Pendefinisian
dan tipe-tipe korban
Beranjak dari
pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup viktimologi membawa
pada paradigma korban dalam arti luas, yaitu meliputi bagaimana seseorang
(dapat) menjadi korban atau berfokus pada proses terjadinya viktimisasi yang
bukan hanya karena kejahatan, melainkan juga karena penyalahgunaan kekuasaan
atau bekerjanya lembaga dan pranata hukum yang tidak berkeadilan. Batas ruang
lingkup viktimologi tidak harus selalu dikaitkan dengan faktor kejahatan, karena
ditentukan oleh apa yang disebut ‘viktimitas' yang tidak sama dengan crime.[1]
Beranjak dari
terminologi di atas, pendefinisian korban yang berakibat pada pergeseran ruang
lingkup kajian terhadap eksistensi korban adalah dari kajian korban kejahatan
konvensional, atau meminjam istilah I. S. Susanto sebagai kejahatan warungan[2]
seperti penganiayaan, pembunuhan, pencurian, perkosaan, dan beralih kepada
studi tentang korban dari kejahatan non-warungan
atau kejahatan korporasi ataupun kejahatan white collar crime termasuk
kepada bekerjanya penegakan hukum untuk tidak menimbulkan proses viktimisasi.
Realitas viktimisasi Dengan demikian, diperluas mencakup penyalahgunaan secara
melawan hukum kekuasaan umum (iliegal abuses of public power) seperti
pelanggaran terhadap hak asasi manusia, penyalahgunaan wewenang oleh pemegang
kekuasaan, ataupun illegal abuses of economic power dan bentuk-bentuk
viktimisasi struktural lainnya seperti diskriminasi dalam perundang-undangan,
ketidakadilan dalam lembaga dan pranata hukum/pembuatan dan bekerjanya
hukum. Pendekatan ini sejalan dengan perhatian yang diarahkan untuk memperluas
realitas korban dalam masyarakat.
Bentuk korban
yang luas yaitu mencakup korban dari viktimisasi struktural. Perumusan
viktimisasi struktural oleh Gosita dikatakan sebagai:
Suatu
viktimisasi (mental, fisik, dan sosial) yang diakibatkan oleh ada dan tidak
adanya unsur-unsur struktur sosial
tertentu serta pelaksanaannya.
Lebih lanjut dikemukakan:
...
Pada hakikatnya merupakan tindakan seorang individu yang dilakukannya sendiri
atau bersama-sama dengan orang lain sebagai unsur suatu kelompok (korporasi
tertentu). Individu ini bersikap dan bertindak berdasarkan atau atas tuntutan
unsur-unsur struktur sosial tertentu ini
antara lain kepentingan, lembaga sosial, nilai-nilai sosial, norma, status, dan
peranan. Unsur kepentingan merupakan motivasi orang melakukan viktimisasi
struktural berdasar suatu sistem (tatanan hukum) tertentu; unsur lembaga
sosial, pemerintahan/publik, dan sebagainya; unsur nilai sosial berarti
penafsiran, pengembangan dan pengamalan nilai sosial oleh golongan tertentu
demi kepentingan tertentu; unsur norma terutama hukum, peraturan yang dapat
menimbulkan penderitaan, korban mental, fisik, dan sosial dalam pengamalannya
yang tidak mengembangkan perspektif kepentingan yang diatur tetapi perspektif
kepentingan yang mengatur, misalnya
belum ada pengaturan dalam hukum pidana mengenai ganti rugi; unsur
status, misalnya golongan berkuasa atau tidak swasta atau pemerintah; dan unsur
peran sesuai dengan statusnya.[3]
Sahetapy
mengemukakan paradigma viktimisasi dalam berbagai golongan, yang dinyatakan
tidak bersifat limitatif, yaitu:
Pertama,
viktimisasi politik dalam kategori ini dapat dimasukkan aspek
penyalahgunaan kekuasaan, perkosaan hak asasi manusia, campur tangan angkatan
bersenjata di luar fungsinya, terorisme, intervensi, dan peperangan lokal atau
dalam skala internasional.
Kedua,
viktimisasi ekonomi, terutama kolusi antara penguasa dan pengusaha,
produksi barang-barang yang tidak bermutu atau yang merusak kesehatan, termasuk
dalam aspek ini pencemaran terhadap lingkungan hidup dan rusaknya ekosistem.
Ketiga,
viktimisasi keluarga, seperti perkosaan antara keluarga, penyiksaan
terhadap anak atau istri dan menelantarkan kaum manula (manusia usia lanjut)
atau orangtuanya sendiri.
Keempat,
viktimisasi media, dalam hal ini dapat disebut penyalahgunaan obat bius,
alkoholisme, mal pratik di bidang kedokteran, eksperimen kedokteran yang
melanggar (etik) perikemanusian.
