MK.KDV-7.FENOMENA PELACURAN


BAB V.  FENOMENA PELACURAN

A.   KRIMINOLOGI DAN FENOMENA PELACURAN
Mempelajari dan menganalisis "Fenomena Pelacuran" harus didasari terlebih dahulu dengan pemahaman yang mendalam tentang kriminologi itu sendiri, berbagai jenis kejahatan, etiologi kejahatan, hingga reaksi  masyarakat atas kejahatan tersebut. Sepintas lalu, kita yang terlahirkan dalam keluarga dan lingkungan normal boleh jadi sangat mencela, bahkan jijik dengan yang namanya pelacur. Dengan gampangnya kita menarik kesimpulan sementara, kalau mereka, wanita yang memilih profesi pelacur disebabkan nafsu seksuilnya memang tinggi.
Kiranya tidak salah hipotesis itu, tapi hanyalah bagian kecil yang bisa dianggap sebagai persoalan "seksual semata" sehingga seseorang terjerumus dalam pelacuran. Ada yang disebabkan karena tekanan ekonomi, kemiskinan yang berlipat-lipat, ditambah musibah yang menimpa keluarganya (perceraian), jadilah mereka tersesat dalam jurang pelacuran.
Anda belajar kriminologi memang bukan belajar filsafat dengan sekelumit bahasanya yang rumit, memusingkan, penuh logika di sana-sini. Akan tetapi, salah satu tujuan filsafat, yaitu Anda diharapkan menjadi bijak menyikapi permasalahan, maka dalam kriminologi-lahAnda juga akan menemukannya.
Fenomena pelacuran telah banyak diangkat dalam layar lebar, seperti film "Ranjang Siang, Ranjang Malam" di era 1970-an. Banyak pula fenomena pelacuran dikisahkan dalam beberapa novel, seperti: "Bekisar Merah" karyaAhmad Tohari, "Terusir" karya Buya Hamka. Memang yang demikian hanyalah "fiIm" dan novel yang sifatnya "fiksi", namun tidak dapat dimungkiri kalau bahan ceritanya banyak berangkat dari realitas sosial.
Paling tidak dengan bekal "pengetahuan kriminologi" lalu dikombinasikan dengan novel "Terusir" karya Hamka, kita dapat menemukan sebab dan akibatnya terjadi pelacuran. Novel ini menarik pula dibaca untuk mereka yang memiliki "Pengetahuan Hukum" sebab di dalam ceritanya mementaskan sidang pengadilan bagi seorang ibu yang terusir dari keluarganya, hidup miskin, menikah dengan seorang pejudi, hingga terjerumus dalam dunia prostitusi karena tidak ada jalan lain yang menjadi pilihan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Singkat kata, singkat cerita, klimaks dalam novel tersebut, ia membunuh seorang laki-laki yang selidik punya selidik, laki-laki tersebut dibunuh karena akan mencelakakan anak-nya yang diketahuinya sudah menjadi seorang pengacara. Anaknya yang berprofesi pengacara, ternyata pada akhirnya menjadi kuasa hukumnya di pengadilan, kendatipun anak tersebut belum mengetahui kalau sang terdakwa, itulah ibu-nya selama ini, yang dia cari-cari.
Terungkap dalam nota pembelaan persidangan itu, "sang ibu memang seorang pelacur, tetapi kita jangan menghakiminya, dia memang pembunuh tetapi masih ada cinta dan kasih sayang untuk anaknya." Toh satu-satunya harta berharga yang ia miliki, hanyalah anaknya semata wayang, membunuh dalam keadaan tua renta, pun kalau mendapat hukuman penjara ia tidak akan lama menahan "kejamnya" jeruji besi.
Dengan belajar kriminologi kita akan menjadi manusia yang memiliki keinsafan, bijak dalam memandang permasalahan. Demikianlah manfaat pribadiyang dapat diperoleh dalam mempelajari dan menekuni kriminologi. Hasil penelitian Soedjono D. (1977) dalam bukunya "Pelacuran" melalui salah satu wawancara dengan seorang pelacur bisa memberikan gambaran kalau betapa peliknya kehidupan pelacuran.
Soedjono menceritakan ulang, dengan nama samaran Meity berasal dari Manado, pelacur merangkap hostes di bar Sunset Taman Impian Iaya Ancol. Tak pernah menyangka sebelumnya akan mengarungi dunia semacam itu, bahkan semasa sekolah sering menghinanya dengan jijik.  Pada suatu hari minggu, empat tahun lalu, diperkosa oleh ayah tirinya sendiri. Ia dijanjikan akan dibelikan motor dan berhasil dipaksa menyerahkan tubuhnya sampai dua puluh kali. Tetapi kemudian yang diterimanya terus hanyalah pil anti hamil.
Hal tersebut nyaris berkepanjangan kalau tidak ibunya sendiri memergoki perzinahan  itu dan serta merta mengusirnya. Meity tak dapat menanggung malu karena persitiwa itu diumumkan pada seluruh family dan tetangga. Maka diputuskannya menjadi hostes di Jakarta. Tidak ada keinginan lagi ke Manado. Tidak mau, biar sampai mati. Kasus yang menimpa Meity itu hanyalah bagian kecil kasusnya muncul ke permukaan, masih banyak kasus lain pastinya, ada yang terjebak dalam profesi pelacuran dengan sebab yang lain, ekonomi atau keadaan lingkungan yang memaksanya. Kadang ada yang menjadi pelacur, tidak dalam profesi tetap, hanya pada musim paceklik di kampungnya, berangkat ke kota menjadi hostes, dan setelah musim panen tiba, kembalilah ia ke kampungnya lagi.
Perlu direnungi pula sebuah cuplikan yang ditulis oleh seorang ulama yang sekaligus  sebagai psikolog, M.A.W. Brower dalam tulisannya ketika seorang pemuda berkata kepada ibunya dalam suatu pertemuan: "sebetulnya dia seorang pelacur, tetapi sang ibu menjawab: "saya tidak mau engkau menggunakan nama itu. Ibumu sendiri hanya kebetulan selamat dari nasib itu. Ineat. Begitulah kata si Ibu, mereka juga manusia."
Kata-kata ibu yang bijaksana tadi, pada titik itulah kriminologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya, akan membuka "tiraikejahatan" yang dikutuk masyarakat, seperti pelacuran dan Iatar belakangnya, yang seyogianya dicari pemecahan masaIahnya. Perbuatan manusia yang dikutuk dan disanjung bedanya amat tipis, ibarat sehelai rambut dalam rentetan peristiwa dan waktu. Syukur-syukur karena kemurahan Tuhan, kita memiliki kehidupan yang lurus, tidak mendapat stigma dan labeIisasi pelacur. Betapapun orang berbuat kesalahan, hanyalah satu perbuatan di samping ribuan perbuatan lainnya yang pernah dilakukan dan tidak melanggar norma masyarakat.
Differential Association Sutherland dalam teori subkulturnya, sebagaimana   dikemukakan oleh Soedjono D. (1977): teori tersebut bisa dijadikan bahan analisis dalam mengkaji fenome pelacuran yang masih berlanjut hingga sekarang. Bahwa dengan adanya pandangan yang bangga bagi wanita bila dapat kawin banyak kali, dan agak kecewa bila mempunyai anak laki-laki yang dalam kehidupan susah, bahkan menjadi beban, tidak seperti bila yang lahir anak perempuan yang manis, dibayangkannya kelak akan produktif, merupakan gejala ekonomis sosiokultural sebagai akibat dari adanya pelacuran, sekaligus akhirnya menjadi sebab pelacuran berlangsung terus. Dengan kata lain, pentas pelacuran telah mempertautkan antara sebab dan akibat menjadi saling pengaruh-memengaruhi.
Prostitusi dengan pelbagai kondisi yang melatarinya, ekonomi, psikologi, poin yang diemban bagi kriminolog menjadi penting dalam formulasi ketentuan pidana tentang pelacuran. Pertama, Pasal 296, Pasal 297, dan Pasal 507 KUH Pidana yang hanya menjerat pidana bagi Germo, Mucikari (Souteneur), dan Pedagang Wanita, tetapi tidak untuk pelacurnya, ratio legisnya terletak pada mereka yang memegang kendali atau dominan dalam memelihara pelacuran, dialah yang menyediakan penawaran (yaitu: Germo, Mucikari, dan Pedagang Wanita). Demikian pula dalam pelaksanaannya, sebagai akibat dari adanya pelacuran jelas berasal dari Germo, Mucikari, dan Pedagang Wanita dalam berbagai jenis dan cara, wajar adanya untuk dianggap sebagai tindakan kriminal (dapat dikriminalisasi).
Kedua, Rancangan Undang-Undang (RUU) KUH Pidana di masa mendatang yang akan  "mengkriminalisasi" persetubuhan (hubungan badan) di luar perkawinan dalam keadaan pelakunya tidak terikat dengan perkawinan, sebagai delik perzinahan. Kiranya perlu pengkajian ulang, sebab formulasi ketentuan yang demikian pastinya akan menjerat pula bagi mereka yang berprofesi sebagai pelacur. Dalam konteks ini, peran kriminologi jangan sampai dilupakan, bahwa dari berbagai sebab terjadinya pelacuran haruslah dicari jalan keluarnya terlebih dahulu. fika pelacuran terjadi karena keadaan ekonomi, kemiskinan, maka ciptakanlah lapangan kerja yang pantas di awal-awal atau dengan kata lain berikan lapangan pekerjaan bagi pelacur, lalu menuntut mereka meninggalkan profesinya.Iikalau masalah pelacuran sudah diambil alih oleh negara, dipenuhi haknya, tidak menjadi soal delik perzinahan juga akan menjerat bagi mereka yang berprofesi sebagai pelacur.
B. PENGERTIAN PELACURAN
Prostitusi atau pelacuran bukanlah hal baru yang terjadi pada hari ini, bahkan mewarnai berbagai zaman hingga melintasi generasi. Kita bisa menemui berbagai cerita tentang pelacuran dalam beberapa buku yang pernah ditulis oleh Iip Wijayanto (Fresh Chicken), atau yang ditulis oleh Moamar Emka (Jakarta Undercover) mengenai kondisi pelacuran, lengkap dengan segala mutasinya, bahkan modus operandinya. Soal siapa yang melayani dan siapa yang mencari pelayanan seksual tetap sama model, seperti yang dulu, hanya yang berubah mungkin tempatnya, dulunya rumah reyot, sekarang kebanyakan wanita-wanita pelacur dihimpun dalam tempat mewah (seperti losmen, panti pijat, hotel, dan klub malam).
