MK. KDV-12. PENDEFINISIAN DAN TYPE KORBAN


Pendefinisian dan tipe-tipe korban
Beranjak dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup viktimologi membawa pada paradigma korban dalam arti luas, yaitu meliputi bagaimana seseorang (dapat) menjadi korban atau berfokus pada proses terjadinya viktimisasi yang bukan hanya karena kejahatan, melainkan juga karena penyalahgunaan kekuasaan atau bekerjanya lembaga dan pranata hukum yang tidak berkeadilan. Batas ruang lingkup viktimologi tidak harus selalu dikaitkan dengan faktor kejahatan, karena ditentukan oleh apa yang disebut ‘viktimitas' yang tidak sama dengan crime.[1]
Beranjak dari terminologi di atas, pendefinisian korban yang berakibat pada pergeseran ruang lingkup kajian terhadap eksistensi korban adalah dari kajian korban kejahatan konvensional, atau meminjam istilah I. S. Susanto sebagai kejahatan warungan[2] seperti penganiayaan, pembunuhan, pencurian, perkosaan, dan beralih kepada studi tentang korban dari kejahatan non-warungan atau kejahatan korporasi ataupun kejahatan white collar crime termasuk kepada bekerjanya penegakan hukum untuk tidak menimbulkan proses viktimisasi. Realitas viktimisasi Dengan demikian, diperluas mencakup penyalahgunaan secara melawan hukum kekuasaan umum (iliegal abuses of public power) seperti pelanggaran terhadap hak asasi manusia, penyalahgunaan wewenang oleh pemegang kekuasaan, ataupun illegal abuses of economic power dan bentuk-bentuk viktimisasi struktural lainnya seperti diskriminasi dalam perundang-undangan, ketidakadilan dalam lembaga dan pranata hukum/pembuatan dan bekerjanya hukum. Pendekatan ini sejalan dengan perhatian yang diarahkan untuk memperluas realitas korban dalam masyarakat.
Bentuk korban yang luas yaitu mencakup korban dari viktimisasi struktural. Perumusan viktimisasi struktural oleh Gosita dikatakan sebagai:
Suatu viktimisasi (mental, fisik, dan sosial) yang diakibatkan oleh ada dan tidak adanya unsur-unsur struktur sosial tertentu serta pelaksanaannya.
Lebih lanjut dikemukakan:
... Pada hakikatnya merupakan tindakan seorang individu yang dilakukannya sendiri atau bersama-sama dengan orang lain sebagai unsur suatu kelompok (korporasi tertentu). Individu ini bersikap dan bertindak berdasarkan atau atas tuntutan unsur-unsur struktur sosial tertentu  ini antara lain kepentingan, lembaga sosial, nilai-nilai sosial, norma, status, dan peranan. Unsur kepentingan merupakan motivasi orang melakukan viktimisasi struktural berdasar suatu sistem (tatanan hukum) tertentu; unsur lembaga sosial, pemerintahan/publik, dan sebagainya; unsur nilai sosial berarti penafsiran, pengembangan dan pengamalan nilai sosial oleh golongan tertentu demi kepentingan tertentu; unsur norma terutama hukum, peraturan yang dapat menimbulkan penderitaan, korban mental, fisik, dan sosial dalam pengamalannya yang tidak mengembangkan perspektif kepentingan yang diatur tetapi perspektif kepentingan yang mengatur, misalnya  belum ada pengaturan dalam hukum pidana mengenai ganti rugi; unsur status, misalnya golongan berkuasa atau tidak swasta atau pemerintah; dan unsur peran sesuai dengan statusnya.[3]

Sahetapy mengemukakan paradigma viktimisasi dalam berbagai golongan, yang dinyatakan tidak bersifat limitatif, yaitu:
Pertama, viktimisasi politik dalam kategori ini dapat dimasukkan aspek penyalahgunaan kekuasaan, perkosaan hak asasi manusia, campur tangan angkatan bersenjata di luar fungsinya, terorisme, intervensi, dan peperangan lokal atau dalam skala internasional.
Kedua, viktimisasi ekonomi, terutama kolusi antara penguasa dan pengusaha, produksi barang-barang yang tidak bermutu atau yang merusak kesehatan, termasuk dalam aspek ini pencemaran terhadap lingkungan hidup dan rusaknya ekosistem.
Ketiga, viktimisasi keluarga, seperti perkosaan antara keluarga, penyiksaan terhadap anak atau istri dan menelantarkan kaum manula (manusia usia lanjut) atau orangtuanya sendiri.
Keempat, viktimisasi media, dalam hal ini dapat disebut penyalahgunaan obat bius, alkoholisme, mal pratik di bidang kedokteran, eksperimen kedokteran yang melanggar (etik) perikemanusian.
Kelima, viktimisasi yuridis. Dimensi ini cukup luas dan menyangkut aspek peradilan (dan lembaga pemasyarakatan), maupun yang menyangkut dimensi diskriminasi perundang-undangan, termasuk menerapkan 'hukum kekuasaan, kematian perdata, dan stigmatisasi kendatipun sudah diselesaikan aspek peradilannya.[4]