Kelima,
viktimisasi yuridis. Dimensi ini cukup luas dan menyangkut aspek
peradilan (dan lembaga pemasyarakatan), maupun yang menyangkut dimensi
diskriminasi perundang-undangan, termasuk menerapkan 'hukum kekuasaan, kematian
perdata, dan stigmatisasi kendatipun sudah diselesaikan aspek peradilannya.[4]
Kongres PBB ke-7
yang membicarakan The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders di
Milan melalui Declaration of Basic Principle of Justice for Victims of Crime
and Abuse of Power sebagai rancangan resolusi tentang perlindungan korban,
dan akhirnya menjadi Resolusi MU PBB No. 40/34 mendefinisikan korban kejahatan
dalam butir No.1 sebagai:
“Persons
who individually or collectively, have suffered harms, including physical or
mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of
their fundamental rights, throughis acts or omission that are in violation of
criminal laws operative within member states, including those law proscribing
criminal abuse of power.”[5]
Dalam butir
ke-18 dinyatakan pula bahwa pendefinisian korban termasuk juga orang atau
sekelompok orang yang menjadi korban dari perbuatan-perbuatan yang walaupun belum
merupakan pelanggaran terhadap hukum pidana nasional yang berlaku, tetapi sudah
merupakan pelanggaran menurut norma-norma HAM yang diakui secara internasional.[6]
Paradigma
pendefinisian korban dalam instrumen internasional tersebut, mensubstansikan
bahwa paradigma mengenai korban tidak hanya dikaitkan dengan pengertian korban
dalam arti sempit dengan kejahatan dalam artian klasik. Perkembangan paradigma
viktimologi memperluas pengertian korban dengan suatu realitas alternatif,
yaitu mengaitkan dengan perbuatan lain yang bersifat menimbulkan korban di luar
bidang hukum pidana, termasuk di dalamnya perbuatan yang melanggar hak asasi
korban dari penyalahgunaan kekuasaan.[7]
Pendefinisian
korban yang mempertanyakan siapakah korban?, terkait dengan persoalan mengenai
perlindungan terhadapnya. Zvonimir Paul Separovic memberikan definsi korban
sebagai berikut:
“...
Those persons who are threatened, injured or destroyed by an act or omission of
another (man, structure, organization or institution) and consequently. A
victim would be anyone who has suffered from or been threatened by a punisable
act (not only criminal act but also other punishable acts as misde meanors,
economic offences, 1101-fulfilment of work duties) orfrom an accident (accident
at work, at home, traffic accident, etc.). Suffering may be caused by another
man (man-made victim)or another structure, where people are also involved. [8]
Perlindungan
korban tercakup di dalamnya dengan masalah perlindungan hak asasi manusia dalam
sistem structural yang ada. Hal ini terlihat dari perspektif Separovic yang
memperluas studi mengenai korban dalam viktimologi mencakup penderitaan
manusia. Selanjutnya dalam halaman lain Separovic menegaskan pula “the
rights of the victim are a component part of the concept of human rights.
"[9]
Sehubungan
dengan definisi serta ruang lingkup korban, dapat dikemukakan pendapat Ezzat A.
Fattah yang memberikan pemahaman bahwa dalam banyak kejahatan, korban tidak
selalu bersifat nyata dan orang yang dapat teridentifikasi, tetapi korban dapat
bersifat abstrak seperti arti nilai-nilai yang ada dan menjadi kepentingan
masyarakat: public order,religion, mortality, decency, public security,
public health, etc.[10]
Separovic mengemukakan pula cakupan korban meliputi a physical or moral
persons (corporation, state, association) or nonspecific, an abstraction
(public order, public health, religion).[11]
Berdasar
terminologi di atas, dapat dikemukakan ruang lingkup pengertian korban
dalam pengertian ini, yaitu dalam pengertian arti luas meliputi:
penderitaan atau kerugian yang dialami manusia, korporasi, baik secara
fisik ataupun psikis, dan reduksi nilai-nilai dalam artian psikis secara
luas, seperti perwujudan fungsi hukum dalam mengakomodasi nilai hak asasi
manusia, antara lain nilai keadilan, nilai perlindungan, dan nilai
demokrasi, karena perbuatan kejahatan ataupun penyalahgunaan kekuasaan.[12]
Berangkat dari
pemikiran viktimologi yang dipengaruhi oleh kriminologi, maka definisi korban
atau siapakah korban mempunyai makna sempit dalam kajian kriminologi klasik dan
positivistis. Makna korban dalam arti sempit sebagaimana dikemukakan Perkins
sebagai: a crime is any social harms defined and punishable by law.
Dalam pengertian legal definitions of crime', maka pengertian korban
adalah sebagai penderitaan/kerugian yang dialami orang atau sekelompok orang
karena perbuatan jahat sebagaimana yang telah dirumuskan dan dapat dipidana
dalam hukum pidana.[13]
Dalam
pengertian/definisi korban secara sosiologis, maka keberadaan korban jauh lebih
kompleks daripada konsep korban dalam hukum pidana. Hal ini tidak lain akibat
pengkonstruksian pemahaman terhadap pengkonstruksian kejahatan itu sendiri oleh
kekuasaan melalui lembaga dan pranata hukum khususnya dalam peradilan pidana,
dan akhirnya memberikan pengkonstruksian korban.[14]
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tidak semua perbuatan yang
mengakibatkan kerugian dan kerusakan masyarakat dapat dipidana. Pendefinisian
korban secara luas mengkaji proses sosial yang memengaruhi pembuatan dan bekerjanya
lembaga dan pranata untuk mempersepsi dan mereaksi terjadinya korban.
Hal ini sejalan
dengan pemikiran agar ruang lingkup viktimologi jangan dibatasi oleh hukum
pidana. Kongres PBB Keenam di Caracas 1980 dalam pembicaraan mengenai 'crime
and the abuse of power', offences and offenders beyond the reach of the law'
memberi makna pula pada perkembangan viktimologi. Pengertian di luar jangkauan
hukum harus diartikan sebagai:
1. Perbuatan
yang tidak tercantum dalam KUHP ataupun tidak melanggar undang-undang, namun
sangat merugikan masyarakat.
2. Perbuatan
yang telah terjangkau oleh undang-undang, akan tetapi tidak terjangkau oleh
penegakan hukum karena sifat penerapan hukumnya yang selektif dan beragam.[15]
Berdasarkan
pemikiran tersebut, dapat dikemukakan definisi korban dalam viktimologi baru
sebagaimana dikemukakan oleh Separovic sebagai 'who are threatened, injured
or destroyed by an act or ommision of another (man, structure, organization, or
institution)....[16]
Sebagaimana
dirumuskan dalam Declaration of Basic Principle of Justice for Victims of
Crime and Abuse of Power, bahwa korban didefinisikan dalam victims of
crimes dan victims of abuses of power. Dinyatakan bahwa:
A. Victims
of crime
1. Victims
means persons who, individual or collectively, have suffered harm, including
physical or men tal injury, emotional suffering, economic loss or substansial
impairment of their fundamental rights, through acts or omissions that are in
violation of criminal laws operative within member States, including those laws
prescribing criminal abuse of power.