Mulai di era penjajahan Belanda, dalam beberapa literatur juga diceritakan kalau  Presiden pertama di republik ini (Soekarno) pernah "memata-matai" Belanda melalui seorang pelacur. Bagi Soekarno, pelacur adalah mata-mata terbaik dunia. Dengan kemampuan mera),unya, para pelacur konon dapat menggali banyak informasi dari orang-orang Belanda yang menjadi pelanggannya. Selain itu, para pelacur dapat juga berfungsi sebagai kontraspionase dan membongkar kedok para pengikut PNI yang berkhianat (Ipnu Rano, "The Love Story Bung Karno, 2013: 11 8). Artinya, di zaman penjajahan saja ada tempat pelacuran, hingga keberadaannya masih bisa dijumpai (seperti di Jalan Nusantara, Makassar) walau kita su-
dah mencapai kemerdekaan hingga 71 tahun lamanya.
Demikianlah betapa peliknya fenomena pelacuran, sejak dulu sudah digalakkan program pemberantasan pelacuran, tetapi selalu gagal, yang terjadi malah pelacuran makin menjadi-jadi. Di abad ke-5 Kaisar Iustinian pernah memberlakukan hukuman berat terhadap germo-germo dan calo-calo pelacuran, tetapi usahanya juga gagal, karena ia sendiri memperlakukan pelacurnya dengan manja. Ini juga terjadi pada pemerintahan Louis IX di Perancis, ia mengelarkan maklumat bahwa semua pelacur akan dibuang ke luar negeri, tetapi ujung-ujungnya usahanya juga gagal, malah timbul pelacuran secara gelap yang lebih ramai daripada sebelumnya.
Keberhasilan memberantas pelacuran, nyatanya tidak gampang seperti yang dipikirkan, atau sekadar membalikan telapak tangan, sebab berbagai penyebab orang terjerumus dalam dunia gemerlap itu, bukan hanya ditentukan oleh satu faktor, seperti kemiskinan saja. Seorang bekas pelacur Ratu Theodora yang menikah dengan kaisar Iustinian, dalam usahanya menertibkan tempat pelacuran, membimbing pelacur, menuntunnya dalam hidup yang baru, diperlakukan dengan ramah, dipenuhi segala keinginannya (kecuali hanya satu: mereka tidak boleh menerima tamu laki-laki. Akan tetapi, Theodora juga gagal, banyak dari wanita-wanita eks pelacur itu bunuh diri karena putus asa, dan selebihnya mati merana jemu dan kesal hati.
Lagi-lagi persoalan pelacuran disebabkan oleh banyak keadaan, sebab pelacuran menjadi kompleks, faktor biologis, psikologis, ekonomi, geografis, hingga lingkungan, semuanya menjadi penyebab langgengnya fenomena pelacuran. Bahkan dikatakan kalau pelacuran sebagai profesi tertua di dunia, tahun berganti tahun, eranya bisa modern, tetapi pelacuran tetap saja mewarnai hampir tiap daerah (terutama perkotaan). Kata pelacuran berasal dari bahasa Latin ,,prostitution,, yang selanjutnya diadaptasi dalam bahasa Indonesia ,,prostitusi." Secara sederhana, dapat diartikan sebagai perilaku terang-terangan menyerahkan diri pada "perzinahan" tanpa adanya ikatan perkawinan. Dalam konteks ini, berbeda dengan termin perzinahan  dalam hukum negara (hukum pidana) kita Mde: Pasal 284 KUH Pidana). Perzinahan dalam pengertian hukum, yakni persetubuhan atau hubungan badan secara seksual"antara seorang yang yang telah berkeluarga (bisa suami, bisa istri), dengan orang lain yang bukan istri atau suaminya.
Adapun  dalam pandangan kriminologi, adat, bahkan agama, semua bentuk perhubungan badan, laki-laki dengan wanita, laki-laki dengan laki-laki (homoseks), wanita dengan wanita (lesbi), kendatipun homoseks dan lesbi sering dianggap sebagai kondisi abnormal, semuanya dianggap sebagai bentuk perzinahan. Dengan catatan antara wanita dengan laki-lakinya tidak terikat dalam perkawinan, baik yang belum berkeluarga maupun yang sudah berkeluarga berhubungan badan dengan oranglain (bukan suami, bukan istrinya), semuanya termasuk dalam kategori perzinahan. Sementara homoseks dan lesbi, tak dipandang ia sudah terikat dengan perkawinan atau tidak, tetap dianggap sebagai perzinahan. Dengan sederhananya, maka pelacuran dalam sudut pandang kriminologi, adat, agama, di situlah lahir pemikiran sebagai masalah sosial. Pelacuran bisa mendatangkan penyakit kelamin (Herpes Genital, Sifilis, Gonore, Klamidia, HIV/AIDS), menghancurkan rumah tangga, bahkan cenderung memicu kekerasan (Dennis Winn: " prostitution it self is no crime").
Demikianlah fenomena pelacuran, ringkasnya dapat diartikan penyerahan dri seorang wanita kepada banyak laki-laki dalam hubungan seksual (persebadanan, persetubuhan) dengan pembayaran tertentu. Jadi, unsur-unsurnya rumusan pelacuran, meliputi: (1) penyerahan diri seorang wanita (ada kesukarelaan); (2) kepada banyak laki-laki; (3) ada pembayaran tertentu (umumnya dengan uang).
Untuk lebih memahami fenomena pelacuran sebagai gejala sosial yang juga menjadi lapangan kajian kriminologi, berikut beberapa uraian mengenai pelacuran sebagaimana sebelumnya telah dihimpun oleh Soedjono D. (1977: 17-18):
a. W. A. Bonger: prostitusi adalah gejala sosial, ketika wanita menyediakan dirinya untuk perbuatan seksual sebagai mata pencahariannya;
b. Iwan Bloch: pelacuran adalah suatu bentuk tertentu dari perhubungan kelamin di luar perkawinan, dengan pola tertentu yaitu kepada siapa pun secara terbuka, dan hampir dengan selalu pemb ayaran, baik untuk persebadanan, maupun kegiatan seks lainnya yang memberi kepuasan yang diinginkan oleh bersangkutan;
c.  Commenge: prostitusi adalah suatu perbuatan ketika seorang wanita memperdagangkan atau menjual tubuhnya, yang dilakukan untukmemperoleh pembayaran dari laki-Iaki yang datang membayarnya; dan wanita tersebut tidak ada pencaharian nafkah lainnya dalam hidupnya, kecuali yang diperolehnya perhubungan sebentar-sebentar dengan banyak orang;
d. Walter C. Rechless: pelacuran tidak terbatas pada persebadanan dan hubungan kelamin semata, melainkan juga berbagai bentuk pemuasan seks lainnya;
e. George Ryley Scott: pelacuran adalah seorang laki-laki atau perempuan, yang karena semacam upah, baik berupa uang atau lainnya, atau karena semacam bentuk kesenangan pribadi dan sebagai bagian atau seluruh pekerjaannya, mengadakan perhubungan kelamin yang normal atau tidak normal dengan berbagai-bagai orang, yang sejenis dengan atau yang berlawanan jenis dengan pelacur;
f. Paul Moedikno Moeliono: pelacuran adalah penyerahan badan wanita dengan menerima bayaran kepada orang banyak, guna pemuasan nafsu seksual orang-orang tersebut.
Dengan mencermati lebih lanjut, pengertian prostitusi yang telah dikemukakan di atas, tentu akan memunculkan pertanyaan: apakah hanya wanita yang dapat berprofesi sebagai pelacur, tidak adakah laki-laki yang berprofesi sebagai pelacur? Mungkin saja ada laki-laki yang juga menjadi pelacur, tetapi jumlahnya sangat sedikit dan jarang sekali dijumpai. Pun kebanyakan yang terjadi, seorang laki-laki yang menjadi pelacur kerap disewa oleh wanita-wanita kaya tertentu, karena sang wanita tidak mendapat kepuasan seks dengan suaminya. Pelacur pria dikenal dengan berbagai nama dan eufemisme, seperti: laki-laki pendamping, gigolo, anak laki-laki sewaan, model, pemijat dan preman.
Akan tetapi, lagi-lagi ini hanya bagian kecil, sulit ditemukan di negara seperti Indonesia adanya tempat pelacuran yang menghimpun banyak laki-laki untuk memberikan pelayanan atau pemuasan seks kepada banyakwanita. Tentunya menjadi mustahil kalau laki-laki hendak disamakan'dengan wanita yang berprofesi sebagai pelacur, sebab pada umumnya sering dijumpai dalam praktik pelacuran, yang bisa berperan sebagai pelacur dan sanggup melayani berapa saja laki-laki yang mengingini dirinya untuk persebadanan, hanyalah wanita. Seorang wanita unggul dalam persoalan seksual, karena dalam waktu berturut-turut memungkinkan melayani laki- laki hingga lima orang atau lebih secara berturut-turut, sekalipun dalam pelayanannya itu merasa tersiksa, jijik, namun organ seks wanita memungkinkan dilahirkannya persetubuhan dengan banyak orang secara beruntun. Berbanding terbalik dengan seorang laki-laki, sekalipun ia menyediakan diri untuk melayani banyak wanita dalam hubungan persebadanan, ia terkendala dengan organ seksual laki-laki yang secara naturalnya tidak mengizinkan. Laki-laki tidak akan bisa melayani secara berturut-turut beberapa wanita yang menginginkan persebadanan, sehingga andaikata ada wanita yang menghendaki persebadanan tersebut, tidak akan memperoleh yang dikehendakinya, seperti yang biasa dicapai oleh seorang laki-laki dari seorang wanita pelacur.
Dengan demikian, kalau melihat pada kenyataannya, maka prostitusi dapat diartikan hubungan seksual antara wanita dan laki-laki ibarat yang dilakukan oleh suami-istri dalam keluarga, yang rata-rata bertindak sebagai pemberi kepuasan seks yaitu wanita yang bisa melayani banyak laki-laki, dan selanjutnya si wanitanya mendapat pembayaran dari laki-laki atas persebadanan atau persetubuhan atau pemberian kesenangan lain yang telah diberikannya.

