MK.KDV-14. KONTRUKSI SOSIAL PERLINDUNGAN KORBAN




Dalam kerangka konstruksi sosial, maka keberadaan dan respons korban terhadap realitas kejahatan/peristiwa viktimisasi terhadapnya merupakan suatu pengkonstruksian terhadap realitas kejahatan/proses penimbulan korban dalam dimensi sosial yang melibatkan institusi dan kepentingan birokrasi di dalamnya, serta konteks masyarakat sebagai suatu totalitas. Dengan demikian, realitas sosial terhadap perlindungan korban dalam masyarakat melalui peradilan pidana dikonstruksikan oleh formulasi maupun bekerjanya perundang-undangan oleh aparat penegak hukum.
Terminologi perlindungan korban pertama-tama dilakukan yaitu pendefinisian mengenai 'siapakah korban?' Dalam realitas sosial terhadap korban memunculkan berbagai fenomena. Berdasar pemikiran Howard Becker, dapat dikemukakan bahwa pendefinisian korban termasuk proses penimbulan korbannya adalah berangkat dari proses pendefinisian kejahatan oleh lembaga dan pranata hukum peradilan pidana untuk menentukan korban resmi atau tidak. Hal ini menunjukkan adanya proses interaksi antara korban yang berinteraksi pelaku termasuk aparat penegak hukum.[1]
Richard Quinney menegaskan konstruksi korban melalui definisi korban secara luas. Definisi korban secara luas adalah konstruksi korban dan reaksi sosialnya oleh kekuasaan lembaga dan pranata hukum pidana. Hal ini berarti konstruksi korban bahwa tidak semua perbuatan merugikan dan menimbulkan kerusakan masyarakat dianggap sebagai telah menimbulkan korban.[2]
Paradigma viktimologi dalam melakukan studi terhadap korban dalam new victimologi oleh Ellias dan Separovic dimunculkan paradigma baru yang lebih luas untuk menjawab berbagai persoalan, seperti: What can be done about victims, not only criminals? Selaras dengan pemikiran 'for the well being and progress of humanity dan mengedepankan wawasan hak asasi manusia dari sisi human suffering.[3]
Pendefinisian korban dalam tulisan ini apabila diselaras-kan dengan tipologi korban dari Stephen Schaffer, maka korban di sini lebih didudukkan pada posisi yang berkarakteristik 'unrelated victim, biologically weak victims, socially weak victims, dan political victims. [4]Peristiwa viktimisasi yang mencoba dielaborasi dalam tulisan ini, yaitu pada perhatian terhadap korban yang menempati posisi tereliminasi dari kekuasaan lain baik korban dari kejahatan ataupun penyalahgunaan kekuasaan. Lain baik korban dari kejahatan ataupun penyalahgunaan kekuasaan.
Teori labelling terkait dengan orientasi pendefinisian korban untuk memberikan reaksi perlindungan hukum terhadapnya. Pemikiran ini mengindikasikan hubungan antara konstruksi sosial mengenai korban dengan orientasi viktimologi pula untuk menjangkau interaksi tak terbatas antara proses penimbulan korban dan respons sosialnya. Pendekatan ini menghasilkan pandangan bahwa konstruksi korban meliputi pula konstruksi legalistis dan konstruksi korban secara harian atau senyatanya yang terjadi dalam fenomena sosial.[5]
Beranjak dari terminologi ini, selaras dengan perspektif viktimologi akan diungkap konteks sosial dari terjadinya viktimisasi bagi masyarakat dan akibat sosial dari viktimisasi terhadap masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya dalam lingkup kajian kritis terhadap bekerjanya peradilan pidana.
Richard Quinney menyatakan, bahwa kejahatan adalah suatu rumusan tentang perilaku manusia yang diciptakan oleh alat-alat berwenang dalam suatu masyarakat yang diatur secara politis terorganisasi, dan kejahatan adalah suatu rumusan perilaku yang diberikan terhadap sejumlah orang oleh orang lain, sehingga kejahatan adalah sesuatu yang diciptakan.[6]
Pemikiran Quinney di atas, membawa pula paradigma baru dalam viktimologi, dengan mengemukakan sebagai berikut:
Not all conduct which could conceivably result in social harm is regulated by law. Only those acts which cause harms to those who are able to make and enforce the law becomes crimes. And similarly, when the social harms that are a part of the written law cease to be regarded by those in power as a harm to their interest, these law are no longer enforced.[7]
Berdasar konsepsi tersebut, dapat dikemukakan cakrawala baru viktimologi yang dibawa oleh paradigma kriminologi kritis, yaitu masalah kejahatan (proses penimbulan korban) dan perlindungannya dilihat secara menyeluruh sebagai suatu proses konstruksi sosial dalam struktur yang berlaku dalam masyarakat.[8] Oleh karena itu, realitas sosial terhadap pendefinisian korban dan perlindungannya tidak bisa diterima sebagai 'taken for granted' namun harus dilihat proses social sehari-hari melalui bekerjanya pemegang kekuasaan, yaitu mempertanyakan kembali doktrin normatif lembaga dan pranata hukum peradilan pidana dalam konteks totalitas masyarakat yang terus-menerus berproses.
Oleh karena itu, tidak semua perbuatan yang merugikan dan mencelakakan masyarakat dianggap sebagai suatu kejahatan menurut hukum. Konsep korban demikian lebih mengacu kepada kedua bentuk korban yang abstrak maupun yang konkret. Dalam fenomena sosial bentuk korban yang konkret lebih ditonjolkan keberadaannya sehingga masyarakat lebih terpengaruh kepada bentuk pemahaman yang keliru terhadap korban dan tidak memperhatikan bentuk viktimisasi yang dilakukan oleh the rulling class sebagai bentuk abuse of power and humanrights, yang tidak muncul ke permukaan sebagai korban abstrak.
