Pada hakikatnya,
perlindungan terhadap korban sebagai janji-janji hukum oleh sistem peradilan
pidana berusaha mewujudkan fungsi primer hukum yang sebagaimana diungkapkan
oleh I. S. Susanto dalam tiga hal:[1]
1. Perlindungan
Hukum
berfungsi untuk melindungi masyarakat dari ancaman bahaya dan tindakan yang
merugikan dari sesama
dan kelompok masyarakat termasuk yang dilakukan oleh pemegang
kekuasaan (pemerintah dan negara) dan yang datang dari luar, yang ditujukan terhadap
fisik, jiwa, kesehatan, nilai-nilai, dan hak asasinya.
2. Keadilan
Hukum
menjaga, melindungi dari keadilan bagi seluruh rakyat. Secara negatif dapat
dikatakan bahwa hukum yang tidak adil yaitu apabila hukum yang bersangkutan
dipandang melanggar nilai-nilai dan hak-hak yang dipercayai harus dijaga dan
dilindungi bagi semua orang.
3. Pembangunan
Hukum
dipakai sebagai kendaraan baik dalam menentukan arah, tujuan, dan pelaksanaan
pembangunan secara adil. Artinya, hukum sekaligus digunakan sebagai alat pembangunan
namun juga sebagai alat kontrol agar pembangunan dilaksanakan secara adil.
Edmond Cahn
menganjurkan bahwa dalam rangka memberikan perlindungan bagi pihak-pihak yang
harus dilindungi hukum yang disebut dengan ‘konsumen hukum' dalam hal ini korban
dan masyarakat luas, maka pandangan antroposentris tentang hukum sangat
diperlukan. Pandangan ini merupakan suatu segi pandangan tentang hukum dan
pemerintah dimana manusia secara konkret hidup di tengah-tengahnya, sebagai konsumen
paling utama dari hukum dan pemerintahan. Cara konkret manusia diperlakukan
akan menentukan nilai hukum. Dalam perspektif konsumen ini, memiliki cara
bekerja sebagaimana dikemukakan oleh Cohn sebagai berikut:
1. Perihal
target dan peristiwa yang berkaitan dengan dampak hukum. Arti penting dari
setiap prinsip, aturan atau konsep diteliti dengan mengobservasi target
manusiawi yang terkena dampaknya. Metode ini mengungkapkan bahwa rasa
ketidakadilan membawa pengaruh vital bagi cara bekerjanya hukum.
2. Perihal
konkretisasi manusia. Hukum melindungi keselamatan fisik dan psikis dari
manusia seutuhnya, dan miliknya yang menjadi tempat bergantungnya Hukum
menjamin nilai sosial, cita-cita, dan kebebasan yang membuat hidup sangat
berarti bagi manusia seutuhnya.
3. Perihal
proporsi relatif beratnya hal-hal. Meskipun responsif kepada kepentingan
efisiensi internal dan keuntungan, hukum memberikan arti yang jauh lebih besar
kepada kebutuhan yang dirasakan oleh rakyat pada umumnya.
4. Perihal
perhatian terhadap kasus-kasus tertentu. Tradisi bagi ahli hukum memakai
perspektif resmi untuk membenarkan sistem hukum dalam pengertian rata-rata,
statistik secara keseluruhan, dan cara bertingkah laku secara keseluruhan.
Dalam kenyataannya mengecilkan arti suatu minat terhadap hasil dari kasus-kasus
tertentu sebagai tidak ilmiah, tidak seperti ahli hukum. Sistem mereka bukanlah
suatu sistem apabila sifatnya tidak impersonal dan tidak acuh tak acuh.[2]
Berdasar
perspektif konsumen dari Cahn tersebut, dapat dinyatakan bahwa konsep
perlindungan korban melalui bekerjanya peradilan pidana mengacu pula pada
perspektif konsumen, supaya perlindungan hukum yang diberikan memberi arti pada
kebutuhan hukum masyarakat banyak.
Pengkajian
bekerjanya hukum sebagai suatu proses sosial
memberikan paradigma bagai penekanan faktor di luar hukum terutama mengenai
sikap dan nilai-nilai baik dalam masyarakat ataupun dalam individu penegak
hukum ke dalam bekerjanya peradilan pidana itu sendiri.
Sikap dan
nilai-nilai dalam hal ini ditampakkan melalui persepsi dan perilaku, baik dari
korban maupun penegak hukum terkait dengan apa yang dinamakan kultur hukum.
Friedman menjelaskan kultur hukum ini sebagai: “sikap dan nilai-nilai yang
berhubungan dengan hukum bersama-sama dengan sikap dan nilai-nilai yang terkait
dengan tingkah laku yang berhubungan dengan hukum dan lembaganya baik secara positif
maupun negatif.[3]
Satjipto
menggambarkan masuknya unsur-unsur faktor diluar hukum terhadap bekerjanya
hukum, memberikan kajian hukum sebagai berikut:
Pertama-tama
memperhitungkan faktor permintaan yang ditujukan kepada lembaga hukum, yaitu
permintaan yang menyebabkan lembaga tersebut bertindak; kedua sebagai akibat
dari permintaan itu, yaitu timbulnya respons yang diberikan oleh lembaga hukum;
ketiga, efek respons terhadap orang-orang yang mengajukan permintaan tersebut;
dan keempat, efeknya terhadap masyarakat secara keseluruhan.[4]
Dalam pengkajian
bekerjanya hukum sebagai suatu proses sosial merupakan suatu paradigma yang
mempersepsi hukum tidak sekadar sebagai suatu kebutuhan fungsional, tetapi
hukum yang terbebani dengan harapan dan janji-janji.[5]
Penulis
berpendapat bahwa bekerjanya hukum sebagai suatu proses sosial melibatkan
masyarakat sebagai suatu totalitas. Hal ini berarti, makna hukum dalam
masyarakat dikaji baik dalam pembuatan hukumnya maupun bekerjanya lembaga
penegak hukum yang mengalami suatu proses untuk menentukan apakah hukum
tersebut sungguh-sungguh berfungsi dalam masyarakat dan bagaimanakah bekerjanya
faktor di luar hukum sebagai faktor sosial memberikan pengaruh bagi bekerjanya
hukum itu sendiri.
Robert B.