C. PELACURAN SEBAGAI MASALAH SOSIAL
Berbicara masalah pelacuran di Indonesia akan langsung menyinggung susunan masyarakat, harga perempuan, dan masalah moral. Meskipun pelacuran menurut hukum positif
di Indonesia masih kontroversi tentang legal tidaknya. Sebagian ahli berpendapat bahwa pelacuran merupakan kejahatan, akan tetapi adajugayang berpendapat bahwa pelacuran bukanlah kejahatan. Terlepas dari itu semua, pelacuran adalah sebuah masalah sosial.
Hunt (A.S. Alam, 2OO5: 23) berpendapat bahwa untuk adanya masalah sosial harus ada dua syarat dipenuhi. Pertama, hants ada pengakuan secara luas bahwa keadaan itu memengaruhi kesejahteraan sebagian anggota masyarakat; Kedua,harus ada keyakinan bahwa keadaan itu dapat diubah. Kesejahteraan sosial yang dimaksud, yakni adanya standar-standar tertentu yang diberikan untuk menentukan segala sesuatunya disebut sejahtera, baik itu dari segi keselamatan, ketenteraman, dan kemakmuran (jasmani, rohani, serta sosial) dalam kehidupan bersama. Dari segi kesehatan masyarakat, pengaruh pelacuran terhadap penularan penyakit kelamin di masyarakat sangat besar. Paransipe berpendapat bahwa dalam kenyataan pelacur-pelacur sesuai dengan mata pencaharian mereka, selalu mengadakan hubungan yang berganti-ganti. Tamu-tamu adalah anggota masyarakat dari luar golongan pelacur dan dapat membawa penyakit kelamin di dalam keluarganya. Hal ini memengaruhi kesejahteraan sebagian anggota masyarakat, karena penyakit kelamin memengaruhi keselamatan, ketenteraman, dan kemakmuran di dalam kehidupan bersama.
Dari segi pandangan agama Islam, pelacuran menyangkut nilai-nilai, yaitu nilai baik dan buruk. pengertian tentang baik dan buruk antara lain disebutkan di dalam Hukum Islam yang bersumber dari Al-Quranul Karim dan Hadis Nabi Besar Muhammad SAW. Di dalam hukum Islam tidak ada secara langsung menyebut tentang pelacuran tetapi hanya mengenal perzinahan. Pengertian zina lebih luas dari pelacuran (pelacuran adalah salah satu bentuk dari perzinahan). Dengan demikian, pelacuran mengganggu kesejahteraan sebagian besar anggota masyarakat, terutama Umat Islam, karena bertentangan dengan ajaran- ajarannya.
Dari adat Bugis Makassar, pelacuran mendatangkan .,siri,,melanggar adat keramat Bugis Makassar, mendatangkan kesusahan pada orangtua, sanak keluarga, dan mendatangkan aib kepada pelakunya. perbuatan tersebut merupakan pelanggaran delik adat. Syarat kedua untuk dapat disebut masalah sosial menurut Hunt, yakni harus ada keyakinan bahwa masalah itu dapat diubah. Pelacur di rumah bordil dapat dihilangkan kalau memang usaha-usaha keras itu dilakukan dengan sungguh-sungguh, dan kontrol masyarakat yang mengutuk perbuatan itu kuat dan kontinu. Selain itu, dengan adanya usaha-usaha sistematis dari hasil-hasil penelitian ilmiah mengenai pelacuran, dan tindakan-tindakan yang diambil berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka masih ada secercah harapan bahwa pelacuran di Indonesia dapat diminimalisasi.

D. FAKTOR PENYEBAB TIMBULNYA PELACURAN
Kemungkinan di antara kita ada yang tidak sepakat kalau dikatakan bahwa faktor utama yang mendorong timbulnya pelacuran berhubungan dengan sifat alami manusia terutama faktor biologis. Bukankah pemenuhan kebutuhan seksualitas merupakan Kebutuhan Dasar Manusia (KDM), sebagaimana ia ditempatkan dalam kebutuhan fisiologis oleh Abraham Maslow.
Pegadaiannya, tidaklah mungkin laki-laki akan mendatangi tempat pelacuran atau sebaliknya tidak mungkin ada wanita yang melacurkan dirinya kalau tidak ada kondisi natural seksual yang demikian. Pernyataan yang seperti ini tampaknya juga dibenarkan oleh M.A.W. Brower yang mengatakan: bahwa "jabatan" pelacur sudah sangat tua; sejak pernikahan menjadi suatu lembaga sudah mulai terjadi perceraian. Alasan utama katanya adalah alasan biiogis.
Hingga saat ini, faktor biologis sebagai penyebab timbulnya pelacuran juga masih sering dkemukakan kembali dalam beberapa penelitian tentang itu, kerap lebih dikonkretkan bahwa ada juga yang menjadi pelacur karena bersifat hiperseksual. Tentu dengan tidak menafikan beberapa faktor lainnya, seperti kemiskinan dan faktor psikologis lainnya (misalnya, perceraian yang berujung pada broken home).
Apakah pelacuran dapat diberantas ataukah kapan kirakira ia akan lenyap di muka bumi? Menarik mengikuti satire yang dikatakan oleh Agustinus: "heem d'e hoeren uit dc werld
weg. En gii zult er dz oorzaakuan ziin, dat zii uol ontucht geuordenis"-pelacuran sama pentingnya dengan selokan atau riool dalam sebuah istana. Bahwa mungkin tanpa selokan sebuah istana indah atau bagaimanapun megahnya lambat laun menjadi kotor karena tidak ada jalan untuk membuang kotoran yang terdapat di dalam istana.
Begini cara memahami satire Agustinus, bisa dibayangseandainya di kota Makassar,  tidak ada kanal, tidak ada  selokan, maka jika musim penghujan tiba praktis akan terjadi banjir setiap hari. ]adi, anggap saja tempat pelacuran sebagai kanal atau selokan yang berfungsi menampung orang-orang kotor seperti pelacur itu. Di atas segalanya, perlu digarisbawahi tidaklah mungkin di tengah keadaban kita sebagai manusiayang memiliki batas norma dan nilai-nilai membiarkan kekotoran terjadi terus- menerus.
Selain faktor utama yakni faktor biologis dan sifat alami manusia secara keseluruhan, hingga terjadi pelacuran, terdapat pula faktor kejiwaan si pelaku dan faktor sosial ekonomi yang turut mewarnai penyebab pelacuran dalam kehidupan masyarakat, berikut uraiannya:

1. Faktor Kejiwaan
Eleanor dan Sheldon dalam bukunya, Fiue Hundred Delinq uent Wo men mengemukakan kalau adanya interaksi antara faktor-faktor sosial ekonomi dengan pembentukan kepribadian dari wanita yang kemudian melacurkan diri. Kemp dalam tulisannya " Physical and Psychological Causes of Prostitution and The Means of Combating Them," me-
nyebutkan adanya unsur mental deficiency pada diri wanita yang melancurkan diri.
Teori SigmunFreud membahas mengenai orang menjadi pelacur karena telah mengalami kekecewaan pada permulaan kehidupan seksualnya. Hal tersebut juga disebutkan oleh Halleck, bahwa faktor psikologis yang dialami anak pada tahun-tahun pertamanya dapat membawa kepada perbuatan yang dapat digolongkan kejahatan pada masa kecewanya. Selain itu, faktor kurangnya kasih sayang juga disebut Halleck sebagai salah satu faktor terjadinya pelacuran.

2. Faktor Sosial Ekonomi
Untuk menjelaskan faktor dari segi sosial ekonomi, maka dapat dilihat dari Teori Anomie dari Emile Durkheim. Teori Labeling, Teori Anomle Mertom, Teori Sutherland tentang
Dffirential Association, dan adanya kondisi sosial ekonomi dari Reckless. Bahwa saling hubungan antara berbagai faktor tersebut di atas dapat melahirkan pelacuran. Tidak hanya faktor ekonomi, tetapi juga faktor sosial dan hukum sangat menentukan terjadinya pelacuran.
Selain kedua faktor tersebut, A.S. AIam (2005: 122) menambahkan bahwa terjadinya pelacuran disebabkan oleh dua variabel, yaitu:
a. Variabel pendorong: faktor kemiskinan kemudian berpengaruh pada pendidikan WTS yang  amat rendah, tidak adanya keterampilan kerja, dan adanya pengalaman seksual sebelumnya menyebabkan seseorang melacurkan dirinya;
b. Variabel penentu: dari hasil penelitian yang kemudian ditulis dalam bukunya "Pelacuran dalam Masyarakat" A.S Alam berkesimpulan: "variabel penentu lebih melihat pada diri si pelacur itu sendiri, apakah ia melacurkan diri karena kesadaran sendiri atau karena ditipu."
Jadi, untuk mengukur faktor penyebab pelacuran tidak dapat hanya bersandarkan pada satu sebab saja. Penyebab pelacuran dalam menilai alasan yang menjadi pemicu utama sehingga memilih profesi itu, tentu tidak dapat dilepaskan dari kondisi yang melatari masing-masing si pelakunya pula.
Kadangkala kita menjadi latah, hanya melihat pada satu penyebab. Ini yang dinamakan budaya permisif. Contoh sederhana yang dikatakan budaya permisif, di kalangan keluarga banyak orangtua curiga kalau anak perempuannya tidak pulang ke rumah padahal sudah larut malam, selalu berpikir jangan sampai anaknya di luar sana mengikuti pergaulan bebas, sampai-sampai anaknya dikhawatirkan akan hamil di luar nikah. Ironisnya, ia tidak pernah berpikir, kalau anak-anak lakinya pulang larut malam, akan juga mengikuti pergaulan bebas, dan menghamili anak perempuan orang lain.
Ini juga terjadi pada sebagian orang, yang hanya mengatakan kalau penyebab terjadinya pelacuran, semata-mata bersumber dari wanita pelacurnya, tetapi laki-laki yang datang ke tempat pelacuran bukan dianggap sebagai penyebab terjadinya pelacuran. Padahal kedua-duanya melanggar norma sosial, sama-sama melakukan perbuatan keji.
Lelaki hidung belang menghujat pelacur, manusia kotor, sebaliknya pelacur membalasnya dengan kalimat: "dasar laki-laki tidak setia". Terbukti, di antara keduanya sama-sama keji, karena tidak mungkin terjadi perhubungan badan dengan pembayaran kalau salah satunya ada yang tidak sepakat.
Kisney (Soedion, 1977:92) dari hasil penelitiannya terhadap 12.000 (dua belas ribu) orang mengemukakan alasan mengapa laki-laki berhubungan dengan pelacur: (1) sebab tidak atau kurangnya jalan keluar bagi kebutuhan seksual mereka; (2) sebab berhubungan dengan pelacur, lebih gampang dan lebih murah dianggap oleh mereka yang butuh penyaluran seksual; (3) sebab hubungan dengan pelacur melalui bayaran, begitu selesai dapat segera melupakannya.

