MK.KDV-15. FUNGSI LEMBAGA DAN PRANATA HUKUM


              Pada hakikatnya, perlindungan terhadap korban sebagai janji-janji hukum oleh sistem peradilan pidana berusaha mewujudkan fungsi primer hukum yang sebagaimana diungkapkan oleh I. S. Susanto dalam tiga hal:[1]
1.      Perlindungan
Hukum berfungsi untuk melindungi masyarakat dari ancaman bahaya dan tindakan yang merugikan dari sesama dan kelompok masyarakat termasuk yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan (pemerintah dan negara) dan yang datang dari luar, yang ditujukan terhadap fisik, jiwa, kesehatan, nilai-nilai, dan hak asasinya.
2.      Keadilan
Hukum menjaga, melindungi dari keadilan bagi seluruh rakyat. Secara negatif dapat dikatakan bahwa hukum yang tidak adil yaitu apabila hukum yang bersangkutan dipandang melanggar nilai-nilai dan hak-hak yang dipercayai harus dijaga dan dilindungi bagi semua orang.
3.      Pembangunan
Hukum dipakai sebagai kendaraan baik dalam menentukan arah, tujuan, dan pelaksanaan pembangunan secara adil. Artinya, hukum sekaligus digunakan sebagai alat pembangunan namun juga sebagai alat kontrol agar pembangunan dilaksanakan secara adil.
Edmond Cahn menganjurkan bahwa dalam rangka memberikan perlindungan bagi pihak-pihak yang harus dilindungi hukum yang disebut dengan ‘konsumen hukum' dalam hal ini korban dan masyarakat luas, maka pandangan antroposentris tentang hukum sangat diperlukan. Pandangan ini merupakan suatu segi pandangan tentang hukum dan pemerintah dimana manusia secara konkret hidup di tengah-tengahnya, sebagai konsumen paling utama dari hukum dan pemerintahan. Cara konkret manusia diperlakukan akan menentukan nilai hukum. Dalam perspektif konsumen ini, memiliki cara bekerja sebagaimana dikemukakan oleh Cohn sebagai berikut:
1.      Perihal target dan peristiwa yang berkaitan dengan dampak hukum. Arti penting dari setiap prinsip, aturan atau konsep diteliti dengan mengobservasi target manusiawi yang terkena dampaknya. Metode ini mengungkapkan bahwa rasa ketidakadilan membawa pengaruh vital bagi cara bekerjanya hukum.
2.      Perihal konkretisasi manusia. Hukum melindungi keselamatan fisik dan psikis dari manusia seutuhnya, dan miliknya yang menjadi tempat bergantungnya Hukum menjamin nilai sosial, cita-cita, dan kebebasan yang membuat hidup sangat berarti bagi manusia seutuhnya.
3.      Perihal proporsi relatif beratnya hal-hal. Meskipun responsif kepada kepentingan efisiensi internal dan keuntungan, hukum memberikan arti yang jauh lebih besar kepada kebutuhan yang dirasakan oleh rakyat pada umumnya.
4.      Perihal perhatian terhadap kasus-kasus tertentu. Tradisi bagi ahli hukum memakai perspektif resmi untuk membenarkan sistem hukum dalam pengertian rata-rata, statistik secara keseluruhan, dan cara bertingkah laku secara keseluruhan. Dalam kenyataannya mengecilkan arti suatu minat terhadap hasil dari kasus-kasus tertentu sebagai tidak ilmiah, tidak seperti ahli hukum. Sistem mereka bukanlah suatu sistem apabila sifatnya tidak impersonal dan tidak acuh tak acuh.[2]
Berdasar perspektif konsumen dari Cahn tersebut, dapat dinyatakan bahwa konsep perlindungan korban melalui bekerjanya peradilan pidana mengacu pula pada perspektif konsumen, supaya perlindungan hukum yang diberikan memberi arti pada kebutuhan hukum masyarakat banyak.
Pengkajian bekerjanya hukum sebagai suatu proses sosial memberikan paradigma bagai penekanan faktor di luar hukum terutama mengenai sikap dan nilai-nilai baik dalam masyarakat ataupun dalam individu penegak hukum ke dalam bekerjanya peradilan pidana itu sendiri.
Sikap dan nilai-nilai dalam hal ini ditampakkan melalui persepsi dan perilaku, baik dari korban maupun penegak hukum terkait dengan apa yang dinamakan kultur hukum. Friedman menjelaskan kultur hukum ini sebagai: “sikap dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum bersama-sama dengan sikap dan nilai-nilai yang terkait dengan tingkah laku yang berhubungan dengan hukum dan lembaganya baik secara positif maupun negatif.[3]
Satjipto menggambarkan masuknya unsur-unsur faktor diluar hukum terhadap bekerjanya hukum, memberikan kajian hukum sebagai berikut:
Pertama-tama memperhitungkan faktor permintaan yang ditujukan kepada lembaga hukum, yaitu permintaan yang menyebabkan lembaga tersebut bertindak; kedua sebagai akibat dari permintaan itu, yaitu timbulnya respons yang diberikan oleh lembaga hukum; ketiga, efek respons terhadap orang-orang yang mengajukan permintaan tersebut; dan keempat, efeknya terhadap masyarakat secara keseluruhan.[4]
Dalam pengkajian bekerjanya hukum sebagai suatu proses sosial merupakan suatu paradigma yang mempersepsi hukum tidak sekadar sebagai suatu kebutuhan fungsional, tetapi hukum yang terbebani dengan harapan dan janji-janji.[5]
Penulis berpendapat bahwa bekerjanya hukum sebagai suatu proses sosial melibatkan masyarakat sebagai suatu totalitas. Hal ini berarti, makna hukum dalam masyarakat dikaji baik dalam pembuatan hukumnya maupun bekerjanya lembaga penegak hukum yang mengalami suatu proses untuk menentukan apakah hukum tersebut sungguh-sungguh berfungsi dalam masyarakat dan bagaimanakah bekerjanya faktor di luar hukum sebagai faktor sosial memberikan pengaruh bagi bekerjanya hukum itu sendiri.
Robert B. Seidmann mengemukakan bekerjanya hukum dalam masyarakat sebagai bukan sesuatu yang abstrak. Hal ini dapat ditengarai dalam asumsi berikut:
Anggota masyarakat memilih dan bertindak dalam lingkup pembatasan dan dari sumber yang terdapat dalam lingkungan mereka. Peraturan hukum dan tindakan lembaga pelaksana hukum hanya menetapkan mengenai salah satu segi dalam lingkungan tersebut. Suatu perangkat peraturan hukum hanya akan menimbulkan tingkah laku bila peraturan itu ditetapkan berdasarkan kehendak sebagai variabel bebas, sedangkan faktor lain merupakan kondisi. Oleh karena itu, harus diterima sebagai suatu kebenaran bahwa semua unsur nonhukum yang memengaruhi pemilihan dan identifikasi perangkat peraturan hukum merupakan suatu va-riabel operasional atau sebab atau penjelasan.[6]
Pemaparan bekerjanya hukum dalam masyarakat oleh Robert B. Seidmann di atas, menstimulasikan bekerjanya hukum dalam tiga proses, yaitu: Lawmaking processes, conformity inducing measures, dan law implementing proceses yang berada dalam suatu arena pilihan bagi pemegang peran yang saling memberikan umpan balik. [7]Dalam hal ini, terlihat bahwa Seidmann hanya memberikan kerangka berpikir mengenai efektivitas bekerjanya hukum melalui kepatuhan bagi pemegan peran yang akhirnya memberikan umpan balik dalam Proses pembuatan dan penerapan hukum. Bagan Seidmann kurang memberikan penjelasan mengapa dalam proses penerapan hukum maupun pembuatan hukum bisa menimbulkan viktimisasi bagi masyarakat. Fokus Seidmann lebih dititikberatkan pada upaya kepatuhan hukum