Seidmann mengemukakan bekerjanya hukum dalam masyarakat sebagai bukan sesuatu
yang abstrak. Hal ini dapat ditengarai dalam asumsi berikut:
Anggota
masyarakat memilih dan bertindak dalam lingkup pembatasan dan dari sumber yang
terdapat dalam lingkungan mereka. Peraturan hukum dan tindakan lembaga
pelaksana hukum hanya menetapkan mengenai salah satu segi dalam lingkungan
tersebut. Suatu perangkat peraturan hukum hanya akan menimbulkan tingkah laku
bila peraturan itu ditetapkan berdasarkan kehendak sebagai variabel bebas,
sedangkan faktor lain merupakan kondisi. Oleh karena itu, harus diterima
sebagai suatu kebenaran bahwa semua unsur nonhukum yang memengaruhi pemilihan
dan identifikasi perangkat peraturan hukum merupakan suatu va-riabel
operasional atau sebab atau penjelasan.[6]
Pemaparan
bekerjanya hukum dalam masyarakat oleh Robert B. Seidmann di atas,
menstimulasikan bekerjanya hukum dalam tiga proses, yaitu: Lawmaking processes, conformity inducing measures, dan law implementing proceses yang berada dalam
suatu arena pilihan bagi pemegang peran yang saling memberikan umpan balik. [7]Dalam
hal ini, terlihat bahwa Seidmann hanya memberikan kerangka berpikir mengenai
efektivitas bekerjanya hukum melalui kepatuhan bagi pemegan peran yang akhirnya
memberikan umpan balik dalam Proses pembuatan dan penerapan hukum. Bagan
Seidmann kurang memberikan penjelasan mengapa dalam proses penerapan hukum
maupun pembuatan hukum bisa menimbulkan viktimisasi bagi masyarakat. Fokus
Seidmann lebih dititikberatkan pada upaya kepatuhan hukum
Bekerjanya
lembaga hukum dalam konteks ini khususnya dalam hukum pidana diproyeksikan
bukan hanya atas dasar permintaan yang menyebabkan lembaga tersebut bertindak, melainkan
juga atas dasar kemauan lembaga itu sendiri untuk bertindak. Respons dari
lembaga penegak hukum khususnya kepolisian untuk menjawab berbagai sinyalemen
viktimisasi dalam masyarakat, dengan sikap masyarakat sendiri yang permisif.
Dalam hal ini proses sosial bekerjanya lembaga penegak hukum selayaknya tidak
hanya untuk menanggapi laporan yang ada, tetapi juga berarti membina dan
mengayomi masyarakat.
Untuk dapat
mengikuti bekerjanya sistem hukum sebagai suatu proses, Lawrence Friedman
mengemukakan dalam tiga komponennya, yaitu struktural, kultural, dan
substantif. Ketiga unsur ini berada dalam proses interaksi satu sama lain dan membentuk
totalitas.[8]
Berdasar
terminologi Friedman, penulis memprediksikannya dalam tulisan ini. Komponen
struktural dalam tulisan ini adalah komponen birokrasi peradilan pidana, yaitu
kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, termasuk peran pengacara dalam ikut
membentuk bekerjanya birokrasi ini. Pengkajian struktural hukum terkait dengan
lembaga penegak hukum ini, sebagai suatu birokrasi yang memiliki tujuannya
sendiri sebagaimana dirumuskan dalam dasar-dasar peraturan organisasi yang
melandasi bekerjanya lembaga hukum tersebut. Analisis terhadap bekerjanya
lembaga peradilan pidana, untuk mengeksplorasi bagaimanakah pelayanan lembaga
peradilan pidana tersebut untuk mewujudkan tujuannya yaitu melak- sanakan
fungsi hukum.
Konsep yang
terpenting ialah kultur hukum sebagai nilai dan sikap yang berkaitan dengan
hukum dan lembaganya. Oleh karena mendasari dan memengaruhi bekerjanya
struktural hukum atau lembaga peradilan pidana tersebut termasuk sebagai basic idea dalam komponen substantif
hukum.[9]
Dalam tulisan
ini, analisis terhadap kultur hukum memberikan paradigma berpikir guna menjawab
berbagai fenomena yang ada, yaitu:
1. Bagaimanakah
latar belakang yang mendasari persepsi dan perilaku dari aparat penegak hukum
untuk sungguh-sungguh memberikan perlindungan bagi korban.
2. Mengapakah
terjadi viktimisasi bekerjanya hukum pidana dalam lembaga peradilan pidana.
3. Bagaimanakah
persepsi dan perilaku korban atau masyarakat terhadap berbagai bentuk
viktimisasi terhadapnya.
4. Apakah
latar belakang sosial persepsi dan perilaku korban atau masyarakat tersebut,
apabila viktimisasi tersebut diproses dalam peradilan pidana.
5. Apakah
bekerjanya norma hukum dalam peradilan pidana diterima masyarakat sebagai
sarana untuk mencari keadilan.
6. Bagaimanakah
perwujudan nilai fungsi hukum untuk memberikan perlindungan terhadap korban
atau masyarakat dalam norma perundang-undangan yang ada.
Komponen
substantif hukum dalam bekerjanya sistem hukum sebagai suatu proses dikemukakan
sebagai output sistem hukum. Penulis menyetujui pendapat ini, bahwa komponen
substantif ini memberikan makna perwujudan dari kultur yang ada dan mendasari
bekerjanya lembaga peradilan. Penulis menegaskan bahwa komponen substantif ini
bisa pula dikaji sebagai instrumental system. Mengingat dalam hukum pidana,
peraturan seperti KUHP adalah peninggalan Zaman Hindia Belanda melalui WVS-nya.
Tulisan ini
menganalisis pula bagaimanakah norma hukum yang ada seperti KUHAP, KUHP, maupun
perundang-undangan lainnya, mewujudkan nilai perlindungan bagi korban. Tulisan
ini mengkaji urgensi norma hukum yang diselaraskan dengan instrumen
internasional guna merefleksikan bekerjanya hukum ataupun lembaga hukum untuk
mengakomodasi perlindungan korban.
Dalam komponen
substantif hukum, bisa pula dimasukkan berbagai kebiasaan yang digunakan dalam
masyarakat untuk mencari keadilan dan perlindungan hukum terhadapnya yang tidak
terikat pada formalitas tertentu.
Paradigma
bekerjanya sistem hukum di atas sebagai suatu proses sosial, merupakan hubungan
interaksi satu sama lain antara komponen struktural, komponen kultural, dan
komponen substantif sebagai suatu totalitas dalam bekerjanya sistem hukum.
Hubungan interaksi ini dapat memberikan pengaruh negatif atau juga
mungkin sinergi bagi bekerjanya hukum khususnya bekerjanya hukum pidana dalam
memberikan perlindungan korban sebagai suatu proses sosial dalam masyarakat
sebagai suatu totalitas.
Dengan demikian,
dapat ditegaskan bahwa bekerjanya hukum bukan hanya secara 'rules and logic' dalam tataran substantif, melainkan juga meliputi
perilaku dari individu atau lembaga yang terlibat dalam konteks masyarakat
sebagai suatu totalitas. [10]
Pada akhirnya,
bekerjanya ketiga komponen yaitu struktural, kultural, maupun substantif hukum
khususnya dalam proses sosial bekerjanya lembaga peradilan pidana dalam merealisasikan
suatu perlindungan korban adalah suatu konstruksi sosial.