E. UPAYA PENANGGULANGAN PELACURAN
Hingga kini sudah banyak tindakan yang digalakkan dalam penanggulangan masalah pelacuran dengan menggunakan pendekatan kriminologi. Mulai dari cara represif hingga cara persuasif. Cara represif yakni dengan "mengkriminalisasi" perbuatannya dalam kaidah hukum pidana beserta dengan sanksi yang diancamkannya. Semua pelaku yang terlibat, seperti germo, calo-calonya, pelacurnya sendiri, dan laki-laki yang memanfaatkan pelayanan seksual pelacur, di
kenakan pidana. Semuanya cara ini termasuk dalam tindakan represif. Adapun cara persuasif yakni dengan mengadaptasi "teori pemidanaan" rehabilitasi dan resosialisasi ke pelaku pelacurnya sendiri.
Metode ini biasanya dilaksanakan dengan pendaftaran dan pengadministrasian untuk pengawasan yang dilakukan oleh iawatan sosial, diselenggarakan lokalisasi, yang diikuti pembinaan fisik (pendidikan latihan kerja) dan pembinaan mental (ceramah rohani, bimbingan konseling, mengupayakan kembali kekeluarganya).
Usaha-usaha pemerintah untuk mengatasi pelacuran dapat dibedakan atas dua sistem, yaitu:
1. Sistem Abolition atau PenghaPusan
Sistem ini digunakan dengan cara menghapuskan rumah-rumah germo, dan menghukum wanita-wanita pelacur. Tujuan dari pada sistem abolition, di antaranya:
a.   Penghapusan pendaftaran rumah-rumah germo dan wanita pelaku;
b. Adanya polisi-polisi wanita yang menggantikan polisi susila dengan tugas mencegah pelanggaran hukum;
c. Menghukum semua manusia yang menjalankan dan memberi bantuan kepada siapa pun untuk menjalankan kemaksiatan.
d. Memberi penerangan tentang bahayanya penyakit kelamin;
e. Cara pendaftaran diganti dengan adanya undang-undang tentang kesusilaan tentang pelacuran.

2. Sistem Pendaftaran
Sistem pendaftaran lebih pada pengeksploitasian kepada pelaku pelacuran, ketika keuntungan-keuntungan dapat masuk dalam kas pemerintah. Sebagai gantinya wanita penghuni
mempunyai kartu pendaftaran dan dipelihara dengan baik. Tujuan dari sistem ini, sebagai berikut:
a. Jika tidak ada pendaftaran, pelacuran akan merajalela dengan merdeka;

b. Tidak mungkin pelacuran dirintangi, lebih baik disalurkan saja dan dikontrol;
c. Untuk memperkenankan kejahatan yang kecil dan mencegah kejahatan yang lebih besar;
d. Gampang menyelidiki kejahatan-kejahatan lainnya;
e. Memudahkan dinas kesehatan memeriksa mereka;
f. Mengisi kas negara.
Terhadap dua sistem yang dikemukakan di atas, patutlah disadari kalau penanggulangan masalah prostitusi membutuhkan waktu yang panjang. Kriminologi telah berperan dominan dalam mencegah hingga pada tindakan represif atas maraknya praktik pelacuran. Setidak-tidaknya dengan pendekatan kriminologi dalam menangani fenomena pelacuran, ia harus mencari symptom yang mendorong seseorang ke arah timbulnya pelacuran. Lalu, diusahkanlah kegiatan-kegiatan untuk mengurangi kondisi dan faktor-faktor yang merupakan simtom pelacuran itu, baik yang menyangkut masalah biologis, sosial, ekonomi, budaya, dan kondisi geografis mereka.


Sumber:
A.S.Alam dan Amir Ilyas.2018. Kriminologi Suatu Pengantar. Prenadamedia Group. Jakarta  (hal.105 -122)  

LEMBAR KERJA
Tuliskan jawaban pada laman komentar  bahan kuliah ini dengan menyebutan nama, Nim, dan mata kuliah diambil.
1. Apa manfaat mempelajari kriminologi dalam hubungannya dengan fenomena pelacuran?
2. Bagaimana batasan pengertian pelacuran?
3. Apa yang membedakan pengertian pelacuran berdasarkan kriminologi dan hukum pidana?
4.Mengapa pelacuran dikategorikan sebagai masalah sosial?
5.Apa yang menjadi faktor penyebab terjadinya pelacuran?
6. Bagaimanakah upaya penanggulangan pelacuran?
7. Sebutkan tujuan diadakannya sistem pendaftaran terhadap pelacuran?


15 comments:

  1. Nama. : Rocky Al'amin.
    Nim. :18202048(4m2)
    Teknik mesin

    1.harus didasari dengan terlebih dahulu dengan pemahaman yang mendalam tentang kriminologi itu sendiri.berbagainjensi kejahatan etiologi kejahatan hingga reaksi masyarakat atas kejahatan tersebut kita yang terlahirkan dalam keluarga dan lingkungan normal bolehjadi sangat mencelabahkan jijik dengan yang namanya pelacur
    2.Prostitusi atau pelacuran bukanlah hal baru yang terjadi pada hari ini, bahkan mewarnai berbagai zaman hingga melintasi generasi. Kita bisa menemui berbagai cerita tentang pelacuran dalam beberapa buku yang pernah ditulis oleh Iip Wijayanto (Fresh Chicken), atau yang ditulis oleh Moamar Emka (Jakarta Undercover) mengenai kondisi pelacuran, lengkap dengan segala mutasinya, bahkan modus operandinya. Soal siapa yang melayani dan siapa yang mencari pelayanan seksual tetap sama model, seperti yang dulu, hanya yang berubah mungkin tempatnya, dulunya rumah reyot,
    3.Mempelajari dan menganalisis "Fenomena Pelacuran" harus didasari terlebih dahulu dengan pemahaman yang mendalam tentang kriminologi itu sendiri, berbagai jenis kejahatan, etiologi kejahatan, hingga reaksi masyarakat atas kejahatan tersebut. Sepintas lalu, kita yang terlahirkan dalam keluarga dan lingkungan normal boleh jadi sangat mencela, bahkan jijik dengan yang namanya pelacur. Dengan gampangnya kita menarik kesimpulan sementara, kalau mereka, wanita yang memilih profesi pelacur disebabkan nafsu seksuilnya memang tinggi
    4.Berbicara masalah pelacuran di Indonesia akan langsung menyinggung susunan masyarakat, harga perempuan, dan masalah moral. Meskipun pelacuran menurut hukum positif
    di Indonesia masih kontroversi tentang legal tidaknya. Sebagian ahli berpendapat bahwa pelacuran merupakan kejahatan, akan tetapi adajugayang berpendapat bahwa pelacuran bukanlah kejahatan. Terlepas dari itu semua, pelacuran adalah sebuah masalah sosial.
    5.tekana ekonomi
    *Jalan instan
    *Hidup mewah
    *Narkoba
    6.Hingga kini sudah banyak tindakan yang digalakkan dalam penanggulangan masalah pelacuran dengan menggunakan pendekatan kriminologi. Mulai dari cara represif hingga cara persuasif. Cara represif yakni dengan "mengkriminalisasi" perbuatannya dalam kaidah hukum pidana beserta dengan sanksi yang diancamkannya. Semua pelaku yang terlibat, seperti germo, calo-calonya, pelacurnya sendiri, dan laki-laki yang memanfaatkan pelayanan seksual pelacur, dikena kan pidana
    7.Sistem pendaftaran lebih pada pengeksploitasian kepada pelaku pelacuran, ketika keuntungan-keuntungan dapat masuk dalam kas pemerintah. Sebagai gantinya wanita penghuni
    mempunyai kartu pendaftaran dan dipelihara dengan baik. Tujuan dari sistem ini, sebagai berikut:
    a. Jika tidak ada pendaftaran, pelacuran akan merajalela dengan merdeka;

    b. Tidak mungkin pelacuran dirintangi, lebih baik disalurkan saja dan dikontrol;
    c. Untuk memperkenankan kejahatan yang kecil dan mencegah kejahatan yang lebih besar;
    d. Gampang menyelidiki kejahatan-kejahatan lainnya;
    e. Memudahkan dinas kesehatan memeriksa mereka;
    f. Mengisi kas negara.