2. A
person may be considered a victim, under this Declaration, regardless of
whether the perpetrator is identified, apprehended, prosecuted or convicted and
regardless of the familial relationship between the perpetrator and the victim.
The term 'victim' also includes, where appropriate, the immediate family, or
dependants of the direct victim and persons who have suffered harm in
intervening to assist victims in distress or to prevent victimization.
Komentar
terhadap angka 1 dikemukakan: it notes that the provisions in question apply
to those who are victims of crimes as determined by laws, operative within
state. Such laws, may be promulgated at the national, state, or local levels.[17]
B. Victims
of abuse of power
18.
Victims means persons who, individually or collectively, have suffered
harın, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or
substantial impairment of their fundamental rights, through acts or omissions
that do not yet constitute violations of national criminal laws but of
internationally recognized norms relating to human rights.[18]
Implikasi dari
prinsip ke-18 dinyatakan:
States
should review their law and practises with a view to improving the position of
victims of violations of internationally recognized norms relating to human
rights, including norms of international law protecting the life, liberty, personal
security, and well being of individuals and groups under Article 38 of the
Statute of the International Court of Justice. The sources of international law
under Article 38 are international convention, whether general or particular, establishing
rules expressly recognozed by the contesting States; international custom, as
evidence of a general practise accepted as law; the general principles of law
recognized by “civilized nations”, and subject to article 59 of the Statute of
the International Court of Justice, judicial decisions and the teachings of the
most highly qualified publicist of the various nations, as subsidiary means for
the determination of rules of law.
Berdasar
definisi tersebut, jelaslah bahwa definisi korbanmeliputi pula definisi direct
victims of crime atau korban tindak pidana yang secara langsung dan korban
tindak pidana yang tidak langsung (indirect victims of crime), baik secara
individu maupun secara kolektif yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental,
maupun material, serta mencakup korban dari penyalahgunaan kekuasaan.
Korban langsung
(direct victims) yaitu korban yang langsung mengalami dan
merasakan penderitaan dengan adanya tindak pidana kejahatan. Korban langsung
memiliki karakteristik, yaitu:
1. Korban
adalah orang, baik secara individu maupun secara kolektir;
2. Menderita
kerugian, termasuk: luka fisik, luka mental, penderitaan emosional, kehilangan
pendapatan, penindasan terhadap hak dasar manusia
3. Disebabkan
oleh adanya perbuatan atau kelalaian yang terumuskan dalam hukum pidana, baik
dalam taraf nasional, maupun local levels; atau
4. Disebabkan
oleh adanya penyalahgunaan kekuasaan.
Korban tidak
langsung (indirect victims) yaitu korban dari turut campurnya seseorang
dalam membentuk korban langsung (direct victims) atau turut melakukan
pencegahan timbulnya korban, tetapi dia sendiri menjadi korban tindak kejahatan,
dalam hal ini pihak ketiga, clan/atau mereka yang menggantungkan hidupnya
kepada korban langsung (direct victims), seperti istri/suami, anak, dan
keluarga terdekat.[19]
Bentuk korban
kedua berdasar deklarasi tersebut, yaitu korban penyalahgunaan kekuasaan.
Bentuk korban ini meliputi manusia baik individu maupun kolektif yang menderita
karena tindakan yang menimbulkan penderitaan, yang walau pun belum dicantumkan
dalam perundang-undangan pidana nasional, namun sudah diakui sebagai norma yang
berhubungan dengan hak asasi manusia oleh ketentuan internasional.Hak asasi ini
mencakup hak untuk hidup, kebebasan, hak untuk memperoleh rasa aman, dan
kemanusiaan sebagaimana diakui dalam peradilan internasional.
