MK.KDV-11. PERSPEKTIF VIKTIMOLOGI



Pendahuluan
Tulisan ini mencoba untuk mengeksplorasi bekerjanya peradilan pidana dalam mewujudkan perlindungan terhadap korban. Hal ini mencakup berbagai persoalan untuk menjawab benarkah hukum pidana melaksanakan janji-janji hukum dengan memberikan perlindungan bagi korban, dan benarkah bekerjanya hukum pidana dan penerapannya dalam peradilan pidana menimbulkan efek yang dikehendaki berupa perlindungan bagi korban.
Berdasarkan permasalahan bagaimana proses perlindungan korban, tulisan ini bertujuan mengidentifikasi dan mengeksplorasi perlindungan hukum terhadap korban dalam bekerjanya lembaga dan pranata hukum dalam peradilan pidana, serta menjelaskan proses sosial perlindungan terhadap korban melalui kajian viktimologi.
Dalam hal ini akan ditelusuri bagaimanakah peradilan pidana mewujudkan perlindungan korban dengan mengakomodasi hak-hak korban melalui data kejahatan yang telah diproses, diseleksi oleh aparat penegak hukum dalam proses bekerjanya criminal justice system yang dialami korban/masyarakat.
Bekerjanya hukum merupakan suatu paradigma yang berkembang dalam viktimologi, dan selaras dengan pemikiran kritis dalam kriminologi yang membawa perspektif baru pula dalam viktimologi untuk mengkaji permasalahan korban. Hal ini tak lepas dari pengaruh perkembangan dalam kriminologi setelah 1970-an, yakni dengan lahirnya kriminologi kritis yang memperluas dan meredefinisi kejahatan.[1] Untuk dapat memahami persoalan perlindungan korban dalam peradilan pidana sebagai proses sosial, maka tak lepas dari pemahaman bekerjanya fungsi hukum dalam keseluruhan realitas sosial.
Perubahan paradigma dalam kriminologi memberikan pemahaman salam viktimologi, timbulnya kesadaran bahwa masalah kejahatan atau kausa kejahatan (proses penimbulan korban) tidak cukup dipelajari melalui perbuatannya (mazhab klasik) dan/atau pelakunya (mazhab positivistis). Konteks yang dipelajari dalam kriminologi kritis yaitu terbentuknya masyarakat yang lebih berkeadilan sosial dengan mempelajari seluruh proses latar belakang perilaku dari agen-agen control sosial (aparat penegak hukum).[2] Oleh karena itu, di samping pelanggaran undang-undang, juga perundang-undangan pidana dan penerapannya menjadi fokus persoalan untuk mengkaji bekerjanya kepentingan yang memengaruhi para pihak yang terlibat dalam proses viktimisasi terhadap korban, yaitu aparat penegak hukum, termasuk bagaimanakah penegak hukum berinterpretasi dan bertindak dalam interaksinya dengan korban, pelaku/perpetrator.
Viktimologi berkembang dalam kriminologi hubungan/criminology of relationship.[3] Paradigma korban ini selaras dengan perkembangan kriminologi waktu itu secara khusus memusatkan perhatian pada arti penting peranan korban dalam kompleksitas terjadinya kejahatan.[4] Perlindungan korban dengan konsep 'victim precipitation’atau provokasi korban lebih melihat peranan korban dalam artian kejahatan klasik saja atau kejahatan warungan yang cenderung melihat dalam konteks kejahatan yang melanggar perundang-undangan pidana.
Perluasan pandangan viktimologi dipengaruhi kemudian oleh perkembangan terakhir dalam kriminologi setelah 1960-an dengan lahirnya kriminologi kritis yang memperluas dan meredefinisi kejahatan. Pandangan interaksionis simbolis dan lahirnya teori labelling memengaruhi perspektif kriminologi kritis ini dan memberikan paradigma sosiologi mengenai korban, yang mereaksi paradigma korban yang bersifat legalistik dari kriminologi klasik ataupun kriminologi positivistis.
Paradigma korban yang luas ini menjangkau realitas korban dalam keseluruhan proses sosial yang terjadi. Oleh karena itu, konteksnya adalah perlindungan korban yang lebih adil dalam birokrasi hukum yang ada. Dikaji dalam paradigma social ini, bahwa pendefinisian korban termasuk respons sosialnya adalah sebagai konstruksi sosial yang diciptakan dalam perundang-undangan, yaitu KUHAP maupun KUHP dan perundang-undangan lainnya maupun penerapannya melalui keputusan dan tindakan yang diambil penegak hukum.[5] Hal ini berarti bahwa fenomena korban di samping dilihat sebagai akibat pelanggaran perundang-undangan tersebut, juga memfokuskan pada bagaimanakah kepentingan ataupun hambatan yang ada dalam perundang-undangan ataupun bekerjanya perundang-undangan dalam mereaksi terhadap korban. Pandangan yang ditopang pemikiran kritis ini memperbarui konsepsi lama mengenai korban yang senantiasa dikaitkan dengan peranan korban dalam kejahatan, sehingga perhatian atas proses viktimisasi menjadi lebih luas dengan konsep 'proses viktimisasi struktural' akibat bekerjanya struktur ketidakadilan baik oleh hukum maupun penerapannya.
Paradigma luas dalam mengkaji korban merupakan studi yang mempelajari latar belakang sosial proses bekerjanya lembaga dan pranata hukum dalam membentuk konstruksi social terhadap korban dan reaksi sosial. Fenomena perlindungan korban dikaji sebagai proses dan hasil bekerjanya birokrasi peradilan pidana dalam menciptakan, menafsirkan, dan bertindak untuk mewujudkan janji-janji hukum tersebut. Realitas sosial bekerjanya birokrasi peradilan pidana tak lepas pula dari pembentukan konstruksi sosial pendefinisian kejahatan/penimbulan korban dalam masyarakat atau dari sisi interpretative korban terhadap situasi sosial yang melingkupinya.
Pembahasan mengenai studi korban dan bentuk perlindungannya melibatkan pihak aparat penegak hukum dan korban yang berinteraksi dan beradaptasi dalam birokrasi peradilan pidana untuk menelusuri bagaimanakah wujud perlindungan korban, dan reaksi agen kontrol sosial dalam mereaksi proses viktimisasi tersebut.
Dampak dari buku Becker Outsiders-Studies in The Sociology of Deviance pada 1960-an belum begitu besar, namun dengan dikeluarkannya buku Quinney The Social Reality of Crime (1970) dan Chambliss & Seidmann ‘Law, Order, and Power', maka timbul pemahaman tentang 'The process of defining specific people and actions as criminal' yang merupakan dasar pemikiran kritis dan membuka mata terhadap proses yang berlangsung dalam peradilan pidana. Meskipun begitu, teori labelling Becker memberikan makna untuk memelopori pemikiran kritis dalam mengkaji kejahatan.
Terminologi wacana korban dalam arti luas memberikan makna bahwa keberadaan korban merupakan fenomena yang timbul selaras dengan pengkonstruksian kejahatan itu sendiri. Konsepsi pemahaman korban menjadi lebih kompleks dan dalam jangkauan yang lebih luas dari apa yang terdapat dalam konsep pemahaman tentang korban dalam hukum pidana.[6] Dengan demikian, pengkajian diarahkan pada pandangan bahwa kejahatan merupakan status yang direfleksikan dari batasan perundang-undangan dan bekerjanya perundang-undangan.[7] Studi korban berarti mempertanyakan mengapa perbuatan tertentu dikategorikan sebagai telah menimbulkan korban, sedangkan perbuatan yang lain tidak demikian pula dengan mempertanyakan proses sosial dari batasan pembuat korban dari perundang-undangan dan bekerjanya penegak hukum, yaitu mengapa pembuat korban tertentu dikategorikan sebagai pembuat korban dan mengapa yang lain tidak. Hal ini diarahkan selaras dengan perspektif perlindungan terhadap korban. Konsepsi lama dalam kriminologi hubungan yang mempelajari viktimologi senantiasa dikaitkan dengan victim offender relationships yang dilakukan dengan menggunakan konsep ‘victim precipitation' dan tanggung jawab fungsional korban ataupun provokasi korban.
Dalam realitas pengejawantahan ‘janji-janji hukum melalui sistem peradilan pidana janji-janji hukum ini hanya menjadi mitos belaka bagi pencari keadilan. Korban sering kali menempati posisi sebagai ‘risk secondary victimizations atau sebagai korban ganda dalam peradilan pidana. Paradigma viktimologi ini memberikan pembalasan yang bermakna menge nai korban dengan mengkaji dari perspektif korban (slachtofer optiek) atau kacamata korban, dari sudut pandangan korban dengan menempatkan korban sebagai subjek, karena selama ini viktimologi lebih melihat korban sebagai objek (melihat peranan bersalahnya korban).[8] Hal ini mengkritisasi wacana lama yang berperspektif ‘offender centered' dalam bentuk diskriminasi perundang-undangan baik dalam KUHAP maupun KUHP dan perundang-undangan lainnya maupun dalam bekerjanya hukum yang cenderung  menelantarkankorban.



