INTERNASIONALISASI PIDANA PERIKANAN DI ZEE
Dr.Ir.Hamzah Lubis,SH.,M.Si
Dosen, Wkl. Ketua Mitra Bahari
Prov.Sum.Utara
E-mail: hamzah_blh@yahoo.com
“Hai
orang-orang yang beriman, hendaklah
kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencian terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak
adil. Berlaku adillah karena adil lebih dekat kepada takwa. Dan tawakkallah
kepada Allah, sesunggunya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS.al-Maidah: 8).
Pendahuluan
Menilai
Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan yang telah dirubah dengan
Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009, misalnya Pasal 102 tidak cukup dengan membaca
teks undang-undang maupun penjelasannya. Perlu kajian ulang “asbabun nuzul”
pasal tersebut termasuk membaca kajian akademisnya.
Pasal 102
berbunyi: “Ketentuan tentang pidana penjara dalam undang-undang ini, tidak
berlaku bagi tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di WPPRI dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b (Zona Ekonomi Eksklusif-ZEE), kecuali telah ada
perjanjian antara Pemerintah RI dengan pemerintah negara yang bersangkutan”
Lokasi “locus delicti” pidana perikanan dapat
terjadi di Perairan Indonesia,
ZEE-Indonesia maupun laut lepas yang
melibatkan warga Indonesia maupun negara asing. Oleh karena itu, aparat
penegak hukum, penyidik (PPNS, Polri, TNI-AL), jaksa dan hakim semestinya
memiliki kapasitas pengetahuan hukum yang memadai pada tingkat lokal (kearifan
lokal), nasional (perundang-undangan) maupun internasional5 (konvensi
internasional). Beranjak dari kondisi ini, Hatta Ali, Ketua Mahkamah Agung-RI dalam pidato Hari Jadi Mahkamah Agung ke-68
tahun 2013 menekankan pentingnya peningkatan pengetahuan dan keterampilan warga
pengadilan untuk menjadi hakim yang profesional dan berintegritas.
Menurutnya, Hatta
Ali, peradilan modern adalah: “ Tidak hanya dalam arti harfiah-perangkat, namun
juga cara berpikir. Hal ini penting, karena ke depan, tidak hanya peradilan
dituntut untuk beroperasi lebih efektif
dan efisien, baik secara teknis yudisial-maupun manajemen, namun juga harus
mampu berpikir antisipatif, melewati batas-batas konvensional, dan memikirkan
juga aspek regional dan internasional yang mungkin akan mempengaruhi dinamika
sistem peradilan kita, kesemuanya saya
pikir sudah ada di depan mata kita semua
dan menunggu untuk terjadi. Untuk itu kemampuan untuk mengantisipasi dan
melakukan adaptasi perlu dipertimbangkan secara serius oleh jajaran aparatur
peradilan kita”.
ZEE-Indonesia
Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
diakui melalui United Nation Convention
of Sea (UNCLOS) 1982. Penetapan batas ZEE antar negara yang pantainya
berhadapan atau berdampingan harus dengan ”persetujuan” atas dasar hukum
internasional. Berbeda dengan
penetapan batas laut teritorial yang
menerapkan garis batas maritim suatu garis
berjarak sama (equidistance line)
dengan metoda turunannnya berupa The
Partial Effec Method, The Coastal Length Comparison Method dan The Equi-Ratio
Method.
Karena batas ZEE “harus” mendapat
“persetujuan”, maka penetapan batas ZEE menjadi alot. Batas ZEE-Indonesia baru disepakati negara
Philipina. Dengan berbagai alasan, batas ZEE-Indonesia belum diakui. Misalnya,
batas ZEE-Indonesia di Laut Cina Selatan (LCS) dengan Vietnam, negara Vietnam mengajukan metoda Thalweg, dengan prinsip sungai-sungai yang tenggelam pada zaman pra
sejarah. Secara tak langsung, Vietnam mengkalim perairan Kabupaten Natuna,
Kabupaten Anambas sampai Pulau Bangka dan perairan Kalimantan Barat milik ZEE Vietnam.