    ReplyDelete
  2. Replies
    1. Nama :DANIEL RAMA SETIAWAN SITUMORANG
      Nim :18202074 (4M2)
      Teknik Mesin

      1.harus didasari dengan terlebih dahulu dengan pemahaman yang mendalam tentang kriminologi itu sendiri.berbagai njensi kejahatan etiologi kejahatan hingga reaksi masyarakat atas kejahatan tersebut kita yang terlahirkan dalam keluarga dan lingkungan normal boleh jadi sangat mencelabahkan jijik dengan yang namanya pelacur

      2.Prostitusi atau pelacuran bukanlah hal baru yang terjadi pada hari ini, bahkan mewarnai berbagai zaman hingga melintasi generasi. Kita bisa menemui berbagai cerita tentang pelacuran dalam beberapa buku yang pernah ditulis oleh Iip Wijayanto (Fresh Chicken), atau yang ditulis oleh Moamar Emka (Jakarta Undercover) mengenai kondisi pelacuran, lengkap dengan segala mutasinya, bahkan modus operandinya. Soal siapa yang melayani dan siapa yang mencari pelayanan seksual tetap sama model, seperti yang dulu, hanya yang berubah mungkin tempatnya, dulunya rumah reyot,

      3.Mempelajari dan menganalisis "Fenomena Pelacuran" harus didasari terlebih dahulu dengan pemahaman yang mendalam tentang kriminologi itu sendiri, berbagai jenis kejahatan, etiologi kejahatan, hingga reaksi masyarakat atas kejahatan tersebut. Sepintas lalu, kita yang terlahirkan dalam keluarga dan lingkungan normal boleh jadi sangat mencela, bahkan jijik dengan yang namanya pelacur. Dengan gampangnya kita menarik kesimpulan sementara, kalau mereka, wanita yang memilih profesi pelacur disebabkan nafsu seksuilnya memang tinggi

      4.Berbicara masalah pelacuran di Indonesia akan langsung menyinggung susunan masyarakat, harga perempuan, dan masalah moral. Meskipun pelacuran menurut hukum positif
      di Indonesia masih kontroversi tentang legal tidaknya. Sebagian ahli berpendapat bahwa pelacuran merupakan kejahatan, akan tetapi adajugayang berpendapat bahwa pelacuran bukanlah kejahatan. Terlepas dari itu semua, pelacuran adalah sebuah masalah sosial.

      5.tekana ekonomi
      *Jalan instan
      *Hidup mewah
      *Narkoba

      6.Hingga kini sudah banyak tindakan yang digalakkan dalam penanggulangan masalah pelacuran dengan menggunakan pendekatan kriminologi. Mulai dari cara represif hingga cara persuasif. Cara represif yakni dengan "mengkriminalisasi" perbuatannya dalam kaidah hukum pidana beserta dengan sanksi yang diancamkannya. Semua pelaku yang terlibat, seperti germo, calo-calonya, pelacurnya sendiri, dan laki-laki yang memanfaatkan pelayanan seksual pelacur, dikena kan pidana

      7.Sistem pendaftaran lebih pada pengeksploitasian kepada pelaku pelacuran, ketika keuntungan-keuntungan dapat masuk dalam kas pemerintah. Sebagai gantinya wanita penghuni
      mempunyai kartu pendaftaran dan dipelihara dengan baik. Tujuan dari sistem ini, sebagai berikut:
      a. Jika tidak ada pendaftaran, pelacuran akan merajalela dengan merdeka;
      b. Tidak mungkin pelacuran dirintangi, lebih baik disalurkan saja dan dikontrol;
      c. Untuk memperkenankan kejahatan yang kecil dan mencegah kejahatan yang lebih besar;
      d. Gampang menyelidiki kejahatan-kejahatan lainnya;
      e. Memudahkan dinas kesehatan memeriksa mereka;
      f. Mengisi kas negara.

      Delete
  3. NAMA : RAJA DOLI PRASETIAWAN RITONGA
    NIN : 18202078
    KELAS : 4 M 2
    JURUSAN : MESIN
    1.harus didasari dengan terlebih dahulu dengan pemahaman yang mendalam tentang kriminologi itu sendiri.berbagai njensi kejahatan etiologi kejahatan hingga reaksi masyarakat atas kejahatan tersebut kita yang terlahirkan dalam keluarga dan lingkungan normal boleh jadi sangat mencelabahkan jijik dengan yang namanya pelacur

    2.Prostitusi atau pelacuran bukanlah hal baru yang terjadi pada hari ini, bahkan mewarnai berbagai zaman hingga melintasi generasi. Kita bisa menemui berbagai cerita tentang pelacuran dalam beberapa buku yang pernah ditulis oleh Iip Wijayanto (Fresh Chicken), atau yang ditulis oleh Moamar Emka (Jakarta Undercover) mengenai kondisi pelacuran, lengkap dengan segala mutasinya, bahkan modus operandinya. Soal siapa yang melayani dan siapa yang mencari pelayanan seksual tetap sama model, seperti yang dulu, hanya yang berubah mungkin tempatnya, dulunya rumah reyot,

    3.Mempelajari dan menganalisis "Fenomena Pelacuran" harus didasari terlebih dahulu dengan pemahaman yang mendalam tentang kriminologi itu sendiri, berbagai jenis kejahatan, etiologi kejahatan, hingga reaksi masyarakat atas kejahatan tersebut. Sepintas lalu, kita yang terlahirkan dalam keluarga dan lingkungan normal boleh jadi sangat mencela, bahkan jijik dengan yang namanya pelacur. Dengan gampangnya kita menarik kesimpulan sementara, kalau mereka, wanita yang memilih profesi pelacur disebabkan nafsu seksuilnya memang tinggi

    4.Berbicara masalah pelacuran di Indonesia akan langsung menyinggung susunan masyarakat, harga perempuan, dan masalah moral. Meskipun pelacuran menurut hukum positif
    di Indonesia masih kontroversi tentang legal tidaknya. Sebagian ahli berpendapat bahwa pelacuran merupakan kejahatan, akan tetapi adajugayang berpendapat bahwa pelacuran bukanlah kejahatan. Terlepas dari itu semua, pelacuran adalah sebuah masalah sosial.

    5.tekana ekonomi
    *Jalan instan
    *Hidup mewah
    *Narkoba

    6.Hingga kini sudah banyak tindakan yang digalakkan dalam penanggulangan masalah pelacuran dengan menggunakan pendekatan kriminologi. Mulai dari cara represif hingga cara persuasif. Cara represif yakni dengan "mengkriminalisasi" perbuatannya dalam kaidah hukum pidana beserta dengan sanksi yang diancamkannya. Semua pelaku yang terlibat, seperti germo, calo-calonya, pelacurnya sendiri, dan laki-laki yang memanfaatkan pelayanan seksual pelacur, dikena kan pidana

    7.Sistem pendaftaran lebih pada pengeksploitasian kepada pelaku pelacuran, ketika keuntungan-keuntungan dapat masuk dalam kas pemerintah. Sebagai gantinya wanita penghuni
    mempunyai kartu pendaftaran dan dipelihara dengan baik. Tujuan dari sistem ini, sebagai berikut:
    a. Jika tidak ada pendaftaran, pelacuran akan merajalela dengan merdeka;
    b. Tidak mungkin pelacuran dirintangi, lebih baik disalurkan saja dan dikontrol;
    c. Untuk memperkenankan kejahatan yang kecil dan mencegah kejahatan yang lebih besar;
    d. Gampang menyelidiki kejahatan-kejahatan lainnya;
    e. Memudahkan dinas kesehatan memeriksa mereka;
    f. Mengisi kas negara.

    ReplyDelete
  4. Nama: Togap Siagian
    Nim:18202067
    Kelas:4m2
    1.harus didasari dengan terlebih dahulu dengan pemahaman yang mendalam tentang kriminologi itu sendiri.berbagai njensi kejahatan etiologi kejahatan hingga reaksi masyarakat atas kejahatan tersebut kita yang terlahirkan dalam keluarga dan lingkungan normal boleh jadi sangat mencelabahkan jijik dengan yang namanya pelacur

    2.Prostitusi atau pelacuran bukanlah hal baru yang terjadi pada hari ini, bahkan mewarnai berbagai zaman hingga melintasi generasi. Kita bisa menemui berbagai cerita tentang pelacuran dalam beberapa buku yang pernah ditulis oleh Iip Wijayanto (Fresh Chicken), atau yang ditulis oleh Moamar Emka (Jakarta Undercover) mengenai kondisi pelacuran, lengkap dengan segala mutasinya, bahkan modus operandinya. Soal siapa yang melayani dan siapa yang mencari pelayanan seksual tetap sama model, seperti yang dulu, hanya yang berubah mungkin tempatnya, dulunya rumah reyot,

    3.Mempelajari dan menganalisis "Fenomena Pelacuran" harus didasari terlebih dahulu dengan pemahaman yang mendalam tentang kriminologi itu sendiri, berbagai jenis kejahatan, etiologi kejahatan, hingga reaksi masyarakat atas kejahatan tersebut. Sepintas lalu, kita yang terlahirkan dalam keluarga dan lingkungan normal boleh jadi sangat mencela, bahkan jijik dengan yang namanya pelacur. Dengan gampangnya kita menarik kesimpulan sementara, kalau mereka, wanita yang memilih profesi pelacur disebabkan nafsu seksuilnya memang tinggi

    4.Berbicara masalah pelacuran di Indonesia akan langsung menyinggung susunan masyarakat, harga perempuan, dan masalah moral. Meskipun pelacuran menurut hukum positif
    di Indonesia masih kontroversi tentang legal tidaknya. Sebagian ahli berpendapat bahwa pelacuran merupakan kejahatan, akan tetapi adajugayang berpendapat bahwa pelacuran bukanlah kejahatan. Terlepas dari itu semua, pelacuran adalah sebuah masalah sosial.

    5.tekana ekonomi
    *Jalan instan
    *Hidup mewah
    *Narkoba

    6.Hingga kini sudah banyak tindakan yang digalakkan dalam penanggulangan masalah pelacuran dengan menggunakan pendekatan kriminologi. Mulai dari cara represif hingga cara persuasif. Cara represif yakni dengan "mengkriminalisasi" perbuatannya dalam kaidah hukum pidana beserta dengan sanksi yang diancamkannya. Semua pelaku yang terlibat, seperti germo, calo-calonya, pelacurnya sendiri, dan laki-laki yang memanfaatkan pelayanan seksual pelacur, dikena kan pidana

    7.Sistem pendaftaran lebih pada pengeksploitasian kepada pelaku pelacuran, ketika keuntungan-keuntungan dapat masuk dalam kas pemerintah. Sebagai gantinya wanita penghuni
    mempunyai kartu pendaftaran dan dipelihara dengan baik. Tujuan dari sistem ini, sebagai berikut:
    a. Jika tidak ada pendaftaran, pelacuran akan merajalela dengan merdeka;
    b. Tidak mungkin pelacuran dirintangi, lebih baik disalurkan saja dan dikontrol;
    c. Untuk memperkenankan kejahatan yang kecil dan mencegah kejahatan yang lebih besar;
    d. Gampang menyelidiki kejahatan-kejahatan lainnya;
    e. Memudahkan dinas kesehatan memeriksa mereka;
    f. Mengisi kas negara.