Pendefinisian korban secara sempit dalam batasan legal belaka mengindikasikan hilangnya makna proses sosial sebenarnya yang melingkupi bekerjanya lembaga dan pranata hukum termasuk pembuatan perundang-undangan untuk memberikan perlindungan terhadap korban. Hakikat korban atau proses penimbulan korban adalah suatu gejala social atau kenyataan sosial yang melibatkan keseluruhan proses sosial yang memengaruhi bekerjanya lembaga dan pranata hukum termasuk pembuatan perundang-undangan. Dalam hal demikian dibutuhkan suatu pemikiran sosiologis untukmemberikan pemahaman yang lebih untuk memberikan perlindungan korban yang memperoleh legitimasi sosial.[9]Berger mengemukakan bahwa sosiologi memiliki empat motif analisis yang disebut sebagai motif debunking, unrespectability, relativizing, dan cosmopolitan motive.[10]
Berger dan Luckmann memberikan analisis melalui minat pemikiran pada kenyataan sosial atau konstruksi sosial melalui hubungan antara pemikiran manusia dan konteks social darimana pemikiran tersebut timbul dan dilembagakan. Dalam tulisan ini, yakni untuk memahami kenyataan sosial bekerjanya hukum pidana melindungi korban yang berperspektif pluralis, dinamis dalam proses perubahan terus-menerus dalam konteks masyarakat.[11]
Berger memandang masyarakat sebagai produk manusia, dan manusia sebagai produk sosial masyarakat dan menjelajahi berbagai implikasi dimensi kenyataan objektif dan subjektif maupun proses dialektis dari tiga momen simultan, yaitu eksternalisasi (penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia), objektivasi (interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi), dan internalisasi (individu mengidentifikasikan diri dengan lembaga sosial tempat individu menjadi anggotanya).[12]
Bertolak dari perspektif konstruksi sosial Berger dan Luckman, dapat dikaji bahwa bekerjanya hukum pidana untuk melindungi korban dalam masyarakat mengalami dua tahapan, yaitu sebagai kenyataan objektif dan sebagai kenyataan subjektif. Dalam ketiga momen eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi memunculkan suatu konstruksi kenyataan social yang merupakan hasil ciptaan manusia. Eksistensi kenyataan sosial objektif dalam hubungan individu dengan lembaga sosial (salah satu lembaga sosial yang besar adalah negara yang juga bekerja melalui lembaga penegak hukum), termasuk aturan sosial atau hukum yang melandasi lembaga tersebut bukanlah hakikat dari lembaga itu, karena lembaga itu ternyata hanya produk dari kegiatan manusia.
Konsep konstruksi sosial dari Berger dan Luckman, memberikan perspektif bahwa untuk menganalisis bekerjanya peradilan pidana dalam melindungi korban, yaitu dengan memperhatikan tidak hanya momen internalisasi dalam kehidupan masyarakat melalui individu, namun juga memusatkan perhatian pada gejala perubahan sosial, struktur sosial, ketimpangan sosial, maupun legitimasi kekuasaan, dan sebagainya. Dalam momen ini, semua individu yang terlibat baik penegak hukum, pelaku, maupun korban bersama-sama membentuk kenyataan oleh masyarakat sebagai social construction of reality.
Keterkaitan paradigma konstruksi sosial di atas, dengan perspektif interaksionisme simbolis dalam tulisan ini memberikan pengembangan dalam tulisan bekerjanya peradilan pidana dalam struktur sosial. Dengan demikian, pemikiran hubungan interaksionis antara pelbagai pihak yang terlibat dalam bekerjanya peradilan pidana adalah suatu dialektika antara individu dan masyarakat, baik dalam taraf hubungan sosial individu maupun dalam lembaga dalam taraf internal, melainkan juga dikaji bekerjanya perspektif sosiologi makro dalam bekerjanya hukum seperti norma-norma dan aturan yang ada. Keberadaan korban dalam pemahaman korban secara luas membuka wawasan dan cara pandang terhadap korban guna perlindungan terhadapnya, yaitu mencakup konsep korban sebagai hasil viktimisasi dari bekerjanya birokrasi. Akibat perilaku birokrasi yang mungkin dapat menyebabkan viktimisasi terhadap masyarakat, maka pengaruhnya tidak hanya secara personal, tetapi juga terhadap masyarakat secara luas.
Perspektif tersebut merupakan suatu bentuk pengkonstruksian terhadap terjadinya viktimisasi struktural dalam lembaga dan pranata peradilan pidana. Viktimisasi structural sebagai fenomena sosial merupakan pula suatu pembatasan struktural dalam menjelaskan situasi viktimisasi tersebut.
Perlindungan korban dalam peradilan pidana tidak bisa dilihat, dikaji, dan dipahami tanpa melihat proses sosial yang sebenarnya sebagai suatu konstruksi sosial. Pengkajian proses sosial viktimisasi atau penimbulan korban ganda dalam peradilan pidana menjadi utuh dalam konteks bagaimanakah proses tersebut berlangsung dalam institusi peradilan pidana.Pendekatan kriminologi kritis memberi bentuk pula pada pemikiran viktimologis untuk mempertanyakan definisi korban dan reaksi sosialnya sebagai suatu hasil konstruksi sosial.[13] Pen-definisian korban dan reaksi sosialnya merupakan suatu hasil proses social yang melalui konstruksi sosial dalam masyarakat.
Proses terjadinya kejahatan/penjahat resmi ditampilkan dalam ragaan berikut:[14]
Pelanggar
                                       Penegak Hukum (polisi)                                  Kejahatan/Penjahat