Karakteristik
korban dalam Deklaration of Basic
Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, menurut
penulis lebih ditujukan pada korban secara konkret atau riil dan dapat
diidentifikasikan sebagai 'persons' baik individual maupun kolektif. Penulis
berpendapat bahwa korban tidak hanya ditujukan pada bentuk person atau
kolektif, namun juga dapat ditujukan pada nilai-nilai yang abstrak seperti
nilai demokrasi dan nilai keadilan.[20]
Karakteristik
korban dapat dikaitkan pula dalam kejahatan klasik atau kejahatan warungan dan
‘white collar crime', termasuk di
dalamnya ‘corporate
crime'. Anatomi dari kejahatan warungan
diidentikkan dengan kejahatan pelanggaran KUHP seperti perkosaan, pembunuhan,
dan pencurian. Anatomi pelaku kejahatan bersifat perorangan, kelompok kecil,
motif kebutuhan hidup, balas dendam, dengan alat sederhana dan sifat kejahatan
adalah kekerasan, korban bersifat perorangan. Adapun anatomi kejahatan white collar atau corporate crime sebagai kejahatan dimensi baru dianatomikan
pelakunya yaitu pejabat pemerintah, eksekutif swasta, badan hukum, memiliki ilmu
pengetahuan dan keahlian, dengan motif ekonomi maupun politis, dan sifat
kejahatan umumnya non-violence,
korban bersifat perorangan, perusahaan, negara.[21]
Sebagaimana yang
dikemukakan Clinard dan Yeager mengenai korban dari kejahatan korporasi ini,
dapat diungkap sebagai berikut:
Victims
of corporate crimes, ... are often inware that they have been taken. Examples
are share holders who receive a falsified balance sheet, consumers who have
paid and inflated price for a product as a result of anti trust collusion, or consumers
who have accepted with confidence the misleading advertising claims made for a
product without knowledge of its financial or health effects on them.[22]
Istilah white
collar crime diistilahkan pertama kali oleh Edwin H. Sutherland sebagai
kejahatan yang dilakukan oleh orang terhormat, dari kalangan atas, kalangan
bisnis maupun profesional sehubungan dengan kedudukannya. Tipe kejahatan kerah
putih dalam bisnis maupun profesional memiliki prinsip kejahatan terhadap
kepercayaan yang telah diberikan, dan dapat direduksi dalam dua kategori,
yaitu: (1) misrepresentation of asset values, dan (2) duplicity in
the manipulation of power.[23]
Karakteristik
korban dari white collar crime dinyatakan Sutherland sebagai kelemahan dari
korban itu sendiri/weakness of their victims. Korban ini bersifat tidak
terorganisasi, kekurangan pengetahuan teknis, dan tidak dapat melindungi diri
mereka sendiri. Perbedaan dari kekuatan korban kejahatan dari kelas bawah
dibandingkan dengan white collar crime ialah pada pelaku kejahatan white collar crime relatif menikmati kekebalan
terhadap penuntutan.[24]
Istilah
kejahatan termasuk korbannya lebih luas dari cakupan hukum pidana. Hal ini
terlihat dari pengertian kejahatan korporasi oleh Clinard dan Yeager, bahwa: A
corporate crime is any act committed by corporations that is punished under administrative,
civil, or criminal law.[25]
Hal sama dinyatakan oleh Steven Box sebagai berikut: Corporate crime is crime
irrespective of whether it is only punishable by administrative body, or whether
it merely violates individuals civil rights. It might be wondered why much
corporate crime is dealt with by administrative agencies rather than criminal
courts, but that does not justify excluding corporate acts regulated by
administrative agencies from the study of corporate crime.[26]
Adapun
karakteristik dari korban kejahatan korporasi diungkapkan oleh Clinard dan
Yeager sebagai: Victims of corporate crimes ... are often unware that they
have been taken. Examples are share holders who receive a falsified balance
sheet, consumers who have paid an inſlated price for a product as a result of
antitrust collusion, or consumers who have accepted with confidence the
misleading advertising claims made for a product without knowledge of its
financial or health effects on them.[27]
Steven Box mengemukakan
bahwa karakteristik korban kejahatan korporasi memengaruhi penegakan hukum
terhadap kejahatan korporasi tersebut. Dikemukakan Box bahwa korban kejahatan
korporasi tidak menyadari menjadi korban sehingga berakibat pada pengawasan
yang tidak efektif atau denda yang kecil dan hukuman ringan. Pemberian cap criminal
yang kecil atau sedikit kurang memberikan efek jera (general maupun special),
pengaruh kejahatan menjadi meluas karena dibenarkan dan tidak ada reaksi dari
masyarakat, sedikit dimuat di media massa.[28]
Karakteristik
korban kejahatan korporasi di atas, memberikan fenomena persepsi korban
terhadap perbuatan merugikan terhadapnya. Hal ini dapat pula dikategorikan
sebagai 'abstract victims' dan collective victims karena tidak
menyadari sebagai korban, dan sulitnya korban teridentifikasi. Misalnya pada
masyarakat pembeli barang atau konsumen. Apabila penulis kaitkan dengan judul
penulisan ini, maka korban dari bekerjanya peradilan pidana pun dapat berkarakteristik
sebagai 'abstract victims', di samping
kedudukan korban yang berposisi sebagai korban konkret. Alasan yang ada yaitu:
pertama, karena kejahatan yang menimpanya; dan kedua, menjadi korban karena
perlakuan merugikan dari bekerjanya peradilan pidana.
Perlu pula
dikemukakan bentuk korban lainnya yang termasuk dalam muatan teori
criminal-function relationship dari Stephen Schaffer, yaitu teori yang
mencoba menelaah tanggung jawab fungsional dalam hubungan korban dengan pembuat
kejahatan. Dalam hal ini dikemukakan pendapat Benjamin Mendelsohn dan Stephen
Schaffer mengenai kualifikasi korban meliputi bentuk keterlibatan korban dalam
terjadinya kejahatan.
Mendelsohn
mengemukakan keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan dapat dibedakan
menjadi enam kategori berdasarkan derajat kesalahannya, yaitu:
1. Korban
sama sekali tidak bersalah.
2. Seseorang
menjadi korban karena kelalaiannya sendiri.
3. Korban
sama salahnya dengan pelaku.
4. Korban
lebih bersalah daripada pelakunya.
5. Korban
adalah satu-satunya yang bersalah.
6. Korban
pura-pura dan korban imajinasi.[29]
Schaffer
mengemukakan tipologi korban sebagai berikut:
1. Unrelated victims,
yaitu mereka yang tidak mempunyai hubungan apa pun dengan penjahat kecuali jika
si penjahat telah melakukan kejahatan terhadapnya. Menurut Schaffer semua
masyarakat potensial untuk menjadi korban. Hal ini berarti tak seorang pun
terlindungi untuk menjadi korban tanpa memperhatikan apakah sebelumnya korban
mempunyai hubungan dengan pelaku. Dalam hal tanggung jawab terletak penuh di
pihak penjahat.
2. Provocative victims,
yaitu siapa yang melakukan sesuatu terhadap terjadinya pelanggaran,
konsekuensinya menjadi perangsang atau mendorong untuk menjadi korban. Misalnya
mempunyai 'affair' dengan orang lain. Dalam hal ini korban merupakan pelaku
utama. Pertanggungjawaban terletak pada pihak korban dan pelaku.
