Fiqih Hakim Anti Korupsi


                           FIQIH HAKIM ANTI KORUPSI 
                     Dr.Ir.Hamzah Lubis,SH.,M.Si
   Anggota Anti Corruption Forum (ACF), Dosen dan  Praktisi Hukum.

“Jika kamu menetapkan hukum antar manusia, hendaklah kamu menghukum dengan adil” (Q.S.A—Nisa: 58). “Jika kamu memutus perkara, maka putuskanlah antara mereka dengan adil, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil” (Q.S.Al-Maidah:42).

Pengantar
Indonesia adalah negara hukum. Persyaratan mutlak sebagai negara hukum adalah peradilan yang mandiri, netral (tidak memihak), kompoten, transparan, akuntabel dan berwibawa, yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan. Pengadilan adalah pilar utama dalam penegakan hukum dan keadilan serta proses pembangunan peradaban bangsa. Tegaknya hukum dan keadilan serta penghormatan terhadap keluhuran nilai kemanusiaan menjadi prasyarat tegaknya martabat dan integritas negara. Hakim menjadi aktor utama dalam peradilan.
Hakim sebagai figure sentral dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, memelihara integritas, kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi rakyat banyak. Oleh karena itu, wewenang dan tugas yang dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan tanpa  pandang bulu dengan tidak membeda-bedakan orang. Setiap orang sama kedudukannya di depan hukum dan di depan hakim.
Pertanggungjawan Hakim
Wewenang dan tugas hakim yan sangat besar ini menuntut tanggungjawab yang tinggi, sehingga putusan pengadilan diucapkan dengan irah-irah: ”Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Putusan, tanpa irah-irah tersebut, batal demi hukum. Irah-irah tersebut menunjukkan semua tindakan penegakan hukum, kebenaran dan keadilan termasuk (diantaranya putusan hakim), wajib dipertanggungjawabkan secara vertikal kepada Tuhan Maha Esa  dan secara horizontal kepada manusia dan alam semesta.
            Kode etik perilaku hakim dengan tegas dan jelas dalam pembukaannya menyatakan putusan hakim “wajib” dipertanggungjawabkan kepada Tuhan (Muslim: Allah SWT) dan kepada semua manusia (semestinya: plus makhluk hidup lainnya). Sebagai indikator  pertanggungjawaban “wakil Tuhan”  di bumi, kepada tuhannya (Allah SWT)  secara makro, adalah  apakah putusan hakim mendapat ridho dari-Nya. Klasifikasi putusan yang mendapat ridho adalah: “Hakim ada tiga (tipe); dua (tipe) diantara mereka masuk neraka, sedangkan satu (tipe) diantara mereka masuk surga. Adapun yang masuk adalah seorang yang mengetahui al-haq, lalu ia memutuskan perkara dengannya (al-haq), maka ia masuk surga. Adapun seseorang yang mengetahui al-haq, tapi ia tidak memutuskan perkara dengannya maka ia masuk neraka. Sedangkan seseorang yang tidak mengetahui al-haq lalu ia memutuskan perkara manusia dengan kebodohannya maka ia juga masuk neraka” (H.R.Abu Daud dan At Tawawi).
Fiqih Korupsi
            Korupsi secara umum didefenisikan sebagai cara memperoleh harta kekayaan baik kekayaan  diri sendiri, kekayaan orang orang lain dan  kekayaan suatu korporasi, atau kegiatan yang menguntungkan diri sendiri, orang lain dan  korporasi secara melawan hukum (penyalahgunaan: kewenangan, kesempatan atau sarana negara, dan lainnya) yang dapat / telah merugikan keuangan negara. 
Dalam fiqih Islam, cara mendapatkan harta yang melawan hukum (baca: syariat Islam), diantaranya dengan cara:
1.    Sariqah atau pencurian, yaitu mengambil harta orang lain yang sudah disimpan diambil untuk dimiliki. Hukuman mencuri adalah potong tangan.
2.    Risywah atau suap, sebagai pemberian untuk menyalahkan yang benar atau membenarkan yang salah. Dengan risywah menyebabkan proses pemilihan pemimpin tidak adil, menjual-belikan kebijakan, dan berdampak luas bagi kehidupan masyarakat.
3.    Ghulul atau penghianatan atas amanah yang diterimanya dengan mengambil sesuatu dan menyebunyikan dalam hartanya. Ghulul dapat berupa: (a)  komisi, mengambil sesuatu atau pengahasilan diluar gaji yang telah ditetapkan dan (b) hadiah, orang mendapatkan hadiah karena jabatan yang melekat pada dirinya.
4.    Hirabah atau  pembegalan di jalanan, merampasa harta orang lain  dengan terang-terangan dan dengan kekerasan, baik dengan membunuh atau tidak. Hukuman hirabah bukanlah takhyir (pilihan), melainkan  tanwi (jenis) yang penerapan sanksinya disesuaikan dengan bobot kejahatannya.
 5. Al-suht , melicinkan kepentingan koleganya lalu ada pemberian sesuatu sebagai balas budi dan diterimanya.
6.  Al-ikhtilas,  membuat pemilik harta lengah lalu menyambar dan mengambil harta dengan cepat.
7. Dan lainnya.
Fiqih Pidana Korupsi
            Pidana bagi pelaku korupsi dapat berupa pidana sosial, pidana denda  dan pidana fisik atau gabungan dari dua atau ketiganya.
1.    Pidana Sosial :
(a). Celaan dan teguran/ peringatan, hukumantersebut dapat dilakukan untuk tindak pidana ringan bagi orang yang melakukan fitnah, menghina/ merendahkan  orang.
(b). Masuk daftar orang tercela (al-tasyir), dalam pidana kekinian berupa pengumuman di media massa, koran, majalah, tempat publik untuk  tindak pidana kesaksian palsu, kecurangan dalam bisnis
(c). Memecat dari jabatan (al-‘azl  min al-wadzifah), dalam kontek pidana kekinian pemecatan jabatan public dan pemberhentian penggajian.
(d). Isolasi (menjauhkan dari pergaulan sosial), dalam konteks kekinian dalam bentuk tahanan rumah.
2.  Pidana denda :
     Pidana denda dalam fiqih Islam, dapat dilakukan kepada koruptor dengan mengkiyaskan korupsi sebagai unsur “sariqah” atau pencurian. Pidana denda untuk  pencurian “buah di pohon” dengan denda sebesar  2x (dua kali lipat) dari nilai yang dicuri. Artinya, kerugian yang dikembalikan koruptor bukan hanya lebih kecil atau sama dengan total kerugian negara tetapi sebesar dua kali lipat dari harta yang dikorupsi [dari hadist nabi ini, mengalir konsep pemiskinan koruptor(?)].
2.    Pidana  fisik: 
Pidana fisik bagi koruptor dalam khasanah pidana Islam, berupa:    
(a). Pukulan (dera) dengan maksud bukan untuk mencederaia tapi untuk membuat jera sipelaku.
(b). Diusir , diasingkan atau dipenjara dalam jangka pendek, jangka panjang dan seumur hidup sebagaimana hirabah dan qath’u al-thariq dalam kondisi dikhawatirkan mengancam kehidupan atau keselamatan orang lain.
(c). Potong tangan sebagaimana pencuri, hirabah dan qath’u al-thariq yang hanya merampok harta tanpa membunuh.
(d). Potong tangan dan kaki secara silang sebagaimana hirabah dan qath’u al-thariq yang yang dilakukan berulang-ulang.
    (e). Dibunuh dengan disalib qath’u al-thariq yang merampok harta dan mengakibatkan kematian,  pelaku pelaku kerusuhan, keonaran dan pembangkangan.  Hukuman mati, dapat diberikan bila kemaslahatan benar-benar menghendakinya. Contohnya hukuman mati bagi mata-mata, provokator, penyebat fitnah, perilaku kejahatan seksual (pemerkosaan), makar dan perilaku keriminal yang tidak jera mengulangi kejahatan.
Kifarat Putusan Hakim
            Putusan hakim yang tidak memenuhi rasa keadilan, pasti tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan, kepada manusia dan alam semesta. Padahal hakim telah diberi kewenangan lebih untuk menegakkan keadilan.  “Siapa saja diantara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan kekuatannya, jika tidak kuasa, dengan lisannya, jika tidak bisa juga, paling tidak dengan berdoa, dan yang terakhir ini merupakan iman yang paling lemah” (H.R.Muslim). 
Putusan hakim yang tidak adil akan menyebabkan laknat bagi hakim, manusia dan alam semesta. “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa hanya disebabkan tidak menghukum pencuri (korupsi?) dari kalangan orang terhormat. Namun jika yang melakukan pencurian orang lemah, maka mereka akan menegakkan hukuman kepadanya. Demi Allah, seandainya saja Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti aku sendiri akan memotong tangannya” (H.R.Bukhari). Semoga putusan hakim (tipikor) yang tidak memenuhi rasa keadilan dan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan  kepada Tuhan dan kepada manusia serta alam semesta, tidak menyebabkan laknat Tuhan bagi diri si hakim, bagi manusia, bagi Indonesia dan bagi alam semesta. Amin.