Bekerjanya lembaga hukum dalam konteks ini khususnya dalam hukum pidana diproyeksikan bukan hanya atas dasar permintaan yang menyebabkan lembaga tersebut bertindak, melainkan juga atas dasar kemauan lembaga itu sendiri untuk bertindak. Respons dari lembaga penegak hukum khususnya kepolisian untuk menjawab berbagai sinyalemen viktimisasi dalam masyarakat, dengan sikap masyarakat sendiri yang permisif. Dalam hal ini proses sosial bekerjanya lembaga penegak hukum selayaknya tidak hanya untuk menanggapi laporan yang ada, tetapi juga berarti membina dan mengayomi masyarakat.
Untuk dapat mengikuti bekerjanya sistem hukum sebagai suatu proses, Lawrence Friedman mengemukakan dalam tiga komponennya, yaitu struktural, kultural, dan substantif. Ketiga unsur ini berada dalam proses interaksi satu sama lain dan membentuk totalitas.[8]
Berdasar terminologi Friedman, penulis memprediksikannya dalam tulisan ini. Komponen struktural dalam tulisan ini adalah komponen birokrasi peradilan pidana, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, termasuk peran pengacara dalam ikut membentuk bekerjanya birokrasi ini. Pengkajian struktural hukum terkait dengan lembaga penegak hukum ini, sebagai suatu birokrasi yang memiliki tujuannya sendiri sebagaimana dirumuskan dalam dasar-dasar peraturan organisasi yang melandasi bekerjanya lembaga hukum tersebut. Analisis terhadap bekerjanya lembaga peradilan pidana, untuk mengeksplorasi bagaimanakah pelayanan lembaga peradilan pidana tersebut untuk mewujudkan tujuannya yaitu melak- sanakan fungsi hukum.
Konsep yang terpenting ialah kultur hukum sebagai nilai dan sikap yang berkaitan dengan hukum dan lembaganya. Oleh karena mendasari dan memengaruhi bekerjanya struktural hukum atau lembaga peradilan pidana tersebut termasuk sebagai basic idea dalam komponen substantif hukum.[9]
Dalam tulisan ini, analisis terhadap kultur hukum memberikan paradigma berpikir guna menjawab berbagai fenomena yang ada, yaitu:
1.      Bagaimanakah latar belakang yang mendasari persepsi dan perilaku dari aparat penegak hukum untuk sungguh-sungguh memberikan perlindungan bagi korban.
2.      Mengapakah terjadi viktimisasi bekerjanya hukum pidana dalam lembaga peradilan pidana.
3.      Bagaimanakah persepsi dan perilaku korban atau masyarakat terhadap berbagai bentuk viktimisasi terhadapnya.
4.      Apakah latar belakang sosial persepsi dan perilaku korban atau masyarakat tersebut, apabila viktimisasi tersebut diproses dalam peradilan pidana.
5.      Apakah bekerjanya norma hukum dalam peradilan pidana diterima masyarakat sebagai sarana untuk mencari keadilan.
6.      Bagaimanakah perwujudan nilai fungsi hukum untuk memberikan perlindungan terhadap korban atau masyarakat dalam norma perundang-undangan yang ada.
Komponen substantif hukum dalam bekerjanya sistem hukum sebagai suatu proses dikemukakan sebagai output sistem hukum. Penulis menyetujui pendapat ini, bahwa komponen substantif ini memberikan makna perwujudan dari kultur yang ada dan mendasari bekerjanya lembaga peradilan. Penulis menegaskan bahwa komponen substantif ini bisa pula dikaji sebagai instrumental system. Mengingat dalam hukum pidana, peraturan seperti KUHP adalah peninggalan Zaman Hindia Belanda melalui WVS-nya.
Tulisan ini menganalisis pula bagaimanakah norma hukum yang ada seperti KUHAP, KUHP, maupun perundang-undangan lainnya, mewujudkan nilai perlindungan bagi korban. Tulisan ini mengkaji urgensi norma hukum yang diselaraskan dengan instrumen internasional guna merefleksikan bekerjanya hukum ataupun lembaga hukum untuk mengakomodasi perlindungan korban.
Dalam komponen substantif hukum, bisa pula dimasukkan berbagai kebiasaan yang digunakan dalam masyarakat untuk mencari keadilan dan perlindungan hukum terhadapnya yang tidak terikat pada formalitas tertentu.
Paradigma bekerjanya sistem hukum di atas sebagai suatu proses sosial, merupakan hubungan interaksi satu sama lain antara komponen struktural, komponen kultural, dan komponen substantif sebagai suatu totalitas dalam bekerjanya sistem hukum. Hubungan interaksi ini dapat memberikan pengaruh negatif atau juga mungkin sinergi bagi bekerjanya hukum khususnya bekerjanya hukum pidana dalam memberikan perlindungan korban sebagai suatu proses sosial dalam masyarakat sebagai suatu totalitas.
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa bekerjanya hukum bukan hanya secara 'rules and logic' dalam tataran substantif, melainkan juga meliputi perilaku dari individu atau lembaga yang terlibat dalam konteks masyarakat sebagai suatu totalitas. [10]
Pada akhirnya, bekerjanya ketiga komponen yaitu struktural, kultural, maupun substantif hukum khususnya dalam proses sosial bekerjanya lembaga peradilan pidana dalam merealisasikan suatu perlindungan korban adalah suatu konstruksi sosial.
Peradilan pidana adalah suatu birokrasi penegakan hukum pidana dalam masyarakat. Oleh karena itu, berbicara mengenai peradilan pidana tak lepas dari analisis mengenai karakteristik birokrasi. Ciri-ciri dari deskripsi tipe ideal Weber tentang birokrasi mencakup unsur-unsur sebagai berikut: pembagian kerja dan spesialisasi, hierarki wewenang, staf administrasi, kompensasi yang berkaitan dengan posisi seseorang, kelangsungan kerja, dan penerimaan tenaga kerja, serta diterapkannya kontrak atau perjanjian yang memastikan terlebih dahulu kewajiban seseorang dalam organisasi. Secara implisit dikemukakan Weber pula bahwa imbalan yang akan diberikan organisasi didasarkan prestasi kerja. Hampir semua faktor di atas ditemukan bahwa ada dua pengelompokan atribut organisasi, yang disebut dengan 'birokratis' dan ‘rasional.[11]
Berdasar perspektif Weber, birokratisasi berarti semakin tumbuhnya penggunaan peraturan dan ketentuan yang dibangun secara formal rasional pemisahan antara kehidupan umum dan pribadi, terjadinya bentuk legalitas yang beralasan rasional, serta cara-cara bertindak yang mementingkan rasional dan pelembagaan. Pola pikir yang efisiensi memberikan perintah pada birokrasi untuk menaati semua peraturan. Suatu birokrasi menggunakan kekuasaannya agar para anggotanya menaati peraturan organisasi.