Perkembangan Viktimolgi
Pasca 1940-an berkembang ilmu viktimologi yang secara khusus memusatkan perhatian pada arti penting dan peranan korban dalam konteks dinamik berlangsungnya kejahatan, serta sebab akibat kejahatan. Hal ini sebagai implikasi studi kejahatan berupa reaksi terhadap pemikiran korban sebagai objek pasif. Terlihat dalam buku karya von Hentig yang berjudul Remarks on The Interaction of Perpetrator and Victim (1941), dan The Criminal and His Victim (1948). Istilah viktimologi sendiri baru muncul pada 1947 yang diperkenalkan oleh Benjamin Mendelsohn dengan artikelnya berjudul “New Bio-Psycho So-cial Horizons:Victimology" (1947). Dapat dikemukakan bahwa tulisan kedua tokoh ini merupakan awal bagi perkembangan  viktimologi.[9] Karya-karya dalam studi viktimologi ini memperoleh pengakuan bagi perhatian terhadap korban dengan Simposium Internasional I tentang Viktimologi pada tanggal 2-6 September 1973 di Yerusalem, hingga sampai Simposium Kelima di Zagreb, Yugoslavia pada 1985.
Perhatian terhadap korban kejahatan sebenarnya dimulai pada 1937 dalam penulisan Mendelsohn terhadap korban baik secara biologis, sosiologis dengan cara meneliti ‘personality of the criminal. Disimpulkan bahwa “personality of the accused from the bio-psycho-social point of view and paralely into the data con-cerning the personality of their victims and even of their social rela-tions. Mendelsohn mengemukakan bahwa aplikasi dari hal ini terlibat dalam studinya tentang Rape in Criminology.[10]
A. Karmen (1990) dalam bukunya Crime victims: An In-troduction to Victimology mengidentikasikan ada tiga tendensi dalam perdebatan victimological, yaitu: the conservative victi-mology, the liberal victimology, and the radical victimology:[11]
The conservative tendency within victimology defines the discipline in four ways. First, it focuses on crime as a pro-blem with particular attention being paid to victims of streetcrime; secondly, it is concerned to render people accoumtable for their actions; thirdly it encourages self-reliance; and fi-nally it focuses on notions of retributive justice.
The liberal victimology tendency extends this conservative focus by including 'crimes of the suites' in their analyses; by being concerned to 'make the victim whole again'; and by considering the value of restitution and reconsiliation as ap-ropriate penal strategies.
The radical-critical tendency within victimology wishes to extend the focus of the discipline even further.