Korban dan anggotamasyarakat

Dalam disertasi tersebut, memang dikhususkan/dibatasi penegak hukum sebagai polisi. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa penyeleksian'law violations' dan pelakunya juga melibatkan aparat penegak hukum baik hakim, jaksa maupun polisi.
Berdasar ragaan tersebut dapat dikemukakan suatu kerangka teoretis bahwa pendefinisian kejahatan/penimbulan korban maupun penjahat resmi digambarkan melalui proses hubungan interaksi antara subjek yang terlibat dalam proses tersebut, yaitu antara pelanggar dan korban, antara korban dan penegak hukum, dan antara penegak hukum dan pelanggar.
Oleh karena itu, berdasar ragaan tersebut, peranan penegak hukum melalui bekerjanya proses peradilan pidana memiliki arti penting bagi perlindungan korban. Meliputi persepsi dan tindakan penegak hukum terhadap peristiwa terjadinya penimbulan korban, dan reaksi ataupun interpretasi korban sendiri terhadap peristiwa yang menimpanya sebagai telah menimbulkan kerugian atau tidak.
Analisis terhadap hubungan interaksi dalam ragaan tersebut terkait dengan perspektif interaksionisme simbolis antara pihak-pihak yang terlibat. Dalam hal ini Herbert Blumer menyambung gagasan Mead dengan konsep: (1) the self, (2) The act, (3) social interaction, (4) Objects, and (5) Joint action.[15]
Beranjak dari perspektif tersebut, Herbert Blumer menegaskan bahwa Human interaction is mediated by use of the symbols, by interpretation, or by ascertaining the meaning of one another's actions. The mediation is equivalent to inserting a process of interpretation between stimulus and response in the case of human behavior.[16]
Apabila disubstansikan, penulis memberikan ragaan mengenai konsep teori interaksionisme simbolis sebagai berikut:
Stimulus                         proses interpretasi                               respons

