Kedudukan korban
dalam peradilan pidana sebagai pihak pencari keadilan selama ini terabaikan.
Apabila dikaji dari tujuan pemidanaan dalam hukum pidana positif, pelaku
kejahatan lebih mendapat perhatian seperti rehabilitasi, treatment of offenders, readaptasi sosial, pemasyarakatan, dan
lain-lain.[1] Hal
ini merupakan suatu bentuk ketidakadilan bagi korban, karena sebagai pihak yang
dirugikan hanya difungsikan sebagai sarana pembuktian, dan tidak jarang pula
hak-hak asasi korban terabaikan. Bekerjanya peradilan pidana baik dalam lembaga
dan pranata hukumnya lebih diorientasikan pada pelaku kejahatan (offender oriented). Eksistensi korban
tersub-ordinasikan dan tereliminasi sebagai risk
secondary victimizations dalam bekerjanya peradilan pidana.[2]
Dapat dipahami
bahwa sistem peradilan pidana memiliki publiknya sendiri yang selalu terkait
dengan konteks sosial masyarakat dimana sistem peradilan pidana itu dijalankan.
Kerentanan sistem peradilan pidana dalam menerjemahkan fungsinya yang
berafiliasi dengan kepentingan dapat dipahami dari karakter sistem peradilan
pidana itu sendiri.
Peradilan pidana
pada hakikatnya merupakan 'open system', dan bukan sebagai lembaga
steril yang bebas dari berbagai kepentingan. Bekerjanya hukum tercakup dalam
suatu dimensi sosial masyarakat, sehingga peradilan pidana adalah suatu
institusi yang bekerja dalam suatu konteks sosial termasuk politik, ekonomi,
sosial budaya masyarakat. Peradilan pidana melakukan interaksi dengan sistem
sosial tersebut.[3]
Dalam menganalisis
terhadap fakta bekerjanya penegak hukum di atas khususnya dalam perlindungan
korban, dapat ditelaah dengan menggunakan pendapat La Patra mengenai kemampuan
peradilan pidana menyelesaikan daftar bekerjanya[4]:
1. Pastikan
bahwa terdakwa tidak diabaikan untuk diwakili secara efektif.
2. Pastikan
bahwa rakyat tidak diabaikan untuk diwakili secara efektif.
3. Ciptakan
kondisi yang mendukung ke arah penilaian yang adil dan nalar.
4. Memungkinkan
pemerosesan suatu perkara
dengan kecepatan yang terukur.
5. Mengurangi
sampai minimum beban di pundak pihak yang beperkara.
6. Mengurangi
sampai minimum beban dari pihak lain.
7. Mengurangi
sampai minimum ongkos perkara.
Dalam rangka
perlindungan korban patut dipertanyakan, mampukah lembaga dan pranata hukum
sebagai bagian dari sistem sosial yang besar yaitu masyarakat mewakili korban/ masyarakat
untuk mendapatkan keadilan? Dan
apakah bekerjanya peradilan pidana justru menambah beban di pundak korban ataukah
justru bekerjanya peradilan pidana justru memunculkan viktimisasi kembali terhadap
korban? Hal inilah yang akan penulis analisis dengan memberikan latar belakang proses
bekerjanya peradilan pidana tersebut.
Analisis
terhadap bekerjanya peradilan pidana sebagai suatu proses sosial berusaha untuk
menjelaskan makna/'searching for meaning',
atau latar belakang bekerjanya penegak hukum untuk berusaha mewujudkan
perlindungan bagi korban.
La Patra
menegaskan secara ideal pendekatan sistem peradilan pidana haruslah dikaitkan
dengan sistem sosial yang melingkupi sebelum pelaku berada dalam criminal justice system. Sebagaimana
diungkapkan dalam bagan La Patra megenai Levels
of the Criminal Justice System, yaitu: dalam level pertama, yang terbesar
dan melingkupi level lainnya adalah: Society;
level kedua, sistem sosial lainnya yaitu economics,
technology, education, politics, sedangkan dalam level ketiga, subsystem of criminal justice system.[5]
Berikut ini akan dikemukakan pemikiran La Patra.
LEVEL 1: SOCIETY
|
LEVEL 2
ECONOMICS TECHNOLOGY EDUCATION POLITICS
|
LEVEL 3
SUBSYSTEM of CJS
|
Bagan: Levels of the
Criminal Justice System by La Patra.