    ReplyDelete
  5. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  6. Nama : Muhammad Saini
    Nim :18202056 (4M2)
    Teknik Mesin

    1.harus didasari dengan terlebih dahulu dengan pemahaman yang mendalam tentang kriminologi itu sendiri.berbagai njensi kejahatan etiologi kejahatan hingga reaksi masyarakat atas kejahatan tersebut kita yang terlahirkan dalam keluarga dan lingkungan normal boleh jadi sangat mencelabahkan jijik dengan yang namanya pelacur

    2.Prostitusi atau pelacuran bukanlah hal baru yang terjadi pada hari ini, bahkan mewarnai berbagai zaman hingga melintasi generasi. Kita bisa menemui berbagai cerita tentang pelacuran dalam beberapa buku yang pernah ditulis oleh Iip Wijayanto (Fresh Chicken), atau yang ditulis oleh Moamar Emka (Jakarta Undercover) mengenai kondisi pelacuran, lengkap dengan segala mutasinya, bahkan modus operandinya. Soal siapa yang melayani dan siapa yang mencari pelayanan seksual tetap sama model, seperti yang dulu, hanya yang berubah mungkin tempatnya, dulunya rumah reyot,

    3.Mempelajari dan menganalisis "Fenomena Pelacuran" harus didasari terlebih dahulu dengan pemahaman yang mendalam tentang kriminologi itu sendiri, berbagai jenis kejahatan, etiologi kejahatan, hingga reaksi masyarakat atas kejahatan tersebut. Sepintas lalu, kita yang terlahirkan dalam keluarga dan lingkungan normal boleh jadi sangat mencela, bahkan jijik dengan yang namanya pelacur. Dengan gampangnya kita menarik kesimpulan sementara, kalau mereka, wanita yang memilih profesi pelacur disebabkan nafsu seksuilnya memang tinggi

    4.Berbicara masalah pelacuran di Indonesia akan langsung menyinggung susunan masyarakat, harga perempuan, dan masalah moral. Meskipun pelacuran menurut hukum positif
    di Indonesia masih kontroversi tentang legal tidaknya. Sebagian ahli berpendapat bahwa pelacuran merupakan kejahatan, akan tetapi adajugayang berpendapat bahwa pelacuran bukanlah kejahatan. Terlepas dari itu semua, pelacuran adalah sebuah masalah sosial.

    5.tekana ekonomi
    *Jalan instan
    *Hidup mewah
    *Narkoba

    6.Hingga kini sudah banyak tindakan yang digalakkan dalam penanggulangan masalah pelacuran dengan menggunakan pendekatan kriminologi. Mulai dari cara represif hingga cara persuasif. Cara represif yakni dengan "mengkriminalisasi" perbuatannya dalam kaidah hukum pidana beserta dengan sanksi yang diancamkannya. Semua pelaku yang terlibat, seperti germo, calo-calonya, pelacurnya sendiri, dan laki-laki yang memanfaatkan pelayanan seksual pelacur, dikena kan pidana

    7.Sistem pendaftaran lebih pada pengeksploitasian kepada pelaku pelacuran, ketika keuntungan-keuntungan dapat masuk dalam kas pemerintah. Sebagai gantinya wanita penghuni
    mempunyai kartu pendaftaran dan dipelihara dengan baik. Tujuan dari sistem ini, sebagai berikut:
    a. Jika tidak ada pendaftaran, pelacuran akan merajalela dengan merdeka;
    b. Tidak mungkin pelacuran dirintangi, lebih baik disalurkan saja dan dikontrol;
    c. Untuk memperkenankan kejahatan yang kecil dan mencegah kejahatan yang lebih besar;
    d. Gampang menyelidiki kejahatan-kejahatan lainnya;
    e. Memudahkan dinas kesehatan memeriksa mereka;
    f. Mengisi kas negara.

    ReplyDelete
  7. nama : ardiansah sitepu
    nim : 18202047
    kelas : 4m2
    jurusan : T.MESIN

    1,Harus didasari dengan terlebih dahulu dengan pemahaman yang mendalam tentang kriminologi itu sendiri.berbagainjensi kejahatan etiologi kejahatan hingga reaksi masyarakat atas kejahatan tersebut kita yang terlahirkan dalam keluarga dan lingkungan normal bolehjadi sangat mencelabahkan jijik dengan yang namanya pelacur.

    2.Prostitusi atau pelacuran bukanlah hal baru yang terjadi pada hari ini, bahkan mewarnai berbagai zaman hingga melintasi generasi. Kita bisa menemui berbagai cerita tentang pelacuran dalam beberapa buku yang pernah ditulis oleh Iip Wijayanto (Fresh Chicken), atau yang ditulis oleh Moamar Emka (Jakarta Undercover) mengenai kondisi pelacuran, lengkap dengan segala mutasinya, bahkan modus operandinya.

    3.Dalam konteks ini, berbeda dengan termin perzinahan dalam hukum negara (hukum pidana) kita Mde: Pasal 284 KUH Pidana). Perzinahan dalam pengertian hukum, yakni persetubuhan atau hubungan badan secara seksual"antara seorang yang yang telah berkeluarga (bisa suami, bisa istri), dengan orang lain yang bukan istri atau suaminya.
    Adapun dalam pandangan kriminologi, adat, bahkan agama, semua bentuk perhubungan badan, laki-laki dengan wanita, laki-laki dengan laki-laki (homoseks), wanita dengan wanita (lesbi), kendatipun homoseks dan lesbi sering dianggap sebagai kondisi abnormal, semuanya dianggap sebagai bentuk perzinahan. Dengan catatan antara wanita dengan laki-lakinya tidak terikat dalam perkawinan, baik yang belum berkeluarga maupun yang sudah berkeluarga berhubungan badan dengan oranglain (bukan suami, bukan istrinya), semuanya termasuk dalam kategori perzinahan.

    4.karena Berbicara masalah pelacuran di Indonesia akan langsung menyinggung susunan masyarakat, harga perempuan, dan masalah moral. Meskipun pelacuran menurut hukum positif
    di Indonesia masih kontroversi tentang legal tidaknya. Sebagian ahli berpendapat bahwa pelacuran merupakan kejahatan, akan tetapi adajugayang berpendapat bahwa pelacuran bukanlah kejahatan. Terlepas dari itu semua, pelacuran adalah sebuah masalah sosial.

    5.Kemungkinan di antara kita ada yang tidak sepakat kalau dikatakan bahwa faktor utama yang mendorong timbulnya pelacuran berhubungan dengan sifat alami manusia terutama faktor biologis. Bukankah pemenuhan kebutuhan seksualitas merupakan Kebutuhan Dasar Manusia (KDM), sebagaimana ia ditempatkan dalam kebutuhan fisiologis oleh Abraham Maslow.
    selain faktor utama ada juga faktor biologis yaitu faktor kejiwaan dn faktor sosial ekonomi,

    6.Hingga kini sudah banyak tindakan yang digalakkan dalam penanggulangan masalah pelacuran dengan menggunakan pendekatan kriminologi. Mulai dari cara represif hingga cara persuasif. Cara represif yakni dengan "mengkriminalisasi" perbuatannya dalam kaidah hukum pidana beserta dengan sanksi yang diancamkannya. Semua pelaku yang terlibat, seperti germo, calo-calonya, pelacurnya sendiri, dan laki-laki yang memanfaatkan pelayanan seksual pelacur, dikena kan pidana

    7.Sistem pendaftaran lebih pada pengeksploitasian kepada pelaku pelacuran, ketika keuntungan-keuntungan dapat masuk dalam kas pemerintah. Sebagai gantinya wanita penghuni
    mempunyai kartu pendaftaran dan dipelihara dengan baik. Tujuan dari sistem ini, sebagai berikut:
    a. Jika tidak ada pendaftaran, pelacuran akan merajalela dengan merdeka;
    b. Tidak mungkin pelacuran dirintangi, lebih baik disalurkan saja dan dikontrol;
    c. Untuk memperkenankan kejahatan yang kecil dan mencegah kejahatan yang lebih besar;
    d. Gampang menyelidiki kejahatan-kejahatan lainnya;
    e. Memudahkan dinas kesehatan memeriksa mereka;
    f. Mengisi kas negara.

    ReplyDelete
  8. NAMA : BOBBY SUGANDI NABABAN
    NIM : 18202095
    KLS : 4M3
    JURUSAN : T.MESIN

    1..harus didasari dengan terlebih dahulu dengan pemahaman yang mendalam tentang kriminologi itu sendiri.berbagai njensi kejahatan etiologi kejahatan hingga reaksi masyarakat atas kejahatan tersebut kita yang terlahirkan dalam keluarga dan lingkungan normal boleh jadi sangat mencelabahkan jijik dengan yang namanya pelacur
    2. Prostitusi atau pelacuran bukanlah hal baru yang terjadi pada hari ini, bahkan mewarnai berbagai zaman hingga melintasi generasi. Kita bisa menemui berbagai cerita tentang pelacuran dalam beberapa buku yang pernah ditulis oleh Iip Wijayanto (Fresh Chicken), atau yang ditulis oleh Moamar Emka (Jakarta Undercover) mengenai kondisi pelacuran, lengkap dengan segala mutasinya, bahkan modus operandinya. Soal siapa yang melayani dan siapa yang mencari pelayanan seksual tetap sama model, seperti yang dulu, hanya yang berubah mungkin tempatnya, dulunya rumah reyot,
    3. Mempelajari dan menganalisis "Fenomena Pelacuran" harus didasari terlebih dahulu dengan pemahaman yang mendalam tentang kriminologi itu sendiri, berbagai jenis kejahatan, etiologi kejahatan, hingga reaksi masyarakat atas kejahatan tersebut. Sepintas lalu, kita yang terlahirkan dalam keluarga dan lingkungan normal boleh jadi sangat mencela, bahkan jijik dengan yang namanya pelacur. Dengan gampangnya kita menarik kesimpulan sementara, kalau mereka, wanita yang memilih profesi pelacur disebabkan nafsu seksuilnya memang tinggi