Penulis menyimpulkan bahwa teori simbolis interaksionisme mensubstansikan bahwa tindakan manusia bukan merupakan suatu tanggapan yang bersifat langsung terhadap stimulus yang datang dari lingkungan atau dari luar dirinya. Penulis berpendapat, kesan volunter dalam teori tersebut dapat dieliminasi karena inti kehidupan sosial yang terdiri dari mekanisme struktural atau birokrasi pengadilan, nilai-nilai politik budaya, peran sosial, dan sebagainya tidak berpengaruh secara langsung, namun berpengaruh sejauh melokalisasi dan membatasi situasi interaksi.
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann menyatakan bahwa sosiologi pengetahuan berusaha menekuni analisis pembentukan kenyataan oleh masyarakat sebagai suatu 'social construction of reality'. Kenyataan didefinisikan sebagai suatu kualitas yang terdapat dalam fenomenon yang diakui sebagai memiliki keberadaan yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri, sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa fenomenon nyata dan memiliki karakteristik spesifik.[17] Pemikiran Berger dan Luckmann memberikan wacana bahwa realitas sosial mengenai sesuatu hal, bukan sesuatu yang harus diterima sebagaimana adanya realitas social merupakan suatu konstruksi sosial. Berger memandang bahwa masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat, melalui penafsiran suatu perbuatan yang didahului pengetahuan yang merupakan[18] proses dialektis dari objektivasi, eksternalisasi, dan internalisasi. Ketiga momen ini bersesuaian dengan karakterisasi esensial dari dunia sosial. Masyarakat merupakan produk manusia, sehingga masyarakat merupakan kenyataan objektif, dan manusia merupakan produk sosial.
Pemikiran tersebut dapat diterapkan pula dalam konteks sosial terbentuknya realitas korban melalui tindakan terhadap ‘kejahatan' atau penimbulan korban oleh aparat penegak hukum, khususnya polisi dan perlindungan korban oleh peradilan pidana dan melalui interpretasi 'definisi korban ‘oleh masyarakat. Penafsiran suatu perbuatan sebagai telah menimbulkan korban atau viktimisasi memerlukan suatu pengetahuan dari manusia sebagai pencipta kenyataan sosial.
Faktor internal yang bersumber pada persepsi ataupun pola pikir melatarbelakangi tindakan pihak-pihak yang terlibat dalam proses viktimisasi, yaitu korban/masyarakat, pelaku, dan aparat penegak hukum. Faktor internal dari sisi aparat penegak hukum ini dikaji karena dalam birokrasi SPP terdiri dari aparat pendukung, yaitu manusia berinteraksi dengan birokrasi yang mewadahinya. Aparat penegak hukum dilihat sebagai individu yang menggantungkan diri pada birokrasi sebagai wujud eksistensi dirinya melalui proses interpretative' individu dan lingkungannya. Demikian pula factor internal korban yang diperoleh dengan victim survey berusaha memahami proses interpretasi korban dan interaksi terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam ‘proses viktimisasi terhadap dirinya termasuk respons korban akibat peristiwa tersebut. Hal ini juga melalui taraf berpikir dari korban yang berada dalam lingkup sosial dan memandang dari kacamata korban bagaimanakah perlindungan hukum terhadapnya dari peristiwa pengorbanan tersebut.
Berdasar terminologi tersebut, penulis berusaha memprediksikan proses sosial perlindungan korban melalui analisis “teori labelling' dari Howard Becker. Teori labelling memberikan kontribusi bagi perspektif simbolis interaksionis yang akan dianalisis kemudian.[19]
Teori labelling mengkaji bahwa kejahatan bukanlah kualitas bagi perbuatan seseorang, melainkan merupakan akibat diterapkannya sanksi dan peraturan oleh orang lain kepada seorang pelanggar. Penjahat ialah seseorang yang kepadanya dikenakan label sebagai penjahat. Oleh karena itu, teori labelling memberikan dasar pemahaman batasan kekuasaan melalui perundang-undangan dan penerapan sanksi untuk mendefinisikan korban dan pembuat korban [20]
Dalam kerangka perspektif labelling di atas, dikaitkan dengan perlindungan korban, maka memberikan pemahaman bahwa pengenaan label kejahatan/penjahat termasuk penimbulan korbannya haruslah mempermasalahkan peranan bekerjanya penegak hukum, termasuk formulasi perundang-undangan dalam mendefinisikan telah terjadinya suatu peristiwa/situasi ‘viktimogen'. Hal ini berarti mengkaji faktor-faktor internal respons sosial atau interaksi dari pelaku, penegak hukum, maupun dari korban/masyarakat/agen kontrol lainnya terhadap korban.
Perspektif labelling memberikan pemahaman bahwa dikenakannya tindakan tertentu sebagai kejahatan atau suatu tindakan telah menimbulkan korban termasuk respons sosialnya adalah selektif. Dalam hal ini muncullah apa yang dikenal dengan dark number' dari kejahatan. Hall Williams mengungkapkan bahwa dark number ini sebagai suatu 'an ice berg' type situation in that very large proportion of offences lies beneath the surface and is never revealed or recorded. [21]
Sebagaimana diungkapkan di awal, bahwa teori labelling memberikan kontribusi bagi teori simbolis interaksionisme, Herbert Blumer (1969). Sentral terminologi dari teori simbolis interaksionisme ini adalah:
Behaviour should be regarded not so much in terms of what it means to others and society in general but what it means to you, the actor. Also the way other people react or respond to your behaviour powerfully influence your own response and reaction. We all live in a world made up of our own perception of reality, which may or may not correspond with the truth, and we act and interact inaccordance with our reading of the situation, which include of course our perception of the way other people are reading it.[22]
Apabila teori simbolis interaksionisme ditelusuri, maka berakar pada pragmatisme atau instrumentalisme dari teori pengenalan/psikologi sosial George Herbert Mead. Cara pandang ini menyatakan bahwa pikiran manusia bukan fotokopi dari dunia luar, melainkan merupakan hasil kegiatan manusia dalam lingkungannya secara makro. Aktor akan menimbang, menilai, dan akhirnya memilih sikap dan perbuatan tertentu dari berbagai kemungkinan yang ada melalui berpikir sebagai proses individu berinteraksi dengan diri sendiri, individu memilih stimulus yang akan ditanggapinya.[23]
Dalam proses yang aktif ini, pikiran manusia tidak hanya berperan sebagai instrumen untuk bertindak atau berperilaku tetapi menjadi bagian sikap dan perilaku manusia itu. Perilaku manusia selalu diawali dengan proses pemahaman dan penafsiran.
Tiga premise dari teori simbolis interaksionisme dari Herbert Blumer yaitu:
First premise is that human beings act toward things on the basis of the meanings that the things have for them. Such things include eveything that human being may note in his word-plıysical objects, such. Categories of human beings such as friends or enemies, institutions, guiding ideals, ... The second premise is that the meaning of such things is derived from, or arises out of, the social interaction that one has with one's fellows. The third premise is that these meanings are handeled in, and modified through, an interpretative process used by the person in dealing with the things he encounters.[24]