Dalam bagan
tersebut, subsistem peradilan pidana dikemukakan La Patra sebagai: police,
Sherif, D. A. Courts, Corrections, Probation. Dalam bagan level 3 hanya dikemukakan
sebagai subsystem of CJS.
Menarik
pernyataan La patra bahwa: Ideally the systems approach should be used to
explore the relationships between the factors that control low a particular
individual becomes an of fender as defined by society laws".[6] Pendapat
La Patra tersebut menegaskan bahwa pengelolaan dalam peradilan pidana adalah
sebagai suatu sistem, menerima kedudukannya sebagai subsistem dari sistem yang
besar, yaitu masyarakat. Oleh karena itu, bekerjanya peradilan pidana harus
difungsikan sebagai administrasi keadilan yang harus mampu menyelesaikan
permasalahan hukum pidana baik dalam lembaga maupun pranatanya secara adil di
masyarakat.
Selaras dengan
sistem peradilan pidana sebagai bagian dari sistem yang lebih besar yaitu
masyarakat, maka memberikan suatu paradigma bahwa bekerjanya hukum itu sebagai suatu
proses sosial, yaitu apa yang dikerjakan oleh lembaga hukum tersebut dan bagaimana
mereka melakukannya. Bagaimanakah bekerjanya peradilan pidana ini mewujudkan
perlindungan bagi korban dalam masyarakat.
Peradilan pidana
sebagai suatu subsistem sosial terkait dengan dimensi sosial, sehingga memiliki
publiknya sendiri. Dengan demikian, peradilan pidana tidak bisa mengklaim
sepenuhnya sebagai institusi yang bebas dan mandiri. Peradilan pidana sebagai
suatu birokrasi merupakan suatu subsistem sosial yang bekerja dalam
lingkungannya, dan mempunyai cara dalam mencapai tujuannya.
Perlu untuk
diingat bahwa sistem peradilan pidana melaksanakan 'janji-janji' hukum yang
tertuang dalam landasan normatif, yaitu KUHP dan KUHAP, serta perundang-undangan
lainnya sebagai instrumen bekerjanya peradilan pidana.
Peradilan pidana
merupakan suatu ‘abstrak sistem' atau sistem konseptual yang merupakan kesatuan
ide yang tertuang dalam landasan filosofi untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu
bagaimanakah peradilan pidana mewujudkan 'criminal justice'
dengan menegakkan fungsi hukum.[7] Hal
ini berarti tak lepas dari perspektif kritis untuk menelaah terwujudnya fungsi
hukum terhadap perlindungan hak-hak korban dalam formulasi perundang-undangan
yang ada, yaitu KUHAP, KUHP, serta perundang-undangan lainnya, serta bekerjanya
apparat penegak hukum itu sendiri. Pembenahan lingkungan peradilan dalam setiap
subsistem peradilan pidana perlu untuk menciptakan sistem peradilan yang lebih
terbuka. Mengingat bahwa badan peradilan sebagai institusi yang walaupun
terbuka terhadap berbagai sistem sosial yang melingkupinya, namun sistem
peradilan pidana adalah lembaga tertutup dalam mengemukakan cara-cara untuk
menyusun keadilan.[8]
Mekanisme sistem
peradilan pidana cenderung tertutup dan dikondisikan dengan lemahnya pengawasan
atau control sosial terhadap keadilan yang dikeluarkannya. Oleh karena itu, sebagai
institusi hukum, SPP mempunyai mekanisme kerja yang sedikit birokratis.
Terkait dengan
hal tersebut, perlu dikemukakan pendapat Donald J. Newman bahwa, 'efficiency
is only one desired goal of our criminal justice system'. Dikemukakannya pula
bahwa otoritas dari all criminal justice agencies ‘untuk memaksakan bentuk
penyelesaian konformitas.[9]
Hal ini memengaruhi bentuk perlindungan terhadap korban. Aparat penegak
hukum memiliki diskresi untuk menentukan kasus mana yang diprioritaskan, oleh
karena penegak hukum dalam peradilan pidana juga merupakan administrator
dalam menegakkan dan memelihara ketertiban dalam masyarakat.