    4. karena Berbicara masalah pelacuran di Indonesia akan langsung menyinggung susunan masyarakat, harga perempuan, dan masalah moral. Meskipun pelacuran menurut hukum positif
    di Indonesia masih kontroversi tentang legal tidaknya. Sebagian ahli berpendapat bahwa pelacuran merupakan kejahatan, akan tetapi adajugayang berpendapat bahwa pelacuran bukanlah kejahatan. Terlepas dari itu semua, pelacuran adalah sebuah masalah sosial.
    5. .tekana ekonomi
    *Jalan instan
    *Hidup mewah
    *Narkoba
    6. .Hingga kini sudah banyak tindakan yang digalakkan dalam penanggulangan masalah pelacuran dengan menggunakan pendekatan kriminologi. Mulai dari cara represif hingga cara persuasif. Cara represif yakni dengan "mengkriminalisasi" perbuatannya dalam kaidah hukum pidana beserta dengan sanksi yang diancamkannya. Semua pelaku yang terlibat, seperti germo, calo-calonya, pelacurnya sendiri, dan laki-laki yang memanfaatkan pelayanan seksual pelacur, dikena kan pidana
    7. Sistem pendaftaran lebih pada pengeksploitasian kepada pelaku pelacuran, ketika keuntungan-keuntungan dapat masuk dalam kas pemerintah. Sebagai gantinya wanita penghuni
    mempunyai kartu pendaftaran dan dipelihara dengan baik. Tujuan dari sistem ini, sebagai berikut:
    a. Jika tidak ada pendaftaran, pelacuran akan merajalela dengan merdeka;
    b Untuk memperkenankan kejahatan yang kecil dan mencegah kejahatan yang lebih besar;
    c Gampang menyelidiki kejahatan-kejahatan lainnya;
    d Tidak mungkin pelacuran dirintangi, lebih baik disalurkan saja dan dikontrol;
    e mengisi kas negara

    ReplyDelete
  9. Nama: Yesayanto Ngongira Sinaga
    Nim: 18202118
    Kelas: 4m3


    1.harus didasari dengan terlebih dahulu dengan pemahaman yang mendalam tentang kriminologi itu sendiri.berbagai njensi kejahatan etiologi kejahatan hingga reaksi masyarakat atas kejahatan tersebut kita yang terlahirkan dalam keluarga dan lingkungan normal boleh jadi sangat mencelabahkan jijik dengan yang namanya pelacur

    2.Prostitusi atau pelacuran bukanlah hal baru yang terjadi pada hari ini, bahkan mewarnai berbagai zaman hingga melintasi generasi. Kita bisa menemui berbagai cerita tentang pelacuran dalam beberapa buku yang pernah ditulis oleh Iip Wijayanto (Fresh Chicken), atau yang ditulis oleh Moamar Emka (Jakarta Undercover) mengenai kondisi pelacuran, lengkap dengan segala mutasinya, bahkan modus operandinya. Soal siapa yang melayani dan siapa yang mencari pelayanan seksual tetap sama model, seperti yang dulu, hanya yang berubah mungkin tempatnya, dulunya rumah reyot,

    3.Mempelajari dan menganalisis "Fenomena Pelacuran" harus didasari terlebih dahulu dengan pemahaman yang mendalam tentang kriminologi itu sendiri, berbagai jenis kejahatan, etiologi kejahatan, hingga reaksi masyarakat atas kejahatan tersebut. Sepintas lalu, kita yang terlahirkan dalam keluarga dan lingkungan normal boleh jadi sangat mencela, bahkan jijik dengan yang namanya pelacur. Dengan gampangnya kita menarik kesimpulan sementara, kalau mereka, wanita yang memilih profesi pelacur disebabkan nafsu seksuilnya memang tinggi

    4.Berbicara masalah pelacuran di Indonesia akan langsung menyinggung susunan masyarakat, harga perempuan, dan masalah moral. Meskipun pelacuran menurut hukum positif
    di Indonesia masih kontroversi tentang legal tidaknya. Sebagian ahli berpendapat bahwa pelacuran merupakan kejahatan, akan tetapi adajugayang berpendapat bahwa pelacuran bukanlah kejahatan. Terlepas dari itu semua, pelacuran adalah sebuah masalah sosial.

    5.tekana ekonomi
    *Jalan instan
    *Hidup mewah
    *Narkoba

    6.Hingga kini sudah banyak tindakan yang digalakkan dalam penanggulangan masalah pelacuran dengan menggunakan pendekatan kriminologi. Mulai dari cara represif hingga cara persuasif. Cara represif yakni dengan "mengkriminalisasi" perbuatannya dalam kaidah hukum pidana beserta dengan sanksi yang diancamkannya. Semua pelaku yang terlibat, seperti germo, calo-calonya, pelacurnya sendiri, dan laki-laki yang memanfaatkan pelayanan seksual pelacur, dikena kan pidana

    7.Sistem pendaftaran lebih pada pengeksploitasian kepada pelaku pelacuran, ketika keuntungan-keuntungan dapat masuk dalam kas pemerintah. Sebagai gantinya wanita penghuni
    mempunyai kartu pendaftaran dan dipelihara dengan baik. Tujuan dari sistem ini, sebagai berikut:
    a. Jika tidak ada pendaftaran, pelacuran akan merajalela dengan merdeka;
    b. Tidak mungkin pelacuran dirintangi, lebih baik disalurkan saja dan dikontrol;
    c. Untuk memperkenankan kejahatan yang kecil dan mencegah kejahatan yang lebih besar;
    d. Gampang menyelidiki kejahatan-kejahatan lainnya;
    e. Memudahkan dinas kesehatan memeriksa mereka;
    f. Mengisi kas negara.

    ReplyDelete
  10. Nama : Elma Raisa Hasibuan
    Nim : 0205173253
    Kelas : Jinayah VI C
    Mata Kuliah : Kriminologi dan Victimologi

    1. Apa manfaat mempelajari kriminologi dalam hubungannya dengan fenomena pelacuran?
    Jawab:
    Mempelajari dan menganalisis "Fenomena Pelacuran" harus didasari terlebih dahulu dengan pemahaman yang mendalam tentang kriminologi itu sendiri, berbagai jenis kejahatan, etiologi kejahatan, hingga reaksi masyarakat atas kejahatan tersebut. Kita dapat menemukan sebab dan akibatnya terjadi pelacuran. Dengan mempelajari kriminologi kita akan menjadi manusia yang memiliiki keinsafan bijak dalam memandang permasalahan.

    2. Bagaimana batasan pengertian pelacuran?
    Jawab:
    Penyerahan dri seorang wanita kepada banyak laki-laki dalam hubungan seksual (persebadanan, persetubuhan) dengan pembayaran tertentu. Jadi, unsur-unsurnya rumusan pelacuran, meliputi: (1) penyerahan diri seorang wanita (ada kesukarelaan); (2) kepada banyak laki-laki; (3) ada pembayaran tertentu (umumnya dengan uang).

    3. Apa yang membedakan pengertian pelacuran berdasarkan kriminologi dan hukum pidana?
    Jawab:
    Adapun dalam pandangan kriminologi, adat, bahkan agama, semua bentuk perhubungan badan, laki-laki dengan wanita, laki-laki dengan laki-laki (homoseks), wanita dengan wanita (lesbi), kendatipun homoseks dan lesbi sering dianggap sebagai kondisi abnormal, semuanya dianggap sebagai bentuk perzinahan. Dengan catatan antara wanita dengan laki-lakinya tidak terikat dalam perkawinan, baik yang belum berkeluarga maupun yang sudah berkeluarga berhubungan badan dengan oranglain (bukan suami, bukan istrinya), semuanya termasuk dalam kategori perzinahan.
    Berbeda dengan termin perzinahan dalam hukum negara (hukum pidana) kita Mde: Pasal 284 KUH Pidana). Perzinahan dalam pengertian hukum, yakni persetubuhan atau hubungan badan secara seksual"antara seorang yang yang telah berkeluarga (bisa suami, bisa istri), dengan orang lain yang bukan istri atau suaminya.

    4. Mengapa pelacuran dikategorikan sebagai masalah sosial?
    Jawab:
    Berbicara masalah pelacuran di Indonesia akan langsung menyinggung susunan masyarakat, harga perempuan, dan masalah moral. Meskipun pelacuran menurut hukum positif di Indonesia masih kontroversi tentang legal tidaknya. Sebagian ahli berpendapat bahwa pelacuran merupakan kejahatan, akan tetapi adajugayang berpendapat bahwa pelacuran bukanlah kejahatan. Terlepas dari itu semua, pelacuran adalah sebuah masalah sosial.

    ReplyDelete
  11. SAMBUNGAN JAWABAN




    5. Apa yang menjadi faktor penyebab terjadinya pelacuran?
    Jawab:
    Selain faktor utama yakni faktor biologis dan sifat alami manusia secara keseluruhan, hingga terjadi pelacuran, terdapat pula faktor kejiwaan si pelaku dan faktor sosial ekonomi yang turut mewarnai penyebab pelacuran dalam kehidupan masyarakat.


    6. Bagaimanakah upaya penanggulangan pelacuran?
    Jawab:
    Sudah banyak tindakan yang digalakkan dalam penanggulangan masalah pelacuran dengan menggunakan pendekatan kriminologi. Mulai dari cara represif hingga cara persuasif. Cara represif yakni dengan "mengkriminalisasi" perbuatannya dalam kaidah hukum pidana beserta dengan sanksi yang diancamkannya. Semua pelaku yang terlibat, seperti germo, calon-calonya, pelacurnya sendiri, dan laki-laki yang memanfaatkan pelayanan seksual pelacur, dikenakan pidana. Adapun cara persuasif yakni dengan mengadaptasi "teori pemidanaan" rehabilitasi dan resosialisasi ke pelaku pelacurnya sendiri.