Pemikiran Blumer memberikan pemahaman bahwa perilaku seseorang dilandaskan pada ‘makna sosial' objek tertentu, baik yang bersifat fisik, sosial, maupun abstrak Pemberian makna terhadap simbol mencerminkan suatu proses di mana seseorang menciptakan indikasi antara satu sama lain melalui bekerjanya lembaga dan pranata hukum. Perilaku manusia adalah hasil penafsiran dan hasil konstruksi sosial. Masyarakat melalui kulturnya menyediakan seperangkat arti sama terhadap simbol-simbol tertentu. Perilaku sosial dikonstruksikan melalui proses. Aktor mencatat, menafsirkan, dan kemudian memasuki situasi yang dihadapkan padanya. Keterkaitan hubungan yang kompleks perilaku tertentu yang terjadi, baik secara organizational, kelembagaan, pembagian kerja berada dalam kerangka interaksi antarsatu dengan lainnya, dan berlangsung dalam masyarakat dinamis.
Inti kehidupan sosial yang terdiri dari mekanisme struktural/birokrasi pengadilan, nilai-nilai politik/budaya, peranan sosial, dan sebagainya tidak berpengaruh secara langsung. Namun berpengaruh sejauh melokalisasi dan membatasi situasi interaksi.[25]
Teori simbolis interaksionis mensubstansikan bahwa tin-dakan manusia bukan merupakan suatu tanggapan yang bersifat langsung terhadap stimulus yang datang dari lingkungannya atau dari luar dirinya,[26] yang merupakan hasil proses belajar dalam arti memahami simbol dan saling menyesuaikan makna dari simbol itu. Meskipun norma nilai-nilai sosial dan makna dari simbol memberikan pembatasan terhadap tindakannya, namun dengan kemampuan berpikir yang dimilikinya manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan Tindakan dan tujuan yang hendak dicapainya. Oleh karena itu, pengaruh faktor pendidikan penulis pandang merupakan faktor fundamental dalam diri setiap aktor.
Berdasar perspektif teori labelling dan teori simbolis interaksionisme di atas, mendukung pemahaman mengenai pentingnya proses sosial dalam mempelajari proses viktimisasi dan respons sosialnya dalam rangka perlindungan terhadap korban. Proses sosial ini mencakup baik dalam pembuatan undang-undang maupun bekerjanya hukum dalam peradilan pidana. Dalam proses bekerjanya hukum dapat dipelajari mampukah lembaga dan pranata hukum dalam peradilan pidana menciptakan, menafsirkan, dan menerapkan perundang-undangan guna mewujudkan criminal justice bagi korban.
Dengan demikian, dapat dipahami proses konstruksi sosial tentang kejahatan/penimbulan korban dan respons sosialnya yang melibatkan pihak-pihak yang berinteraksi dan terlibat dalam intervensi terhadap perlindungan korban melalui peradilan pidana.
Pemahaman terhadap keberadaan korban sebagai hasil konstruksi sosial, diungkapkan lebih tegas oleh Richard Quinney dalam “Who is the victim” yang membuka terobosan pemahaman alternatif tentang korban. Pandangan alternative tentang korban ini dilandasi dari pola pemahaman korban yang berasal dari pengaruh kekuasaan, misalnya oleh polisi, korban dari pemberlakuan suatu sistem, korban dari kekerasan penguasa, dan korban dari perlakuan yang tidak manusiawi.[27]Konteks studi di atas memberikan perspektif bagi perbaikan dalam bekerjanya peradilan pidana untuk mengkaji pengaruh kekuasaan dalam realitas sosial perlindungan korban.
Bekerjanya peradilan pidana seharusnya tidak hanya mempertahankan undang-undang, tetapi terlebih harus memperjuangkan manfaat/kepentingan sosial. Peradilan pidana diharapkan menjadi suatu bentuk lembaga yang menciptakan dan melaksanakan keadilan. Berbagai pertentangan antara apa yang dicita-citakan dan kenyataan yang berhubungan dengan permasalahan moral dan hukum sebagai upaya memberikan perlindungan terhadap korban mengakibatkan keragu-raguan terhadap adanya keadilan bagi korban. Akibat yang lain, dipermasalahkannya wibawa moral dan hukum terhadap setiap penegak hukum dalam peradilan pidana.
Dalam tulisan ini akan dikaji bagaimana berjalannya proses yang mengaitkan antara lembaga dan pranata hukum dalam melindungi korban dengan berbagai kepentingan yang melingkupinya. Tata hukum dan bekerjanya hukum bukanlah suatu rumusan yang kering, sesuatu yang bebas nilai, melainkan sesuatu yang sarat dengan usaha perwujudan nilai-nilai tertentu yang dijunjung dalam masyarakat. Oleh karena itu, peranan integritas para penegak hukum menjadi penting.
Persoalan korban kejahatan melalui sistem pendekatan terbuka dari David Lewis Smith dan Kurt Weiss[28]mengetengahkan model yang menunjukkan kemungkinan interaksi tidak terbatas antara proses penimbulan korban dan respons sosialnya, baik dari sisi seleksi korban sendiri maupun masyarakat dan pihak penegak hukum yang terlibat. Jajaran respons yang kemungkinan muncul pada lembaga peradilan yang memberi cap ‘korban' atau sebagai telah menimbulkan korban atau tidak, semuanya memberikan respons pada perilaku dan dirasakan sebagai persoalan oleh korban kejahatan, khususnya dalam penulisan ini yaitu interaksi dengan bekerjanya peradilan pidana.
Seluruh bidang didefinisikan sebagai peristiwa yang potensial untuk menunjukkan bahwa tidak semua pertemuan dapat disebut korban walaupun perilakunya telah menggambarkan kriteria eksplisit dengan jelas. Peristiwa seleksi korban ini melibatkan definisi seperti beberapa bagian kelompok seperti dari kalangan minoritas dan miskin dapat dikatakan sebagai 'telah menerima apa yang seharusnya mereka terima'.
Teori konstruksi mengenai korban ini dalam bagan diindikasikan dengan panah tebal dari kotak utama melalui daerah A sampai D, panah kecil berarti jalan pintas, pengaruh bolak-balik dan keadaan saling tergantung yang tidak berujung pangkal, dan bisa bersifat sinergi. Hal-hal yang berada dalam daftar dalam kotak tersebut adalah suatu contoh. Tidak ada definisi dan daftar eksplisit yang diusahakan.
Pada bagan A, definisi kejahatan diidentifikasikan antara definisi legal dalam perundang-undangan dan definisi harian dalam konstruksi sosial dan definisi ilmiah. Tahap B, tambahan definisi pemberi ketetapan sebagai korban diutarakan yang paling penting adalah sistem peradilan pidana termasuk polisi, kejaksaan, pengadilan, dan koreksi luas yang menginteraksi serta pengaruh dari korban. Tingkah laku korban setelah terjadi viktimisasi ada dalam bagan (C), dan respons masyarakat termasuk lembaga penegak hukum (D) adalah hal tersendiri dari aplikasi definisi dan status korban. Konsekuensinya menjadi korban tidak hanya diikuti oleh satu pola, tetapi perilaku korban juga mendefinisikan konsekuensi dan perubahan dari definisi tersebut terutama pada sistem respons yang berhubungan dengan korban. Dalam contoh tersebut Kurt dan Smith mencontohkan korban kejahatan perkosaan ataupun
penipuan/perampokan yang memancarkan nilai seperti malu, takut, sementara mungkin yang lainnya mencari pertolongan. Respons individu mempunyai efek bumerang (balik) dengan melembagakannya. Pengadilan misalnya, apakah membesarkan hati atau mengecilkan hati korban.
 Melalui sistem pendekatan terbuka di atas, penulis mengkaji proses dinamisasi dari konstruksi sosial pendefinisian korban dan respons terhadapnya yang melibatkan korban, masyarakat, dan penegak hukum termasuk pelaku[29] inklusif di dalamnya melalui peradilan pidana. Hal ini akan menggambarkan pula bagaimana perlindungan korban dimulai dari seleksi terhadap 'definisi korban' dalam taraf persepsi dari interaksi korban/masyarakat/penegak hukum terhadap situasi atau peristiwa tertentu yang berkemungkinan didefinisikansebagai telah menimbulkan viktimisasi, yang akhirnya memengaruhi perlindungan hukum terhadapnya.
Ragaan dari sistem pendekatan terbuka tersebut dapat dikemukakan pada halaman berikut.[30] Pendekatan sistem terbuka mengenai korban berlandaskan teori David Lewis Smith dan Kurt Weis, [31]melihat peran persepsi dan tindakan individu dalam proses viktimisasi, yaitu pribadi individu penegak hukum dalam peradilan pidana, dan