Peradilan pidana
adalah suatu birokrasi penegakan hukum pidana dalam masyarakat. Oleh karena
itu, berbicara mengenai peradilan pidana tak lepas dari analisis mengenai
karakteristik birokrasi. Ciri-ciri dari deskripsi tipe ideal Weber tentang birokrasi
mencakup unsur-unsur sebagai berikut: pembagian kerja dan spesialisasi,
hierarki wewenang, staf administrasi, kompensasi yang berkaitan dengan posisi
seseorang, kelangsungan kerja, dan penerimaan tenaga kerja, serta diterapkannya
kontrak atau perjanjian yang memastikan terlebih dahulu kewajiban seseorang
dalam organisasi. Secara implisit dikemukakan Weber pula bahwa imbalan yang
akan diberikan organisasi didasarkan prestasi kerja. Hampir semua faktor di
atas ditemukan bahwa ada dua pengelompokan atribut organisasi, yang disebut
dengan 'birokratis' dan ‘rasional.[11]
Berdasar
perspektif Weber, birokratisasi berarti semakin tumbuhnya penggunaan peraturan
dan ketentuan yang dibangun secara formal rasional pemisahan antara kehidupan umum
dan pribadi, terjadinya bentuk legalitas yang beralasan rasional, serta
cara-cara bertindak yang mementingkan rasional dan pelembagaan. Pola pikir yang
efisiensi memberikan perintah pada birokrasi untuk menaati semua peraturan.
Suatu birokrasi menggunakan kekuasaannya agar para anggotanya menaati peraturan
organisasi.
Dominasi
peraturan formal yang mengikat para anggota
organisasi sebagai sarana menuntut kepatuhan, didukung oleh nilai-nilai
tersembunyi yang sengaja diciptakan organisasi serta lazim disebut ideologi
organisasi. Mitos atau ideologi tersebut menjadi bagian integral dari hampir
semua organisasi besar, bersifat privat atau publik.[12]
Mitos organisasi merupakan alat untuk meningkatkan esprit decorps dan
pengabdian para anggota organisasi. Penetrasi ideologi birokrasi dalam fakta
empiris menciptakan birokrasi yang bermuka dua. Pada satu sisi
menciptakan keterikatan yang menguntungkan organisasi, di sisi lain cenderung
menekan pandangan kritis atau kebebasan yang diperlukan untuk meningkatkan
vitalitas organisasi. Penerimaan ideologi organisasi dari para anggota
organisasi dilingkupi dengan struktur hierarki yang ketat dalam pentaatannya
mencegah munculnya kritik konstruktif bagi vitalitas organisasi untuk lebih
bersifat dinamis.[13]
Dominasi
rasional sebagai faktor determinan dari birokrasi yang berfungsi untuk
mengendalikan dan memberikan pembenaran (legitimasi) pencapaian tujuan
organisasi, membentuk struktur organisasi ke dalam spesialisasi, hierarki,
jabatan, keahlian para anggota organisasi dalam rangka menggerakkan organisasi.
Hampir pada setiap kehidupan organisasi, manusia menghargai manusia dalam
hubungannya dengan struktur yang telah ditetapkan terlebih dahulu untuk masing-masing
anggota organisasi. Hubungan semacam ini membuat orang mau menghargai orang
lain dengan melihat bagaimana kedudukan, pangkat, dan jabatan seseorang, tidak didasarkan
atas kedudukan orang sebagai manusia semata. Hubungan antara manusia anggota
organisasi ditentukan oleh simbol yang melekat pada masing-masing anggota
organisasi dalam bentuk jabatan, keahlian, dan kedudukan. Orang yang mempunyai
simbol yang mempesona seperti pangkat, jabatan. kedudukan, kekayaan, akan
dihargai oleh orang lain, sebaliknya orang yang tidak mempunyai simbol sulit
untuk mendapat tempat dalam panggung penghargaan.[14]
Dominasi yang
kuat dalam organisasi sebagai sarana legistimasi untuk mengendalikan dan
memberikan dasar pembenar bagi organisasi untuk mengikat anggota organisasi dalam
sekat hierarki dan kedudukan berdasar peraturan organisasi merupakan sarana
untuk menciptakan efisiensi dan pencapaian tujuan organisasi. Perspektif
organisasi tersebut menggambarkan organisasi sebagai suatu mesin yang bekerja
dengan suatu keteraturan dan ‘keajegan' tertentu yang menekankan adanya tingkat
produktivitas tertentu, taraf efisiensi tertentu, dan dikendalikan oleh suatu
legitimasi otoritas pimpinan. Premis dasar dari paradigma ini berpijak pada
pemahaman bahwa organisasi sebagai kelompok manusia ekonomi yang rasional,
sehingga lewat pembagian kerja, spesialisasi, hubungan kerja secara hierarkis,
maka usaha pencapaian tujuan bersama akan dapat dicapai secara efektif dan
efisien. Metafora yang digunakan adalah organisasi sebagai suatu sistem mesin (mechanism
paradigm).[15]
Suatu organisasi
menurut Donald Black ditandai oleh kenyataan bahwa tindakan anggota tidak hanya
dibentuk oleh persyaratan institusional dari peranan mereka, tetapi juga oleh
kepemimpinan yang diperkuat dengan otoritas. Setiap anggota memiliki satu orang
atau lebih anggota yang berfungsi untuk mengoordinasikan dan mengatur kegiatan
dari anggota yang lain, mereka ini merupakan titik pusat dari jalur komunikasi
di dalam organisasi itu. Mewakili sentral tertinggi dari sistem kewenangan, dan
mereka menyatakan keputusan yang mengoordinasikan kegiatan anggota, menetapkan
arah dan untuk apa energi organisasi akan digunakan, dan menentukan perimbangan
relatif atau proporsi antara tuntutan yang paling bertentangan dalam usaha memperoleh
kekuasaan organisasi. Mereka menetapkan apa yang merupakan tujuan utama dari
organisasi, dan mengalokasikan sumber daya manusia dan sumber daya alam untuk
organisasi itu guna mencapai tujuan-tujuan tersebut.[16]
Formalitas
prosedur dalam birokrasi yang sering digunakan untuk mencapai efisiensi dalam
rangka mencapai tujuan organisasi, berpeluang menjadi prosedur yang bersifat
kontra- produktif. Prosedur formal cenderung membuat administrasi yang berbelit belit, sehingga tidak
ada keraguan bahwa birokrasi kerap kali tidak efisien.
Amitai Etzioni
membedakan antara organisasi dan birokrasi. Dikemukakannya dalam dua hal,
sebagai berikut: pertama bahwa birokrasi sering bermakna konotatif negatif bagi
pe mimpinnya, sedangkan
organisasi memiliki terminologi yang netral. Kedua birokrasi yang lebih dekat
dengan pemikiran Weber, tetapi banyak organisasi modern bukanlah birokrasi dalam
kategori teknisnya. Sebagai contoh adalah rumah sakit yang tidak memiliki satu
pusat pengambil keputusan.[17]
Lembaga penegak
hukum memiliki tugas untuk mengemban tujuan hukum atau mewujudkan fungsi hukum.
Sebagaimana dikemukakan I. S. Susanto bahwa fungsi primer negara hukum dapat
dikemukakan dalam tiga hal, yaitu perlindungan, keadilan, dan pembangunan.[18]
Oleh karena itu, lembaga penegak hukum dapat dikatakan sebagai pengorganisasian
kegiatan untuk mencapai fungsi hukum.
Dalam fenomena
empiris, lembaga penegak hukum ini bekerja dalam birokrasinya, membentuk
norma-norma dan tujuan birokrasi sendiri. Dalam proses mencapai tujuan
organisasi untuk mengemban fungsi hukum tersebut, manusialah yang menjalankan
hukum. Hal ini berarti bergantung pada bagaimanakah individu penegak hukum
untuk menafsirkan tugasnya, khususnya dalam hukum pidana.