Demikian
juga RRC, menetapkan batas perairannya berdasarkan pengaruh kerajaan-kerajaan
Tiongkok masa lalu. Dengan demikian, sebagian ZEE-Indonesia di Laut Cina
Selatan menjadi klaim wilayahnya. Tiongkok tanggal 25 Pebruari 1992, telah mengumumkan
Hukum Laut Teritorial dan Zona Tambahan, dimana garis putus-putusnya memotong
sebagian ZEE Indonesia. Klaim Tiongkok atas Laut Cina Selatan membuat banyak negara
meradang, seperti Vietnam, Philipina, Jepang dan negara LCS lainnya.
Batas
ZEE-Indonesia, sebelum kesepakatan dengan negara tetangga, hanya pernyataan sepihak, yang belum diakui
hukum internasional. Indonesia menetapkan berdasarkan: “ garis tengah atau garis sama jarak antara garis-garis pangkal laut
wilayah Indonesia atau titik-titik terluar Indonesia dengan garis-garis pangkal laut wilayah atau
titik-titik terluar negara tetangga”.
Selama batas belum
disepakati, tindakan Indonesia sebaiknya “ tidak kontroversi”, “tidak memicu
kemarahan” yang akan “menghalangi” upaya
persetujuan perbatasan ZEE-Indonesia.
Tindakan yang “kontroversi” dapat memicu ke sengketa antar negara pada
pengadilan atau mahkamah internasional. Penenggelaman kapal perikanan Vietnam
telah memicu nota protes negara Vietnam ke Kementerian Luar Negeri Indonesia. Demikian
juga, belajar sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan ternyata Indonesia
“dipecundangi” sehingga “dikalahkan” Malaysia di Mahkamah Internasional.
Rezim
ZEE-Indonesia
ZEE-Indonesia
adalah suatu daerah “di luar” dan
berdampingan dengan laut teritorial (Indonesia). ZEEI harus dipahami sebagai wilayah ”bukan kedaulatan
negara7”, hanya sebagai ”wilayah yurisdiksi” Indonesia dengan
hak-hak berdaulat ”terbatas” yang pelaksanaan hak-hak berdaulat terbatas secara ”bersyarat”. Hak berdaulat hanya untuk ”keperluan
eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam”
pada kolom air (diatas dasar laut sampai permukaan laut).
Rezim
hukum di ZEE adalah rezim hukum khusus. Kekhususannya adalah: (1) hukum
nasional yang berlaku di ZEEI harus tunduk dengan UNCLOS (Pasal 55), (2) hukum
nasional yang berlaku di ZEEI harus
sesuai dengan UNCLOS (Psl.56 ayat (2),
Psl 58 ayat 3, Pasal 73 ayat 1), (3)
hukum nasional yang berlaku di ZEEI
harus relevan dengan UNCLOS
(Pasal 58 ayat 1) dan (4) hukum nasional
yang berlaku di ZEEI tidak bertentangan
dengan UNCLOS (Pasal 58 ayat 3). Ratifikasi UNCLOS dengan Undang-Undang Nomor 17
tahun 1985 sebagai pernyataan ”persetujuan”, ” mengikatkan diri” dan ”mengikat para pihak” Pemerintah Republik Indonesia dengan UNCLOS.
Internasionalisasi
Pidana Perikanan
Belum
adanya persetujuan batas ZEE-Indonesia, penetapan sepihak batas ZEE-Indonesia,
klaim wilayah ZEE yang tumpang tindih serta tindakan negara yang tidak
mengikuti hukum laut internasional,
dapat menimbulkan sengketa antar negara. Bahkan penafsiran yang berbeda
terhadap UNCLOS, negara yang keberatan dapat mengajukan gugatan ke mahkamah
internasional.
Negara yang
dapat melakukan gugatan adalah negara menandatangani, meratifikasi atau aksesi
UNCLOS atau negara yang belum
menandatangani, meratifikasi atau aksesi
UNLOS33. Penyelesaian sengketa dapat memilih satu atau lebih
dari cara melalui: (1) Mahkamah Internasional Hukum Laut , (2) Mahkamah
Internasional, (3) Mahkamah Arbitrasi dan (4)
Mahkamah Arbitrasi Khusus.