Penamaan yang berbeda dalam pergerakan viktimologi diidentifikasi oleh D. Miers (1989) dalam bukunya Positivist Victimology: A Critique International Review of Victimology, dalam tiga tipe viktimologi, yaitu: positivist victimology, radical victimology, dan Critical victimology.[12]
1.      Positivist Victimology
Karakteristik dari Positivist Victimology oleh Miers dikemukakan sebagai:
The identification of factors which contribute to a non-ran-dom pattern of victimization, a focus on interpersonal crimes of violence, and a concern to identify victims who may have contrib-uted to their own victimization.
Karakteristik Miers ini sama dengan karakteristik yang disampaikan oleh Karmen's dalam "conservative victimology” dan paralel dengan “conventional victimology” yang disampaikan oleh Walklate's. Konsep Karmen dalam pemahamannya mengenai conservative victimology dalam pergerakan korban adalah:
Conservative within victimology and the victims'rights move-ment see the criminal justice system as the guarantor of re-tributive justice-satisfying victims with the knowledge that offender are being punished for their crimes.
Pada awal perkembangan viktimologi sebagaimana dinyatakan oleh founding fathers viktimology, yaitu Von Hentig dan Mendelsohn, viktimology dipahami dalam “the victim/ofender relationship. Pada prinsipnya dalam viktimologi positivistis ini memaknai terminologi “korban” atau “victim” dalam terminologi legal frame work. Sama sekali tidak mempertanyakan mengenai label “victim", namun menerima begitu saja konstruksi hukum dalam memahami mengenai “victim”.
2.      Radical Victimology
Radical victimology muncul pada akhir 1960 hingga 1980 dengan dimotori Jones, MacLean and Young (1986), Quinney, Friedrichs's a feminist victimolog' (1983) radical victimology concern pada:
Victims of police force, the victims of war, the victims of the correctional system, the victims of state violence, the victims of oppression of any sort. (Quinney, 1972: 315)
 R. Elias menegaskan dimensi dalam radical victimology ini berkonsentrasi pada pertanyaan mengenai hak-hak asasi ma-nusia (Human rights). Elias menyatakan:
A victimology th... incompasses human rights would not di-vert attention from crime victims and their rights, but rather would explore their inextricable relationship to more univer- sal human rights concerns.[13]
Radical left realism is committed to a clear agenda which demands an 'engaged criminology.[14] Strand dari radical victimology memosisikan masyarakat tidak dibentuk berdasar konsensual, tetapi mengakui pertimbangan kekuasaan dari hukum dan negara untuk menekannya.
Pada intinya bahwa human rights perspective sangat ditekankan dalam pemikiran radical victimology ini. Definisi dari hak asasi manusia diperluas termasuk juga pada hak-hak ekonomi, sosial, dan kultural. Namun menurut Friedrichs,[15] Radical victimology ini gagal dalam mempertimbangkan pemahaman mengenai proses viktimisasi selain dari klas (seperti gender, ras, maupun umur). Di samping itu, gagal dalam mempertimbangkan bahwa tidak semua hukum secara langsung berhubungan dengan objek specifik kapitalis.
Radical victimology bergerak dari frame work yang melihat viktimologi yang concern pada pendefinisian korban melalui pemahaman konvensional terhadap hukum menuju pada frame work di mana mengakui pentingnya hubungan problematisasi dari sisi hukum dan negara atau hubungan antara hukum dan kelas sosial.