Setiap lembaga
penegak hukum dan individu di dalamnya bekerja dalam konteks sosial masyarakat
dan dihadapkan pada kepentingan dari berbagai pihak yang berada dalam konteks masyarakat
sebagai suatu totalitas, atau dalam culture masyarakat yang memunculkan suatu behavior
of law.[19] Hal ini memberikan
kemungkinan adanya suatu 'conflict of
interest' yang memunculkan pengantian tujuan lembaga tersebut dengan tujuan
pragmatis sebagai suatu subculture birokrasi yang bersangkutan yang bersifat
laten atau tersembunyi.
Menurut
Chambliss dan Seidmann administrasi hukum pidana dalam deskripsi apa yang akan
tercantum dalam aturan) bukanlah cetak biru sistem hukum, melainkan tingkah
laku para pelaku yang sebenarnya.[20]
Donald Black
memberikan suatu pemahaman ‘behavior of law'
yang dikaitkan dengan aspek 'social life'.
Pemikiran Black dalam tulisan ini merupakan suatu prediksi konsep behavior of law yang akar,
dikoherensikan dengan hasil tulisan di atas. Black mengemukakan bahwa: law is greater in a direction toward less
culture than toward more culture ... an offense by some one with less culture
than his victim is more serious than an of fense in the opposite direction. If
the offense is toward more culture, such as an offense against some one with
more education than the offender, law of every kind is greater.[21]
Black juga
mengemukakan preposisi, yaitu: Law is
greater in a direction toward less conventionally than toward more
conventionally. Keterkaitan dengan korban adalah law increase with victim conventional.[22] Apabila dikaitkan
dengan hukum sebagai kontrol sosial, maka Black memberikan asumsi: just as social control defines who is
deviant, it defines who is respectable. Respectable is a quantitative variable,
known by the social control to which a group or person has been subject: The
more social control, the less respectable he is ... Law is greater in
adirection toward lessresspectability than toward more respectability. [23]
Munculnya
fenomena tujuan birokrasi yang menyimpang, seperti halnya apabila sistem peradilan pidana atau criminal justice system justru malah
terkadang menjadi criminal injustice system merupakan suatu 'displacement of
goal. Latar
belakang sosial dari displacement of goal
ini tak lepas dari karakteristik birokrasi dengan bangunan formal prosedural
yang dijabarkan dalam spesialisasi, hierarki, yang berarti menekankan
keseragaman dan pembatasan. Pembatasan inilah yang memunculkan kemampatan
bekerjanya birokrasi sesuai dengan kebutuhan kenyataan yang ada, dan bahkan
terjadi selektivitas dari bekerjanya birokrasi. Pembatasan demikian menimbulkan
pengaburan pengertian antara ‘apa yang seharusnya dilakukan' dan apa yang
senyatanya terjadi.'
Pembatasan yang
ada dan melingkupi birokrasi termasuk inidvidu didalam sistem peradilan pidana
adalah pada sumber daya keuangan atau pembiayaan dan sarana serta sumber daya
manusia. Hambatan dalam birokrasi inilah menentukan bagaimana lembaga peradilan
pidana beroperasi. Oleh karena itu, membuka kemungkinan agar birokrasi ini
tetap survive dengan berusaha mencari jalannya sendiri. Pengelolaan
penyelenggaraan peradilan misalnya, dengan pungutan seperti uang administrasi
dan sebagainya yang dapat dipandang pula sebagai usaha mengelola birokrasi
peradilan pidana seperti halnya pola manajemen perusahaan biasa, walaupun
birokrasi peradilan merupakan badan publik.
Situasi
masyarakat Indonesia merupakan suatu complex societies. Pola
kehidupan sosial bergerak ke arah terciptanya masyarakat terbuka heterogen.
Dalam penerapannya, proses birokratisasi di Indonesia mengalami suatu
kemandekan dalam suatu birokrasi rasional. Organisasi formal masih ditandai dengan
kekakuan (inflexibility), kemandekan
struktural (structural statis), tata
cara yang berlebihan (ritualism), dan
penyimpangan sasaran (prevesion of goals),
sifat yang tidak pribadi (impersonality),
pengabaian (alienation) otomatis, dan
menutup diri terhadap perbedaan pendapat (constrin
of dissent). [24]
Hal ini sejalan
dengan pemikiran Chambliss dan Seidmann yang merumuskan kerja birokrasi dalam maximizing rewards and minimizing strains on
the organization. Sebagaimana diangkapkannya:
Suatu
organisasi dan anggotanya cenderung untuk menggantikan tujuan serta kaidah
organisasi yang resmi dengan kebijakan serta kegiatan secara terus-menerus
dijalankan, yang akan meningkatkan keuntungan terhadap organisasi dan akan
menekan hambatan terhadap organisasi.[25]
Selaras dengan
hak tersebut sebagai lembaga penegak hukum yang berada dalam sistem lebih
besar, yaitu masyarakat, maka pengaruh masyarakat berimbas pada organisasi
karena sumber daya yang digali dari masyarakat. Hal ini membuka kemungkinan
bahwa fenomena displecement of goal
merupakan gambaran adanya hubungan resiprositas antara lembaga penegak hukum
dan masyarakat sebagai basis sosial bekerjanya lembaga tersebut. Demikian pula
perilaku penegak hukum merupakan hasil interaksi dengan masyarakatnya. Berbagai
kondisi dalam masyarakat atau produk masyarakat bahkan bisa menjadi pembatasan
birokrasi penegak hukum dari aspek kultural maupun sosial.
Beberapa
fenomena dalam tulisan yang akan dibahas pada sub-bab selanjutnya menggambarkan pula
adanya nilai-nilai patriakal yang kurang mengakomodasi hak asasi perempuan dalam
masyarakat untuk diakui dan dilindungi dalam hukum positif dan bekerjanya
hukum. Mengingat ratifikasi internasional, berarti menjadikannya sebagai hukum
positif dalam pembuatan dan bekerjanya perundang-undangan.
Dalam kondisi
masyarakat yang masih mengagungkan kekuasaan, maka bekerjanya aparat penegak
hukum menjadi terpengaruh pada karakteristik ini. Pelaksanaan hukum dalam masyarakat
misalnya, ditujukan kepada orang-orang yang memiliki kekuasaan politik kecil
atau bahkan sama sekali tidak biasanya lebih aman dijalankannya daripada
pelaksanaan yang ditujukan kepada orang-orang yang memilki kekuasaan politik
besar, sebab dalam kondisi terakhir ini pelaksanaan itu akan berbalik
menimbulkan tekanan kepada badan pelaksana hukum itu sendiri.[26]
Cerminan penyimpangan tujuan dari birokrasi yang diterima dalam proses
resiprositas dengan masyarakat merupakan respons birokrasi atau individu di
dalamnya dalam menghadapi kemampatan formalitas prosedur organisasi
yang kaku dan upaya penegak hukum untuk meningkatkan dan menarik keuntungan
dari masyarakat serta menekan hambatannya.