Kongres PBB ke-7 yang membicarakan The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders di Milan melalui Declaration of Basic Principle of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power sebagai rancangan resolusi tentang perlindungan korban, dan akhirnya menjadi Resolusi MU PBB No. 40/34 mendefinisikan korban kejahatan dalam butir No.1 sebagai:
“Persons who individually or collectively, have suffered harms, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental rights, throughis acts or omission that are in violation of criminal laws operative within member states, including those law proscribing criminal abuse of power.”[5]
Dalam butir ke-18 dinyatakan pula bahwa pendefinisian korban termasuk juga orang atau sekelompok orang yang menjadi korban dari perbuatan-perbuatan yang walaupun belum merupakan pelanggaran terhadap hukum pidana nasional yang berlaku, tetapi sudah merupakan pelanggaran menurut norma-norma HAM yang diakui secara internasional.[6]
Paradigma pendefinisian korban dalam instrumen internasional tersebut, mensubstansikan bahwa paradigma mengenai korban tidak hanya dikaitkan dengan pengertian korban dalam arti sempit dengan kejahatan dalam artian klasik. Perkembangan paradigma viktimologi memperluas pengertian korban dengan suatu realitas alternatif, yaitu mengaitkan dengan perbuatan lain yang bersifat menimbulkan korban di luar bidang hukum pidana, termasuk di dalamnya perbuatan yang melanggar hak asasi korban dari penyalahgunaan kekuasaan.[7]
Pendefinisian korban yang mempertanyakan siapakah korban?, terkait dengan persoalan mengenai perlindungan terhadapnya. Zvonimir Paul Separovic memberikan definsi korban sebagai berikut:
“... Those persons who are threatened, injured or destroyed by an act or omission of another (man, structure, organization or institution) and consequently. A victim would be anyone who has suffered from or been threatened by a punisable act (not only criminal act but also other punishable acts as misde meanors, economic offences, 1101-fulfilment of work duties) orfrom an accident (accident at work, at home, traffic accident, etc.). Suffering may be caused by another man (man-made victim)or another structure, where people are also involved. [8]