3.      Critical Victimology
Viktimologi kritis mengartikulasikan resolusi yang berbeda dari positivism. Pertanyaan kunci yang didengungkan ialah siapa yang memiliki kekuasaan untuk mengaplikasikan label dan apa yang perlu dipertimbangkan secara signifikan untuk dideterminasikan. Miers menggambarkan pada psikologi sosial dan simbolis interaksionisme. Dalam simpulan pertama, viktimologi kritis berupaya memahami proses-proses yang ada di belakang kita “go on behind our backs” yang tidak kita lihat dalam mendefinisikan korban (dan kejahatan). Ini artinya viktimologi kritis concern pada proses latar belakang bekerjanya pembuatan maupun bekerjanya hukum.
Giddens menandaskan bahwa, “A critical victimology informed by these ideas problematizes both the law and the role on the state, and place both conceptual empircal questions raised by feminist movemen at the centre of agenda ... and demand that account is taken of the recessive relationship between agency andstructure.[16]
Oleh karena itu, jelas bahwa sebenarnya pergerakan viktimologi mengalami turning point atau rediscovery yang akhirnya menggulirkan pemahaman bahwa konsep pergerakan korban tidak melulu hanya dibatasi pada konteks sistem peradilan pidana, tetapi juga pada konteks yang lebih luas dari kesejahteraan.
Perkembangan pemikiran dalam viktimologi oleh Mendelsohn tersebut dibantah oleh Willem H. Nagel terkait dengan berkembangnya kriminologi. Pada awalnya Willem H. Nagel mengemukakan bahwa gagasan viktimologi tidak berkembang dalam kriminologi klasik, sehingga hanya mampu dikembangkan dalam wacana kriminologi modern dengan sebutannya[17] "criminology of relationships.” Hoefnagels mengungkapkan kelahiran viktimologi sebagai “The Allied Science" yang tergantung dengan kriminologi.[18]
Perkembangan viktimologi sebagai suatu studi tentang korban dengan segala aspeknya, pada awalnya merupakan daerah dominion' dari kriminologi, dengan aspek dan faset kepidanaan atau kriminologi menjadi fokus perhatian.
Perkembangan viktimologi sekarang diakui mandiri sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri, sebagai ilmu baru di Indonesia yang dapat dipandang sebagai suatu 'terra incognital[19].’ Dalam ulasannya, Sahetapy menyatakan bahwa beranjak dari pangkal tolak viktimitas, maka masalah korban tidak perlu selalu dihubungkan dengan faktor kejahatan. Perdebatan mengenai kriminologi dan viktimologi menjadi isu dalam simposium pertama viktimologi di Yerusalem tanggal 2-6 September 1973. Walaupun subjek dari symposium ini adalah korban kejahatan (the penal couple), namun masih berbasis pada pemikiran kriminologi. W. H. Nagel mengemukakan bahwa viktimologi didefinisikan sebagai study of the victim Ferspektit Viktimologi dalam kajian tentang Perlindungan Korban in general. Mendelsohin sendiri mengemukakan bahwa basis ilmu viktimologi dibangun tidak hanya difokuskan pada korban kejahatan, tetapi semua bentuk korban, dan segala aspek dari pengorbanan tempat masyarakat memiliki kepentingan.[20]
Viktimologi yang berasal dari bahasa latin ‘victima' berarti korban dan ‘logos' yang berarti ilmu, merupakan suatu bidang ilmu yang mengkaji permasalahan korban beserta segala aspeknya. Perkembangan viktimologi sebagai suatu kajian ilmu dalam awal perkembangannya memang tak lepas dari perkembangan kriminologi klasik dan positivistis.[21]
Jelaslah bahwa studi tentang korban dalam pengaruhnya dari kriminologi klasik-positivistis menerapkan pendefinisian korban dari kacamata positivisme dalam kriminologi dengan menentukan sebab-sebab kejahatan (penimbulan korbannya), dan mencari sebab kejahatan dari perbedaan antara penjahat dan bukan penjahat dari batasan biologis, psikis, ataupun sosial, menganggap bahwa kejahatan adalah hasil pilihan bebas individu dan didefinisikan sebagai setiap perbuatan yang melanggar undang-undang pidana, dan penjahat ialah orang yang melakukan kejahatan dalam batasan undang-undang.
Implikasi dari pemikiran beberapa sarjana di atas dalam awal perkembangan viktimologi, masih senantiasa dikaitkan pula dengan peranan korban/partisipasi korban dalam terjadinya kejahatan dalam batasan undang-undang. Stephen Schaffer mencoba untuk memberikan kritik terhadap Hentig dan Mendelsohn yang dikatakannya bahwa Mendelsohn membedakan antara bersalahnya pelaku dan korbannya, sedangkan Hentig menggunakan klasifikasi sosiobiologi sebagai factor society made victims atau biological qualities that indicate a more or less lasting vulnerability to crime. Schaffer menyebut sentral isu dalam criminal-victim relationship sebenarnya adalah 'functional responsibility for crime.[22]
Perkembangan awal viktimologi yang senantiasa mengaitkan korban sebagai bagian integral terjadinya kejahatan dari peranan bersalahnya korban menempatkan korban hanya sebagai objek turut bersalahnya terhadap terciptanya kejahatan tersebut, tanpa memperhatikan ‘legal remedy' bagi korban. Dalam konteks kajian viktimologi ini masih dipengaruhi oleh kriminologi klasik ataupun kriminologi positivistis. Penulis berpendapat bahwa kajian viktimologi perlu dipahami dalam realitas lebih luas tidak hanya dikaitkan dengan peranan korban dalam terjadinya kejahatan yang oleh para ahli kriminologi digunakan konsepsi 'victim precipitation ‘ataupun provokasi korban. Realitas sosial korban yang ada, bahwa si korban sama sekali tidak tahu bahwa dirinya menjadi korban di samping itu sangatlah diragukan apabila posisi korban yang demikian menjadikan adanya keragu-raguan terhadap kesalahan dari ‘perpetrator'. [23]
Pengkajian viktimologi yang mempelajari sebab-sebab timbulnya korban dan mengkaji peranan korban dalam peristiwa kejahatan tersebut semata dari kejahatan klasik dan berkarakteristik positivistis, memberikan perspektif viktimologi pada waktu itu dengan paradigma korban dalam sekadar penerapan hukum positif yang berparadigma legal realism dan memberi makna sempit pada hukum dari viktimologi yang dipengaruhi oleh kriminologi klasik dan positivistis.
Apabila hanya mengkaji penerapan hukum oleh profesional hukum memberi stigma hukum yang terlepas dari kehidupan sosial. Berpikir secara hukum dalam ranah ini hanya diartikan sebagai bagaimana para profesional hukum bekerja sebagai tukang hukum (crafınanshipt) yang semata mempelajari teknis hukum. Viktimologi yang berkembang dalam pengaruh kriminologi kritis mereaksi terhadap paham positivisme dalam kriminologi positivistis yang tadinya dianggap mampu menerangkan kenyataan dan menjangkau keseluruhan kenyatáan melalui ilmu hukum positif tentang 'penimbulan korban' dan reaksi sosialnya.
Pandangan positivistis ini menutup mata terhadap munculnya persoalan-persoalan baru, karena hanya mempertahankan suatu tatanan yang ada mengenai adanya stabilitas tertentu. Padahal, hukum bekerja dalam masyarakat dan selalu mengalami ujian. Dikemukakan oleh Prof. Satjipto bahwa hukum tidak pernah sepi dari referendum atau selalu mengalami referendum. Hukum hanya menjadi hukum apabila diterima oleh masyarakat. Legitimasi hukum senantiasa mengalami ujian dihadapan masyarakat untuk menunjukkan otoritasnya.[24]
Separovic mengemukakan perkembangan pemikiran viktimologi tidak hanya berlingkup pada korban dari kejahatan. Separovic membedakan antara viktimologi yang sempit atau victimology in the narrower dan viktimologi yang luas atau victimology in the broader sense. Dikemukakan sebagai berikut:
In a narrower sense, victimology is the empirical, factual study of victims of crime and offenses, and such is closely related to criminology, and thus may be regarded as apart of the general victim problem. But, we want to inake clear here is that victimology, as we shall use it, includes botli, victims of crime and victims of accident.
So, in its broadest sense, victimology is the entire body of knowledge regarding victims, victimization, and efforts of society to prevent victimization and to reserve the right of victim Its is includes within its scope the activities of law enforcement agencies, legislative bodies, courts, educational institutions, insurance agencies, and private and public social agencies ....
The final aims of victimology, therefore, are:
1.      to analyze the magnitute of victim problem;
2.      to explain causes of the victimization; and
3.      to develop a system measurers to reduce victimization.[25]
Terminologi Separovic mengenai perkembangan ruang lingkup viktimologi di atas membawa pemikiran bahwa korban tidak hanya diartikan sebagai korban kejahatan belaka, tetapi lebih pada persoalan kualitas kehidupan dan keamanan kehidupan untuk mereduksi penderitaan manusia/human suffering atau disebut Separovic sebagai human living or human risk problem. Hal ini berarti viktimologi menggunakan pendekatan interdisipliner dan ditetapkan sebagai victim political principles.[26] Kajian viktimologi ini berarti memberikan perhatian pula kepada segala bentuk viktimisasi termasuk dari aktivitas penegak hukum. Dalam perkembangan studi viktimologi, Ellias mengemukakan tiga fase perkembangan viktimologi yang pada akhirnya diinklusifkan dengan kajian/hak-hak asasi manusia dan disebut sebagai 'new victimology’.[27] Dalam fase pertama perkembangan sebagai penal or special victimology konsep korban hanya dikaitkan dengan kejahatan. Pada fase kedua, konsep viktimologi tidak hanya mengkaji korban kejahatan tetapi juga korban kecelakaan (termasuk kecelakaan lalu lintas, kecelakaan di tempat kerja, termasuk bencana alam yang disebut sebagai 'general victimology'. Fase ketiga, yang disebut Ellias sebagai 'New Victimology' konsep korban sudah berkembang lebih luas, yaitu pengkajian korban karena penyalahgunaan kekuasaan dan hak asasi manusia atau abuse of power and human rights yang diusulkan United Nations Organizations (victims of power abuse), dan oleh radical criminologi (pen:critical criminology) yang mengategorikan korban dari korban kejahatan konvensional dan kejahatan dari dominasi dan represi oleh 'the rulling class'.