Kecenderungan
penegakan hukum meringankan golongan masyarakat yang berkekuasaan dan menekan
masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan menjadi stigma masyarakat terhadap
bekerjanya penegak hukum yang bersifat berat sebelah atau diskriminatif.[27]
Dalam birokrasi
penegak hukum dan perilaku individunya seperti polisi, jaksa, bahkan hakim.
Penulis berpendapat bahwa dalam masalah buruknya pelayanan keadilan dari
birokrasi penegak hukum tak lepas dari tudingan terhadap masyarakat. Kerja
penegak hukum dalam beberapa hal bahkan bisa dikategorikan sebagai hasil
produk' atau pantulan dari ‘masyarakat’. Hal ini berarti bahwa apabila seorang
penegak hukum berperilaku tidak sesuai dengan peraturan formal, misal dengan
meminta uang lelaki ataupun uang untuk melakukan kompromi' dalam keputusan atau
bekerjanya penegakan hukum, barangkali hal ini pun menjadi bagian kebiasaan
dalam masyarakat. Dalam fenomena ini perilaku atau human action atau bahkan mungkin behavior dari penegak hukum tak lepas dari kebiasaan keinginan yang
berlaku dalam masyarakat apabila menginginkan segala sesuatu sebagai ini bisa
diatur'.
Dalam penulisan,
dapat dikemukakan suatu fenomena sebagaimana yang dikemukakan A. S. Blumberg
bahwa: In some modern bureaucratic settings, the organization appears to
exist to serve the need of its personel rather than its clients. The clients becomes
a secondary figure in the court system as in other large organizational
settings.[28]
Dalam kaitan ini
perlu dipertanyakan bagaimanakah accountability
dari bekerjanya birokrasi penegak hukum melalui aparat penegak hukum tersebut.
Untuk menganalisis hal ini dapat dikemukakan pendapat I.S. Susanto, bahwa:
Barangkali
pada semua tingkat di dalam korporasi terdapat ‘pelembagaan mengenai
ketidakbertanggungjawaban' dengan membiarkan korporasi menjalankan fungsinya, namun
di balik itu seolah membiarkan individu dalam korporasi tertutup oleh tirai
yang seakan-akan bertindak sesuai hukum maupun moral.[29]
Apabila
dikoherensikan dengan korporasi penegak hukum, mengingat korporasi bisa
berbentuk privat maupun publik, maka pendelegasian ketidakbertanggungjawaban
ini, dapat pula terjadi pada peradilan pidana. Aparat penegak hukumsering kali
memberikan pembelaan bahwa tidak ada uang lelah
ataupun penarikan uang untuk menyelesaikan kasus, namun masyarakat sebagai
konsumen hukum
merasa sebagai korban karena mengalami hal yang bertentangan dengan pembelaan tersebut.
Berbagai
persoalan di atas menumbuhkan suatu pemikiran untuk mengkaji bekerjanya penegak
hukum untuk mampu mewujudkan tuntutan dan harapan masyarakat. Kemandirian penegak
hukum baik polisi, jaksa, maupun hakim merupakan suatu kebutuhan untuk memenuhi
tuntutan masyarakat dalam rangka melindungi, mengayomi, melayani, dan
menegakkan hukum secara profesional.
Kerugian yang
dialami masyarakat sebagai korban ganda dalam peradilan pidana, tidak ada yang
mencatat. Belum lagi yang berupa kejahatan korporasi seperti produk makanan dan
obat berbahaya, ataupun bentuk kejahatan telekomunikasi lainnya, tidak pernah
ditanggapi penegak hukum pidana. Hal ini membuktikan adanya sifat berat sebelah
dari bekerjanya aparat penegak hukum pidana.
Peran advokat
ataupun pengacara tak boleh dipandang remeh untuk ikut mewujudkan keadilan
dalam peradilan pidana. Sebagaimana diungkapkan sebagai berikut: Advokat tidak
pernah diberi kesempatan untuk menjadi penegak hukum bersama-sama dengan
polisi, jaksa, dan hakim selama 32 tahun, karena mereka dianggap sebagai anak
nakal (I enfant
terrioble), terbukti dari RUU advokat tidak
pernah masuk sampai ke DPR, paling-paling sampai secretariat negara lalu
dicabut kembali. Hal ini telah terjadi beberapa kali. Atas dasar itu mereka
bermain di lapangan polisi, jaksa, dan hakim sehingga sering kali terdengar
bahwa perantara suap atau makelar.[30]
Apabila
dikaitkan dengan Basic Principles on The Role of Lawyers Prinsip Dasar
Peran Pembela, maka sinyalemen tersebut melanggar hal ini, karena dalam prinsip
dasar ini dikemukakan bahwa:
Pengacara
harus selalu menjunjung tinggi kehormatan dan martabat profesinya sebagai agen
pelaksanaan peradilan. Kewajiban pengacara kepada kliennya yakni membantu klien
dengan cara yang baik .... Pengacara harus selalu berpegang teguh pada hak-hak
asasi manusia dan kebebasan fundamental yang diakui oleh hukum negara dan
internasional serta selalu bebas dan rajin bertindak sesuai hukum dan standar
profesi hukum.[31]
Dalam tulisan
terungkap dari beberapa responden, bahwa peranan pengacara sangat besar untuk
ikut menyelesaikan masalah. Kedekatan pengacara atau penasihat hukum dengan aparat
merupakan suatu indikator keberhasilan penyelesaian kasus sesuai yang
dikehendaki pihak-pihak yang terlibat.
Berbagai
fenomena tersebut memberikan suatu kesimpulan, bahwa dalam rangka perlindungan
korban melalui sistem peradilan Pidana, berbagai bentuk viktimisasi yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum justru memperoleh kekebalan hukum. Dalam
penjelasan di bawah ini merupakan suatu penggambaran fenomena bekerjanya peradilan
pidana sebagai suatu birokrasi beserta anggotanya yang melibatkan masyarakat
untuk merefleksikan perlindungan korban dalam suatu hubungan interaksionis
melalui suatu konstruksi sosial perlindungan korban.
Pelbagai
perilaku negatif penegak hukum di atas, memunculkan suatu paradigma bahwa
penegak hukum itu sendiri melakukan suatu perbuatan yang tidak mencerminkan perlindungan
korban. Bahkan perilaku penegak hukum menjadikan viktimisasi terhadap
masyarakat. Dengan kata lain, penegak hukum justru bisa menjadi pelaku 'white collar crime" yang justru
kebal hukum.
Gilbert Geis dan
Robert F. Meier mengemukakan bahwa kejahatan kerah putih ini mengindikasikan
distribusi kekuasaan dalam masyarakat, bahwa orang/sekelompok orang yang memilki
kekuasaan akan lebih menduduki kemenangan kejahatan kerah putih ini
mengindikasikan adanya hipokritas dalam masyarakat.[32]
Tulisan
menggambarkan bahwa penegak hukum bisa berperilaku merugikan atau sebagai
pelaku viktimisasi terhadap masyarakat umumnya, merupakan suatu ilustrasi bahwa
whitecollar crime jauh lebih berbahaya daripada kejahatan yang dilakukan
perorangan/kelompok yang bersifat warungan. Berbagai upaya untuk menggunakan
diskresi yang dimiliki acap kali tanpa sepengetahuan dan pertimbangan korban, sering
kali terjadi ‘kompromi antara penegak hukum dan pelaku kejahatan', tanpa
memedulikan korban. Hal ini memberikan indikasi kurang memuaskan bekerjanya
peradilan pidana.