Perlu diingat
bahwa peradilan pidana bukanlah institusi netral yag hanya bekerja
menurut bunyi perundang-undangan yang tertulis seperti KUHAP dan KUHP
dan perundang-undangan khusus lainnya, melainkan bekerja atas dasar komitmen
tertentu dan dijiwai oleh integritas dan kredibilitas para pelakunya
secara individual.
Untuk itu perlu
dikaji dalam taraf mikroskopik berbagai faktor yang terkait dengan
perlindungan korban dalam peradilan pidana, yaitu korban/masyarakat sendiri dan
aparat penegak hukum, baik dalam persepsinya maupun tindakan/respons sosialnya
terhadap peristiwa viktimisasi tersebut, serta hambatan yang
dihadapinya.
Dalam mengkaji
bekerjanya penegak hukum, yaitu peradilan pidana dalam mewujudkan perlindungan
hukum terhadap korban, tidak hanya dilihat bagaimanakah para profesional hukum
dalam peradilan pidana bekerja sebagai tukang hukum yang hanya bekerja
menerapkan perundang-undangan dalam kajian positivistis.[10]
Dalam penulisan ini, bekerjanya penegak hukum dikaji secara validitas
yang objektif, karena dalam kenyataannya timbul penegakan hukum yang
bersifat berat sebelah, dan jauh dari kenyataan sosial kebutuhan
masyarakat akan terciptanya hukum yang melindungi.
Analisis
hubungan antara struktur sosial dengan hukum di Indonesia antara lain
untuk memenuhi kebutuhan yang cukup praktis, misalnya:[11]
1. Dalam
rangka pembuatan dan pelaksanaan hukum yang efektif.
2. Untuk
keperluan diagnostik, artinya menjelaskan tentang penyakit dalam kehidupan
hukum kita yang bersumber pada adanya ketidakcocokan antara struktur susila dan
hukum yang dipakai yang berada di luar faktor hukum.
Berdasar
pendapat tersebut, penulis menggarisbawahi bahwa pendekatan ‘rechtsdogmatic'
yang hanya mengkaji penerapan hukum tanpa melihat bekerjanya hukum di masyarakat
dan akibat-akibatnya, adalah tidak menjawab korelasi hukum dan pembangunan
senyatanya. Kesenjangan antara das sein dan das sollen perlu dikritisasi, antara hukum di
atas kertas dan hukum yang dijalankan. Pemahaman hukum secara komprehensif
demikian berakar pada realitas sosial hukum pada akar-akar sosial, politik,
budaya, ekonomi, dan bukan hanya dari sistem hukum serta
peraturan-peraturannya. Hal ini berhubungan dengan kenyataan normatif
masyarakat, yang tidak hanya dilakukan oleh hukum dari sumber-sumber formal.
Dalam studi
kritis terhadap perundang-undangan dan bekerjanya hukum dapat dikaji sejauh
mana pembuatan perundang-undangan dan bekerjanya justru dapat
menghalang-halangi tercapainya masyarakat adil dan makmur.[12]
Terkait dengan
hal ini, Abraham S. Blumberg mengemukakan bahwa 'the criminal court is
trully a clossed community. This is more than just usual case of bureucratic
'secrets' which are fanatically defended from outside view.[13]
Lebih lanjut dikemukakan Blumberg bahwa “The court, unlike most other formal
organizations, functions as a genuinely” closed community "in that it
succesfully conceals the true nature of its routine operations from the view of
outsiders-and some times even from some of participants themselves. [14] Jelaslah
dalam hal ini bahwa birokrasi peradilan pidana sangat tertutup dalam
mengemukakan bagaimana keputusan' birokrasi tersebut diperoleh. Hal ini untuk
melindungi kepentingan dari birokrasi ataupun individu dalam birokrasi
tersebut.
Dalam peradilan
pidana diskresi penegak hukum sebagai administrator berarti memiliki kewenangan
pula untuk mendefinisikan kejahatan sesuai dengan kepentingan yang
diprioritaskannya. Sebagaimana halnya dikemukakan Blumberg bahwa “The criminal courts is that part of the
community screen” which sifts out and labels the acused person.[15]
Selektivitas
penegak hukum terhadap kejahatan untuk tidak mendefinisikan suatu peristiwa
atau situasi sebagai kejahatan/penimbulan korbannya seperti:
a. They
may be decide that is not crime, but should be regarded in some other way and
dealt with accordingly.
b. They
may be decide it is not a serious offence, and as has been mentioned above, the
only record kept of offence known to the police is of serious offences. well be
that although a serious ofence has been commited it will be regard as too stale
to require investigation, or to trivial, so that it can be disregarded.[16]
c.