Ruang Lingkup Viktimologi
Perspektif viktimologi dalam mengkaji korban memberikan orientasi bagi kesejahteraan masyarakat, pembangunan kemanusiaan masyarakat, dalam upayanya untuk menjadikan para anggota masyarakat tidak menjadi korban dalam arti luas. Sebagaimana dikemukakan Mendelsohn bahwa: that victimology should be a separate and autonomous science, should have its own institutions and should be allowed to develop for the well-being and progress of humanity.[28] Hal ini sejalan pula dengan pemikir viktimologi seperti Ellias ataupun Separanovic memberikan kajian viktimologi untuk mengedepankan wawasan hak asasi manusia maupun dari sisi penderitaan manusia/human suffering guna lebih mengekspresikan 'the right to life, freedom and security.[29]
Selaras dengan pemikiran viktimologi yang mempelajari korban sebagai human problem, viktimologi memberikan pemahaman lebih baik untuk melakukan perlindungan terhadap korban, yaitu:
1.      Victimology is the most significant innovation in the latest development of penal and penitentiary sciences and it is progressing in the theoretical and practical fields.Its subject has still not been clearly defined and delimited from other related disciplins.
2.      The study of personality and situation of the victim, the manifest form and causes of human suffering, is socially relevant for the prevention or elevation of suffering.
3.      The basic question is not what did a victim do and why, but how can we prevent the same or another person from repeating this, from finding himself in the same situation. Not all people are exposed to the same risk of suffering, but it is present in all. Some categories of citicents are particulary at risk ....
4.      The right to life, liberty and security are the fundamental natural rights of man. A person's right to life, liberty and security must not remain a dead letter on paper.
5.      Victims are all those who suffer at the hands of other people or of the system, in society and it nature. A well conceived system for the protection of a potential victims from suffering should be develop.
6.      The potential and real victim in the legal system does not satisfy his luman rights and thus his rights to life, health, and security must be promoted.
7.      The victim may be and is an important factor inseeing that the law is carried out; the measurers by the instituttion of formal and social control will largely depend on the victim's willingness to repart his suffering ....[30]
Studi korban dalam viktimologi memberikan suatu gagasan bidang jelajah dalam viktimologi, yaitu:[31]
1.      Konteks sosial yang menjadi tempat terjadinya viktimisasi. Konteks sosial menunjuk pada nilai-nilai kultural tradisi dan struktur yang memengaruhi perbedaan, kedudukan, status individu atau kelompok seperti tekanan sosial, konflik, cap jahat, dan ketidakseimbangan struktural antara tujuan dan cara dari sistem sosial, peluang untuk melakukan jalan lain untuk memakai cara-cara yang tidak legal dan untuk ‘differential association', serta cara-cara penyelesaian konflik. Misalnya kelompok berkuasa cenderung memaksakan kehendaknya dengan kekuasaan, sehingga penyalahgunaan kekuasaan dilihat sebagai sesuatu yang bersifat endemis terhadap viktimisasi. Akibat-akibat sosial dari viktimisasi yang dapat berpengaruh buruk terhadap individu tertentu, kelompok, masyarakat luas, maupun kemanusiaan pada umumnya, baik secara medis, psikiatri, kriminologi, maupun implikasi sosial. Hal ini melibatkan problem tertentu dari perilaku kolektif, dalam proses yang sukar untuk dipahami karena masyarakat atau pemegang kekuasaan dari masyarakat cukup peka untuk menentukan pengaruh buruk, sebagai problema masyarakat. Dengan kata lain, pengaruh kuat mungkin eksis dan melekat dalam jangka waktu lama, tanpa atau belum dilihat dan dipublikasikan sebagai problematik.