Sengketa yang
dapat dilakukan gugatan meliputi
“penerapan Konvensi” maupun “perihal interprestasi atau penerapan
Konvensi” UNCLOS. Pengadilan atau
mahkamah internasional menerapkan hukum berdasarkan UNCLOS dan peraturan hukum
internasional lainnya yang tidak
bertentangan dengan UNCLOS. Perjanjian internasional, kebiasaan
internasional, keputusan-keputusan Pengadilan Internasional, perinsip-prinsip
hukum umum dan ajaran para pakar Hukum Internasional terkemuka sebagai sumber
hukum tambahan. Dan putusan pengadilan
atau mahkamah internasional bersifat “tingkat akhir” dan “harus dipatuhi oleh
semua pihak dalam sengketa”.
Penutup
Seandainya,
pemboman dan penenggelaman kapal perikanan negaraa asing di ZEE yang batasnya
belum disepakati (tumpang tindih) negara tersebut diajukan ke pengadilan atau
mahkamah internasional. Dalam proses
hukum, di penyidikan, penuntutan, pertimbangan hukum dan putusan pengadilan
tidak menerapkan UNCLOS, misalnya Pasal 73 ayat (3) jo Pasal 102 Undang-Undang
Nomor 31 tahun 2004. Indonesia, seperti dinyatakatan Dr.Suhadi, SH, MH, Hakim
Agung-RI, akan menjadi “bulan-bulanan” negara asing. Dan apakah anda yakin,
Indonesia akan menang? Kalau tidak sepenuhny yakin, mengapa anda tidak menerapkan
UNCLOS yang telah diratifikasi secara utuh dan menyeluruh?
*Tulisan Dr.Ir.Hamzah Lubis, SH.M.Si berjudul; "Internasionalisasi Pidana Perikanan di ZEE" telah dimuat pada Surat Kabar Prestasi Reformasi di Medan, No. 482 Thn ke-16, edisi 25- 31 Januari 2016, hal.6 kol 1-4
nama:samuel siregar
ReplyDeletenim:17202166
kelas:4m4
mata kuliah:pengendalian lingkungan industri
yang saya tau Hampir semua praktek penangkapan secara illegal yang terjadi di Indonesia sebagian besar dilakukan di Zona Ekonomi Eksklusif. Hal ini sejalan dengan pemerintah yang sedang gencar-gencarnya memberantas pencurian ikan. Ketidakjelasan Pasal 102 Undang-Undang Perikanan menimbulkan penafsiran yang berbeda pada hakim dalam menangani perkara. Konsekuensi meratifikasi United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS 1982) menghasilkan tanggung jawab baru bagi pemerintah untuk menerapkan aturan yang ada didalam UNCLOS 1982 menjadi hukum nasional yang berlaku di Indonesia. Termasuk ketentuan penegakan hukum terhadap kapal penangkap ikan asing
yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif. Tipe penelitian ini adalah penelitian normatif yuridis dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Larangan penjatuhan hukuman badan terhadap Nahkoda atau Kepala Kamar Mesin kapal berbendera asing tidak boleh dikenai hukuman badan tapi dijatuhi hukuman denda. Ketentuan ini
menimbulkan permasalahan baru, yaitu, syarat-syarat yang menyatakan denda harus dibayar, tidak dipatuhi. Hal ini menyebabkan kerugian baru bagi negara. Dalam prakteknya, terdapat perbedaan penerapan pemidanaan oleh hakim dengan dasar pertimbangan demi keadilan dan kepastian hukum.jadi memang harus ditindak secara cepat bagi perusak sumber perikanan dinegara indonesia sehingga tidak ada lagi yang berani merusak atau mencuri
sekian dari saya trimakasih
Nama : Riko Gustian
ReplyDeleteNim : 16 202 063
M.Kuliah : Audit Efisiensi Energi
Assalamualaikum warahmatullahiwabarokatuh
Menurut Pendapat saya mengenai Intersasionalisasi pidana perikanan di ZEE ialah
Seperti yang dituliskan Dr. Ir. Hamzah Lubis,SH. M,si
perihal Pasal 102 berbunyi: “Ketentuan tentang pidana penjara dalam undang-undang ini, tidak berlaku bagi tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di WPPRI dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b (Zona Ekonomi Eksklusif-ZEE), kecuali telah ada perjanjian antara Pemerintah RI dengan pemerintah negara yang bersangkutan”.