Hal ini terlihat dari proses
peradilan pidana yang digambarkan dalam bagan berikut.
POLICE
|
COURTS
|
PROSECUTION AND DEFENSE
|
PROBATION
|
CORRECTIONAL INSTITUTIONS
|
PAROLE
|
Bagan: Proses Peradilan
Pidana[17]
Bagan di atas
menggambarkan bahwa bekerjanya peradilan pidana dimulai dari seleksi terhadap
kejahatan, dalam arti meliputi 'response
selected' dari aparat penegak hukum yang dimulai dari kepolisian sebagai 'gatekeeper ‘peradilan pidana. Bagan ini
berarti pula bahwa ada pula fenomena ‘undetected crime' yang bisa
dinamakan sebagai 'the invisibility of certain crime' dipengaruhi
oleh bermacam-macam kondisi.
Kenyataan
mengenai 'undetected crime' dalam tidak
adanya laporan korban tentang pertistiwa yang dialaminya memiliki beberapa
sebab menurut Mardjono sebagaimana diku-
tipnya dari Steven Box, antara lain:[18]
1. Korban
mengetahui bahwa dirinya telah menjadi korban, tetapi tidak bersedia melapor
karena:
a. Menganggap
polisi tidak efisien atau tidak akan memedulikan laporannya.
b. Menganggap
bahwa peristiwa itu merupakan ‘urusan pribadi, karena:
1) akan
menyelesaikannya langsung di luar pengadilan dengan si pelaku (extra judicial);
2) merasa
malu dan tidak bersedia menjadi saksi di polisi maupun pengadilan (misalnya
dalam kejahatan kesusilaan atau mengalami penipuan karena kebodohannya.
2. Korban
tidak mengetahui bahwa dia telah menjadi korban suatu peristiwa kejahatan
(misalnya dalam penipuan yang dilakukan secara halus dan dalam kasus
penggelapan uang atau barang yang dilakukan secara rapih).
3. Korban
yang sifatnya abstrak (abstract victim)
dan karena itu sukar ditentukan secara khusus dan jelas (misalnya masyarakat
pembeli barang).
4. Korban
mengalami peristiwa kejahatan karena sendiri terlibat dalam kejahatan (victims
of their own criminal activity).
5. Secara
‘resmi' tidak menjadi korban, karena kewenangan 'diskresi polisi' untuk
menentukan peristiwa apa dan mana yang merupakan kejahatan (hal ini menyangkut
kebijakan dalam penegakan hukum).
Pendapat
Mardjono Reksodiputro di atas menegaskan pula suatu gejala kriminalitas yang
ada dimasyarakat, namun tidak terungkap dalam statistik kriminal resmi dengan
keadaan yang biasa disebut sebagai adanya 'dark numbers of crime'. Penulis berpendapat
bahwa fenomena ini juga merupakan suatu kritik dari adanya 'selective
process in the administration of justice'.
Fenomena ‘undetected crimes' apabila dikaji dengan
penyusunan Statistik Kriminal, menurut I. S. Susanto merupakan penjelasan bahwa
penyusunan Statistik Kriminal harus dipertanyakan mengenai apa yang dicatat,
bagaimana angka tersebut dikumpulkan, dan bagaimana angka-angka tersebut dimanipulasikan.
Oleh karena itu, statistik kriminal tidak bisa dijadikan sebagai cermin yang
jelas dan memantulkan kejahatan yang terjadi di masyarakat. Statistik kriminal
sebagai produk sosial merupakan hasil akhir dari proses bekerjanya hukum.
Apabila dalam proses bekerjanya hukum terjadi tindakan yang berat sebelah dalam
arti tertuju pada kejahatan/pelaku kejahatan tertentu maka akan memengaruhi
hasil akhir dari penyusunan statistik kriminal yang juga akan bersifat berat
sebelah.[19]
Penulis
menyetujui pendapat tersebut karena menekankan bahwa bekerjanya aparat penegak
hukum tak lepas dari berbagai kepentingan yang disimulasikan oleh persepsi apparat
terhadap perbuatan tertentu ataupun pelaku kejahatan tertentu sebagai telah
menimbulkan korban.