Hal pertama yang perlu diutarakan adalah bahwa metode dari viktimologi meliputi metode komprehensif yang memiliki perspektif multidisipliner dari sosiologi hukum pidana, kriminologi, dan psikologi sosial secara khusus.[32] Oleh karena itu, dapat pula diasumsikan bahwa objek dari viktimologi ialah berusaha memahami dan menganalisis kondisi dan proses dari viktimisasi. Korelasi hal ini berarti pengkajian mengenai korban adalah untuk menganalisis konstruksi sosial mengenai korban.
Berdasar pendapat tersebut, dapat digarisbawahi peran penting viktimologi sebagai suatu studi yang mempelajari tentang korban sebagai suatu kenyataan sosial. Manfaat perspektif ini memberikan pemahaman lebih mendalam mengenai makna latar belakang pendefinisian korban, dan berbagai segmen sosial, perilaku, dan subjek yang dapat terlibat dalam proses penimbulan korban atau viktimisasi. Hal ini untuk lebih memberdayakan masyarakat terhadap berbagai bentuk viktimisasi dalam realitas sosial, untuk memberikan dasar pemikiran bagi upaya perlindungan bagi korban.
Terlihat dari proses pertumbuhannya, viktimologi mendekati kejahatan dari tiga segi: pertama, peranan korban sebagai bagian integral dalam proses interaksi yang menimbulkan
kejahatan, akhirnya berkembang dalam wawasan dan konsep mengenai kejahatan dalam pengertian luas pula seperti white collar crime/corporate crime: kedua, perlindungan hak korban selama ini terabaikan dibandingkan hak pelaku dalam proses peradilan pidana; ketiga, perlindungan hak korban meliputi kejahatan konvensional dan nonkonvensional, termasuk korban kekerasan struktural.[33]