 
















korban itu sendiri dalam mempersepsikan dan bertingkah laku dalam berinteraksi yang dibingkai dalam konstruksi social dalam pemahaman korban. Konstruksi sosial ini didukung dari kajian makro bahwa lembaga peradilan pidana sebagai suatu institusi atau birokrasi hukum dengan struktur yang melingkupinya seperti sosial, politik, kultur, norma, nilai-nilai yang memengaruhi peradilan pidana sebagai Criminal Justice System untuk memberikan perlindungan bagi korban.
Sumber:
Maya Indah.2014.Perlindungan Korban: Suatu Perspektif Viktimologi dan Kriminologi.Kharisma Putra Utama.Jakarta, hal.51-70


Tugas Mandiri:
1.Jelaskan pengertian radical criminology?
2. Jelaskan teori realitas sosial kejahatan Quinney?
3.Jelakan sistem pendekatan terbuka mengenai korban?



              MK.KDV-14. FUNGSI LEMBAGA DAN PRANATA HUKUM


[1] Susanto, Disertasi, Op. cit., h. 34.
[2] Quinney, Op.cit., 1974, p. 104,103. Merupakan reaksi dari definisi korban secara dogmatis sempit yaitu penderitaan yang dialami orang/masyarakat karena perbuatan jahat yang dirumusakan dan dapat dipidana dalam hukum pidana. Bandingkan dengan pemikiran Donald J. Newman, mengemukakan bagan mengenai penegakan hukum yang digambarkan bahwa ada area undetected crime, un reported crimes, dan juga selektivitas bekerjanya penegakhukum. Donald J. Newman Introduction To Criminal Justice. Third Ed. New York: Randam House, 1986. h. depan.

[3] Separovic, Op. cit, p. 29, 42, 43.
[4] Ibid., h. 149-150, dan Schaffer, Op. cit., 1968, p. 42, 50. Tipologi korban menurut Mendelsohn dan Hentig dikritikpenef Schaffer sebagai speklulatif, tanpa melakukan observasi empiris terhadap 'caution' dalam situasi sosial, sehingga dapat memberikan seleksi terhadap pembaruan konsep pertanggungjawaban.
[5] lihat Open system model oleh Sinith, Weis, dalam Viano, Op. cit., h. 43-48

[6] Lihat Richard Quinney, Criminology: Analysis and Critique of Crime in America, (Boston: Little Brown and Company, 1975), p. 37-41.
[7] Quinney, Op. cit., 1974, h. 104.
[8] Realitas sosial sebagai suatu konstruksi sosial memberikan gambaran kehidupan sosial/kondisi sosial yang memengaruhi konstruksi sosial mengenai pendefinisian korban dan perlindungan melalui peradilan pidana. Lihat Peter L. Berger, Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality a Treatise in the Sociology of Knowledge, (New York: Anchor Books, doubleday & Company, Inc. Garden City, 1966), p. 1-15, bahwa reality is socially constructed and that the sociology of knowledge must analyze the processes. Sosiologi pengetahuan mengarahkan studi pada pembentukan kenyataan oleh masyarakat.

[9] Sociologist have been interested in exploring the victim's role as a means or agent of social control. Lihat dalam J. E. Hall Williams, Criminology and Criminal Justice, (London: Butterworth, 1982), p. 177.
[10] Peter L. Berger, Invitation to Sociology: A Humanistic Perspective, (New York: Anchor Books, Doubleday & Company, Inc., Garden City, 1963), p. 41-53. Debunking motive berusaha untuk mengetahui apa yang ada di balik ke-nyataan sosial yang diterima orang banyak, unrespectability motive berusaha mempertanyakan apa yang ada dan tidak menerima kenyataan sebagai sudah semestinya, motif ini tidak berarti bersikap revolusioner, karena cenderung konservative bias, tetapi sadar terhadap ilusi 'status quo' yang ada sebagai tak mungkin diperbaiki atau berlaku abadi. Relativizing motif adalah nilai pemikiran manusia yang dikondisikan menurut tempat dan waktu. Cosmopolitan motive membangun sifat terbuka pada dunia untuk cara berpikir dan bertindak lain. Perspektif ini bersifat luas, terbuka, dan emanisipasi pada kehidupan manusia.
[11] Berger dan Luckman memusatkan perhatian pada kenyataan sosial sebagai konstruksi sosial yang didekati dari pelbagai pendekatan seperti pendekatan mitos yang irasional, pendekatan filosofis yang bercorak moralistis, pendekatan praktis yang bersifat fungsional dengan berpijak konteks dialektis. Kenyataan atau kontruksi yang dibangun secara sosial diartikan sebagai suatu kualitas yang terdapat dalam suatu fenomena yang kita akui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung pada kehendak kita sendiri, dan pengetahuan sebagai kepastian baliwa fenomena itu nyata dan memiliki karakteristik spesifik. Dalam hal ini berarti dipelajari bagaimanakah proses pada setiap perangkat pengetahuan' pada akhirnya ditetapkan secara sosial sebagai kenyataan. Lihat Berger, Luckmann, Op. cit., h. 1.