Beranjak dari
terminologi paradigma korban seperti yang telah diuraikan di awal pembahasan
ini, dapat dikemukakan bahwa viktimologi memberikan perspektif luas untuk
memahami perlindungan korban dengan lebih baik, mencakup analisis korban yang
bisa berjatuhan karena institutional
victimization, khususnya dalam penulisan ini adalah viktimisasi terhadap
korban dalam pembuatan maupun bekerjanya hukum oleh aparat penegak hukum
khususnya dalam peradilan pidana. Kajian viktimologi berarti memberikan wawasan
‘bagaimanakah pembuatan dan bekerjanya hukum mampu mewujudkan kesejahteraan,
mewujudkan keadilan, mewujudkan perlindungan terhadap hak-hak asasi korban',
serta menjelajahi fenomena apakah justru dalam upaya korban untuk mencari
keadilan, untuk mencari solusi bagi penderitaannya justru ‘dikorbankan' lagi
dalam sistem peradilan pidana sebagai ‘korban peradilan’. Dengan kata lain,
apakah justru bekerjanya peradilan pidana memunculkan fenomena sistem peradilan
pidana yang kriminogen ataupun viktimogen, yang justru berawal dari pembuatan
hukum itu sendiri maupun dalam taraf penerapan atau penegakan hukumnya.
Fungsi hukum yang
diusung oleh lembaga dan pranata hukum dalam peradilan pidana selalu
dipertanyakan perwujudannya. Hukum erat kaitannya dengan usaha untuk mewujudkan
nilai-nilai tertentu. Konflik antara dua pandangan dalam hukum, pertama yang
melihat hukum diterima begitu saja dan pandangan idealistis hukum yang
mencita-citakan tercapainya tujuan-tujuan sosial, memberikan fenomena antara
status quo dan yang lebih berkeadilan.
Diseminasi nilai
keadilan dalam hukum menunjukkan bangkitnya kembali pikiran hukum alam selaras
dengan tuntutan dinamika kehidupaan hukum. Philip Selznick mengemu-kakan
peranan hukum alam dalam memberikan muatan ‘nilai filsafati' dalam hukum,
yaitu:
1. Hukum
alam menerima adanya suatu pengkajian ilmiah.
2. Hukum
alam menerima adanya suatu pandangan final, suatu ideal utama yang memimpin
kita dalam melakukan pengkajian.
3. Hukum
alam mencari dan merangkumkan kebenaran abadi mengenai hakikat manusia yang
mempunyai relevansi moral, seperti kebutuhan akan harga diri.
4. Hukum
alam mencari dan merangkumkan kebenaran abadi mengenai hakikat masyarakat yang
mempunyai relevansi moral, seperti pembagian dan penggunaan kekuatan sosial.
5. Hukum
alam mencari dan merangkumkan kebenaran abadi mengenai hakikat dan persyaratan
suatu tertib hukum.[33]
Kebutuhan hukum
dalam masyarakat dirasakan untuk menciptakan keadilan, dan peraturan yang ada
serta penerapannya menjamin kepastian dalam hubungan mereka satu sama lain.
Mengutip dari Radbruch, nilai-nilai dasar dari hukum yaitu keadilan, kegunaan,
dan kepastian, dengan kesahan berlaku secara filsafati, sosiologis, dan
yuridis. Dalam kehidupannya ketiga nilai dasar hukum ini, sering memunculkan
ketegangan satu sama lain.[34]
Mengacu pada
konsep KUHP, ketegangan antara nilai kepastian hukum dan keadilan ditegaskan
dalam Pasal 18 konsep KUHP baru, bahwa hakim harus sejauh mungkin mengutamakan
nilai keadilan daripada nilai kepastian hukum.[35]
Dikemukakan oleh
Frans Magnis Suseno, bahwa ketegangan antara tuntutan kepastian hukum dan
tuntutan agar hukum sesuai mungkin dengan perasaan keadilan masyarakat termasuk
hakikat hukum itu sendiri, dan akan muncul kembali
dalam pertentangan antara teori Hukum Kodrat dan Positivisme Hukum. Namun
ketegangan itu tidak perlu menggagal kan cita-cita hukum. Hukum memang harus
pasti, kepastian adalah dasar hukum, tanpa kepastian keadilan tidak dapat
terlaksana. Tetapi kepastian tidak boleh dimutlakkan. Agar hukum tetap adil,
perlu ada keluwesan.[36]
Penulis
berpendapat bahwa konflik antara kepastian hukum dan keadilan tidak saja
menjadi persoalan dilematika bagi hakim, namun ketegangan antara kedua nilai
ini yang harus dimenangkan oleh keadilan selayaknya menjadi acuan bagi strategi
bekerjanya hukum pidana baik dalam taraf di kepolisian maupun kejaksaan.
Makna 'keadilan'
itu merupakan suatu persoalan tersendiri yang sebagian pendapat dikaitkan
dengan tatanan masyarakat. Untuk hal ini dapat dikemukakan deskripsi makna keadilan
sebagai suatu ukuran yang dipakai dalam memberikan perlakuan terhadap objek di
luar diri kita yang tidak dapat dilepaskan dari ukuran perlakuan kepada manusia
atau kemanusiaan.[37]
Terjadinya ‘linkage' antara kepastian hukum dan
keadilan mengetengahkan suatu fenomena jarak antara kebutuhan rakyat dan
peraturan yang ada. Lahirnya produk hukum dan bekerjanya hukum yang cenderung
defensif daripada yang akomodatif sering kali terjadi.
Pada
kenyataannya, hukum tidak berada dalam ruang hampa dalam arti konsepsi hukum
yang dilihat dari aspek pembuatan dan bekerjanya hukum sering berada dalam
situasi 'conflict of interest',
karena bekerjanya dipengaruhi oleh suatu lingkungan. Dengan kata lain, hukum
berada dalam suatu sistem sosial bukan variabel tersendiri, melainkan
bekerjanya tergantung
pada landasan tertib sosial yang lebih luas.
Dalam wacana
tersebut, A. A. G. Peters mengungkapkan konsep hukum responsif dari Nonet dan
Selznick sebagai jawaban atas kritik, bahwa sering kali hukum ‘tercerai-berai dari
kenyataan pengalaman sosial dan dari cita-cita keadilan sendiri.[38] Untuk lebih mengkaji
hukum responsif, perlu diperbandingkan tipe hukum dalam masyarakat seperti yang
dikemukakan oleh arsiteknya, Philippe Nonet dan Philip Selznick, yaitu 'repressive
law, autonomus law, dan responsive law'dalam bukunya Law and Society in
Transition.[39]
Hukum represif sering kali dipakai sebagai dalih untuk menjamin ketertiban,
dengan kekuasaannya negara dapat menafsirkan arti tata tertib sesuai dengan
kebutuhan dan perspektif mereka sendiri. Tujuan legitimasi dalam hukum ini,
yaitu demi kepentingan negara sendiri. Hukum dipakai sebagai alat kekuasaan
represif. Reaksi dari hukum represif adalah timbulnya hukum otonom yang
menekankan legitimasi, dengan tujuan legitimasi adalah keadilan prosedural.