Karena batas ZEE “harus” mendapat “persetujuan”, maka penetapan batas ZEE menjadi alot. Batas ZEE-Indonesia baru disepakati negara Philipina. Dengan berbagai alasan, batas ZEE-Indonesia belum diakui.Misalnya, batas ZEE-Indonesia di Laut Cina Selatan (LCS) dengan Vietnam, negara Vietnam mengajukan metoda Thalweg, dengan prinsip sungai-sungai yang tenggelam pada zaman pra sejarah. Secara tak langsung, Vietnam mengkalim perairan Kabupaten Natuna, Kabupaten Anambas sampai Pulau Bangka dan perairan Kalimantan Barat milik ZEE Vietnam.
Tantangan dan permasalahan penegakan hukum di wilayah perairan Indonesia dan ZEEI untuk mencegah dan memberantas Illegal, Unreported, and Unregulated fishing (IUUF),wajib mendapat perhatian dan dukungan semua pihak, sehingga sumber daya kelautan dan perikanan yang setiap tahun hilang ratusan triliun dapat diselamatkan dan digunakan untuk mensejahterakan masyarakat, dan bukan pihak asing yang menikmatinya.
Untuk menyatukan pandangan dan meminimalisir disparitas pidana atau tidak konsistennya putusan demi tercapainya kepastian hukum dan kemanfaatan hukum, sebaiknya Mahkamah Agung duduk bersama dengan para pemangku kepentingan (Kejaksaan Agung, Polri, TNI AL, dan Ditjen PSDKP KKP) untuk mendengarkan akibat yang ditimbulkan dari adanya himbauan untuk tidak menjatuhkan pidana kurungan pengganti pidana denda.
Salam Lingkungan
Nama : Darno Haro MUnthe
ReplyDeleteNim : 16202093
Mata Kuliah : Audit Efisiensi Energi
Menurut Pendapat Saya
Optimalisasi pemerintah dalam hal penamggulangan kejahatan dibidang
perikanan harus dilakukan. Pemerintah atau aparat penegak hukum yang
berwenang melaksanakan penegakan hukum di laut guna menjaga wilayah
perairan Indonesia sesuai dengan batas yang telah ditentukan. Aparat penegak
hukum harus melakukan pemantauan kapal ikan asing yang melakukan kegiatan
penangkapan ikan di wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia
khususnya di wilayah laut Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia.
Dengan diberlakukannya kebijakan pemerintah dalam rangka menindak
tegas dengan cara menenggelamkan kapal asing yang melakukan kegiatan
penangkapan ikan secara illegal, tentu saja bagian dari upaya pemerintah didalam
penegakan hukum yang tegas terhadap kapal ikan asing yang melakukan
penangkapan ikan tanpa ijin. Diharapkan dengan kebijakan pemerintah yang
dituangkan didalam undang-undang RI No 45 tahun 2009 tentang perubahan
Undang-Undang RI No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dapat memberikan efek
jera bagi pelaku tindak pidana penangkapan ikan illegal di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia, sehingga kekayaan laut yang ada di WPP-RI dapat
dimanfaatkan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Dengan terselamatkannya kepentingan nasional dalam hal kesejahteraan sekaligus dapat
menyelamatkan kebutuhan ikan secara gelobal.
Dalam hal penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana penangkapan
ikan secara illegal di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, sanksi pidana yang
diterapkan sangatlah ringan sifatnya jika menggunakan undang-undang RI No 5
tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dengan alasan bahwa
wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia bukan wilayah kedaulatan
sebagaimana wilayah laut teritorial.
Sanksi pidana yang diterapkan kepada kapal ikan asing yang melakukan
penangkapan ikan secara illegal di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia sangat
ringan dan tidak mempunyai efek jera, selain itu tidak sesuai dengan biaya yang
dikeluarkan untuk melakukan operasi penegakan hukum di laut yang menelan
biaya yang tidak sedikit, sementara sumberdaya ikan yang diambil secara illegal
oleh kapal ikan asing setiap tahunnya bukan menurun melainkan semakin
meningkat.