Sumber:
Maya Indah.2014.Perlindungan Korban: Suatu Perspektif Viktimologi dan Kriminologi.Kharisma Putra Utama.Jakarta, hal.1-21


Tugas Mandiri:
1.      Jelaskan sejarah perkembangan  victimology?
2.      Jelaskan pengertian (a) positivist victimoloy, (b) radical victimology dan (c) critical victimology?
3.      Jelaskan tiga fase perkembangan victimoloogy versi Ellias?
4.      Jelaskan tiga segi pendekatan kejahatan dalam victimology?









[1] Zvonimir Separovic Paul, Victimologi Studies at Victims (Zagreb: Samobor-Novaki bb, Pravni fakultet, 1985), p. 25. The new radical criminology inevitably leads us to consider the possibility of a new radical victimology.
[2] I. S. Susanto, Kejahatan Korporasi, (Semarang: UNDIP, 1995), h. 6-9. Lihat pula Hugh D. Barlow, Introduction to the Criminologi, (Boston: Litle Brown, 1978), p. 25-26
[3] W. H. Nagel, The Notion of Victimology in Criminology, dalam Israel Drapkin, Emilio Viano, Victimology, (Toronto-London: Lexington Books d.C. Heath and Company Lexington, 1974), p. 14.
[4] Stephen Schaffer, The Victim and His Criminal. A Study in Functional Responsibility, (New York: Random House, 1968), p. 27. Korban memiliki tanggung jawab fungsional terjadinya kejahatan
[5]. Howard S. Becker, Outsiders, Studies in The Sociology of Deviance, (New York: The Free Press, 1963). p. 9.

[6] Konsepsi lama dalam kriminologi hubungan yang mempelajari viktimologi senantiasa dikaitkan dengan victim-offender relationships yang dilakukan dengan menggunakan konsep ‘victim precipitation' dan tanggung jawab fungsional korban ataupun provokasi korban. Baca Schaffer, Op. cit., p. 17-28
[7] Howard S. Becker, Op. cit., p. 9. Dikemukakan pula oleh Becker bahwa Frank Tannenbaum telah lebih dahulu melakukan pendekatan serupa dalam Crime and the Community. Barlow juga menegaskan bahwa crime is a label that is attached to human conduct by those who create and administer the criminal law. Barlow, Op.cit., p. 9.
[8] Mardjono Reksodiputro, Kump. Karangan Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan kejahatan, Buku Kesatu (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminolog UI, 1994), h. 88.

[9] Lihat Hans von Hentig, Remarks in the Interactions of Perpertrator and Victim, dalam Drapkin, dan Viano, Op.cit., p. 1x, 45-53.
[10] Benjamin Mendelsohn, Victimology and Contemporery Society Trend's dalam Victim and Society, (Washington DC: Emilio Viano, Visage Press, 1976), p. 3.
[11] Dalam R. I. Mawby, S. Walklate, Critical Victimology, International Perspec-tives, (London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage Publication, 1994), p. 8-9
[12] Ibid., p. 9., 12.
[13] Ibid., p. 13.
[14] Ibid., p. 14-15.
[15] Ibid., p. 16-17.
[16] Ibid., p. 20.
[17] Nagel, Op.cit., p. 14.
[18] G. Peter Hoefnagels, The Other Side of Criminology, an Inversion of the Concept of Crime, (Holland: Kluwer-Deventer, 1973), h. 63
[19] J. E. Sahetapy, ed. Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), h. 8-9, 25.
[20] Benjamin Mendelsohn, Op. cit., p. 20
[21] Barlow, Op. cit., h. 25.
[22] Bandingkan dengan Schaffer, Op.cit., h. 19, 23, dan 27.

[23] Steven Box, Power, Crime, and Mystification, (London, New York: Tavistock Publications, 1983), 1.17. Dikemukakan The majority of those suffering from corporate crime remain unaware of their victimization-either not knowing it has happened to them or viewing their misfortune as an accident and no one's fault.
[24] Satjipto Rahardjo, Seminar, Supremasi Hukum dalam Negara Demokrasi dari Kajian Sosio-Kultural, Semarang, 27 Juli 2000, h. 10.