Hukum dipakai sebagai suatu pranata yang mampu menetralisasi represi dan
melindungi integritas hukum itu sendiri. Hukum dilepaskan dari realitas sosial.
Model kekuasaan berdasar hukum ini adalah lebih menganjurkan tunduk kepada
otoritas daripada kritik atas otoritas. Dalam perkembangannya timbul kritik
terhadap hukum otonom dalam bentuk kritik terhadap kekakuan legislatif yang
asing terhadap kehidupan umum dalam masyarakat. Hukum responsif menekankan pada
kompetensi dengan tujuan legitimasi adalah memberi keadilan substantif sebagai
jaminan bagi perlakuan adil.[40]
Hal menarik
dalam rumusan di atas merupakan suatu nilai keadilan substantif yang diperjuangkan
dalam penegakan hukum, yang didekati tidak hanya dalam ranah positivistik te- tapi
dalam pemikiran 'inwoord lookingʻ dari rasa keadilan masyarakat. Berdasar pemikiran
tersebut, nilai keadilan adalah menjadi nilai yang harus terefleksikan dalam
hukum, baik dalam pembuatan hukum maupun bekerjanya aparat. Peranan berjalannya
fungsi hukum dengan menjalankan keadilan merupakan suatu cita hukum, dan
bukannya hanya menjadi mitos belaka. Sejalan dengan penamaan ‘criminal justice' apabila hanya di atas
kertas belaka menjadi 'criminal injustice'.
Beranjak dari
fungsi hukum tersebut, dalam penulisan ini akan dikaji bagaimanakah peradilan
pidana baik dalam pembuatan hukum maupun bekerjanya penegak hukum
merealisasikan fungsi hukum tersebut dalam mewujudkan perlindungan hukum bagi
korban.
Sumber:
Maya Indah.2014.Perlindungan Korban: Suatu Perspektif
Viktimologi dan Kriminologi.Kharisma Putra Utama.Jakarta, hal.71-96
Tugas Mandiri:
1.
Jelaskan fungsi primer hukum?
2.
Jelaskan cara kongkret manusia dalam menemukan nilai
hukum?
3.
Jelaskan tiga komponen untuk bekerjanya sistem hukum?
4.
Jelaskan pradikma berfikir terhadap kultur hukum?
5.
Jelaskan pengertian organisasi untuk pendekatan hukunm?
6.
Jelaskan kondisi organisasi formal birokrasi di
Indonesia?
Jelaskan peranan hukum
alam dalam memberikan muatan nilai filsafat dalam hu
[2] Edmond Cahn, Hukum
dalam Perspektif Konsumen, dalam AAG Peters,; Koesriani Siswosoebroto, Hukum
dan Perkembangan Sosial, Buku III. Pustaka Sinar Harapan, 1990, h. 144,152-154.
Hukum dalam perspektif ini diper-hadapkan pada perspektif resmi yang dikatakan
sebagai cara memandang problem kemasyarakatan oleh kepentingan dominan pemegang
kekuasaan.
[4]
Satjipto, Op.cit., 1986, h. 27,
[5]
Lihat dalam Ronny Hanitijo Soemitro, Politik, Kekuasaan, dan Hukum (Pendekatan
Manajemen Hukum), (Semarang: UNDIP, 1998), h. 2-3.
[6]
Robert B. Seidmann, Law and Proverty: Essays on Third World Perspective in
Jurisprudence, Malayan Law Journal, 1984, dalam Ronny, Ronny Hanitijo Soemitro,
Politik, Kekuasaan, dan Hukum (Pendekatan Manajemen Hukum),(Semarang: UNDIP,
1998), 2-3, h. 127.
[7] Ibid., h. 128.
[8] Definisi
Structure, substance, dan legal culture dapat dilihat pada Lawrence M.
Friedman, The Legal System, A Social Science Perspective, (New York:Russel Sage
Foundation, 1975), p. 14-16.
[9] Bandingkan
dengan Talcott Parsons melalui teori sibernetika. Penulis berpendapat bahwa
hukum tidak merupakan suatu subsistem tetapi sesungguhnya sebagai suatu lembaga
pengubah (converting institution) yang ikut berperan memproses informasi dan
energi, sehingga menghasilkan sistem hukum yang beridentitas tertentu
sebagaimana berada dalam keempat subsistem, yaitu subsistem budaya, sosial,
politik, dan ekonomi. Bandingkan dengan Ronny Hanitijo Soemitro, Perspektif
Sosial dalam Pemahaman Masalah-masalah Hukum, (Semarang, Agung Press, 1989), h.
29.
[10]
Bandingkan dengan Koento Wibisono Siswomihardjo, seminar Supremasi Hukum dalam
Negara Demokrasi Menuju Indonesia Bani (Kajian Filosofis), 27 Juli 2000,
Semarang, h. 1 yaitu bahwa masalah hukum merupakan suatu masalah fundamental,
karena masalah hukum menyangkut segi ontologis tentang apa dan siapa manusia
itu, dan segi aksiologis tentang nilai-nilai imperatif yang akan diberlakukan
di mana manusia yang menjadi subjek sekaligus objek dalam bidang hukum. Aktual
karena masyarakat dewasa ini mengalami dekadensi dan disintegrasi dalam
berbagai aspek kehidupan, mutlak menuntut adanya reorientasi dalam pembinaan
dan pengembangan hukum, tidak saja bila diinginkan agar hukum memiliki
supremasinya, tetapi bila juga dikehendaki terwujudnya negara demokrasi dalam
arti kata sebenarnya.
[11]
Peter M. Blau, Marshall W. Meyer Ed. 2 terj. Garry R. Jusuf, Birokrasi dalam
Masyarakat Modern. (Jakarta: UI Press, 1987), h. 124-125.
[12]
Ibid, h. 73.
[13]
Ibid., h 78.
[14] Thoha Miftah,
Dimensi-dimensi Ilmu Administrasi Negara, (Jakarta: Rajawali, 1984), h. 121.
[15] Ibid., h. 133.
[16]
Donald Black, The Behavior of Law, (London: Academic Press, 1976), p. 15-16.
[17] Amitai Etzioni,
Modern Organizations, (Englewood Cliffs, New Jersey:Prentice Hall, 1964), 11.
3.
[18] I.
S. Susanto, Orasi: Kejahatan Korporasi di Indonesia Produk Kebijakan Rezim Orde
Baru UNDIP, Semarang, 12 Oktober 1999, h. 17-18.
[19] Donald Black, Op.
cit., p. 61-63.
[20]
William Chambliss & Robert B. Seidmann, Law Order, and Power. (Addison
Wesley Publishing Company Massachusetts,
1971), p. 2-13.
[21] Donald Black, Op.cit,
p. 65-66.
[22] Ibid., p. 69-70.
[23] Ibid., p. 111, 114.
[24] Blau, Meyer, Op.
cit., h. ix.
[25] Chambliss dan
Seidmann, Op.cit., p. 266.