3. Precipitative victims,
yaitu mereka yang secara khusus tidak berbuat sesuatu terhadap penjahat, tetapi
tidak terpikirkan bahwa tingkah lakunya mendorong pelaku untuk berbuat jahat
terhadap dirinya. Misal, berjalan sendiri di tempat gelap yang sepi dan
merangsang penjahat untuk merampok atau memerkosa. Pertanggungjawaban
sepenuhnya ada pada pelaku.
4. Biological
weak victims, yaitu mereka yang mempunyai bentuk
fisik atau mental tertentu yang menyebabkan orang melakukan kejahatan
terhadapnya. Misalnya anak kecil, lanjut usia, wanita, dan orang cacat. Dalam
hal ini pertanggungjawaban terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat,
karena tidak melindungi para korban yang tidak berdaya.
5. Socially weak victims,
merupakan orang-orang yang tidak diperhatikan oleh masyarakat luas sebagai
anggota dalam masyarakat tersebut. Misalnya para imigran, penganut agama tertentu,
dan minoritas etnis yang mempunyai kedudukan sosial yang lemah. Dalam kondisi
ini, pertanggungjawaban penuh terletak pada penjahat atau masyarakat.
6. Self-victimizing
victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena
kejahatan yang dilakukannya sendiri. Beberapa literatur menyatakan ini sebagai
kejahatan tanpa korban. Akan tetapi pandangan ini menjadi dasar pemikiran bahwa
tidak ada kejahatan tanpa korban. Semua/setiap kejahatan melibatkan dua hal,
yaitu penjahat dan korban. Contoh pencandu obat bius, homoseks, alkoholik, dan judi.
Pertanggungjawaban terletak penuh pada si pelaku, yang juga sekaligus menjadi
korban.
7. Political
victims, yaitu mereka yang menderita karena
lawan politiknya. Korban ini secara sosiologis tidak dapat dipertanggungjawabkan.[30]
Ezzat Abdel Fattah mengemukakan tipologi
korban sebagai berikut:
1. Non-participating
victims/korban non partisipatif.
2. Latent or
predisposed victims/korban yang bersifat laten.
3. Provocative
victims/korban provokatif.
4. Participating
victims/korban partisipatif.
5. False
victims/korban karena kekeliruan.
Korban
nonpartisipatif ialah mereka yang mempunyai sikap menolak atau anti terhadap
kejahatan dan pelaku kejahatan, dan mereka yang tidak berperan serta dalam hal
timbulnya kejahatan yang ditujukan terhadap mereka. Korban yang bersifat laten
ialah mereka yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang cenderung menempatkan diri
mereka sebagai pihak korban dari suatu bentuk kejahatan tertentu. Korban
provokatif ialah mereka yang bersikap mempercepat atau merangsang timbulnya
kejahatan, dimaksudkan di sini bahwa sikap dan perilaku korban cenderung
menimbulkan rangsangan bagi pihak pelaku kejahatan untuk melakukan kejahatan
terhadap mereka. Korban partisipatif adalah korban yang karena sikap pasifnya
cenderung menjadikan diri mereka mudah menjadi korban kejahatan. Korban karena
kekeliruan ialah mereka yang memang bukan dari bentuk kejahatan apa pun, tetapi
mereka merasa atau menganggap dirinya sebagai korban.[31]
Pendapat
Mendelsohn dan Schaffer, dan Fattah tersebut diatas memberikan perspektif bagi
dikajinya peranan korban dalam sebab-sebab terjadinya kejahatan. Pendapat
tersebut masih mengacu pada pemkiran positivistik pada kejahatan klasik belaka,
ataupun kejahatan yang telah ditunjuk oleh undang-undang sebagai kejahatan, di
samping itu fokus perha-tian studi yang masih berkutat pada sebab musabab
kejahatan akan menutup mata terhadap bentuk kejahatan atau bentuk tindakan yang
menimbulkan korban, namun tidak diklarifikasi sebagai perbuatan jahat yang
menimbulkan korban oleh perundang-undangan, baik secara psikis maupun ideologis
sebagai telah melanggar nilai-nilai moral, misalnya akibat bekerjanya hukum
ataupun akibat bekerjanya aparat penegak hukum yang mengeliminasi hak-hak asasi
korban.
Pemikiran
Mendelsohn, Schaffer, dan Fattah hanya mencakup lingkup korban dalam arti
sempit berupa kejahatan konvensional, tanpa mengacu pada proses sosial yang
terjadi di masyarakat, walaupun penulis mengakui bahwa dengan mengetahui
peranan dan karakteristik korban dalam terjadinya delik, bermanfaat bagi
penegak hukum khususnya dalam kegiatan dan usaha pencegahan kejahatan, dan
memberi perspektif pula dalam mempelajari peranan korban dalam kejahatan
korporasi. Tipologi tipe-tipe korban yang potensial untuk menjadi korban
seperti wanita dan anak-anak dalam keluarga menurut penulis bermanfaat pula
untuk mengkaji berbagai realitas sosial proses viktimisasi yang kurang mendapat
perhatian masyarakat sebagai telah menimbulkan korban.