Dominasi peraturan formal yang mengikat para anggota organisasi sebagai sarana menuntut kepatuhan, didukung oleh nilai-nilai tersembunyi yang sengaja diciptakan organisasi serta lazim disebut ideologi organisasi. Mitos atau ideologi tersebut menjadi bagian integral dari hampir semua organisasi besar, bersifat privat atau publik.[12] Mitos organisasi merupakan alat untuk meningkatkan esprit decorps dan pengabdian para anggota organisasi. Penetrasi ideologi birokrasi dalam fakta empiris menciptakan birokrasi yang bermuka dua. Pada satu sisi menciptakan keterikatan yang menguntungkan organisasi, di sisi lain cenderung menekan pandangan kritis atau kebebasan yang diperlukan untuk meningkatkan vitalitas organisasi. Penerimaan ideologi organisasi dari para anggota organisasi dilingkupi dengan struktur hierarki yang ketat dalam pentaatannya mencegah munculnya kritik konstruktif bagi vitalitas organisasi untuk lebih bersifat dinamis.[13]
Dominasi rasional sebagai faktor determinan dari birokrasi yang berfungsi untuk mengendalikan dan memberikan pembenaran (legitimasi) pencapaian tujuan organisasi, membentuk struktur organisasi ke dalam spesialisasi, hierarki, jabatan, keahlian para anggota organisasi dalam rangka menggerakkan organisasi. Hampir pada setiap kehidupan organisasi, manusia menghargai manusia dalam hubungannya dengan struktur yang telah ditetapkan terlebih dahulu untuk masing-masing anggota organisasi. Hubungan semacam ini membuat orang mau menghargai orang lain dengan melihat bagaimana kedudukan, pangkat, dan jabatan seseorang, tidak didasarkan atas kedudukan orang sebagai manusia semata. Hubungan antara manusia anggota organisasi ditentukan oleh simbol yang melekat pada masing-masing anggota organisasi dalam bentuk jabatan, keahlian, dan kedudukan. Orang yang mempunyai simbol yang mempesona seperti pangkat, jabatan. kedudukan, kekayaan, akan dihargai oleh orang lain, sebaliknya orang yang tidak mempunyai simbol sulit untuk mendapat tempat dalam panggung penghargaan.[14]
Dominasi yang kuat dalam organisasi sebagai sarana legistimasi untuk mengendalikan dan memberikan dasar pembenar bagi organisasi untuk mengikat anggota organisasi dalam sekat hierarki dan kedudukan berdasar peraturan organisasi merupakan sarana untuk menciptakan efisiensi dan pencapaian tujuan organisasi. Perspektif organisasi tersebut menggambarkan organisasi sebagai suatu mesin yang bekerja dengan suatu keteraturan dan ‘keajegan' tertentu yang menekankan adanya tingkat produktivitas tertentu, taraf efisiensi tertentu, dan dikendalikan oleh suatu legitimasi otoritas pimpinan. Premis dasar dari paradigma ini berpijak pada pemahaman bahwa organisasi sebagai kelompok manusia ekonomi yang rasional, sehingga lewat pembagian kerja, spesialisasi, hubungan kerja secara hierarkis, maka usaha pencapaian tujuan bersama akan dapat dicapai secara efektif dan efisien. Metafora yang digunakan adalah organisasi sebagai suatu sistem mesin (mechanism paradigm).[15]
Suatu organisasi menurut Donald Black ditandai oleh kenyataan bahwa tindakan anggota tidak hanya dibentuk oleh persyaratan institusional dari peranan mereka, tetapi juga oleh kepemimpinan yang diperkuat dengan otoritas. Setiap anggota memiliki satu orang atau lebih anggota yang berfungsi untuk mengoordinasikan dan mengatur kegiatan dari anggota yang lain, mereka ini merupakan titik pusat dari jalur komunikasi di dalam organisasi itu. Mewakili sentral tertinggi dari sistem kewenangan, dan mereka menyatakan keputusan yang mengoordinasikan kegiatan anggota, menetapkan arah dan untuk apa energi organisasi akan digunakan, dan menentukan perimbangan relatif atau proporsi antara tuntutan yang paling bertentangan dalam usaha memperoleh kekuasaan organisasi. Mereka menetapkan apa yang merupakan tujuan utama dari organisasi, dan mengalokasikan sumber daya manusia dan sumber daya alam untuk organisasi itu guna mencapai tujuan-tujuan tersebut.[16]
Formalitas prosedur dalam birokrasi yang sering digunakan untuk mencapai efisiensi dalam rangka mencapai tujuan organisasi, berpeluang menjadi prosedur yang bersifat kontra- produktif. Prosedur formal cenderung membuat administrasi yang berbelit belit, sehingga tidak ada keraguan bahwa birokrasi kerap kali tidak efisien.
Amitai Etzioni membedakan antara organisasi dan birokrasi. Dikemukakannya dalam dua hal, sebagai berikut: pertama bahwa birokrasi sering bermakna konotatif negatif bagi pe mimpinnya, sedangkan organisasi memiliki terminologi yang netral. Kedua birokrasi yang lebih dekat dengan pemikiran Weber, tetapi banyak organisasi modern bukanlah birokrasi dalam kategori teknisnya. Sebagai contoh adalah rumah sakit yang tidak memiliki satu pusat pengambil keputusan.[17]
Lembaga penegak hukum memiliki tugas untuk mengemban tujuan hukum atau mewujudkan fungsi hukum. Sebagaimana dikemukakan I. S. Susanto bahwa fungsi primer negara hukum dapat dikemukakan dalam tiga hal, yaitu perlindungan, keadilan, dan pembangunan.[18] Oleh karena itu, lembaga penegak hukum dapat dikatakan sebagai pengorganisasian kegiatan untuk mencapai fungsi hukum.
Dalam fenomena empiris, lembaga penegak hukum ini bekerja dalam birokrasinya, membentuk norma-norma dan tujuan birokrasi sendiri. Dalam proses mencapai tujuan organisasi untuk mengemban fungsi hukum tersebut, manusialah yang menjalankan hukum. Hal ini berarti bergantung pada bagaimanakah individu penegak hukum untuk menafsirkan tugasnya, khususnya dalam hukum pidana.
Setiap lembaga penegak hukum dan individu di dalamnya bekerja dalam konteks sosial masyarakat dan dihadapkan pada kepentingan dari berbagai pihak yang berada dalam konteks masyarakat sebagai suatu totalitas, atau dalam culture masyarakat yang memunculkan suatu behavior of law.[19] Hal ini memberikan kemungkinan adanya suatu 'conflict of interest' yang memunculkan pengantian tujuan lembaga tersebut dengan tujuan pragmatis sebagai suatu subculture birokrasi yang bersangkutan yang bersifat laten atau tersembunyi.
Menurut Chambliss dan Seidmann administrasi hukum pidana dalam deskripsi apa yang akan tercantum dalam aturan) bukanlah cetak biru sistem hukum, melainkan tingkah laku para pelaku yang sebenarnya.[20]