Perlindungan korban tercakup di dalamnya dengan masalah perlindungan hak asasi manusia dalam sistem structural yang ada. Hal ini terlihat dari perspektif Separovic yang memperluas studi mengenai korban dalam viktimologi mencakup penderitaan manusia. Selanjutnya dalam halaman lain Separovic menegaskan pula “the rights of the victim are a component part of the concept of human rights. "[9]
Sehubungan dengan definisi serta ruang lingkup korban, dapat dikemukakan pendapat Ezzat A. Fattah yang memberikan pemahaman bahwa dalam banyak kejahatan, korban tidak selalu bersifat nyata dan orang yang dapat teridentifikasi, tetapi korban dapat bersifat abstrak seperti arti nilai-nilai yang ada dan menjadi kepentingan masyarakat: public order,religion, mortality, decency, public security, public health, etc.[10] Separovic mengemukakan pula cakupan korban meliputi a physical or moral persons (corporation, state, association) or nonspecific, an abstraction (public order, public health, religion).[11]
Berdasar terminologi di atas, dapat dikemukakan ruang lingkup pengertian korban dalam pengertian ini, yaitu dalam pengertian arti luas meliputi: penderitaan atau kerugian yang dialami manusia, korporasi, baik secara fisik ataupun psikis, dan reduksi nilai-nilai dalam artian psikis secara luas, seperti perwujudan fungsi hukum dalam mengakomodasi nilai hak asasi manusia, antara lain nilai keadilan, nilai perlindungan, dan nilai demokrasi, karena perbuatan kejahatan ataupun penyalahgunaan kekuasaan.[12]
Berangkat dari pemikiran viktimologi yang dipengaruhi oleh kriminologi, maka definisi korban atau siapakah korban mempunyai makna sempit dalam kajian kriminologi klasik dan positivistis. Makna korban dalam arti sempit sebagaimana dikemukakan Perkins sebagai: a crime is any social harms defined and punishable by law. Dalam pengertian legal definitions of crime', maka pengertian korban adalah sebagai penderitaan/kerugian yang dialami orang atau sekelompok orang karena perbuatan jahat sebagaimana yang telah dirumuskan dan dapat dipidana dalam hukum pidana.[13]
Dalam pengertian/definisi korban secara sosiologis, maka keberadaan korban jauh lebih kompleks daripada konsep korban dalam hukum pidana. Hal ini tidak lain akibat pengkonstruksian pemahaman terhadap pengkonstruksian kejahatan itu sendiri oleh kekuasaan melalui lembaga dan pranata hukum khususnya dalam peradilan pidana, dan akhirnya memberikan pengkonstruksian korban.[14] Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tidak semua perbuatan yang mengakibatkan kerugian dan kerusakan masyarakat dapat dipidana. Pendefinisian korban secara luas mengkaji proses sosial yang memengaruhi pembuatan dan bekerjanya lembaga dan pranata untuk mempersepsi dan mereaksi terjadinya korban.
Hal ini sejalan dengan pemikiran agar ruang lingkup viktimologi jangan dibatasi oleh hukum pidana. Kongres PBB Keenam di Caracas 1980 dalam pembicaraan mengenai 'crime and the abuse of power', offences and offenders beyond the reach of the law' memberi makna pula pada perkembangan viktimologi. Pengertian di luar jangkauan hukum harus diartikan sebagai:
1.      Perbuatan yang tidak tercantum dalam KUHP ataupun tidak melanggar undang-undang, namun sangat merugikan masyarakat.
2.      Perbuatan yang telah terjangkau oleh undang-undang, akan tetapi tidak terjangkau oleh penegakan hukum karena sifat penerapan hukumnya yang selektif dan beragam.[15]
Berdasarkan pemikiran tersebut, dapat dikemukakan definisi korban dalam viktimologi baru sebagaimana dikemukakan oleh Separovic sebagai 'who are threatened, injured or destroyed by an act or ommision of another (man, structure, organization, or institution)....[16]
Sebagaimana dirumuskan dalam Declaration of Basic Principle of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, bahwa korban didefinisikan dalam victims of crimes dan victims of abuses of power. Dinyatakan bahwa:
A.    Victims of crime
1.    Victims means persons who, individual or collectively, have suffered harm, including physical or men tal injury, emotional suffering, economic loss or substansial impairment of their fundamental rights, through acts or omissions that are in violation of criminal laws operative within member States, including those laws prescribing criminal abuse of power.
2.    A person may be considered a victim, under this Declaration, regardless of whether the perpetrator is identified, apprehended, prosecuted or convicted and regardless of the familial relationship between the perpetrator and the victim. The term 'victim' also includes, where appropriate, the immediate family, or dependants of the direct victim and persons who have suffered harm in intervening to assist victims in distress or to prevent victimization.
Komentar terhadap angka 1 dikemukakan: it notes that the provisions in question apply to those who are victims of crimes as determined by laws, operative within state. Such laws, may be promulgated at the national, state, or local levels.[17]
B.       Victims of abuse of power
18. Victims means persons who, individually or collectively, have suffered harın, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental rights, through acts or omissions that do not yet constitute violations of national criminal laws but of internationally recognized norms relating to human rights.[18]
Implikasi dari prinsip ke-18 dinyatakan:
States should review their law and practises with a view to improving the position of victims of violations of internationally recognized norms relating to human rights, including norms of international law protecting the life, liberty, personal security, and well being of individuals and groups under Article 38 of the Statute of the International Court of Justice. The sources of international law under Article 38 are international convention, whether general or particular, establishing rules expressly recognozed by the contesting States; international custom, as evidence of a general practise accepted as law; the general principles of law recognized by “civilized nations”, and subject to article 59 of the Statute of the International Court of Justice, judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicist of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law.
Berdasar definisi tersebut, jelaslah bahwa definisi korbanmeliputi pula definisi direct victims of crime atau korban tindak pidana yang secara langsung dan korban tindak pidana yang tidak langsung (indirect victims of crime), baik secara individu maupun secara kolektif yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun material, serta mencakup korban dari penyalahgunaan kekuasaan.
Korban langsung (direct victims) yaitu korban yang langsung mengalami dan merasakan penderitaan dengan adanya tindak pidana kejahatan. Korban langsung memiliki karakteristik, yaitu:
1.      Korban adalah orang, baik secara individu maupun secara kolektir;
2.      Menderita kerugian, termasuk: luka fisik, luka mental, penderitaan emosional, kehilangan pendapatan, penindasan terhadap hak dasar manusia
3.      Disebabkan oleh adanya perbuatan atau kelalaian yang terumuskan dalam hukum pidana, baik dalam taraf nasional, maupun local levels; atau
4.      Disebabkan oleh adanya penyalahgunaan kekuasaan.
Korban tidak langsung (indirect victims) yaitu korban dari turut campurnya seseorang dalam membentuk korban langsung (direct victims) atau turut melakukan pencegahan timbulnya korban, tetapi dia sendiri menjadi korban tindak kejahatan, dalam hal ini pihak ketiga, clan/atau mereka yang menggantungkan hidupnya kepada korban langsung (direct victims), seperti istri/suami, anak, dan keluarga terdekat.[19]
Bentuk korban kedua berdasar deklarasi tersebut, yaitu korban penyalahgunaan kekuasaan. Bentuk korban ini meliputi manusia baik individu maupun kolektif yang menderita karena tindakan yang menimbulkan penderitaan, yang walau pun belum dicantumkan dalam perundang-undangan pidana nasional, namun sudah diakui sebagai norma yang berhubungan dengan hak asasi manusia oleh ketentuan internasional.Hak asasi ini mencakup hak untuk hidup, kebebasan, hak untuk memperoleh rasa aman, dan kemanusiaan sebagaimana diakui dalam peradilan internasional.
Karakteristik korban dalam Deklaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, menurut penulis lebih ditujukan pada korban secara konkret atau riil dan dapat diidentifikasikan sebagai 'persons' baik individual maupun kolektif. Penulis berpendapat bahwa korban tidak hanya ditujukan pada bentuk person atau kolektif, namun juga dapat ditujukan pada nilai-nilai yang abstrak seperti nilai demokrasi dan nilai keadilan.[20]
Karakteristik korban dapat dikaitkan pula dalam kejahatan klasik atau kejahatan warungan dan ‘white collar crime', termasuk di dalamnya corporate crime'. Anatomi dari kejahatan warungan diidentikkan dengan kejahatan pelanggaran KUHP seperti perkosaan, pembunuhan, dan pencurian. Anatomi pelaku kejahatan bersifat perorangan, kelompok kecil, motif kebutuhan hidup, balas dendam, dengan alat sederhana dan sifat kejahatan adalah kekerasan, korban bersifat perorangan. Adapun anatomi kejahatan white collar atau corporate crime sebagai kejahatan dimensi baru dianatomikan pelakunya yaitu pejabat pemerintah, eksekutif swasta, badan hukum, memiliki ilmu pengetahuan dan keahlian, dengan motif ekonomi maupun politis, dan sifat kejahatan umumnya non-violence, korban bersifat perorangan, perusahaan, negara.[21]
Sebagaimana yang dikemukakan Clinard dan Yeager mengenai korban dari kejahatan korporasi ini, dapat diungkap sebagai berikut:
Victims of corporate crimes, ... are often inware that they have been taken. Examples are share holders who receive a falsified balance sheet, consumers who have paid and inflated price for a product as a result of anti trust collusion, or consumers who have accepted with confidence the misleading advertising claims made for a product without knowledge of its financial or health effects on them.[22]
Istilah white collar crime diistilahkan pertama kali oleh Edwin H. Sutherland sebagai kejahatan yang dilakukan oleh orang terhormat, dari kalangan atas, kalangan bisnis maupun profesional sehubungan dengan kedudukannya. Tipe kejahatan kerah putih dalam bisnis maupun profesional memiliki prinsip kejahatan terhadap kepercayaan yang telah diberikan, dan dapat direduksi dalam dua kategori, yaitu: (1) misrepresentation of asset values, dan (2) duplicity in the manipulation of power.[23]