    7. Sebutkan tujuan diadakannya sistem pendaftaran terhadap pelacuran?
    Jawab:
    Sistem pendaftaran lebih pada pengeksploitasian kepada pelaku pelacuran, ketika keuntungan-keuntungan dapat masuk dalam kas pemerintah. Sebagai gantinya wanita penghuni mempunyai kartu pendaftaran dan dipelihara dengan baik. Tujuan dari sistem ini, sebagai berikut:
    a. Jika tidak ada pendaftaran, pelacuran akan merajalela dengan merdeka;
    b. Tidak mungkin pelacuran dirintangi, lebih baik disalurkan saja dan dikontrol;
    c. Untuk memperkenankan kejahatan yang kecil dan mencegah kejahatan yang lebih besar;
    d. Gampang menyelidiki kejahatan-kejahatan lainnya;
    e. Memudahkan dinas kesehatan memeriksa mereka;
    f. Mengisi kas negara.

    ReplyDelete
  12. Nama : Duti Nabila
    Nim : 0205172224
    Kelas : Jinayah VI C
    Mata Kuliah : Kriminologi dan Victimologi

    1.Mempelajari dan menganalisis "Fenomena Pelacuran" harus didasari terlebih dahulu dengan pemahaman yang mendalam tentang kriminologi itu sendiri, berbagai jenis kejahatan, etiologi kejahatan, hingga reaksi masyarakat atas kejahatan tersebut. Kita dapat menemukan sebab dan akibatnya terjadi pelacuran. Dengan mempelajari kriminologi kita akan menjadi manusia yang memiliiki keinsafan bijak dalam memandang permasalahan.

    2. Penyerahan dri seorang wanita kepada banyak laki-laki dalam hubungan seksual (persebadanan, persetubuhan) dengan pembayaran tertentu. Jadi, unsur-unsurnya rumusan pelacuran, meliputi:
    (1) penyerahan diri seorang wanita (ada kesukarelaan)
    (2) kepada banyak laki-laki
    (3) ada pembayaran tertentu (umumnya dengan uang).

    3.- Dalam pandangan kriminologi, adat, bahkan agama, semua bentuk perhubungan badan, laki-laki dengan wanita, laki-laki dengan laki-laki (homoseks), wanita dengan wanita (lesbi), kendatipun homoseks dan lesbi sering dianggap sebagai kondisi abnormal, semuanya dianggap sebagai bentuk perzinahan. Dengan catatan antara wanita dengan laki-lakinya tidak terikat dalam perkawinan, baik yang belum berkeluarga maupun yang sudah berkeluarga berhubungan badan dengan oranglain (bukan suami, bukan istrinya), semuanya termasuk dalam kategori perzinahan.
    -Berbeda dengan termin perzinahan dalam hukum negara (hukum pidana) kita Mde: Pasal 284 KUH Pidana). Perzinahan dalam pengertian hukum, yakni persetubuhan atau hubungan badan secara seksual"antara seorang yang yang telah berkeluarga (bisa suami, bisa istri), dengan orang lain yang bukan istri atau suaminya.

    4. Berbicara masalah pelacuran di Indonesia akan langsung menyinggung susunan masyarakat, harga perempuan, dan masalah moral. Meskipun pelacuran menurut hukum positif di Indonesia masih kontroversi tentang legal tidaknya. Sebagian ahli berpendapat bahwa pelacuran merupakan kejahatan, akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa pelacuran bukanlah kejahatan. Terlepas dari itu semua, pelacuran adalah sebuah masalah sosial.

    5. Selain faktor utama yakni faktor biologis dan sifat alami manusia secara keseluruhan, hingga terjadi pelacuran, terdapat pula faktor kejiwaan si pelaku dan faktor sosial ekonomi yang turut mewarnai penyebab pelacuran dalam kehidupan masyarakat.

    6. Hingga kini sudah banyak tindakan yang digalakkan dalam penanggulangan masalah pelacuran dengan menggunakan pendekatan kriminologi. Mulai dari cara represif hingga cara persuasif. Cara represif yakni dengan "mengkriminalisasi" perbuatannya dalam kaidah hukum pidana beserta dengan sanksi yang diancamkannya. Semua pelaku yang terlibat, seperti germo, calon-calonya, pelacurnya sendiri, dan laki-laki yang memanfaatkan pelayanan seksual pelacur, dikenakan pidana. Adapun cara persuasif yakni dengan mengadaptasi "teori pemidanaan" rehabilitasi dan resosialisasi ke pelaku pelacurnya sendiri.

    7. Sistem pendaftaran lebih pada pengeksploitasian kepada pelaku pelacuran, ketika keuntungan-keuntungan dapat masuk dalam kas pemerintah. Sebagai gantinya wanita penghuni mempunyai kartu pendaftaran dan dipelihara dengan baik. Tujuan dari sistem ini, sebagai berikut:
    a. Jika tidak ada pendaftaran, pelacuran akan merajalela dengan merdeka;
    b. Tidak mungkin pelacuran dirintangi, lebih baik disalurkan saja dan dikontrol;
    c. Untuk memperkenankan kejahatan yang kecil dan mencegah kejahatan yang lebih besar;
    d. Memudahkan dinas kesehatan memeriksa mereka;

    ReplyDelete
  13. Nama : Mahfuzhah Alawiyah
    Nim : 0205172239
    Kelas : Jinayah 6c
    Mata Kuliah : Kriminology dan Victimology

    1. Mempelajari dan menganalisis "Fenomena Pelacuran" harus didasari terlebih dahulu dengan pemahaman yang mendalam tentang kriminologi itu sendiri, berbagai jenis kejahatan, etiologi kejahatan, hingga reaksi masyarakat atas kejahatan tersebut. Sepintas lalu, kita yang terlahirkan dalam keluarga dan lingkungan normal boleh jadi sangat mencela, bahkan jijik dengan yang namanya pelacur. Dengan gampangnya kita menarik kesimpulan sementara, kalau mereka, wanita yang memilih profesi pelacur disebabkan nafsu seksuilnya memang tinggi. belajar kriminologi memang bukan belajar filsafat dengan sekelumit bahasanya yang rumit, memusingkan, penuh logika di sana-sini. Akan tetapi, salah satu tujuan filsafat, yaitu Anda diharapkan menjadi bijak menyikapi permasalahan, maka dalam kriminologi-lah juga akan menemukannya.
    2. Fenomena pelacuran, ringkasnya dapat diartikan penyerahan dri seorang wanita kepada banyak laki-laki dalam hubungan seksual (persebadanan, persetubuhan) dengan pembayaran tertentu. Jadi, unsur-unsurnya rumusan pelacuran, meliputi: (1) penyerahan diri seorang wanita (ada kesukarelaan); (2) kepada banyak laki-laki; (3) ada pembayaran tertentu (umumnya dengan uang).
    3. Kata pelacuran berasal dari bahasa Latin ,,prostitution,, yang selanjutnya diadaptasi dalam bahasa Indonesia ,,prostitusi." Secara sederhana, dapat diartikan sebagai perilaku terang-terangan menyerahkan diri pada "perzinahan" tanpa adanya ikatan perkawinan. Dalam konteks ini, berbeda dengan termin perzinahan dalam hukum negara (hukum pidana) kita Mde: Pasal 284 KUH Pidana). Perzinahan dalam pengertian hukum, yakni persetubuhan atau hubungan badan secara seksual"antara seorang yang yang telah berkeluarga (bisa suami, bisa istri), dengan orang lain yang bukan istri atau suaminya.

    ReplyDelete
  14. SAMBUNGAN JAWABAN
    4. Adanya masalah sosial harus ada dua syarat dipenuhi. Pertama, hants ada pengakuan secara luas bahwa keadaan itu memengaruhi kesejahteraan sebagian anggota masyarakat; Kedua,harus ada keyakinan bahwa keadaan itu dapat diubah. Kesejahteraan sosial yang dimaksud, yakni adanya standar-standar tertentu yang diberikan untuk menentukan segala sesuatunya disebut sejahtera, baik itu dari segi keselamatan, ketenteraman, dan kemakmuran (jasmani, rohani, serta sosial) dalam kehidupan bersama. Dari segi kesehatan masyarakat, pengaruh pelacuran terhadap penularan penyakit kelamin di masyarakat sangat besar. Paransipe berpendapat bahwa dalam kenyataan pelacur-pelacur sesuai dengan mata pencaharian mereka, selalu mengadakan hubungan yang berganti-ganti. Tamu-tamu adalah anggota masyarakat dari luar golongan pelacur dan dapat membawa penyakit kelamin di dalam keluarganya. Hal ini memengaruhi kesejahteraan sebagian anggota masyarakat, karena penyakit kelamin memengaruhi keselamatan, ketenteraman, dan kemakmuran di dalam kehidupan bersama.
    5. Faktor utama yakni faktor biologis dan sifat alami manusia secara keseluruhan, hingga terjadi pelacuran, terdapat pula faktor kejiwaan si pelaku dan faktor sosial ekonomi yang turut mewarnai penyebab pelacuran dalam kehidupan masyarakat.
    6. Penanggulangan masalah pelacuran dengan menggunakan pendekatan kriminologi. Mulai dari cara represif hingga cara persuasif. Cara represif yakni dengan "mengkriminalisasi" perbuatannya dalam kaidah hukum pidana beserta dengan sanksi yang diancamkannya. Semua pelaku yang terlibat, seperti germo, calo-calonya, pelacurnya sendiri, dan laki-laki yang memanfaatkan pelayanan seksual pelacur, dikenakan pidana. Semuanya cara ini termasuk dalam tindakan represif. Adapun cara persuasif yakni dengan mengadaptasi "teori pemidanaan" rehabilitasi dan resosialisasi ke pelaku pelacurnya sendiri. Metode ini biasanya dilaksanakan dengan pendaftaran dan pengadministrasian untuk pengawasan yang dilakukan oleh iawatan sosial, diselenggarakan lokalisasi, yang diikuti pembinaan fisik (pendidikan latihan kerja) dan pembinaan mental (ceramah rohani, bimbingan konseling, mengupayakan kembali kekeluarganya).
    7. Sistem pendaftaran;
    a. Jika tidak ada pendaftaran, pelacuran akan merajalela dengan merdeka;
    b. Tidak mungkin pelacuran dirintangi, lebih baik disalurkan saja dan dikontrol;
    c. Untuk memperkenankan kejahatan yang kecil dan mencegah kejahatan yang lebih besar;
    d. Gampang menyelidiki kejahatan-kejahatan lainnya;
    e. Memudahkan dinas kesehatan memeriksa mereka;
    f. Mengisi kas negara.

    ReplyDelete