[12]  Ibid., Lihat dalam Peter L. Berger, Thomas Luckman, Tafsir Sosial atas Kenyataan, Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, (Jakara: LP3ES), h. xx.

[13] Dalam penulisan ini akan digunakan pendekatan interaksionis dan konflik untuk lebih menggambarkan proses sosial yang dimiliki masyarakat maupun peranan penguasa dalam ikut mempersepsikan, memformulasikan, dan menerapkan makna korban dan perlindungannya,
[14] 1. S. Susanto, disertasi, Statistik Kriminal sebagai konstruksi Sosial: Penyusunan, Penggunaan dan Penyebarannya Suatul Studi Kriminologi, 1990, h. 34 (unpublished),

[15] Blumer, Op. cit., p. 61-77.
s[16] Ibid., h. 79.
[17] Berger; Luckmann, Op. cit., h.1-3.
[18] Ibid., h. 60-61. Proses produk aktivitas manusia yang dieksternalisasi memperoleh sifat objektif adalah objektivasi, yaitu pelembagaan sebagai objektivasi makna tingkat I dan legitimasi sebagai objektivasi makna tingkat kedua. Proses internalisasi adalah dalam dunia sosial yang sudah diobjektivasi dimasukkan ke dalam kesadaran selama berlangsungnya sosialisasi. Proses eksternalisasi apabila anggota masyarakat secara individual serentak menyatakan keberadaannya dalam dunia sosial dan menginternalisasinya sebagai kenyataan objektif.


[19]  Williams, Op.cit., h. 142.
[20]  Becker, Op. cit., h. 9. Sebelumnya diungkapkan olehnya bahwa 'social groups create deviance by making the rules whose infraction constitutes deviance, and by applying those rules to particular people and labelling them asoutsiders.

[21] Williams Op. cit., h. 156.
[22] Ibid., 1. 142. Lebih lanjut dikemukakan bahwa sosiologi membantu memberikan dukungan untuk mengkaji perilaku dan simbol yang dipakai oleh aktor. Bandingkan George Ritzer, terj. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: Rajawali Pers, 1982), h. 61. Dalam proses interaksi antara stimulus yang diterima dan respons yang terjadi sesudahnya, diantarai oleh proses interpretasi aktor. Proses interpretasi adalah proses berpikir manusia.
[23] Herbert Blumer, Op. cit., h. 5 dan 79. Disebut sebagai a process of interpretation sebagai mediasi antara stimulus dan respons dalam perilaku manusia. Bandingkan George Ritzer, Op. cit., h. 67. Bandingkan dengan K. J. Veeger, Realitas Sosial Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala sejarah sosiologi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 222-224. Tidak ada pikiran yang timbul lepas bebas dari suatu situasi sosial. Teori ini menghasilkan citra manusia yang dinamis, antideterministik, dan penuh optimisme.
[24] Ibid., h. 2.
[25] Lihat K. J. Veeger, Ibid., h. 225-228. Bandingkan dengan teori sosiologi behavioral, interaksionisme simbolis beranggapan bahwa behaviorisme menilai perilaku manusia semata merupakan tanggapan terhadaap rangsangan dari luar dirinya. Penilaian perilaku manusia sebagai hasil proses stimulus --> respons ini dipandang oleh interaksionisme sebagai merendahkan derajat perilaku manusia sampai ke batas kelakuan binatang yang memang semata-mata merupakan hasil proses: stimulus --> respons, Lihat Ritzer, Op.cit., h. 60.
[26] Lihat Ritzer, Ibid., n. 69. Bandingkan Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), h. 326-328.
[27] Quinney, Op. cit., 1974, h. 104, 107-108.
[28] Smith; Weis, Op.cit., h. 43-48.
[29] Dalam bagan Kurt dan Weis tidak dieksplisitkan pengaruh pelaku dalam situasi yang menimbulkan korban dan reaksi sosialnya. Namun penulis berpendapat bahwa pendekatan terbuka ini memberikan alternatif fenomena yang berkembang dan berinteraksi dan berpengaruh dalam kenyataan social mengenai korban.

[30]  Smith; Weis, Op. cit., h. 45.
[31] David Lewis Smith, Kurt Weis, Toward an Open - System Approach to Studies in The Field of Victimology, dalam Viano, Op. cit., h. 43. Mengemukakan bahwa penelitian dan penulisan tentang korban dapat disusun menjadi suatu disiplin ilmu tertentu yang jelas atau mungkin dapat digolongkan dalam satu atau lebih ilmu pengetahuan sosial yang berhubungan dengan tingkah laku masyarakat. Penggunaan sistem terbuka membuka kemungkinan bantuan ilmu lain dapat membantu.