Donald Black memberikan suatu pemahaman ‘behavior of law' yang dikaitkan dengan aspek 'social life'. Pemikiran Black dalam tulisan ini merupakan suatu prediksi konsep behavior of law yang akar, dikoherensikan dengan hasil tulisan di atas. Black mengemukakan bahwa: law is greater in a direction toward less culture than toward more culture ... an offense by some one with less culture than his victim is more serious than an of fense in the opposite direction. If the offense is toward more culture, such as an offense against some one with more education than the offender, law of every kind is greater.[21]
Black juga mengemukakan preposisi, yaitu: Law is greater in a direction toward less conventionally than toward more conventionally. Keterkaitan dengan korban adalah law increase with victim conventional.[22] Apabila dikaitkan dengan hukum sebagai kontrol sosial, maka Black memberikan asumsi: just as social control defines who is deviant, it defines who is respectable. Respectable is a quantitative variable, known by the social control to which a group or person has been subject: The more social control, the less respectable he is ... Law is greater in adirection toward lessresspectability than toward more respectability. [23]
Munculnya fenomena tujuan birokrasi yang menyimpang, seperti halnya apabila sistem peradilan pidana atau criminal justice system justru malah terkadang menjadi criminal injustice system merupakan suatu 'displacement of goal. Latar belakang sosial dari displacement of goal ini tak lepas dari karakteristik birokrasi dengan bangunan formal prosedural yang dijabarkan dalam spesialisasi, hierarki, yang berarti menekankan keseragaman dan pembatasan. Pembatasan inilah yang memunculkan kemampatan bekerjanya birokrasi sesuai dengan kebutuhan kenyataan yang ada, dan bahkan terjadi selektivitas dari bekerjanya birokrasi. Pembatasan demikian menimbulkan pengaburan pengertian antara ‘apa yang seharusnya dilakukan' dan apa yang senyatanya terjadi.'
Pembatasan yang ada dan melingkupi birokrasi termasuk inidvidu didalam sistem peradilan pidana adalah pada sumber daya keuangan atau pembiayaan dan sarana serta sumber daya manusia. Hambatan dalam birokrasi inilah menentukan bagaimana lembaga peradilan pidana beroperasi. Oleh karena itu, membuka kemungkinan agar birokrasi ini tetap survive dengan berusaha mencari jalannya sendiri. Pengelolaan penyelenggaraan peradilan misalnya, dengan pungutan seperti uang administrasi dan sebagainya yang dapat dipandang pula sebagai usaha mengelola birokrasi peradilan pidana seperti halnya pola manajemen perusahaan biasa, walaupun birokrasi peradilan merupakan badan publik.
Situasi masyarakat Indonesia merupakan suatu complex societies. Pola kehidupan sosial bergerak ke arah terciptanya masyarakat terbuka heterogen. Dalam penerapannya, proses birokratisasi di Indonesia mengalami suatu kemandekan dalam suatu birokrasi rasional. Organisasi formal masih ditandai dengan kekakuan (inflexibility), kemandekan struktural (structural statis), tata cara yang berlebihan (ritualism), dan penyimpangan sasaran (prevesion of goals), sifat yang tidak pribadi (impersonality), pengabaian (alienation) otomatis, dan menutup diri terhadap perbedaan pendapat (constrin of dissent). [24]
Hal ini sejalan dengan pemikiran Chambliss dan Seidmann yang merumuskan kerja birokrasi dalam maximizing rewards and minimizing strains on the organization. Sebagaimana diangkapkannya:
Suatu organisasi dan anggotanya cenderung untuk menggantikan tujuan serta kaidah organisasi yang resmi dengan kebijakan serta kegiatan secara terus-menerus dijalankan, yang akan meningkatkan keuntungan terhadap organisasi dan akan menekan hambatan terhadap organisasi.[25]
Selaras dengan hak tersebut sebagai lembaga penegak hukum yang berada dalam sistem lebih besar, yaitu masyarakat, maka pengaruh masyarakat berimbas pada organisasi karena sumber daya yang digali dari masyarakat. Hal ini membuka kemungkinan bahwa fenomena displecement of goal merupakan gambaran adanya hubungan resiprositas antara lembaga penegak hukum dan masyarakat sebagai basis sosial bekerjanya lembaga tersebut. Demikian pula perilaku penegak hukum merupakan hasil interaksi dengan masyarakatnya. Berbagai kondisi dalam masyarakat atau produk masyarakat bahkan bisa menjadi pembatasan birokrasi penegak hukum dari aspek kultural maupun sosial.
Beberapa fenomena dalam tulisan yang akan dibahas pada sub-bab selanjutnya menggambarkan pula adanya nilai-nilai patriakal yang kurang mengakomodasi hak asasi perempuan dalam masyarakat untuk diakui dan dilindungi dalam hukum positif dan bekerjanya hukum. Mengingat ratifikasi internasional, berarti menjadikannya sebagai hukum positif dalam pembuatan dan bekerjanya perundang-undangan.
Dalam kondisi masyarakat yang masih mengagungkan kekuasaan, maka bekerjanya aparat penegak hukum menjadi terpengaruh pada karakteristik ini. Pelaksanaan hukum dalam masyarakat misalnya, ditujukan kepada orang-orang yang memiliki kekuasaan politik kecil atau bahkan sama sekali tidak biasanya lebih aman dijalankannya daripada pelaksanaan yang ditujukan kepada orang-orang yang memilki kekuasaan politik besar, sebab dalam kondisi terakhir ini pelaksanaan itu akan berbalik menimbulkan tekanan kepada badan pelaksana hukum itu sendiri.[26] Cerminan penyimpangan tujuan dari birokrasi yang diterima dalam proses resiprositas dengan masyarakat merupakan respons birokrasi atau individu di dalamnya dalam menghadapi kemampatan formalitas prosedur  organisasi yang kaku dan upaya penegak hukum untuk meningkatkan dan menarik keuntungan dari masyarakat serta menekan hambatannya.
Kecenderungan penegakan hukum meringankan golongan masyarakat yang berkekuasaan dan menekan masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan menjadi stigma masyarakat terhadap bekerjanya penegak hukum yang bersifat berat sebelah atau diskriminatif.[27]
Dalam birokrasi penegak hukum dan perilaku individunya seperti polisi, jaksa, bahkan hakim. Penulis berpendapat bahwa dalam masalah buruknya pelayanan keadilan dari birokrasi penegak hukum tak lepas dari tudingan terhadap masyarakat. Kerja penegak hukum dalam beberapa hal bahkan bisa dikategorikan sebagai hasil produk' atau pantulan dari ‘masyarakat’. Hal ini berarti bahwa apabila seorang penegak hukum berperilaku tidak sesuai dengan peraturan formal, misal dengan meminta uang lelaki ataupun uang untuk melakukan kompromi' dalam keputusan atau bekerjanya penegakan hukum, barangkali hal ini pun menjadi bagian kebiasaan dalam masyarakat. Dalam fenomena ini perilaku atau human action atau bahkan mungkin behavior dari penegak hukum tak lepas dari kebiasaan keinginan yang berlaku dalam masyarakat apabila menginginkan segala sesuatu sebagai ini bisa diatur'.