Pemikiran korban
memiliki tanggung jawab fungsional atas terjadinya kejahatan dibahas pula dalam
Seminar Kriminologi III yang diadakan di UNDIP Oktober 1976. Pemikiran ini
memperoleh kritik dari Soemardjo, pemrasaran dari kepolisian dan dinyatakan
tentang kekurangsepakatan beliau terhadap uraian bahwa korban mempunyai
tanggung jawab fungsional atas terjadinya kejahatan. Kekurangsependapatannya terhadap
pemikiran korban sebagai partisipan dalam tindak pidana, yaitu andai kata hukum
juga meminta pertanggungjawaban korban, maka menimbulkan keadaan di mana korban
tidak lagi atau enggan melaporkan atas terjadinya suatu tindak pidana yang
menimpa atas dirinya. Fungsi kewaspadaan dari individu sebagai korban maupun
calon korban dalam mencegah terjadinya kejahatan telah ada, yaitu alat keamanan
atau penegak hukum. Apa yang bisa diakibatkan oleh sikap atau perbuatan korban
sehingga terjadi tindak pidana itulah yang menjadi pertimbangan hukum untuk
menemukan suatu perkara dan mungkin dijadikan dasar bagi hakim. Alasannya, bahwa
batas-batas tertentu korban memang mungkin apabila sikap atau perbuatan korban
nyata-nyata provoking. Dalam hal korban nyata-nyata bersikap atau berbuat
provoking, maka ini adalah porsi hakim untuk:
1. Menentukan
berat ringannya hukuman terhadap pelaku tindak pidana, tetapi bukan untuk
meminta pertanggungjawaban korban.
2. Menentukan
besar kecilnya ganti rugi yang akan dibebankan kepada pelaku tindak pidana.[32]
Apabila
dikaitkan dengan wacana baru viktimologi, perspektif korban memang tidak hanya
semata-mata 'victim centered'. Namun perlu pula dikaji optik mengenai
korban yang patut diperhatikan dalam rangka strategi untuk melihat korban lebih
sebagai subjek daripada sebagai objek untuk melihat kesalahan korban.[33]
Pemikiran
viktimologi yang dilandaskan pada kerangka pemikiran baru telah meninggalkan
pendekatan positivistis (mencari sebab musabab kejahatan, etiologi kriminal),
yaitu dalam kriminologi kritis/critical
criminology lebih memperhatikan proses yang terjadi dalam sistem peradilan
pidana dan struktur masyarakatnya, sehingga membuka mata pula terhadap proses
penegakan hukum dan perundang-undangan yang dirasa justru menimbulkan fakta
viktimisasi terhadap masyarakat.
Pendefinisian
viktimisasi dikemukakan oleh Sahetapy sebagai:
Penderitaan
baik secara fisik maupun secara psikis atau mental bertalian dengan pelbagai
perbuatan. Perbuatan yang dilakukan itu bisa dari perorangan, suatu kelompok tertentu,
suatu komunitas tertentu, bahkan juga dari pihak penguasa, sehingga korban
bukan saja perorangan, melainkan dapat pula beberapa orang, sekelompok orang, atau
komunitas tertentu atau sebagian dari rakyat yang menderita bukan saja secara
fisik, melainkan inklusif dalam arti finansial, ekonomis, sosial, agama, dan
dalam artian psikis secara luas. [34]
Oleh karena itu,
viktimologi membawa perspektif pula bagi pembuatan dan penegakan hukum pidana
yang dikaitkan dengan pemikiran perlindungan bagi korban. Terminologi di atas
memberi arti bagi sumbangan viktimologi dalam hukum pidana.
Pemahaman korban
dalam makna luas di atas didukung oleh pemikiran kritis atas konsepsi lama
viktimologi mengenai korban yang senantiasa dikaitkan dengan peranan korban dalam
terjadinya kejahatan.[35]
Sebagaimana viktimologi yang dikemukakan
Von Hentig dan
Mendelsohn, merupakan viktimologi yang berwawasan sempit. Dalam perkembangan
terakhir yaitu 'new victimology'
pendekatan viktimologi berkembang luas dengan kajian permasalahan korban karena
abuse of power dan hak asasi manusia.[36]Paradigma
demikian mempelajari proses viktimisasi struktural atau penimbulan korban oleh
struktur sosial tertentu dan sistem-sistemnya, khususnya dalam tulisan ini
adalah dalam peradilan pidana. Perluasan wawasan viktimologi dipengaruhi oleh
perkembangan terakhir dalam kriminologi, khususnya setelah 1970-an dengan
lahirnya kriminologi kritis yang memperluas dan meredefinisi kejahatan.
Pendekatan kriminologi kritis menentukan pula macam-macam korban dan perhatian
yang lebih bermakna terhadap kejahatan korporasi daripada kejahatan
tradisional.[37]
Sejalan dengan
terminologi tersebut, ruang lingkup perlindungan korban dalam tulisan ini lebih
ditegaskan apakah lembaga dan pranata hukum dalam peradilan pidana sebagai system of institutional trust
menjalankan fungsi hukumnya sebagai criminal
justice bagi korban yang mengakomodasi hak asasi korban, ataukah justru
bekerjanya peradilan pidana memunculkan suatu 'korban ganda' yang terjadi
sebagai suatu viktimisasi struktural. Beranjak dari terminologi ini difokuskan
perhatian kepada korban yang timbul karena proses viktimisasi dari peradilan
pidana.
Sumber:
Maya Indah.2014.Perlindungan Korban: Suatu Perspektif
Viktimologi dan Kriminologi.Kharisma Putra Utama.Jakarta, hal.22-42
Tugas Mandiri
1. Jelaskan jenis-jenis victimology berdasarkan pendapat Sahetapy?
2. Jelaskan defenisi “korban” menurut pada ahli dan pendapat
anda?
3. Jelaskan pengertian “perlindungan” korban dari pendapat ahli?
4. Jelaskan karakteristik korban langsung?
5. Jelaskan pengertian kejahatan kerah putih?
6. Jelaskan kategori keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan
menurut Mendelsohn?
7. Jelaskan tipologi korban menurut Schaafter?
[1] Sahetapy, Op. cit.,
h. 25.
[4]
Sahetapy, Op.cit, 1995, h. vi, vii.
[5]
Report Seventh United Nations Congress on the Prevention of Crime andThe Treatment
of Offenders, Milan, 26-6 September 1985, (New York: UnitedNations, 1986), p.
45.
[6]
Ibid., p. 47.
