secara bersama-sama pula. Berdayanya lingkungan ditandai dengan kondisi lingkungan yang mendukung aktivitas masyarakatnya, artianya aktivitas masyarakat tidak akan terganggu dikarenakan alasan lingkungannya. Misalnya, dikarenakan lingkungan yang kotor menyebabkan gangguan kesehatan sehingga menghalangi aktivitas masyarakat. Pencemaran lingkungan dan segala permasalahannya dapat diatasi jika semua komponen yang ada mau peduli dan bertanggung jawab. Melalui partisipasi aktif, masyarakat diharapkan mau terlibat secara langsung sehingga akan memberikan kontribusi yang nyata sehingga memberikan pengaruh yang besar. Partisipasi masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang berdaya tidak akan terjadi jika partisipasi aktif tidak terbentuk. Partisipasi masyarakat bisa dimulai dari kepedulian masyarakat terhadap informasi-informasi lingkungan, baik manfaat maupun dampak. Kemudian informasi yang ada semakin diperkuat sehingga menjadi sebuah pengetahuan tentang lingkungan. Selanjutnya, lingkungan bisa direkayasa sesuai dengan keinginan masyarakat sehingga bisa menjadi pendukung dalam setiap aktivitasnya.

    ReplyDelete