Pada kejahatan
tertentu, seperti kejahatan korporasi dikemukakan pula bahwa perbuatan yang
dijadikan sebagai kejahatan (tindak pidana) terutama adalah kejahatan warungan dan
sangat langka pada kejahatan white-collar/kejahatan
korporasi. Pelaku yang ditindak adalah terutama pelaku kejahatan warungan dan
langka terhadap pelaku kejahatan whitecollar/korporasi.[20]
Perspektif berat
sebelah dari aparat penegak hukum dalam menyeleksi terhadap kejahatan
tertentu/pelaku kejahatan tertentu memberikan efek pula bagi perlindungan hukum
terhadap korban. Dalam hal ini diskresi aparat penegak hukum demikian harus
mendapat social control. Diskresi yang merupakan kebijakan di luar
perundang-undangan memberikan kebebasan kepada kepolisian untuk melakukan
alternatif tindakan. Mary Jeanette Hageman mengemukakan bahwa, Discretion is
a by-product of professional judgement where by individuals working in the
criminal justice system are granted/attitude in choosing among alternative
possible actions (for example, to arrest,or not to arrest, to prosecute or not
to prosecute)[21]
Diskresi menurut
penulis terkondisi oleh pendefinisian kejahatan/penimbulan korban dari
aparat penegak hukum terbentuk dalam persepsi dan integritas moral penegak
hukum yang berinteraksi dalam birokrasi yang mewadahinya, hal ini berpengaruh
pula pada respons sosial terhadap perlindungan korban. Dapat dicontohkan
penegakan hukum oleh polisi yang berwawasan demokrasi dikemukakan
sebagai 'includes sensitivity to the social implications of enforcing laws
that by their nature discriminate unfairly’. Hal ini dapat dikaitkan dengan
arti dari
terminologi penegakan hukum sebagai:
The
complexity of enforcing law has increased steadly with the advent of Magna
Carta, Bill of Rights, and Fourth Amendement, all of which have molded the
foundation of modern constitutional government.[22]
Bekerjanya
penegak hukum dalam peradilan pidana, yakni polisi, jaksa, dan hakim dalam
menangani suatu perkara pidana penuh dengan berbagai kepentingan yang sering
kali dalam pemenuhan kepentingan tersebut menimbulkan konflik kepentingan.
Kepentingan korban hanyalah salah satu dari kepentingan yang dipertimbangkan,
yang mungkin akan berhadapan dengan kepentingan status quo lainnya, sehingga
tidak memuat penegakan hukum yang demokratis dan mewadahi untuk mencari
keadilan dan hak asasi manusia. Dapat dikutip pendapat Donald Black dan Maureen
Mileski dari penemuan Mayhew and Reiss, bahwa dalam kaitan antara hukum dan stratifikasi
sosial, 'the legal process is geared largely to serve the requirements of
the upper strata'.[23]
Perspektif di
atas memunculkan pemikiran pentingnya aspek ‘accountability for criminal
justice' dan implikasinya terhadap 'controllability and responsivenes of
institution’.[24]
Fokus dari acountability within criminal
justice dapat dikaji dari perilaku penegak hukum, keputusannya, atau
peristiwa seperti komplain terhadap etika dari individu petugas polisi, atau struktural,
pola perilaku institusi, seperti abuses of power, corruption,
discrimination.
Penulis setuju
terhadap perspektif 'pertanggungjawaban' penegak hukum dalam keadaan tertentu
peradilan pidana dari Stenning tersebut. Namun Stenning lebih mengemukakan pertanggungjawaban
ini dalam akar kebiasaan dan kekuasaan daripada dalam hukum acara atau
peraturan.[25]
Penulis
berpendapat dalam rangka pertanggungjawaban moral dan hukum yang merefleksikan
fungsi perlindungan, pengayoman, dan keadilan dari peradilan pidana, maka
pertanggungjawaban ini tidak hanya menjadi wacana bagi perilaku penegak hukum, namun
juga harus dijiwai dalam perundang-undangan yang ada. Dalam konteks
implementasi, hal ini melibatkan berbagai dimensi sosial, seperti faktor
politik, sosial, dan teknologi.