Karakteristik korban dari white collar crime dinyatakan Sutherland sebagai kelemahan dari korban itu sendiri/weakness of their victims. Korban ini bersifat tidak terorganisasi, kekurangan pengetahuan teknis, dan tidak dapat melindungi diri mereka sendiri. Perbedaan dari kekuatan korban kejahatan dari kelas bawah dibandingkan dengan white collar crime ialah pada pelaku kejahatan white collar crime relatif menikmati kekebalan terhadap penuntutan.[24]
Istilah kejahatan termasuk korbannya lebih luas dari cakupan hukum pidana. Hal ini terlihat dari pengertian kejahatan korporasi oleh Clinard dan Yeager, bahwa: A corporate crime is any act committed by corporations that is punished under administrative, civil, or criminal law.[25] Hal sama dinyatakan oleh Steven Box sebagai berikut: Corporate crime is crime irrespective of whether it is only punishable by administrative body, or whether it merely violates individuals civil rights. It might be wondered why much corporate crime is dealt with by administrative agencies rather than criminal courts, but that does not justify excluding corporate acts regulated by administrative agencies from the study of corporate crime.[26]
Adapun karakteristik dari korban kejahatan korporasi diungkapkan oleh Clinard dan Yeager sebagai: Victims of corporate crimes ... are often unware that they have been taken. Examples are share holders who receive a falsified balance sheet, consumers who have paid an inſlated price for a product as a result of antitrust collusion, or consumers who have accepted with confidence the misleading advertising claims made for a product without knowledge of its financial or health effects on them.[27]
Steven Box mengemukakan bahwa karakteristik korban kejahatan korporasi memengaruhi penegakan hukum terhadap kejahatan korporasi tersebut. Dikemukakan Box bahwa korban kejahatan korporasi tidak menyadari menjadi korban sehingga berakibat pada pengawasan yang tidak efektif atau denda yang kecil dan hukuman ringan. Pemberian cap criminal yang kecil atau sedikit kurang memberikan efek jera (general maupun special), pengaruh kejahatan menjadi meluas karena dibenarkan dan tidak ada reaksi dari masyarakat, sedikit dimuat di media massa.[28]
Karakteristik korban kejahatan korporasi di atas, memberikan fenomena persepsi korban terhadap perbuatan merugikan terhadapnya. Hal ini dapat pula dikategorikan sebagai 'abstract victims' dan collective victims karena tidak menyadari sebagai korban, dan sulitnya korban teridentifikasi. Misalnya pada masyarakat pembeli barang atau konsumen. Apabila penulis kaitkan dengan judul penulisan ini, maka korban dari bekerjanya peradilan pidana pun dapat berkarakteristik sebagai 'abstract victims', di samping kedudukan korban yang berposisi sebagai korban konkret. Alasan yang ada yaitu: pertama, karena kejahatan yang menimpanya; dan kedua, menjadi korban karena perlakuan merugikan dari bekerjanya peradilan pidana.
Perlu pula dikemukakan bentuk korban lainnya yang termasuk dalam muatan teori criminal-function relationship dari Stephen Schaffer, yaitu teori yang mencoba menelaah tanggung jawab fungsional dalam hubungan korban dengan pembuat kejahatan. Dalam hal ini dikemukakan pendapat Benjamin Mendelsohn dan Stephen Schaffer mengenai kualifikasi korban meliputi bentuk keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan.
Mendelsohn mengemukakan keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan dapat dibedakan menjadi enam kategori berdasarkan derajat kesalahannya, yaitu:
1.      Korban sama sekali tidak bersalah.
2.      Seseorang menjadi korban karena kelalaiannya sendiri.
3.      Korban sama salahnya dengan pelaku.
4.      Korban lebih bersalah daripada pelakunya.
5.      Korban adalah satu-satunya yang bersalah.
6.      Korban pura-pura dan korban imajinasi.[29]
Schaffer mengemukakan tipologi korban sebagai berikut:
1.      Unrelated victims, yaitu mereka yang tidak mempunyai hubungan apa pun dengan penjahat kecuali jika si penjahat telah melakukan kejahatan terhadapnya. Menurut Schaffer semua masyarakat potensial untuk menjadi korban. Hal ini berarti tak seorang pun terlindungi untuk menjadi korban tanpa memperhatikan apakah sebelumnya korban mempunyai hubungan dengan pelaku. Dalam hal tanggung jawab terletak penuh di pihak penjahat.
2.      Provocative victims, yaitu siapa yang melakukan sesuatu terhadap terjadinya pelanggaran, konsekuensinya menjadi perangsang atau mendorong untuk menjadi korban. Misalnya mempunyai 'affair' dengan orang lain. Dalam hal ini korban merupakan pelaku utama. Pertanggungjawaban terletak pada pihak korban dan pelaku.
3.      Precipitative victims, yaitu mereka yang secara khusus tidak berbuat sesuatu terhadap penjahat, tetapi tidak terpikirkan bahwa tingkah lakunya mendorong pelaku untuk berbuat jahat terhadap dirinya. Misal, berjalan sendiri di tempat gelap yang sepi dan merangsang penjahat untuk merampok atau memerkosa. Pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku.
4.      Biological weak victims, yaitu mereka yang mempunyai bentuk fisik atau mental tertentu yang menyebabkan orang melakukan kejahatan terhadapnya. Misalnya anak kecil, lanjut usia, wanita, dan orang cacat. Dalam hal ini pertanggungjawaban terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat, karena tidak melindungi para korban yang tidak berdaya.
5.      Socially weak victims, merupakan orang-orang yang tidak diperhatikan oleh masyarakat luas sebagai anggota dalam masyarakat tersebut. Misalnya para imigran, penganut agama tertentu, dan minoritas etnis yang mempunyai kedudukan sosial yang lemah. Dalam kondisi ini, pertanggungjawaban penuh terletak pada penjahat atau masyarakat.
6.      Self-victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri. Beberapa literatur menyatakan ini sebagai kejahatan tanpa korban. Akan tetapi pandangan ini menjadi dasar pemikiran bahwa tidak ada kejahatan tanpa korban. Semua/setiap kejahatan melibatkan dua hal, yaitu penjahat dan korban. Contoh pencandu obat bius, homoseks, alkoholik, dan judi. Pertanggungjawaban terletak penuh pada si pelaku, yang juga sekaligus menjadi korban.
7.      Political victims, yaitu mereka yang menderita karena lawan politiknya. Korban ini secara sosiologis tidak dapat dipertanggungjawabkan.[30]
Ezzat Abdel Fattah mengemukakan tipologi korban sebagai berikut:
1. Non-participating victims/korban non partisipatif.
2. Latent or predisposed victims/korban yang bersifat laten.
3. Provocative victims/korban provokatif.
4. Participating victims/korban partisipatif.
5. False victims/korban karena kekeliruan.
Korban nonpartisipatif ialah mereka yang mempunyai sikap menolak atau anti terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan, dan mereka yang tidak berperan serta dalam hal timbulnya kejahatan yang ditujukan terhadap mereka. Korban yang bersifat laten ialah mereka yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang cenderung menempatkan diri mereka sebagai pihak korban dari suatu bentuk kejahatan tertentu. Korban provokatif ialah mereka yang bersikap mempercepat atau merangsang timbulnya kejahatan, dimaksudkan di sini bahwa sikap dan perilaku korban cenderung menimbulkan rangsangan bagi pihak pelaku kejahatan untuk melakukan kejahatan terhadap mereka. Korban partisipatif adalah korban yang karena sikap pasifnya cenderung menjadikan diri mereka mudah menjadi korban kejahatan. Korban karena kekeliruan ialah mereka yang memang bukan dari bentuk kejahatan apa pun, tetapi mereka merasa atau menganggap dirinya sebagai korban.[31]
Pendapat Mendelsohn dan Schaffer, dan Fattah tersebut diatas memberikan perspektif bagi dikajinya peranan korban dalam sebab-sebab terjadinya kejahatan. Pendapat tersebut masih mengacu pada pemkiran positivistik pada kejahatan klasik belaka, ataupun kejahatan yang telah ditunjuk oleh undang-undang sebagai kejahatan, di samping itu fokus perha-tian studi yang masih berkutat pada sebab musabab kejahatan akan menutup mata terhadap bentuk kejahatan atau bentuk tindakan yang menimbulkan korban, namun tidak diklarifikasi sebagai perbuatan jahat yang menimbulkan korban oleh perundang-undangan, baik secara psikis maupun ideologis sebagai telah melanggar nilai-nilai moral, misalnya akibat bekerjanya hukum ataupun akibat bekerjanya aparat penegak hukum yang mengeliminasi hak-hak asasi korban.
Pemikiran Mendelsohn, Schaffer, dan Fattah hanya mencakup lingkup korban dalam arti sempit berupa kejahatan konvensional, tanpa mengacu pada proses sosial yang terjadi di masyarakat, walaupun penulis mengakui bahwa dengan mengetahui peranan dan karakteristik korban dalam terjadinya delik, bermanfaat bagi penegak hukum khususnya dalam kegiatan dan usaha pencegahan kejahatan, dan memberi perspektif pula dalam mempelajari peranan korban dalam kejahatan korporasi. Tipologi tipe-tipe korban yang potensial untuk menjadi korban seperti wanita dan anak-anak dalam keluarga menurut penulis bermanfaat pula untuk mengkaji berbagai realitas sosial proses viktimisasi yang kurang mendapat perhatian masyarakat sebagai telah menimbulkan korban.
Pemikiran korban memiliki tanggung jawab fungsional atas terjadinya kejahatan dibahas pula dalam Seminar Kriminologi III yang diadakan di UNDIP Oktober 1976. Pemikiran ini memperoleh kritik dari Soemardjo, pemrasaran dari kepolisian dan dinyatakan tentang kekurangsepakatan beliau terhadap uraian bahwa korban mempunyai tanggung jawab fungsional atas terjadinya kejahatan. Kekurangsependapatannya terhadap pemikiran korban sebagai partisipan dalam tindak pidana, yaitu andai kata hukum juga meminta pertanggungjawaban korban, maka menimbulkan keadaan di mana korban tidak lagi atau enggan melaporkan atas terjadinya suatu tindak pidana yang menimpa atas dirinya. Fungsi kewaspadaan dari individu sebagai korban maupun calon korban dalam mencegah terjadinya kejahatan telah ada, yaitu alat keamanan atau penegak hukum. Apa yang bisa diakibatkan oleh sikap atau perbuatan korban sehingga terjadi tindak pidana itulah yang menjadi pertimbangan hukum untuk menemukan suatu perkara dan mungkin dijadikan dasar bagi hakim. Alasannya, bahwa batas-batas tertentu korban memang mungkin apabila sikap atau perbuatan korban nyata-nyata provoking. Dalam hal korban nyata-nyata bersikap atau berbuat provoking, maka ini adalah porsi hakim untuk:
1.      Menentukan berat ringannya hukuman terhadap pelaku tindak pidana, tetapi bukan untuk meminta pertanggungjawaban korban.
2.      Menentukan besar kecilnya ganti rugi yang akan dibebankan kepada pelaku tindak pidana.[32]