[7] Istilah/definisi
korban dapat dikemukakan dalam definisi legal (yang dibatasi oleh peraturan
perundang-undangan hukum pidana, tetapi juga definisi sosiologis yang merupakan
konstruksi korban secara luas meliputi pengertian korban yang berada di
luar jangkauan hukum yang diartikan sebagai: perbuatan yang tidak tercantum
dalam KUHP ataupun tidak melanggar undang-undang, namun sangat merugikan
masyarakat, dan perbuatan yang tidak terjangkau oleh penegakan hukum karena
sifat penerapan hukum yang selektif dan beragam. Lihat Mardjono Reksodiputro,
Kriminologi dan Peradilan Pidana, (Jakarta: Lembaga Kriminologi UI,1994a), h.
88.
[8]
Zvonimir Paul Separovic, Victimology Studies of Victims, (Zagreb:
Samobor - Novaki bb,Pravni fakultet, 1985), p. 23.
[9] Ibid., p. 43.
[10]
Ezzat A. Fattah, the Use of the Victim as an Agent of Self Legitimation:
Toward a Dynamic Explanation of Criminal Behavior, dalam Viano, Emilio, Victims
and Society,( Washington D.C.: Visage Press, 1976), h. 110.
[11]
Separovic, Op. cit, h. 23. Dalam Ibid., h. 8, diutarakan bahwa dalam
klasifikasi kriminologi mencakup pula non-crime victims, such as accident
victims, actual and potential victims, known and unknown (non-reporting)
victims, the simulating (false victim, the victim of an attempt offense, te
co-victim, and some others.
[12]
Sahetapy, Bunga Rampai Viktimisasi, (Bandung: Eresco, 1995), h. Vi. Korban yang
meliputi orang sekelompok orang/komunitas tertentu/sebagian dari rakyat bukan
saja menderita secara fisik, melainkan inklusif dalam arti finansial ekonomis,
sosial, agama, dan dalam artian psikis secara luas. Bandingkan dengan Arif
Gosita, Op. cit., h. 63 bahwa korban adalah mereka (individu, atau kelompok
baik swasta maupun pemerintah) yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai
akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau
orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.
[13] Richard
Quinney, Iho is the Victim dalam Drapkin, Israel, Viano, Emilio. Victimology,
(Toronto-London: Lexington Books d.C. Heath and Company Lexington, 1974, p.
103.
[14] Ibid., p. 104.
[15] Reksodiputro,
Op.cit., 1994 a, h. 88.
[16] Separovic, Op. cit.,
p. 23.
[17] M.
Cherif Bassiouni, The protection of Human Rights in the Administration of
Criminal justice, a Compendium of United nations Norms and Standards,
collaboration with Alfred de Zayas, Geneva: Irvington-on-hudson, New York,
Centre for Human Rights United Nations, 1994, p. 295.
[18] 45 Ibid., h. 323.
[19] Dalam
Pasal 72 dan 73 KUHP, dinyatakan ahli waris terdiri dari suami/istri dan
keluarga sedarah garis lurus serta garis menyamping. Keluarga sedaralı garis
lurus terbagi dua, yaitu garis lurus ke atas: orang tua, dan garis Jurus ke
bawah: anak-anak dan cucu. Keluarga sedarah garis menyamping yaitu sampai
derajat ketiga.
[20]
Bandingkan dengan A. Fattah, Op.cit., p. 110, baliwa korban dapat bersifat
abstrak seperti public order, religion, morality, decency, public security, dan
public health. Bandingkan Separovic, Op. cit., p. 43, bahwa cakupan korban
meliputi a physically or moral persons (corporation, state, association, or
nonspecific, an abstraction (public order, public health, religion, etc.).
[21] Koenarto,
Budaya Bisnis dan Kriminalitas; Tinjauan Khusus Upaya Kriminalisasi Terhadap
Korporasi, dalam Praktik Bisnis Curang, penyunting Adfrianus Meliala, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1993), h. 172. Bandingkan dengan pendapat penulis
mengenai korban abstrak
[22]
Marshall B. Clinard; Peter C. Yeager, Corporate Crime, Collaboration of Ruth
Blackburn Cinard, (New York: Free Press - Collier Macmillian, London, 1980), p.
7
[23]
Edwin H. Sutherland, White-Collar Criminality, dalam Geis, Gilbert; Meier,
Robert F., White Collar Crime, Offenses in Business, Politics, and the
Profesions, (New York: The Free Press, 1977), p. 38-40.
[24] Sutherland, Ibid., p.
46.
[25]
Marshall B Clinard, Peter C. Yeager, Op. cit., p. 16.
[26] 51
Box, Op. cit., p. 22.
[27]
Clinard; Yeager, Op. cit., p. 7.
[28]
Steven, Op. cit., p. 64,
[29] Schaffer, Op. cit.,
p. 19.
[30] Dalam Separovic, Op.
cit., p. 158.
[31] Loc. cit.
[32]
Soemardjo, Kedudukan Si Korban di Dalam Tindak Pidana, laporan Seminar
Kriminologi III, Lembaga Kriminologi Fak. Hukum UNDIP, 26-27 Oktober1976,
Semarang, h. 169-170.
[33] Lihat Reksodiputro,
Op.cit., 1994 a, h. 88.
[34]
Sahetapy, Op.cit., 1.1995, h. vi.