Kaitannya dengan bahan hukum primer dalam penulisan teses ini dapat
disebutkan secara rinci antara lain:
a) Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945
b) Unclos 82
c) Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif.
d) Undang-Undang RI No 31 Tahun 2009 Tentang Perikanan
e) Undang-Undang RI No 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Undang-Undang
RI No 31 Tahun 2009 Tentang Perikanan
f) Undang-Undang RI No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia
Nama : Ristuan D Purba
ReplyDeleteNim : 16202111
Judul: Internasionalisasi Pidana Perikanan Di Zee
Menurut saya ,Dalam prakteknya, terdapat perbedaan penerapan pemidanaan oleh hakim dengan dasar pertimbangan demi keadilan dan kepastian hukum.jadi memang harus ditindak secara cepat bagi perusak sumber perikanan dinegara indonesia sehingga tidak ada lagi yang berani merusak atau mencuri
Nama : Jimmy ray manurung
ReplyDeleteNim : 16202095
M.kuliah : Audit dan Efisiensi Energi
menurut saya dari artikel yang sudah bapak buat tentang Internasionalisasi Pidana Perikanan di ZEE terdapat nilai Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009, misalnya Pasal 102 tidak cukup dengan membaca teks undang-undang maupun penjelasannya. Perlu kajian ulang “asbabun nuzul” pasal tersebut termasuk membaca kajian akademisnya.
Pasal 102 berbunyi: “Ketentuan tentang pidana penjara dalam undang-undang ini, tidak berlaku bagi tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di WPPRI dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b (Zona Ekonomi Eksklusif-ZEE), kecuali telah ada perjanjian antara Pemerintah RI dengan pemerintah negara yang bersangkutan”.jadi setelah ada undang-undang tentang perikanan di zona ekonomi eksklusif semoga wilayah khususnya di indonesia semoga terjaga agar kekayaan laut dan ekosistemnya terjaga dariakibat perusakan laut dan ekosistemnya dari pihak orang lain yang tidak bertanggung jawab,dan apabila terdapat seseorang yg tidak bertanggung jawab segera lakukan pidana sesuai hukum dan undang- undang yang berlaku agar laut dan ekosistemnya terjaga.
Nama :Yogi Mangaranap Gultom
ReplyDeleteNIM :16 202 099
M.Kuliah:Audit dan Efisiensi Energi
Menurut saya, terkait tentang internasionalisasi pidana perikanan di ZEE haru mendapat perhatian serius. Karena ZEE bukan hanya menyangkut kedaulatan negara tetapi wilayah negara juga. Untuk itu perlu dan wajib bagi para penegak hukum untuk memiliki pengetahuan umum mengenai ZEE di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Untuk itu peraturan tentang ZEE yang masih tumpang tindih harus dikukuhkan, supay kita dapat mempertahankan wilayah negara kita. Karena jika belum dikukuhkan maka kita tidak dapat mengklaim wilayah itu milik kita dan tidak dapat memberikan pidana. Jalan lainnya yaitu dengan menerapkan UNCLOS.
Nama :Ady Syahputra Purba
ReplyDeleteNim : 16202105
Mata Kuliah :Pengendalian lingkungan Industri
Menurut Pendapat Saya;
Lokasi “locus delicti” pidana perikanan dapat terjadi di Perairan Indonesia, ZEE-Indonesia maupun laut lepas yang melibatkan warga Indonesia maupun negara asing. Oleh karena itu, aparat penegak hukum, penyidik (PPNS, Polri, TNI-AL), jaksa dan hakim semestinya memiliki kapasitas pengetahuan hukum yang memadai pada tingkat lokal (kearifan lokal), nasional (perundang-undangan) maupun internasional5 (konvensi internasional). Beranjak dari kondisi ini, Hatta Ali, Ketua Mahkamah Agung-RI dalam pidato Hari Jadi Mahkamah Agung ke-68 tahun 2013 menekankan pentingnya peningkatan pengetahuan dan keterampilan warga pengadilan untuk menjadi hakim yang profesional dan berintegritas.