Apabila dikaitkan dengan wacana baru viktimologi, perspektif korban memang tidak hanya semata-mata 'victim centered'. Namun perlu pula dikaji optik mengenai korban yang patut diperhatikan dalam rangka strategi untuk melihat korban lebih sebagai subjek daripada sebagai objek untuk melihat kesalahan korban.[33]
Pemikiran viktimologi yang dilandaskan pada kerangka pemikiran baru telah meninggalkan pendekatan positivistis (mencari sebab musabab kejahatan, etiologi kriminal), yaitu dalam kriminologi kritis/critical criminology lebih memperhatikan proses yang terjadi dalam sistem peradilan pidana dan struktur masyarakatnya, sehingga membuka mata pula terhadap proses penegakan hukum dan perundang-undangan yang dirasa justru menimbulkan fakta viktimisasi terhadap masyarakat.
Pendefinisian viktimisasi dikemukakan oleh Sahetapy sebagai:
Penderitaan baik secara fisik maupun secara psikis atau mental bertalian dengan pelbagai perbuatan. Perbuatan yang dilakukan itu bisa dari perorangan, suatu kelompok tertentu, suatu komunitas tertentu, bahkan juga dari pihak penguasa, sehingga korban bukan saja perorangan, melainkan dapat pula beberapa orang, sekelompok orang, atau komunitas tertentu atau sebagian dari rakyat yang menderita bukan saja secara fisik, melainkan inklusif dalam arti finansial, ekonomis, sosial, agama, dan dalam artian psikis secara luas. [34]