Dalam penulisan, dapat dikemukakan suatu fenomena sebagaimana yang dikemukakan A. S. Blumberg bahwa: In some modern bureaucratic settings, the organization appears to exist to serve the need of its personel rather than its clients. The clients becomes a secondary figure in the court system as in other large organizational settings.[28]
Dalam kaitan ini perlu dipertanyakan bagaimanakah accountability dari bekerjanya birokrasi penegak hukum melalui aparat penegak hukum tersebut. Untuk menganalisis hal ini dapat dikemukakan pendapat I.S. Susanto, bahwa:
Barangkali pada semua tingkat di dalam korporasi terdapat ‘pelembagaan mengenai ketidakbertanggungjawaban' dengan membiarkan korporasi menjalankan fungsinya, namun di balik itu seolah membiarkan individu dalam korporasi tertutup oleh tirai yang seakan-akan bertindak sesuai hukum maupun moral.[29]
Apabila dikoherensikan dengan korporasi penegak hukum, mengingat korporasi bisa berbentuk privat maupun publik, maka pendelegasian ketidakbertanggungjawaban ini, dapat pula terjadi pada peradilan pidana. Aparat penegak hukumsering kali memberikan pembelaan bahwa tidak ada uang lelah ataupun penarikan uang untuk menyelesaikan kasus, namun masyarakat sebagai konsumen hukum merasa sebagai korban karena mengalami hal yang bertentangan dengan pembelaan tersebut.
Berbagai persoalan di atas menumbuhkan suatu pemikiran untuk mengkaji bekerjanya penegak hukum untuk mampu mewujudkan tuntutan dan harapan masyarakat. Kemandirian penegak hukum baik polisi, jaksa, maupun hakim merupakan suatu kebutuhan untuk memenuhi tuntutan masyarakat dalam rangka melindungi, mengayomi, melayani, dan menegakkan hukum secara profesional.
Kerugian yang dialami masyarakat sebagai korban ganda dalam peradilan pidana, tidak ada yang mencatat. Belum lagi yang berupa kejahatan korporasi seperti produk makanan dan obat berbahaya, ataupun bentuk kejahatan telekomunikasi lainnya, tidak pernah ditanggapi penegak hukum pidana. Hal ini membuktikan adanya sifat berat sebelah dari bekerjanya aparat penegak hukum pidana.
Peran advokat ataupun pengacara tak boleh dipandang remeh untuk ikut mewujudkan keadilan dalam peradilan pidana. Sebagaimana diungkapkan sebagai berikut: Advokat tidak pernah diberi kesempatan untuk menjadi penegak hukum bersama-sama dengan polisi, jaksa, dan hakim selama 32 tahun, karena mereka dianggap sebagai anak nakal (I enfant terrioble), terbukti dari RUU advokat tidak pernah masuk sampai ke DPR, paling-paling sampai secretariat negara lalu dicabut kembali. Hal ini telah terjadi beberapa kali. Atas dasar itu mereka bermain di lapangan polisi, jaksa, dan hakim sehingga sering kali terdengar bahwa perantara suap atau makelar.[30]
Apabila dikaitkan dengan Basic Principles on The Role of Lawyers Prinsip Dasar Peran Pembela, maka sinyalemen tersebut melanggar hal ini, karena dalam prinsip dasar ini dikemukakan bahwa:
Pengacara harus selalu menjunjung tinggi kehormatan dan martabat profesinya sebagai agen pelaksanaan peradilan. Kewajiban pengacara kepada kliennya yakni membantu klien dengan cara yang baik .... Pengacara harus selalu berpegang teguh pada hak-hak asasi manusia dan kebebasan fundamental yang diakui oleh hukum negara dan internasional serta selalu bebas dan rajin bertindak sesuai hukum dan standar profesi hukum.[31]
Dalam tulisan terungkap dari beberapa responden, bahwa peranan pengacara sangat besar untuk ikut menyelesaikan masalah. Kedekatan pengacara atau penasihat hukum dengan aparat merupakan suatu indikator keberhasilan penyelesaian kasus sesuai yang dikehendaki pihak-pihak yang terlibat.
Berbagai fenomena tersebut memberikan suatu kesimpulan, bahwa dalam rangka perlindungan korban melalui sistem peradilan Pidana, berbagai bentuk viktimisasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum justru memperoleh kekebalan hukum. Dalam penjelasan di bawah ini merupakan suatu penggambaran fenomena bekerjanya peradilan pidana sebagai suatu birokrasi beserta anggotanya yang melibatkan masyarakat untuk merefleksikan perlindungan korban dalam suatu hubungan interaksionis melalui suatu konstruksi sosial perlindungan korban.
Pelbagai perilaku negatif penegak hukum di atas, memunculkan suatu paradigma bahwa penegak hukum itu sendiri melakukan suatu perbuatan yang tidak mencerminkan perlindungan korban. Bahkan perilaku penegak hukum menjadikan viktimisasi terhadap masyarakat. Dengan kata lain, penegak hukum justru bisa menjadi pelaku 'white collar crime" yang justru kebal hukum.
Gilbert Geis dan Robert F. Meier mengemukakan bahwa kejahatan kerah putih ini mengindikasikan distribusi kekuasaan dalam masyarakat, bahwa orang/sekelompok orang yang memilki kekuasaan akan lebih menduduki kemenangan kejahatan kerah putih ini mengindikasikan adanya hipokritas dalam masyarakat.[32]
Tulisan menggambarkan bahwa penegak hukum bisa berperilaku merugikan atau sebagai pelaku viktimisasi terhadap masyarakat umumnya, merupakan suatu ilustrasi bahwa whitecollar crime jauh lebih berbahaya daripada kejahatan yang dilakukan perorangan/kelompok yang bersifat warungan. Berbagai upaya untuk menggunakan diskresi yang dimiliki acap kali tanpa sepengetahuan dan pertimbangan korban, sering kali terjadi ‘kompromi antara penegak hukum dan pelaku kejahatan', tanpa memedulikan korban. Hal ini memberikan indikasi kurang memuaskan bekerjanya peradilan pidana.
Beranjak dari terminologi paradigma korban seperti yang telah diuraikan di awal pembahasan ini, dapat dikemukakan bahwa viktimologi memberikan perspektif luas untuk memahami perlindungan korban dengan lebih baik, mencakup analisis korban yang bisa berjatuhan karena institutional victimization, khususnya dalam penulisan ini adalah viktimisasi terhadap korban dalam pembuatan maupun bekerjanya hukum oleh aparat penegak hukum khususnya dalam peradilan pidana. Kajian viktimologi berarti memberikan wawasan ‘bagaimanakah pembuatan dan bekerjanya hukum mampu mewujudkan kesejahteraan, mewujudkan keadilan, mewujudkan perlindungan terhadap hak-hak asasi korban', serta menjelajahi fenomena apakah justru dalam upaya korban untuk mencari keadilan, untuk mencari solusi bagi penderitaannya justru ‘dikorbankan' lagi dalam sistem peradilan pidana sebagai ‘korban peradilan’. Dengan kata lain, apakah justru bekerjanya peradilan pidana memunculkan fenomena sistem peradilan pidana yang kriminogen ataupun viktimogen, yang justru berawal dari pembuatan hukum itu sendiri maupun dalam taraf penerapan atau penegakan hukumnya.