[26] Chambliss dan
Seidmann, Op. cit., p. 475
[27]Bandingkan
dengan Donald Black; Mauren Mileski The Social Organization of Law, (New York,
San Francisco. London: Seminar Press, 1973). p. 8 the legal process is geared
largely to serve the requirements of the upper strata.
[28]
Abraham S. Blumberg, Criminal Justice', (Toronto: Burns and MacEachern Ltd.,
1967), p. 47.
[29] Susanto, Op.cit,
1995, h. 27
[30]
Pengadilan Tinggi Jateng, Seminar, Dilema Pendekatan Positivistik dalam
Penegakan Hukum, Semarang, 22 Juli 2000, h. 6.
[31]
Kunarto, penyadur. PBB clan Pencegahan Kejahatan Ikhtisar Implementasi Hak Asasi
Manusia dalam Penegakan Hukum, (Jakarta: Cipta Manunggal, 1996), h.148-149.
[32] Gilbert Geis,; Robert
F., Meier (ed.), White-Collar Crime Offenses In Business, Politics, and The
Professions, (New York-London: The Free Press, Collier Macmillan, 1977), p. 18-19.
Dalam h. 42 disebutkan bahwa the financial loss from WCC great as it is, is
less trust and therefore create distrust, whih lowers social morale and
producessocial disorganization on a large scale.
[33] Philip Selznick,
Sociology and Natural Law, dalam Donald Black, Maureen Mileski,ed., The Social
Organization of Law, New York, San Fransisco,London: Seminar Press, 1973),
h.33-34
[34]
Satjipto, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), h.19-20.
[35]
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1996), h. 92.
[36]
Frans Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), h. 83-84. Teori hukum kodrat
menuntut hukum positif hanya diakui sah apabila sesuai dengan tuntutan dasar
martabat manusia, dan tidak bertentangan dengan norma dasar moral terutama
keadilan. Kelemahan hukum kodrat bahwa paham kodrat tidak dapat dipastikan
secara objektif, dan bahwa bagaimanapun tidak dapat menarik kesimpulan normatif
dari suatu kodrat faktual dianulir dengan paham bahwa norma-norma, atau hukum,
moral tidak lagi dipahami sebagai hukum kodrat tetapi menurut paham etika pada
umumnya. lihat Ibid., h. 95,
[37]
Satjipto Rahardjo, Op. cit., h. 165.
[38] A.
A. G. Peters, Op.cit., h. 158.
[39]
Philippe Nonet, Philip Selznick, law and Society In Transition, (London: Harper
and Row, 1978, p. 18. Dikemukakan bahwa repressive law, autonomous, and
responsive law are not distinc types of law but in some sense, stages of
evolution in the relation of law to the political and social order.
[40] Ibid., p. 16, 18, 42,
43, 64-71, 73, 93.
Nama : Rocky Al'amin
ReplyDeleteNim. : 18202048
Kelas : 4m2
1. Jelaskan fungsi primer hukum?
Jawab :
1) Perlindungan
Hukum berfungsi untuk melindungi masyarakat dari ancaman bahaya dan tindakan yang merugikan dari sesama dan kelompok masyarakat.
2) Keadilan
Hukum menjaga, melindungi dari keadilan bagi seluruh rakyat. S
3) Pembangunan
Hukum dipakai sebagai kendaraan baik dalam menentukan arah, tujuan, dan pelaksanaan pembangunan secara adil.
2. Jelaskan cara kongkret manusia dalam menemukan nilai hukum?
Jawab :
1) Perihal target dan peristiwa yang berkaitan dengan dampak hukum. Arti penting dari setiap prinsip, aturan atau konsep diteliti dengan mengobservasi target manusiawi yang terkena dampaknya. Metode ini mengungkapkan bahwa rasa ketidakadilan membawa pengaruh vital bagi cara bekerjanya hukum.
2) Perihal konkretisasi manusia. Hukum melindungi keselamatan fisik dan psikis dari manusia seutuhnya, dan miliknya yang menjadi tempat bergantungnya Hukum menjamin nilai sosial, cita-cita, dan kebebasan yang membuat hidup sangat berarti bagi manusia seutuhnya.
3) Perihal proporsi relatif beratnya hal-hal. Meskipun responsif kepada kepentingan efisiensi internal dan keuntungan, hukum memberikan arti yang jauh lebih besar kepada kebutuhan yang dirasakan oleh rakyat pada umumnya.
4) Perihal perhatian terhadap kasus-kasus tertentu. Tradisi bagi ahli hukum memakai perspektif resmi untuk membenarkan sistem hukum dalam pengertian rata-rata, statistik secara keseluruhan, dan cara bertingkah laku secara keseluruhan.
3. Jelaskan tiga komponen untuk bekerjanya sistem hukum?
Jawab :
Tiga komponennya, yaitu struktural, kultural, dan substantif.
4. Jelaskan pradikma berfikir terhadap kultur hukum?
Jawab :
1) Bagaimanakah latar belakang yang mendasari persepsi dan perilaku dari aparat penegak hukum untuk sungguh-sungguh memberikan perlindungan bagi korban.
2) Mengapakah terjadi viktimisasi bekerjanya hukum pidana dalam lembaga peradilan pidana.
3) Bagaimanakah persepsi dan perilaku korban atau masyarakat terhadap berbagai bentuk viktimisasi terhadapnya.
4) Apakah latar belakang sosial persepsi dan perilaku korban atau masyarakat tersebut, apabila viktimisasi tersebut diproses dalam peradilan pidana.
5) Apakah bekerjanya norma hukum dalam peradilan pidana diterima masyarakat sebagai sarana untuk mencari keadilan.
6) Bagaimanakah perwujudan nilai fungsi hukum untuk memberikan perlindungan terhadap korban atau masyarakat dalam norma perundang-undangan yang ada.
5. Jelaskan pengertian organisasi untuk pendekatan hukum?
Jawab :
Suatu organisasi menurut Donald Black ditandai oleh kenyataan bahwa tindakan anggota tidak hanya dibentuk oleh persyaratan institusional dari peranan mereka, tetapi juga oleh kepemimpinan yang diperkuat dengan otoritas.
6. Jelaskan kondisi organisasi formal birokrasi di Indonesia?
Jawab :
Munculnya fenomena tujuan birokrasi yang menyimpang, seperti halnya apabila sistem peradilan pidana atau criminal justice system justru malah terkadang menjadi criminal injustice system merupakan suatu 'displacement of goal.
7. Jelaskan peranan hukum alam dalam memberikan muatan nilai filsafat dalam hukum?
Jawab :
1) Hukum alam menerima adanya suatu pengkajian ilmiah.
2) Hukum alam menerima adanya suatu pandangan final, suatu ideal utama yang memimpin kita dalam melakukan pengkajian.
3) Hukum alam mencari dan merangkumkan kebenaran abadi mengenai hakikat manusia yang mempunyai relevansi moral, seperti kebutuhan akan harga diri.
4) Hukum alam mencari dan merangkumkan kebenaran abadi mengenai hakikat masyarakat yang mempunyai relevansi moral, seperti pembagian dan penggunaan kekuatan sosial.
5) Hukum alam mencari dan merangkumkan kebenaran abadi mengenai hakikat dan persyaratan suatu tertib hukum.