Oleh karena itu, viktimologi membawa perspektif pula bagi pembuatan dan penegakan hukum pidana yang dikaitkan dengan pemikiran perlindungan bagi korban. Terminologi di atas memberi arti bagi sumbangan viktimologi dalam hukum pidana.
Pemahaman korban dalam makna luas di atas didukung oleh pemikiran kritis atas konsepsi lama viktimologi mengenai korban yang senantiasa dikaitkan dengan peranan korban dalam terjadinya kejahatan.[35] Sebagaimana viktimologi yang  dikemukakan Von Hentig dan Mendelsohn, merupakan viktimologi yang berwawasan sempit. Dalam perkembangan terakhir yaitu 'new victimology' pendekatan viktimologi berkembang luas dengan kajian permasalahan korban karena abuse of power dan hak asasi manusia.[36]Paradigma demikian mempelajari proses viktimisasi struktural atau penimbulan korban oleh struktur sosial tertentu dan sistem-sistemnya, khususnya dalam tulisan ini adalah dalam peradilan pidana. Perluasan wawasan viktimologi dipengaruhi oleh perkembangan terakhir dalam kriminologi, khususnya setelah 1970-an dengan lahirnya kriminologi kritis yang memperluas dan meredefinisi kejahatan. Pendekatan kriminologi kritis menentukan pula macam-macam korban dan perhatian yang lebih bermakna terhadap kejahatan korporasi daripada kejahatan tradisional.[37]
Sejalan dengan terminologi tersebut, ruang lingkup perlindungan korban dalam tulisan ini lebih ditegaskan apakah lembaga dan pranata hukum dalam peradilan pidana sebagai system of institutional trust menjalankan fungsi hukumnya sebagai criminal justice bagi korban yang mengakomodasi hak asasi korban, ataukah justru bekerjanya peradilan pidana memunculkan suatu 'korban ganda' yang terjadi sebagai suatu viktimisasi struktural. Beranjak dari terminologi ini difokuskan perhatian kepada korban yang timbul karena proses viktimisasi dari peradilan pidana.