Fungsi hukum yang diusung oleh lembaga dan pranata hukum dalam peradilan pidana selalu dipertanyakan perwujudannya. Hukum erat kaitannya dengan usaha untuk mewujudkan nilai-nilai tertentu. Konflik antara dua pandangan dalam hukum, pertama yang melihat hukum diterima begitu saja dan pandangan idealistis hukum yang mencita-citakan tercapainya tujuan-tujuan sosial, memberikan fenomena antara status quo dan yang lebih berkeadilan.
Diseminasi nilai keadilan dalam hukum menunjukkan bangkitnya kembali pikiran hukum alam selaras dengan tuntutan dinamika kehidupaan hukum. Philip Selznick mengemu-kakan peranan hukum alam dalam memberikan muatan ‘nilai filsafati' dalam hukum, yaitu:
1.      Hukum alam menerima adanya suatu pengkajian ilmiah.
2.      Hukum alam menerima adanya suatu pandangan final, suatu ideal utama yang memimpin kita dalam melakukan pengkajian.
3.      Hukum alam mencari dan merangkumkan kebenaran abadi mengenai hakikat manusia yang mempunyai relevansi moral, seperti kebutuhan akan harga diri.
4.      Hukum alam mencari dan merangkumkan kebenaran abadi mengenai hakikat masyarakat yang mempunyai relevansi moral, seperti pembagian dan penggunaan kekuatan sosial.
5.      Hukum alam mencari dan merangkumkan kebenaran abadi mengenai hakikat dan persyaratan suatu tertib hukum.[33]
Kebutuhan hukum dalam masyarakat dirasakan untuk menciptakan keadilan, dan peraturan yang ada serta penerapannya menjamin kepastian dalam hubungan mereka satu sama lain. Mengutip dari Radbruch, nilai-nilai dasar dari hukum yaitu keadilan, kegunaan, dan kepastian, dengan kesahan berlaku secara filsafati, sosiologis, dan yuridis. Dalam kehidupannya ketiga nilai dasar hukum ini, sering memunculkan ketegangan satu sama lain.[34]
Mengacu pada konsep KUHP, ketegangan antara nilai kepastian hukum dan keadilan ditegaskan dalam Pasal 18 konsep KUHP baru, bahwa hakim harus sejauh mungkin mengutamakan nilai keadilan daripada nilai kepastian hukum.[35]
Dikemukakan oleh Frans Magnis Suseno, bahwa ketegangan antara tuntutan kepastian hukum dan tuntutan agar hukum sesuai mungkin dengan perasaan keadilan masyarakat termasuk hakikat hukum itu sendiri, dan akan muncul kembali dalam pertentangan antara teori Hukum Kodrat dan Positivisme Hukum. Namun ketegangan itu tidak perlu menggagal kan cita-cita hukum. Hukum memang harus pasti, kepastian adalah dasar hukum, tanpa kepastian keadilan tidak dapat terlaksana. Tetapi kepastian tidak boleh dimutlakkan. Agar hukum tetap adil, perlu ada keluwesan.[36]
Penulis berpendapat bahwa konflik antara kepastian hukum dan keadilan tidak saja menjadi persoalan dilematika bagi hakim, namun ketegangan antara kedua nilai ini yang harus dimenangkan oleh keadilan selayaknya menjadi acuan bagi strategi bekerjanya hukum pidana baik dalam taraf di kepolisian maupun kejaksaan.
Makna 'keadilan' itu merupakan suatu persoalan tersendiri yang sebagian pendapat dikaitkan dengan tatanan masyarakat. Untuk hal ini dapat dikemukakan deskripsi makna keadilan sebagai suatu ukuran yang dipakai dalam memberikan perlakuan terhadap objek di luar diri kita yang tidak dapat dilepaskan dari ukuran perlakuan kepada manusia atau kemanusiaan.[37]
Terjadinya ‘linkage' antara kepastian hukum dan keadilan mengetengahkan suatu fenomena jarak antara kebutuhan rakyat dan peraturan yang ada. Lahirnya produk hukum dan bekerjanya hukum yang cenderung defensif daripada yang akomodatif sering kali terjadi.
Pada kenyataannya, hukum tidak berada dalam ruang hampa dalam arti konsepsi hukum yang dilihat dari aspek pembuatan dan bekerjanya hukum sering berada dalam situasi 'conflict of interest', karena bekerjanya dipengaruhi oleh suatu lingkungan. Dengan kata lain, hukum berada dalam suatu sistem sosial bukan variabel tersendiri, melainkan bekerjanya tergantung pada landasan tertib sosial yang lebih luas.
Dalam wacana tersebut, A. A. G. Peters mengungkapkan konsep hukum responsif dari Nonet dan Selznick sebagai jawaban atas kritik, bahwa sering kali hukum ‘tercerai-berai dari kenyataan pengalaman sosial dan dari cita-cita keadilan sendiri.[38] Untuk lebih mengkaji hukum responsif, perlu diperbandingkan tipe hukum dalam masyarakat seperti yang dikemukakan oleh arsiteknya, Philippe Nonet dan Philip Selznick, yaitu 'repressive law, autonomus law, dan responsive law'dalam bukunya Law and Society in Transition.[39] Hukum represif sering kali dipakai sebagai dalih untuk menjamin ketertiban, dengan kekuasaannya negara dapat menafsirkan arti tata tertib sesuai dengan kebutuhan dan perspektif mereka sendiri. Tujuan legitimasi dalam hukum ini, yaitu demi kepentingan negara sendiri. Hukum dipakai sebagai alat kekuasaan represif. Reaksi dari hukum represif adalah timbulnya hukum otonom yang menekankan legitimasi, dengan tujuan legitimasi adalah keadilan prosedural. Hukum dipakai sebagai suatu pranata yang mampu menetralisasi represi dan melindungi integritas hukum itu sendiri. Hukum dilepaskan dari realitas sosial. Model kekuasaan berdasar hukum ini adalah lebih menganjurkan tunduk kepada otoritas daripada kritik atas otoritas. Dalam perkembangannya timbul kritik terhadap hukum otonom dalam bentuk kritik terhadap kekakuan legislatif yang asing terhadap kehidupan umum dalam masyarakat. Hukum responsif menekankan pada kompetensi dengan tujuan legitimasi adalah memberi keadilan substantif sebagai jaminan bagi perlakuan adil.[40]
Hal menarik dalam rumusan di atas merupakan suatu nilai keadilan substantif yang diperjuangkan dalam penegakan hukum, yang didekati tidak hanya dalam ranah positivistik te- tapi dalam pemikiran 'inwoord lookingʻ dari rasa keadilan masyarakat. Berdasar pemikiran tersebut, nilai keadilan adalah menjadi nilai yang harus terefleksikan dalam hukum, baik dalam pembuatan hukum maupun bekerjanya aparat. Peranan berjalannya fungsi hukum dengan menjalankan keadilan merupakan suatu cita hukum, dan bukannya hanya menjadi mitos belaka. Sejalan dengan penamaan ‘criminal justice' apabila hanya di atas kertas belaka menjadi 'criminal injustice'.
Beranjak dari fungsi hukum tersebut, dalam penulisan ini akan dikaji bagaimanakah peradilan pidana baik dalam pembuatan hukum maupun bekerjanya penegak hukum merealisasikan fungsi hukum tersebut dalam mewujudkan perlindungan hukum bagi korban.