Sumber:
Maya Indah.2014.Perlindungan Korban: Suatu Perspektif
Viktimologi dan Kriminologi.Kharisma Putra Utama.Jakarta, hal.97-110
Tugas Mandiri:
1.
Jelaskan kemampuan peradilan pidana menyelesaikan daftar pekerjaannya?
2.
Jelaskan level of the criminal justice system La Patra?
3.
Jelaskan bagan proses peradilan pidana?
4.
Jelaskan fenomena undetected crime?
5.
Jelaskan diksresi polisi dan dampak diskresi dalam
keadilan korban?
[1]
Hak-hak tersangka/terdakwa lebih banyak pula diatur dalam KUHAP dibandingkan
dengan hak korban, seperti hak bantuan hukum, mengajukan saksi a de charge
dan saksi ahli, ganti rugi, rehabilitasi, pra peradilan,
[2] Hal
ini merupakan bentuk viktimisasi yuridis dari aspek peradilan maupun menyangkut
dimensi diskriminasi perundang-undangan, termasuk menerapkan' hukum kekuasaan'.
Sahetapy, Op. cit., h. vii.
[3] La
Patra mengemukakan bahwa: “many diferent societal system have an impact on
an individual before he has contact with CJS. Selanjutnya. The system approach
should be used to explore the relationships between the factors that control
how a particular individual becomes an offender as defined by society laws.”
Lihat J. W. La Patra, Analyzing of Criminal Justice System, (Toronto London:
Lexington Books, 1978), p. 85.
[4] La patra, Op. cit.,
p. 65.
[5]
La patra, Op. cit., p. 85, 86. Dalam pengertian ini, berlaku pula bagi
konstruksi pendefinisian korban.
[6]Ibid.
Bandingkan dengan A. S. Blumberg bahwa ... the criminal court as a social
system, as a community. The criminal court is the part of the community screen
which sifts out and labels the accused person, Op. cit., h. ix, 40.
[7]
Lihat I. S. Susanto, Orasi, Op. cit., 11.19 Hukum sering kali berpengaruh
kontradiktiſ, di satu sisi memberikan perlindungan dan kesejahteraan secara
adil, namun dapat juga menimbulkan penderitaan bila sudah terkooptasi oleh dan
menjadi alat kekuasaan. Hukum seharusnya dapat membuat hidup sedikit lebih baik,
sedikit lebih gampang dan sedikit lebih bebas bagi sebagian besar orang dan
waktu.
[8]
Bandingkan dengan Peter M. Blau, Marshall W. Meyer, Op. cit., 1.5, 6 bahwa
birokrasi merupakan lembaga yang sangat berkuasa, yang mempunyai kebaikan atau
keburukan karena birokrasi adalah sarana administrasi rasional yang netral
dalam skala besar. Masalah yang dihadapi masyarakat adalah pengawasan demokrasi
terhadap birokrasi, agar dapat bekerja demi kepentingan rakyat banyak.
[9]
Donald J. Newman, Op. cit., p. 87, 88.
[10] Proses
positivisasi hukum pada hakikatnya adalah suatu proses objektivisasi sejumlah
norma metayuridis menjadi sejumlah norma positif. Proses tetap saja berlangsung
dalam wacana positivistis, sehingga kajian bagi hukum adalah tetap saja
berdasarkan norma normologik, dan tidak berlogika normologik yang induktif
untuk menemukan fenomena empiris yang signifikan dalam kehidupan sosial dan
kultural. Hubungan kausal antara fakta hukum dan akibat hukum dianggap hasil
normative judgements dan tidak berlandaskan pada hasil observasi untuk menjamin
objektivitas dan reliabilitas. Teori hukum positivistis hanya sesuai dengan
masyarakat dalam keadaan relatif stabil, tetapi tidak lagi sesuai manakala
orang sudah mulai mempertanyakan tidak adanya stabilitas sosial.