Sumber:
Maya Indah.2014.Perlindungan Korban: Suatu Perspektif Viktimologi dan Kriminologi.Kharisma Putra Utama.Jakarta, hal.22-42
Tugas Mandiri
1.      Jelaskan jenis-jenis victimology berdasarkan pendapat Sahetapy?
2.      Jelaskan defenisi “korban” menurut pada ahli dan pendapat anda?
3.      Jelaskan pengertian “perlindungan” korban dari pendapat ahli?
4.      Jelaskan karakteristik korban langsung?
5.      Jelaskan pengertian kejahatan kerah putih?
6.      Jelaskan kategori keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan menurut Mendelsohn?
7.      Jelaskan tipologi korban menurut Schaafter?











        

[1] Sahetapy, Op. cit., h. 25.
[2] Susanto, Op. cit, 1995, h. 1.
[3] Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan. (Jakarta: Akademika Pressindo, 1993), h. 140
[4] Sahetapy, Op.cit, 1995, h. vi, vii.
[5] Report Seventh United Nations Congress on the Prevention of Crime andThe Treatment of Offenders, Milan, 26-6 September 1985, (New York: UnitedNations, 1986), p. 45.
[6] Ibid., p. 47.

[7] Istilah/definisi korban dapat dikemukakan dalam definisi legal (yang dibatasi oleh peraturan perundang-undangan hukum pidana, tetapi juga definisi sosiologis yang merupakan konstruksi korban secara luas meliputi pengertian korban yang berada di luar jangkauan hukum yang diartikan sebagai: perbuatan yang tidak tercantum dalam KUHP ataupun tidak melanggar undang-undang, namun sangat merugikan masyarakat, dan perbuatan yang tidak terjangkau oleh penegakan hukum karena sifat penerapan hukum yang selektif dan beragam. Lihat Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Peradilan Pidana, (Jakarta: Lembaga Kriminologi UI,1994a), h. 88.
[8] Zvonimir Paul Separovic, Victimology Studies of Victims, (Zagreb: Samobor - Novaki bb,Pravni fakultet, 1985), p. 23.
[9] Ibid., p. 43.
[10] Ezzat A. Fattah, the Use of the Victim as an Agent of Self Legitimation: Toward a Dynamic Explanation of Criminal Behavior, dalam Viano, Emilio, Victims and Society,( Washington D.C.: Visage Press, 1976), h. 110.
[11] Separovic, Op. cit, h. 23. Dalam Ibid., h. 8, diutarakan bahwa dalam klasifikasi kriminologi mencakup pula non-crime victims, such as accident victims, actual and potential victims, known and unknown (non-reporting) victims, the simulating (false victim, the victim of an attempt offense, te co-victim, and some others.
[12] Sahetapy, Bunga Rampai Viktimisasi, (Bandung: Eresco, 1995), h. Vi. Korban yang meliputi orang sekelompok orang/komunitas tertentu/sebagian dari rakyat bukan saja menderita secara fisik, melainkan inklusif dalam arti finansial ekonomis, sosial, agama, dan dalam artian psikis secara luas. Bandingkan dengan Arif Gosita, Op. cit., h. 63 bahwa korban adalah mereka (individu, atau kelompok baik swasta maupun pemerintah) yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.
[13] Richard Quinney, Iho is the Victim dalam Drapkin, Israel, Viano, Emilio. Victimology, (Toronto-London: Lexington Books d.C. Heath and Company Lexington, 1974, p. 103.

[14] Ibid., p. 104.
[15] Reksodiputro, Op.cit., 1994 a, h. 88.
[16] Separovic, Op. cit., p. 23.
[17] M. Cherif Bassiouni, The protection of Human Rights in the Administration of Criminal justice, a Compendium of United nations Norms and Standards, collaboration with Alfred de Zayas, Geneva: Irvington-on-hudson, New York, Centre for Human Rights United Nations, 1994, p. 295.
[18] 45 Ibid., h. 323.
[19] Dalam Pasal 72 dan 73 KUHP, dinyatakan ahli waris terdiri dari suami/istri dan keluarga sedarah garis lurus serta garis menyamping. Keluarga sedaralı garis lurus terbagi dua, yaitu garis lurus ke atas: orang tua, dan garis Jurus ke bawah: anak-anak dan cucu. Keluarga sedarah garis menyamping yaitu sampai derajat ketiga.

[20] Bandingkan dengan A. Fattah, Op.cit., p. 110, baliwa korban dapat bersifat abstrak seperti public order, religion, morality, decency, public security, dan public health. Bandingkan Separovic, Op. cit., p. 43, bahwa cakupan korban meliputi a physically or moral persons (corporation, state, association, or nonspecific, an abstraction (public order, public health, religion, etc.).
[21] Koenarto, Budaya Bisnis dan Kriminalitas; Tinjauan Khusus Upaya Kriminalisasi Terhadap Korporasi, dalam Praktik Bisnis Curang, penyunting Adfrianus Meliala, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), h. 172. Bandingkan dengan pendapat penulis mengenai korban abstrak
[22] Marshall B. Clinard; Peter C. Yeager, Corporate Crime, Collaboration of Ruth Blackburn Cinard, (New York: Free Press - Collier Macmillian, London, 1980), p. 7
[23] Edwin H. Sutherland, White-Collar Criminality, dalam Geis, Gilbert; Meier, Robert F., White Collar Crime, Offenses in Business, Politics, and the Profesions, (New York: The Free Press, 1977), p. 38-40.
[24] Sutherland, Ibid., p. 46.
[25] Marshall B Clinard, Peter C. Yeager, Op. cit., p. 16.
[26] 51 Box, Op. cit., p. 22.

[27] Clinard; Yeager, Op. cit., p. 7.
[28] Steven, Op. cit., p. 64,

[29] Schaffer, Op. cit., p. 19.
[30] Dalam Separovic, Op. cit., p. 158.
[31] Loc. cit.
[32] Soemardjo, Kedudukan Si Korban di Dalam Tindak Pidana, laporan Seminar Kriminologi III, Lembaga Kriminologi Fak. Hukum UNDIP, 26-27 Oktober1976, Semarang, h. 169-170.
[33] Lihat Reksodiputro, Op.cit., 1994 a, h. 88.
[34] Sahetapy, Op.cit., 1.1995, h. vi.
[35] Konsep pemikiran klasik-positivistik dalam kriminologi hubungan menyebabkan studi viktimologi masih berkutat pada pola pemahaman mencari hubungan sebab akibat antara perilaku korban dengan pelaku kejahatan. Pemahaman korban sempit terbatas oleh definisi korban menurut hukum pidana positif dalam kejahatan klasik. Pemahaman korban senantiasa dipelajari dari victim-offender relationship yang dilakukan dengan menggunakan konsep 'victim precipitation atau victim provocative dalam kerangka tanggung jawab fungsional korban dalam terjadinya kejahatan. Baca Stephen Schaffer, The Beginning of Victimology, dalam Israel Drapkin, Emilio Viano ,Op.cit, p. 17-28. Lihat Richard Quinney, Who is the Victim, dalam Ibid., p. 105. Baca pula Leslie Sebba, Victims of Offences, dalam Criminal Law in Action, ed. van Dijk, Haffmans, Ruter, Schutte, Stolwijk, Deventer, Netherlands: Kluwer Law and Taxation Publihser, 1988, p. 379-380. The more recent second generation of victimologists perhaps better termed victims advocates, such as Marlene Young and Invin Waller by pressing for legal and political recognition of the rights of victims have by implication emphasized and trengthened the normative dichotomization between offender and victims.
[36] R. Ellias, dalam Separovic, Op. cit., p. 29. Perkembangan viktimologi memiliki tiga fase: pertama, viktimologi hanya mempelajari korban kejahatan sebagai penal or special victimology; kedua, diperluas meliputi korban kecelakaan sebagai 'general victimology; dan fase ketiga, konsep diperluas dengan korban karena abuse of power and human rights sebagai 'new victimology.