Sumber:
Maya Indah.2014.Perlindungan Korban: Suatu Perspektif Viktimologi dan Kriminologi.Kharisma Putra Utama.Jakarta, hal.71-96

Tugas Mandiri:
1.      Jelaskan fungsi primer hukum?
2.      Jelaskan cara kongkret manusia dalam menemukan nilai hukum?
3.      Jelaskan tiga komponen untuk bekerjanya  sistem hukum?
4.      Jelaskan pradikma berfikir terhadap kultur hukum?
5.      Jelaskan pengertian organisasi untuk pendekatan hukunm?
6.      Jelaskan kondisi organisasi formal birokrasi di Indonesia?
Jelaskan peranan hukum alam dalam memberikan muatan nilai filsafat dalam hu


[1] Susanto, Op. cit., 1999, n. 17.
[2] Edmond Cahn, Hukum dalam Perspektif Konsumen, dalam AAG Peters,; Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku III. Pustaka Sinar Harapan, 1990, h. 144,152-154. Hukum dalam perspektif ini diper-hadapkan pada perspektif resmi yang dikatakan sebagai cara memandang problem kemasyarakatan oleh kepentingan dominan pemegang kekuasaan.
[3] Lawrence M. Friedman, On Legal Development, Rutgers Law Review, Vol.24, 1969, h. 28.
[4] Satjipto, Op.cit., 1986, h. 27,
[5] Lihat dalam Ronny Hanitijo Soemitro, Politik, Kekuasaan, dan Hukum (Pendekatan Manajemen Hukum), (Semarang: UNDIP, 1998), h. 2-3.

[6] Robert B. Seidmann, Law and Proverty: Essays on Third World Perspective in Jurisprudence, Malayan Law Journal, 1984, dalam Ronny, Ronny Hanitijo Soemitro, Politik, Kekuasaan, dan Hukum (Pendekatan Manajemen Hukum),(Semarang: UNDIP, 1998), 2-3, h. 127.
[7] Ibid., h. 128.
[8] Definisi Structure, substance, dan legal culture dapat dilihat pada Lawrence M. Friedman, The Legal System, A Social Science Perspective, (New York:Russel Sage Foundation, 1975), p. 14-16.

[9] Bandingkan dengan Talcott Parsons melalui teori sibernetika. Penulis berpendapat bahwa hukum tidak merupakan suatu subsistem tetapi sesungguhnya sebagai suatu lembaga pengubah (converting institution) yang ikut berperan memproses informasi dan energi, sehingga menghasilkan sistem hukum yang beridentitas tertentu sebagaimana berada dalam keempat subsistem, yaitu subsistem budaya, sosial, politik, dan ekonomi. Bandingkan dengan Ronny Hanitijo Soemitro, Perspektif Sosial dalam Pemahaman Masalah-masalah Hukum, (Semarang, Agung Press, 1989), h. 29.

[10] Bandingkan dengan Koento Wibisono Siswomihardjo, seminar Supremasi Hukum dalam Negara Demokrasi Menuju Indonesia Bani (Kajian Filosofis), 27 Juli 2000, Semarang, h. 1 yaitu bahwa masalah hukum merupakan suatu masalah fundamental, karena masalah hukum menyangkut segi ontologis tentang apa dan siapa manusia itu, dan segi aksiologis tentang nilai-nilai imperatif yang akan diberlakukan di mana manusia yang menjadi subjek sekaligus objek dalam bidang hukum. Aktual karena masyarakat dewasa ini mengalami dekadensi dan disintegrasi dalam berbagai aspek kehidupan, mutlak menuntut adanya reorientasi dalam pembinaan dan pengembangan hukum, tidak saja bila diinginkan agar hukum memiliki supremasinya, tetapi bila juga dikehendaki terwujudnya negara demokrasi dalam arti kata sebenarnya.

[11] Peter M. Blau, Marshall W. Meyer Ed. 2 terj. Garry R. Jusuf, Birokrasi dalam Masyarakat Modern. (Jakarta: UI Press, 1987), h. 124-125.
[12] Ibid, h. 73.
[13] Ibid., h 78.
[14] Thoha Miftah, Dimensi-dimensi Ilmu Administrasi Negara, (Jakarta: Rajawali, 1984), h. 121.
[15] Ibid., h. 133.
[16] Donald Black, The Behavior of Law, (London: Academic Press, 1976), p. 15-16.
[17] Amitai Etzioni, Modern Organizations, (Englewood Cliffs, New Jersey:Prentice Hall, 1964), 11. 3.
[18] I. S. Susanto, Orasi: Kejahatan Korporasi di Indonesia Produk Kebijakan Rezim Orde Baru UNDIP, Semarang, 12 Oktober 1999, h. 17-18.
[19] Donald Black, Op. cit., p. 61-63.
[20] William Chambliss & Robert B. Seidmann, Law Order, and Power. (Addison Wesley Publishing Company Massachusetts, 1971), p. 2-13.
[21] Donald Black, Op.cit, p. 65-66.
[22] Ibid., p. 69-70.
[23] Ibid., p. 111, 114.
[24] Blau, Meyer, Op. cit., h. ix.
[25] Chambliss dan Seidmann, Op.cit., p. 266.
[26] Chambliss dan Seidmann, Op. cit., p. 475
[27]Bandingkan dengan Donald Black; Mauren Mileski The Social Organization of Law, (New York, San Francisco. London: Seminar Press, 1973). p. 8 the legal process is geared largely to serve the requirements of the upper strata.