[25] Separovic, Op.cit., p. 16. Hal ini dibandingkannya dengan studi kriminologi yang tidak hanya studi tentang kejahatan dalam legal sense, tetapi juga padaperilaku antisosial manusia yang tidak didefinisikan sebagai kejahatan seperti yang dikemukakan Lopez Rey bahwa pendekatan kriminologi termasuk control of crime, law enforcement, and the administration of justice. Lihat p. 15.
[26] Ibid., p. 16-17.
[27] Ibid., p. 28, 29.
[28] Benjamin Mendelsohn, The Origin of the Doctrine of Victimology dalam Israel Drapkin, Emilio Viano, Victimology, (Toronto-London: Lexington Books d.C. Heath and Company Lexington, 1974), p. 11.
[29] Dalam Separovic Op. cit., p. 29, 42, 43.
[30] Separovic, Op. cit., p. 20. Op. cit.,
[31] Vahakn N. Dadrian, An Attempt at Defining Victimologi, dalam Viano, Op. cit., p. 40-41.,

[32] Ibid. Viktimologi maupun kriminologi dalam penulisan ini mempelajari hubungan antara praktik hukum pidana dan kenyataan masyarakat.
[33] Bandingkan dengan Mulyana W. Kusumah, Kejahatan dan Penyimpanga suatu Perspektif Kriminologi. (Jakarta YLBHI, 1988), h. 111.



1 comment:

  1. Nama : Rocky Al'amin
    Nim. : 18202048
    Kelas : 4m2


    1. Jelaskan sejarah perkembangan victimology?
    Jawab :
    Pasca 1940-an berkembang ilmu viktimologi yang secara khusus memusatkan perhatian pada arti penting dan peranan korban dalam konteks dinamik berlangsungnya kejahatan, serta sebab akibat kejahatan. Hal ini sebagai implikasi studi kejahatan berupa reaksi terhadap pemikiran korban sebagai objek pasif. Terlihat dalam buku karya von Hentig yang berjudul Remarks on The Interaction of Perpetrator and Victim (1941), dan The Criminal and His Victim (1948). Istilah viktimologi sendiri baru muncul pada 1947 yang diperkenalkan oleh Benjamin Mendelsohn dengan artikelnya berjudul “New Bio-Psycho So-cial Horizons:Victimology" (1947). Dapat dikemukakan bahwa tulisan kedua tokoh ini merupakan awal bagi perkembangan viktimologi. Karya-karya dalam studi viktimologi ini memperoleh pengakuan bagi perhatian terhadap korban dengan Simposium Internasional I tentang Viktimologi pada tanggal 2-6 September 1973 di Yerusalem, hingga sampai Simposium Kelima di Zagreb, Yugoslavia pada 1985.

    2. Jelaskan pengertian (a) positivist victimoloy, (b) radical victimology dan (c) critical victimology?
    Jawab :
    (a) Positivist Victimology
    Pada prinsipnya dalam viktimologi positivistis ini memaknai terminologi “korban” atau “victim” dalam terminologi legal frame work. Sama sekali tidak mempertanyakan mengenai label “victim", namun menerima begitu saja konstruksi hukum dalam memahami mengenai “victim”.
    (b) Radical Victimology
    R. Elias menegaskan dimensi dalam radical victimology ini berkonsentrasi pada pertanyaan mengenai hak-hak asasi ma-nusia (Human rights).
    (c) Critical Victimology
    Viktimologi kritis berupaya memahami proses-proses yang ada di belakang kita “go on behind our backs” yang tidak kita lihat dalam mendefinisikan korban (dan kejahatan). Ini artinya viktimologi kritis concern pada proses latar belakang bekerjanya pembuatan maupun bekerjanya hukum.

    3. Jelaskan tiga fase perkembangan victimoloogy versi Ellias?
    Jawab :
    Dalam fase pertama perkembangan sebagai penal or special victimology konsep korban hanya dikaitkan dengan kejahatan. Pada fase kedua, konsep viktimologi tidak hanya mengkaji korban kejahatan tetapi juga korban kecelakaan (termasuk kecelakaan lalu lintas, kecelakaan di tempat kerja, termasuk bencana alam yang disebut sebagai 'general victimology'. Fase ketiga, yang disebut Ellias sebagai 'New Victimology' konsep korban sudah berkembang lebih luas, yaitu pengkajian korban karena penyalahgunaan kekuasaan dan hak asasi manusia atau abuse of power and human rights yang diusulkan United Nations Organizations (victims of power abuse), dan oleh radical criminologi (pen:critical criminology) yang mengategorikan korban dari korban kejahatan konvensional dan kejahatan dari dominasi dan represi oleh 'the rulling class'.

    4. Jelaskan tiga segi pendekatan kejahatan dalam victimology?
    Jawab :
    pertama, peranan korban sebagai bagian integral dalam proses interaksi yang menimbulkan kejahatan, akhirnya berkembang dalam wawasan dan konsep mengenai kejahatan dalam pengertian luas pula seperti white collar crime/corporate crime: kedua, perlindungan hak korban selama ini terabaikan dibandingkan hak pelaku dalam proses peradilan pidana; ketiga, perlindungan hak korban meliputi kejahatan konvensional dan nonkonvensional, termasuk korban kekerasan struktural.

    ReplyDelete