[11]
Satjipto Rahardjo, Hukum, Masyarakat, dan Pembangunan, (Bandung:Alumni,
Bandung, 1980), h. 14
[12] Bandingkan dengan istilah fungsi
manifest dan latent dari Robert Merton untuk menunjukkan maksud yang ditentukan
secara resmi suatu institusi atau pengaturan tertentu, serta maksud terselubung
yang ada di belakangnya. Sosiologi mempelajari bekerjanya efek yang tidak dapat
dikatahui dan mengurangi fungsi hukum, namun dilakukan secara sadar untuk
mencapai tujuan tertentu. Fungsi manifest dirumuskan sebagai 'categories of
subjective disposition (needs, interest, purposes), atau menunjukkan
konsekuensi objektif yang menguntungkan untuk menyesuaikan dan beradaptasi
seperti yang diharapkan, dan fungsi latent disebut sebagai 'categories of
generally unrecognized but objective functional consequences (uniqque
advantages, never conscious conseq quence, unintended ... service to society,
atau menunjukkan konsekuensi yang tidak diharapkan dan tidak diakui dari
perintah yang sama. Lihat Robert Merton, Social Theory and Social Structure, 11
th. Ed., (Glemcoe: Free Press, 1978), h. 62-63.
[17] Alan Coffey, Edward Eldefonso,
Walter Hartinger, An Introduction to the Criminal Justice System and Process,
(Englewood Cliffs, New Jersey: Precentice-Hall, 1974) p. 5
[18] Mardjono
Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, kumpulan karangan
buku kesatu, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum. lembaga
kriminologi UI, 1994), h.37-38.
[21] Mary
Jeanette Hageman, Police-Community Relations, (Beverly Hills, London, New
Delhi: Sage Publications, Inc., 1985), p. 29-30.
[24] Philip C. Stenning, ed,
Accountability for Criminal Justice, Selected Essays, (Toronto Bufalo, London
University of Toronto, 1995), p. 3-14. Dikatakan bahwa it is not enough justice
is done, it must be seen to be done.
Nama : Rocky Al'amin
ReplyDeleteNim. :18202048
Kelas:4m2
1.Pastikan bahwa terdakwa tidak diabaikan untuk diwakili secara efektif.
2. Pastikan bahwa rakyat tidak diabaikan untuk diwakili secara efektif.
3. Ciptakan kondisi yang mendukung ke arah penilaian yang adil dan nalar.
4. Memungkinkan pemerosesan suatu perkara dengan kecepatan yang terukur.
5. Mengurangi sampai minimum beban di pundak pihak yang beperkara.
6. Mengurangi sampai minimum beban dari pihak lain.
7. Mengurangi sampai minimum ongkos perkara
2.menegaskan bahwa pengelolaan dalam peradilan pidana adalah sebagai suatu sistem, menerima kedudukannya sebagai subsistem dari sistem yang besar, yaitu masyarakat. Oleh karena itu, bekerjanya peradilan pidana harus difungsikan sebagai administrasi keadilan yang harus mampu menyelesaikan permasalahan hukum pidana baik dalam lembaga maupun pranatanya secara adil di masyarakat.
3.bagan tersebut, subsistem peradilan pidana dikemukakan La Patra sebagai: police, Sherif, D. A. Courts, Corrections, Probation. Dalam bagan level 3 hanya dikemukakan sebagai subsystem of CJS.
Menarik pernyataan La patra bahwa: Ideally the systems approach should be used to explore the relationships between the factors that control low a particular individual becomes an of fender as defined by society laws".[6] Pendapat La Patra tersebut menegaskan bahwa pengelolaan dalam peradilan pidana adalah sebagai suatu sistem, menerima kedudukannya sebagai subsistem dari sistem yang besar, yaitu masyarakat. Oleh karena itu, bekerjanya peradilan pidana harus difungsikan sebagai administrasi keadilan yang harus mampu menyelesaikan permasalahan hukum pidana baik dalam lembaga maupun pranatanya secara adil di masyarakat.
4.Fenomena ‘undetected crimes' apabila dikaji dengan penyusunan Statistik Kriminal, menurut I. S. Susanto merupakan penjelasan bahwa penyusunan Statistik Kriminal harus dipertanyakan mengenai apa yang dicatat, bagaimana angka tersebut dikumpulkan, dan bagaimana angka-angka tersebut dimanipulasikan. Oleh karena itu, statistik kriminal tidak bisa dijadikan sebagai cermin yang jelas dan memantulkan kejahatan yang terjadi di masyarakat. Statistik kriminal sebagai produk sosial merupakan hasil akhir dari proses bekerjanya hukum.
5.studi kritis terhadap perundang-undangan dan bekerjanya hukum dapat dikaji sejauh mana pembuatan perundang-undangan dan bekerjanya justru dapat menghalang-halangi tercapainya masyarakat adil dan makmur.