Dr.Ir.Hamzah Lubis, SH.,M.Si
Ketua Pusat Kajian
Energi Terbarukan ITM
Indonesia adalah negara besar di bidang
energi. Minyaknya melimpah ruah bersama gas bumi dan batubaranya. Ekonomi
negara ditopang ekspor minyak dan gas bumi, sehingga Indonesia dipercaya menjadi ketua
negera-negara penghasil minyak dunia (OPEC). Itu dulu. Sekarang, ketahanan
energinya dipertanyakan. Kita menjadi negara pengimpor minyak. Kenaikan harga
minyak dunia, bukan hanya membuat ketar-ketir keuangan negara, tapi membuat
masyarakat kecil kebelingsatan.
Penguasaan Energi
Sebagian besar, energi Indonesia kelola
(baca: dikuasai) Amerika Serikat (AS). Dimulai dengan Stanvac, ketika akhir
perang dunia ke-2, disusul Standard Oil
of California (Socal), Texas Company
(Texaco) yang berubah menjadi PT. Caltek. Investor minyak dan gas (Migas) AS
mulai merajai bumi Nusantara. Menurut Direktur Indonesia Resources Studies
(IRESS) Marwan Batubara, AS tak hanya mengambil alih migas dari tangan penjajah
Belanda tetapi juga dari tangan bangsa Indonesia sendiri.
Penguasaan AS dan negara asing lainnya
di sektor Migas sekarang ini mencapai 70-80 persen. Perusahaan negara asing
lainnya seperti British Petreleum (Inggris), Total (Perancis), State Oil
(Norwegia), ENI (Italia),dan lainnya.
Sisanya dikelola Pertamina dan perusahaan dalam negeri. Dominasi
perusahaan AS tak hanya disektor energi, tetapi juga di sektor mineral dan
tambang. Dua perusahaan AS yang saat ini mendominasi sektor mineral dan tambang adalah PT.Freeport
Indonesia (FI) dan PT.Newmont.
Ketahanan Energi
Posisi ketahanan energi Indonesia
semakin merosot dalam dalam beberapa tahun belakangan ini. Berdasarkan data
yang dirilis Dewan Energi Dunia, Indonesia berada diperingkat ke-69 dari 129
negara pada tahun 2014. Peringkat itu melorot tajam dibandingkan dengan
tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2010, Indonesia masih berada diperingkat
ke-29 dan tahun 2011 ada diperingkat ke-47 kemudian tahun 2014 menduduki
peringkat 129.
Indonesia akan terus menjadi net
importer minyak jika tidak melakukan langkah-langkah untuk mendapatkan cadangan
minyak baru. Dengan diimpornya 60 persen kebutuhan BBM nasional dan semakin
besar jumlahnya, akan semakin besar pula ketergantungan Indonesia terhadap
harga BBM dunia.
Pemerintahan Joko Widodo-Yusuf Kalla
menyadari urgensinya masalah energi ini. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional 2015-2019, kedaulatan energi dan ketenagalistrikan masuk dalam
prioritas ke-7 Nawacita, yaitu mewujutkan kemandirian ekonomi dengan
menggerakkan sektor-sektor strategis domestik ekonomi domestik. Kedaulatan
energi merupakan sasaran sektor ESDM.
Tidak mudah mewujutkan Nawacita ke-7
ini. Kedaulatan energi adalah kemampuan bangsa untuk menetapkan kebijakan,
mengawasi pelaksanaannya, dan memastikan jaminan ketersediaan energi dengan
harga terjangkau dan mudah diakses, baik rumah tanggal, industri maupun
kementerian/lembaga/pemda.
Kedaulatan Energi
Kita masih memiliki pandangan lama
tentang energi ketika Indonesia mengalami “boming minyak” paling tidak kita
masih merasa menjadi negara pengekspor minyak dan/atau penghasil minyak. Bangsa
Indonesia masih terlena dengan anggapan
bahwa negara ini kaya akan minyak bumi. Padahal cadangan minyak bumi Indonesia
hanya 0,2 persen dari cadangan minyak dunia dan hanya cukup untuk kurun 11
tahun. BBM adalah bahan bakar impor. Apabila hal ini terus berlanjut, pada
tahun 2018 Indonesia akan menjadi negara pengimpor BBM nomor satu di dunia.
Solusi berikutnya, adalah pengembangan energi terbarukan, seperti energi
biomassa, nabati, energi panas bumi, gas alam, air dan angin.
Kebijakan energeri terbarukan sudah
jelas dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi. Peraturan
Pemerintah Nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional dan dokumen
RUEN. Dewan Energi Nasional (DEN) telah
mengesahkan Rencana Umum Energi Nasional,22 Juni 2016 lalu.
Salah satu isi butir RUEN adalah:
Pengembangan energi baru terbarukan 23
persen pada tahun 2025 harus dicapai. Tidak boleh mundur dan semua daya upaya
harus dikerahkan ke sana”. Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa dokumen RUEN
adalah arah dan peta jalan energi Indonesia sampai tahun 2050. Mengacu kepada
isi RUEN, pemerintah akan membangun inprasturuktur energi, mendorong konservasi
energi, meningkatkan penguasaan teknologi
dibidang energi dan menjadikan nuklir menjadi salah-satu pilihan energi
terakhir. Penggunaan energi nuklir harus dilakukan dengan melalui riset terbuka
kerjasama internasional dengan melibatkan ahli nuklir dalam negeri.
Energi Terbarukan
Indonesia memiliki berlimpah energi
terbarukan. Data Komisi Energi Nasional, potensi energi terbarukan Indonesia mencapai 800
gigawatt, baru digunakan sekitar 1 persen. Energi terbarukan tersebut,
diantaranya potensi panas bumi 16.502 MW dimanfaatkan 1.341 MW, potensi energi
hidro 75.000 MW dimanfaatkan 7.059 MW, potensi mini-mikrohidro 769,7 MW dimanfaatkan
512 MW, potensi angin 3-6 meter/detik
(950 GW) dimanafaatkan 1,33 MW,
potensi energi matahari 4,8 kWh/m2/hari (112 GW Peak) dimanfaatkan 452,78 MW, potensi gas metana batubara 453 MW, potensi
gas batuan serpih/ shale gas 574 TSCF, panas bumi (28,8 GW) dan energi arus laut (60GW). Potensi biomassa di
Indonesia, 32.654 MW, namun baru 5,2 persen yang digunakan.
Indonesia telah dianugerahi potensi energi migas dan energi terbarukan yang besar. Indonesia semestinya mengelola
potensi ini dengan baik sehingga tidak menjadi malapatetaka energi. Cukup sudah pengalaman mengelola migas yang
ketika semuanya terkuras, Indonesia
mengalami “kutukan energi” dari negara pengeskpor besar migas menjadi negara
pengimpor terbesar minyak. Ketika kita mula melirik energi baru terbarukan,
semoga kita tidak salah kelola, yang menikmatinya bangsa asing, mengalami
“kutukan energi” kedua, menjadi negara pengimpor energi terbarukan nantinya.
Tulisan Dr.Ir.Hamzah Lubis,SH.M.Si berjudul “Kedaulatan Energi” telah dimuat pada Surat Kabar Prestasi Reformasi No. 510, tgl.13 Februari
2017, hal.6 Kol.1-7.
No comments:
Post a Comment