Tulisan Dr. Ir. Hamzah Lubis, SH.M.Si berjudul "Fiqh Hakim Anti Korupsi" telah dimuat pada Surat Kabar Perestasi  Reformasi di Medan, No.492 Thn ke XVII,  Edisi   Minggu ke-3, Mei  2016, hal.6 Kol.1-7 
 

1 comment:

  1. Nama : Roy Martin Sipayung
    Nim : 16202097
    M.Kuliah : Pengendalian Lingkungan Industri

    Menurut pendapat saya Tentang FIQIH HAKIM ANTI KORUPSI Oleh Dr.Ir.Hamzah Lubis,SH.,Msi.

    Bahwasanya Wewenang dan tugas hakim yang sangat besar ini memang sangatlah menuntut tanggungjawab yang tinggi, karena putusan pengadilan diucapkan dengan irah-irah: ”Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Putusan, tanpa irah-irah tersebut, batal demi hukum. Irah-irah tersebut menunjukkan semua tindakan penegakan hukum, kebenaran dan keadilan termasuk (diantaranya putusan hakim), wajib dipertanggungjawabkan secara vertikal kepada Tuhan Maha Esa dan secara horizontal kepada manusia dan alam semesta.

    Jadi seorang Hakim itu haruslah bertindak sesuai hukum yang sebenarnya tidak berpihak kepada sebelah pihak karena adanya sogokan secara materi atau adanya hubungan keluarga antara hakim dengan yang terkait, seorang hakim harus bertindak jujur kepada Negara sebagai pakar hukum, jadi saya sngat setuju dengan adanya Hakim yang tidak korupsi Di Negri kita Indonesia tercinta ini. dan jika ada terjadi Hkim-hakim yang korupsi agar hendaknya langsung di tindak lanjuti.
    sekian dan trimakasih...


    ReplyDelete