Menurutnya, Hatta Ali, peradilan modern adalah: “ Tidak hanya dalam arti harfiah-perangkat, namun juga cara berpikir. Hal ini penting, karena ke depan, tidak hanya peradilan dituntut untuk beroperasi lebih efektif dan efisien, baik secara teknis yudisial-maupun manajemen, namun juga harus mampu berpikir antisipatif, melewati batas-batas konvensional, dan memikirkan juga aspek regional dan internasional yang mungkin akan mempengaruhi dinamika sistem peradilan kita, kesemuanya saya pikir sudah ada di depan mata kita semua dan menunggu untuk terjadi. Untuk itu kemampuan untuk mengantisipasi dan melakukan adaptasi perlu dipertimbangkan secara serius oleh jajaran aparatur peradilan kita”.
Untuk menyatukan pandangan dan meminimalisir disparitas pidana atau tidak konsistennya putusan demi tercapainya kepastian hukum dan kemanfaatan hukum, sebaiknya Mahkamah Agung duduk bersama dengan para pemangku kepentingan (Kejaksaan Agung, Polri, TNI AL, dan Ditjen PSDKP KKP) untuk mendengarkan akibat yang ditimbulkan dari adanya himbauan untuk tidak menjatuhkan pidana kurungan pengganti pidana denda.
Sekian dan Terimakasih
Nama : Yogi Mangaranap Gultom
ReplyDeleteNIM : 16202099
Kelas/jurusan : Semester Pendek/Teknik Mesin
M.kuliah : Pengendalian Ligkungan Industri (PLI)
Pendapat saya terhadap tulisan bapak Dr.Ir.Hamzah Lubis, SH.,M.Si yang berjudul Internasionalisasi Pidana Perikanan di ZEE. Hampir semua praktek penangkapan secara illegal yang terjadi di Indonesia sebagian besar dilakukan di Zona Ekonomi Eksklusif. Hal ini sejalan dengan pemerintah yang sedang gencar-gencarnya memberantas pencurian ikan. Ketidakjelasan Pasal 102 Undang-Undang Perikanan menimbulkan penafsiran yang berbeda pada hakim dalam menangani perkara. Konsekuensi meratifikasi United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS 1982) menghasilkan tanggung jawab baru bagi pemerintah untuk menerapkan aturan yang ada didalam UNCLOS 1982 menjadi hukum nasional yang berlaku di Indonesia. Termasuk ketentuan penegakan hukum terhadap kapal penangkap ikan asing yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif. Tipe penelitian ini adalah penelitian normatif yuridis dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Larangan penjatuhan hukuman badan terhadap Nahkoda atau Kepala Kamar Mesin kapal berbendera asing tidak boleh dikenai hukuman badan tapi dijatuhi hukuman denda. Ketentuan ini menimbulkan permasalahan baru, yaitu, syarat-syarat yang menyatakan denda harus dibayar, tidak dipatuhi. Hal ini menyebabkan kerugian baru bagi negara. Dalam prakteknya, terdapat perbedaan penerapan pemidanaan oleh hakim dengan dasar pertimbangan demi keadilan dan kepastian hukum.
Tantangan dan permasalahan penegakan hukum di wilayah perairan Indonesia dan ZEEI untuk mencegah dan memberantas Illegal, Unreported, and Unregulated fishing (IUUF),wajib mendapat perhatian dan dukungan semua pihak, sehingga sumber daya kelautan dan perikanan yang setiap tahun hilang ratusan triliun dapat diselamatkan dan digunakan untuk mensejahterakan masyarakat, dan bukan pihak asing yang menikmatinya.
Menurut saya, terkait tentang internasionalisasi pidana perikanan di ZEE haru mendapat perhatian serius. Karena ZEE bukan hanya menyangkut kedaulatan negara tetapi wilayah negara juga. Untuk itu perlu dan wajib bagi para penegak hukum untuk memiliki pengetahuan umum mengenai ZEE di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Untuk itu peraturan tentang ZEE yang masih tumpang tindih harus dikukuhkan, supay kita dapat mempertahankan wilayah negara kita. Karena jika belum dikukuhkan maka kita tidak dapat mengklaim wilayah itu milik kita dan tidak dapat memberikan pidana. Jalan lainnya yaitu dengan menerapkan UNCLOS. Dengan adanya internasionalisasi pidana ini dipastikan akan menurunkan aksi illegal fishing.