[28] Abraham S. Blumberg, Criminal Justice', (Toronto: Burns and MacEachern Ltd., 1967), p. 47.
[29] Susanto, Op.cit, 1995, h. 27
[30] Pengadilan Tinggi Jateng, Seminar, Dilema Pendekatan Positivistik dalam Penegakan Hukum, Semarang, 22 Juli 2000, h. 6.
[31] Kunarto, penyadur. PBB clan Pencegahan Kejahatan Ikhtisar Implementasi Hak Asasi Manusia dalam Penegakan Hukum, (Jakarta: Cipta Manunggal, 1996), h.148-149.

[32] Gilbert Geis,; Robert F., Meier (ed.), White-Collar Crime Offenses In Business, Politics, and The Professions, (New York-London: The Free Press, Collier Macmillan, 1977), p. 18-19. Dalam h. 42 disebutkan bahwa the financial loss from WCC great as it is, is less trust and therefore create distrust, whih lowers social morale and producessocial disorganization on a large scale.
[33] Philip Selznick, Sociology and Natural Law, dalam Donald Black, Maureen Mileski,ed., The Social Organization of Law, New York, San Fransisco,London: Seminar Press, 1973), h.33-34
[34] Satjipto, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), h.19-20.
[35] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), h. 92.
[36] Frans Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), h. 83-84. Teori hukum kodrat menuntut hukum positif hanya diakui sah apabila sesuai dengan tuntutan dasar martabat manusia, dan tidak bertentangan dengan norma dasar moral terutama keadilan. Kelemahan hukum kodrat bahwa paham kodrat tidak dapat dipastikan secara objektif, dan bahwa bagaimanapun tidak dapat menarik kesimpulan normatif dari suatu kodrat faktual dianulir dengan paham bahwa norma-norma, atau hukum, moral tidak lagi dipahami sebagai hukum kodrat tetapi menurut paham etika pada umumnya. lihat Ibid., h. 95,
[37] Satjipto Rahardjo, Op. cit., h. 165.

[38] A. A. G. Peters, Op.cit., h. 158.
[39] Philippe Nonet, Philip Selznick, law and Society In Transition, (London: Harper and Row, 1978, p. 18. Dikemukakan bahwa repressive law, autonomous, and responsive law are not distinc types of law but in some sense, stages of evolution in the relation of law to the political and social order.
[40] Ibid., p. 16, 18, 42, 43, 64-71, 73, 93.

1 comment:

  1. Nama : Rocky Al'amin
    Nim. : 18202048
    Kelas : 4m2

    1. Jelaskan fungsi primer hukum?
    Jawab :
    1) Perlindungan
    Hukum berfungsi untuk melindungi masyarakat dari ancaman bahaya dan tindakan yang merugikan dari sesama dan kelompok masyarakat.
    2) Keadilan
    Hukum menjaga, melindungi dari keadilan bagi seluruh rakyat. S
    3) Pembangunan
    Hukum dipakai sebagai kendaraan baik dalam menentukan arah, tujuan, dan pelaksanaan pembangunan secara adil.

    2. Jelaskan cara kongkret manusia dalam menemukan nilai hukum?
    Jawab :
    1) Perihal target dan peristiwa yang berkaitan dengan dampak hukum. Arti penting dari setiap prinsip, aturan atau konsep diteliti dengan mengobservasi target manusiawi yang terkena dampaknya. Metode ini mengungkapkan bahwa rasa ketidakadilan membawa pengaruh vital bagi cara bekerjanya hukum.
    2) Perihal konkretisasi manusia. Hukum melindungi keselamatan fisik dan psikis dari manusia seutuhnya, dan miliknya yang menjadi tempat bergantungnya Hukum menjamin nilai sosial, cita-cita, dan kebebasan yang membuat hidup sangat berarti bagi manusia seutuhnya.
    3) Perihal proporsi relatif beratnya hal-hal. Meskipun responsif kepada kepentingan efisiensi internal dan keuntungan, hukum memberikan arti yang jauh lebih besar kepada kebutuhan yang dirasakan oleh rakyat pada umumnya.
    4) Perihal perhatian terhadap kasus-kasus tertentu. Tradisi bagi ahli hukum memakai perspektif resmi untuk membenarkan sistem hukum dalam pengertian rata-rata, statistik secara keseluruhan, dan cara bertingkah laku secara keseluruhan.


    3. Jelaskan tiga komponen untuk bekerjanya sistem hukum?
    Jawab :
    Tiga komponennya, yaitu struktural, kultural, dan substantif.

    4. Jelaskan pradikma berfikir terhadap kultur hukum?
    Jawab :
    1) Bagaimanakah latar belakang yang mendasari persepsi dan perilaku dari aparat penegak hukum untuk sungguh-sungguh memberikan perlindungan bagi korban.
    2) Mengapakah terjadi viktimisasi bekerjanya hukum pidana dalam lembaga peradilan pidana.
    3) Bagaimanakah persepsi dan perilaku korban atau masyarakat terhadap berbagai bentuk viktimisasi terhadapnya.
    4) Apakah latar belakang sosial persepsi dan perilaku korban atau masyarakat tersebut, apabila viktimisasi tersebut diproses dalam peradilan pidana.
    5) Apakah bekerjanya norma hukum dalam peradilan pidana diterima masyarakat sebagai sarana untuk mencari keadilan.
    6) Bagaimanakah perwujudan nilai fungsi hukum untuk memberikan perlindungan terhadap korban atau masyarakat dalam norma perundang-undangan yang ada.


    5. Jelaskan pengertian organisasi untuk pendekatan hukum?
    Jawab :
    Suatu organisasi menurut Donald Black ditandai oleh kenyataan bahwa tindakan anggota tidak hanya dibentuk oleh persyaratan institusional dari peranan mereka, tetapi juga oleh kepemimpinan yang diperkuat dengan otoritas.

    6. Jelaskan kondisi organisasi formal birokrasi di Indonesia?
    Jawab :
    Munculnya fenomena tujuan birokrasi yang menyimpang, seperti halnya apabila sistem peradilan pidana atau criminal justice system justru malah terkadang menjadi criminal injustice system merupakan suatu 'displacement of goal.

    7. Jelaskan peranan hukum alam dalam memberikan muatan nilai filsafat dalam hukum?
    Jawab :
    1) Hukum alam menerima adanya suatu pengkajian ilmiah.
    2) Hukum alam menerima adanya suatu pandangan final, suatu ideal utama yang memimpin kita dalam melakukan pengkajian.
    3) Hukum alam mencari dan merangkumkan kebenaran abadi mengenai hakikat manusia yang mempunyai relevansi moral, seperti kebutuhan akan harga diri.
    4) Hukum alam mencari dan merangkumkan kebenaran abadi mengenai hakikat masyarakat yang mempunyai relevansi moral, seperti pembagian dan penggunaan kekuatan sosial.
    5) Hukum alam mencari dan merangkumkan kebenaran abadi mengenai hakikat dan persyaratan suatu tertib hukum.

    ReplyDelete