[35]
Konsep pemikiran klasik-positivistik dalam kriminologi hubungan menyebabkan
studi viktimologi masih berkutat pada pola pemahaman mencari hubungan sebab
akibat antara perilaku korban dengan pelaku kejahatan. Pemahaman korban sempit
terbatas oleh definisi korban menurut hukum pidana positif dalam kejahatan
klasik. Pemahaman korban senantiasa dipelajari dari victim-offender
relationship yang dilakukan dengan menggunakan konsep 'victim precipitation
atau victim provocative dalam kerangka tanggung jawab fungsional korban dalam
terjadinya kejahatan. Baca Stephen Schaffer, The Beginning of Victimology,
dalam Israel Drapkin, Emilio Viano ,Op.cit, p. 17-28. Lihat Richard Quinney,
Who is the Victim, dalam Ibid., p. 105. Baca pula Leslie Sebba, Victims of
Offences, dalam Criminal Law in Action, ed. van Dijk, Haffmans, Ruter, Schutte,
Stolwijk, Deventer, Netherlands: Kluwer Law and Taxation Publihser, 1988, p.
379-380. The more recent second generation of victimologists perhaps better
termed victims advocates, such as Marlene Young and Invin Waller by pressing
for legal and political recognition of the rights of victims have by
implication emphasized and trengthened the normative dichotomization between
offender and victims.
[36] R.
Ellias, dalam Separovic, Op. cit., p. 29. Perkembangan viktimologi memiliki
tiga fase: pertama, viktimologi hanya mempelajari korban kejahatan sebagai
penal or special victimology; kedua, diperluas meliputi korban kecelakaan
sebagai 'general victimology; dan fase ketiga, konsep diperluas dengan korban
karena abuse of power and human rights sebagai 'new victimology.
[37]
Aliran pemikiran baru dalam kriminologi yang meninggalkan pendekatan klasik
yang mencari kejahatan dalam ranah perundang-undangan dan kejahatan klasik,
serta pendekatan positivistis yang mencari sebab musabab kejahatan: etiologi
kriminal, lebih memperhatikan proses yang terjadi dalam sistem peradilan pidana
dan struktur masyarakatnya. Baca dalam Barlow, Op. cit., p. 25-26, dan p.
65-67.
Nama : Rocky Al'amin
ReplyDeleteNim. : 18202048
Kelas : 4m2
1. Jelaskan jenis-jenis victimology berdasarkan pendapat Sahetapy?
Jawab :
1) Pertama, viktimisasi politik.
2) Kedua, viktimisasi ekonomi.
3) Ketiga, viktimisasi keluarga.
4) Keempat, viktimisasi media.
5) Kelima, viktimisasi yuridis.
2. Jelaskan defenisi “korban” menurut pada ahli dan pendapat anda?
Jawab :
Sehubungan dengan definisi serta ruang lingkup korban, dapat dikemukakan pendapat Ezzat A. Fattah yang memberikan pemahaman bahwa dalam banyak kejahatan, korban tidak selalu bersifat nyata dan orang yang dapat teridentifikasi, tetapi korban dapat bersifat abstrak seperti arti nilai-nilai yang ada dan menjadi kepentingan masyarakat. Sedankan menurut saya korban adalah segala sesuatu yang menjadi dampak dari suatu kerusakan atau kejahatan.
3. Jelaskan pengertian “perlindungan” korban dari pendapat ahli?
Jawab :
Sejalan dengan terminologi tersebut, ruang lingkup perlindungan korban dalam tulisan ini lebih ditegaskan apakah lembaga dan pranata hukum dalam peradilan pidana sebagai system of institutional trust menjalankan fungsi hukumnya sebagai criminal justice bagi korban yang mengakomodasi hak asasi korban.
4. Jelaskan karakteristik korban langsung?
Jawab :
1) Korban adalah orang, baik secara individu maupun secara kolektir;
2) Menderita kerugian, termasuk: luka fisik, luka mental, penderitaan emosional, kehilangan pendapatan, penindasan terhadap hak dasar manusia
3) Disebabkan oleh adanya perbuatan atau kelalaian yang terumuskan dalam hukum pidana, baik dalam taraf nasional, maupun local levels; atau
5. Jelaskan pengertian kejahatan kerah putih?
Jawab :
Istilah white collar crime diistilahkan pertama kali oleh Edwin H. Sutherland sebagai kejahatan yang dilakukan oleh orang terhormat, dari kalangan atas, kalangan bisnis maupun profesional sehubungan dengan kedudukannya. Tipe kejahatan kerah putih dalam bisnis maupun profesional memiliki prinsip kejahatan terhadap kepercayaan yang telah diberikan.
6. Jelaskan kategori keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan menurut Mendelsohn?
Jawab :
1) Korban sama sekali tidak bersalah.
2) Seseorang menjadi korban karena kelalaiannya sendiri.
3) Korban sama salahnya dengan pelaku.
4) Korban lebih bersalah daripada pelakunya.
5) Korban adalah satu-satunya yang bersalah.
6) Korban pura-pura dan korban imajinasi.
7. Jelaskan tipologi korban menurut Schaafter?
Jawab :
1) Unrelated victims, yaitu mereka yang tidak mempunyai hubungan apa pun dengan penjahat kecuali jika si penjahat telah melakukan kejahatan terhadapnya.
2) Provocative victims, yaitu siapa yang melakukan sesuatu terhadap terjadinya pelanggaran, konsekuensinya menjadi perangsang atau mendorong untuk menjadi korban.
3) Precipitative victims, yaitu mereka yang secara khusus tidak berbuat sesuatu terhadap penjahat, tetapi tidak terpikirkan bahwa tingkah lakunya mendorong pelaku untuk berbuat jahat terhadap dirinya.
4) Biological weak victims, yaitu mereka yang mempunyai bentuk fisik atau mental tertentu yang menyebabkan orang melakukan kejahatan terhadapnya.
5) Socially weak victims, merupakan orang-orang yang tidak diperhatikan oleh masyarakat luas sebagai anggota dalam masyarakat tersebut.
6) Self-victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri.
7) Political victims, yaitu mereka yang menderita karena lawan politiknya. Korban ini secara sosiologis tidak dapat dipertanggungjawabkan.