sekian
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
ReplyDeleteNama : Mhd Anshari Lubis
Nim : 0205172213
Kelas: Jinayah V-b
Matkul: Hukum pidana Islam
Dalam hal pembahasan ZEE (Zona Ekonomi eksklusif) ini tentunya sudah banyak di bahas. Namun yang menarik disini ialah pemerintah Indonesia kembali belum bisa untuk menetapkan wilayah zona ekonomi eksklusif nya secara keseluruhan di wilayah negara kesatuan republik Indonesia, mungkin bisa jadi karena terlalu luasnya wilayah tersebut. Akan tetapi hal tersebut menjadi riskan kiranya bila pemerintah Indonesia tidak segera mengambil langkah cepat untuk mengamankan Zee nya. Seperti di wilayah perairan Natuna yang saat ini sedang hangat-hangatnya diperbincangkan wilayah laut ini menjadi klaim dari negara RRC juga karena mengikuti hukum undang-undang negara mereka. Harus sesegera mungkin lah bagi pemerintah saat ini untuk menyelesaikan hal tersebut. Dari segi peraturan perundang-undangan Indonesia juga seharus nya tidak mengambil langkah yang kurang tepat. Misalkan adanya kapal asing yang menangkap ikan di wilayah negara kita dan lalu di proses hukum dan hasilnya kapalnya itu disitu menjadi milik negara. Namun apa yg dibuat oleh pemerintah saat ini mereka membakar kapal yang sudah dirampas tersebut di tengah laut. Seharusnya kan bisa mengambil langkah yang lebih bijaksana seperti memberikan kapal-kapal tersebut kepada nelayan warga negara kita disekitar laut tersebut sehingga memudahkan mereka dalam bekerja. Dan itu merupakan suatu hal positif yang dapat di bagi oleh pemerintah saat ini.
Sekian pendapat saya
NAMA : MICHAEL VIZAY SIAHAAN
ReplyDeleteNIM : 18202098
KELAS : 4M3
TUGAS – PENGENDALIAN LINGKUNGAN INDUSTRI
Internasionalisasi Pidana Perikanan di ZEE
Lokasi Menurut Pendapat Saya;
“locus delicti” pidana perikanan dapat terjadi di Perairan Indonesia, ZEE-Indonesia maupun laut lepas yang melibatkan warga Indonesia maupun negara asing. Oleh karena itu, aparat penegak hukum, penyidik (PPNS, Polri, TNI-AL), jaksa dan hakim semestinya memiliki kapasitas pengetahuan hukum yang memadai pada tingkat lokal (kearifan lokal), nasional (perundang-undangan) maupun internasional5 (konvensi internasional). Beranjak dari kondisi ini, Hatta Ali, Ketua Mahkamah Agung-RI dalam pidato Hari Jadi Mahkamah Agung ke-68 tahun 2013 menekankan pentingnya peningkatan pengetahuan dan keterampilan warga pengadilan untuk menjadi hakim yang profesional dan berintegritas.
- mengantisipasi dan melakukan adaptasi perlu dipertimbangkan secara serius oleh jajaran aparatur peradilan kita”.
Untuk menyatukan pandangan dan meminimalisir disparitas pidana atau tidak konsistennya putusan demi tercapainya kepastian hukum dan kemanfaatan hukum, sebaiknya Mahkamah Agung duduk bersama dengan para pemangku kepentingan (Kejaksaan Agung, Polri, TNI AL, dan Ditjen PSDKP KKP) untuk mendengarkan akibat yang ditimbulkan dari adanya himbauan untuk tidak menjatuhkan pidana kurungan pengganti pidana denda.
- Tantangan dan permasalahan penegakan hukum di wilayah perairan Indonesia dan ZEEI untuk mencegah dan memberantas Illegal, Unreported, and Unregulated fishing (IUUF),wajib mendapat perhatian dan dukungan semua pihak, sehingga sumber daya kelautan dan perikanan yang setiap tahun hilang ratusan triliun dapat diselamatkan dan digunakan untuk mensejahterakan masyarakat, dan bukan pihak asing yang menikmatinya.