[37] Aliran pemikiran baru dalam kriminologi yang meninggalkan pendekatan klasik yang mencari kejahatan dalam ranah perundang-undangan dan kejahatan klasik, serta pendekatan positivistis yang mencari sebab musabab kejahatan: etiologi kriminal, lebih memperhatikan proses yang terjadi dalam sistem peradilan pidana dan struktur masyarakatnya. Baca dalam Barlow, Op. cit., p. 25-26, dan p. 65-67.

1 comment:

  1. Nama : Rocky Al'amin
    Nim. : 18202048
    Kelas : 4m2

    1. Jelaskan jenis-jenis victimology berdasarkan pendapat Sahetapy?
    Jawab :
    1) Pertama, viktimisasi politik.
    2) Kedua, viktimisasi ekonomi.
    3) Ketiga, viktimisasi keluarga.
    4) Keempat, viktimisasi media.
    5) Kelima, viktimisasi yuridis.

    2. Jelaskan defenisi “korban” menurut pada ahli dan pendapat anda?
    Jawab :
    Sehubungan dengan definisi serta ruang lingkup korban, dapat dikemukakan pendapat Ezzat A. Fattah yang memberikan pemahaman bahwa dalam banyak kejahatan, korban tidak selalu bersifat nyata dan orang yang dapat teridentifikasi, tetapi korban dapat bersifat abstrak seperti arti nilai-nilai yang ada dan menjadi kepentingan masyarakat. Sedankan menurut saya korban adalah segala sesuatu yang menjadi dampak dari suatu kerusakan atau kejahatan.

    3. Jelaskan pengertian “perlindungan” korban dari pendapat ahli?
    Jawab :
    Sejalan dengan terminologi tersebut, ruang lingkup perlindungan korban dalam tulisan ini lebih ditegaskan apakah lembaga dan pranata hukum dalam peradilan pidana sebagai system of institutional trust menjalankan fungsi hukumnya sebagai criminal justice bagi korban yang mengakomodasi hak asasi korban.

    4. Jelaskan karakteristik korban langsung?
    Jawab :
    1) Korban adalah orang, baik secara individu maupun secara kolektir;
    2) Menderita kerugian, termasuk: luka fisik, luka mental, penderitaan emosional, kehilangan pendapatan, penindasan terhadap hak dasar manusia
    3) Disebabkan oleh adanya perbuatan atau kelalaian yang terumuskan dalam hukum pidana, baik dalam taraf nasional, maupun local levels; atau

    5. Jelaskan pengertian kejahatan kerah putih?
    Jawab :
    Istilah white collar crime diistilahkan pertama kali oleh Edwin H. Sutherland sebagai kejahatan yang dilakukan oleh orang terhormat, dari kalangan atas, kalangan bisnis maupun profesional sehubungan dengan kedudukannya. Tipe kejahatan kerah putih dalam bisnis maupun profesional memiliki prinsip kejahatan terhadap kepercayaan yang telah diberikan.

    6. Jelaskan kategori keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan menurut Mendelsohn?
    Jawab :
    1) Korban sama sekali tidak bersalah.
    2) Seseorang menjadi korban karena kelalaiannya sendiri.
    3) Korban sama salahnya dengan pelaku.
    4) Korban lebih bersalah daripada pelakunya.
    5) Korban adalah satu-satunya yang bersalah.
    6) Korban pura-pura dan korban imajinasi.

    7. Jelaskan tipologi korban menurut Schaafter?
    Jawab :
    1) Unrelated victims, yaitu mereka yang tidak mempunyai hubungan apa pun dengan penjahat kecuali jika si penjahat telah melakukan kejahatan terhadapnya.
    2) Provocative victims, yaitu siapa yang melakukan sesuatu terhadap terjadinya pelanggaran, konsekuensinya menjadi perangsang atau mendorong untuk menjadi korban.
    3) Precipitative victims, yaitu mereka yang secara khusus tidak berbuat sesuatu terhadap penjahat, tetapi tidak terpikirkan bahwa tingkah lakunya mendorong pelaku untuk berbuat jahat terhadap dirinya.
    4) Biological weak victims, yaitu mereka yang mempunyai bentuk fisik atau mental tertentu yang menyebabkan orang melakukan kejahatan terhadapnya.
    5) Socially weak victims, merupakan orang-orang yang tidak diperhatikan oleh masyarakat luas sebagai anggota dalam masyarakat tersebut.
    6) Self-victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri.
    7) Political victims, yaitu mereka yang menderita karena lawan politiknya. Korban ini secara sosiologis tidak dapat dipertanggungjawabkan.

    ReplyDelete