MK.KDV-14. KONTRUKSI SOSIAL PERLINDUNGAN KORBAN

Dalam kerangka konstruksi sosial, maka keberadaan dan respons korban terhadap realitas kejahatan/peristiwa viktimisasi terhadapnya merupakan suatu pengkonstruksian terhadap realitas kejahatan/proses penimbulan korban dalam dimensi sosial yang melibatkan institusi dan kepentingan birokrasi di dalamnya, serta konteks masyarakat sebagai suatu totalitas. Dengan demikian, realitas sosial terhadap perlindungan korban dalam masyarakat melalui peradilan pidana dikonstruksikan oleh formulasi maupun bekerjanya perundang-undangan oleh aparat penegak hukum.
Terminologi perlindungan korban pertama-tama dilakukan yaitu pendefinisian mengenai 'siapakah korban?' Dalam realitas sosial terhadap korban memunculkan berbagai fenomena. Berdasar pemikiran Howard Becker, dapat dikemukakan bahwa pendefinisian korban termasuk proses penimbulan korbannya adalah berangkat dari proses pendefinisian kejahatan oleh lembaga dan pranata hukum peradilan pidana untuk menentukan korban resmi atau tidak. Hal ini menunjukkan adanya proses interaksi antara korban yang berinteraksi pelaku termasuk aparat penegak hukum.[1]
Richard Quinney menegaskan konstruksi korban melalui definisi korban secara luas. Definisi korban secara luas adalah konstruksi korban dan reaksi sosialnya oleh kekuasaan lembaga dan pranata hukum pidana. Hal ini berarti konstruksi korban bahwa tidak semua perbuatan merugikan dan menimbulkan kerusakan masyarakat dianggap sebagai telah menimbulkan korban.[2]
Paradigma viktimologi dalam melakukan studi terhadap korban dalam new victimologi oleh Ellias dan Separovic dimunculkan paradigma baru yang lebih luas untuk menjawab berbagai persoalan, seperti: What can be done about victims, not only criminals? Selaras dengan pemikiran 'for the well being and progress of humanity dan mengedepankan wawasan hak asasi manusia dari sisi human suffering.[3]
Pendefinisian korban dalam tulisan ini apabila diselaras-kan dengan tipologi korban dari Stephen Schaffer, maka korban di sini lebih didudukkan pada posisi yang berkarakteristik 'unrelated victim, biologically weak victims, socially weak victims, dan political victims. [4]Peristiwa viktimisasi yang mencoba dielaborasi dalam tulisan ini, yaitu pada perhatian terhadap korban yang menempati posisi tereliminasi dari kekuasaan lain baik korban dari kejahatan ataupun penyalahgunaan kekuasaan. Lain baik korban dari kejahatan ataupun penyalahgunaan kekuasaan.
Teori labelling terkait dengan orientasi pendefinisian korban untuk memberikan reaksi perlindungan hukum terhadapnya. Pemikiran ini mengindikasikan hubungan antara konstruksi sosial mengenai korban dengan orientasi viktimologi pula untuk menjangkau interaksi tak terbatas antara proses penimbulan korban dan respons sosialnya. Pendekatan ini menghasilkan pandangan bahwa konstruksi korban meliputi pula konstruksi legalistis dan konstruksi korban secara harian atau senyatanya yang terjadi dalam fenomena sosial.[5]
Beranjak dari terminologi ini, selaras dengan perspektif viktimologi akan diungkap konteks sosial dari terjadinya viktimisasi bagi masyarakat dan akibat sosial dari viktimisasi terhadap masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya dalam lingkup kajian kritis terhadap bekerjanya peradilan pidana.
Richard Quinney menyatakan, bahwa kejahatan adalah suatu rumusan tentang perilaku manusia yang diciptakan oleh alat-alat berwenang dalam suatu masyarakat yang diatur secara politis terorganisasi, dan kejahatan adalah suatu rumusan perilaku yang diberikan terhadap sejumlah orang oleh orang lain, sehingga kejahatan adalah sesuatu yang diciptakan.[6]
Pemikiran Quinney di atas, membawa pula paradigma baru dalam viktimologi, dengan mengemukakan sebagai berikut:
Not all conduct which could conceivably result in social harm is regulated by law. Only those acts which cause harms to those who are able to make and enforce the law becomes crimes. And similarly, when the social harms that are a part of the written law cease to be regarded by those in power as a harm to their interest, these law are no longer enforced.[7]
Berdasar konsepsi tersebut, dapat dikemukakan cakrawala baru viktimologi yang dibawa oleh paradigma kriminologi kritis, yaitu masalah kejahatan (proses penimbulan korban) dan perlindungannya dilihat secara menyeluruh sebagai suatu proses konstruksi sosial dalam struktur yang berlaku dalam masyarakat.[8] Oleh karena itu, realitas sosial terhadap pendefinisian korban dan perlindungannya tidak bisa diterima sebagai 'taken for granted' namun harus dilihat proses social sehari-hari melalui bekerjanya pemegang kekuasaan, yaitu mempertanyakan kembali doktrin normatif lembaga dan pranata hukum peradilan pidana dalam konteks totalitas masyarakat yang terus-menerus berproses.
Oleh karena itu, tidak semua perbuatan yang merugikan dan mencelakakan masyarakat dianggap sebagai suatu kejahatan menurut hukum. Konsep korban demikian lebih mengacu kepada kedua bentuk korban yang abstrak maupun yang konkret. Dalam fenomena sosial bentuk korban yang konkret lebih ditonjolkan keberadaannya sehingga masyarakat lebih terpengaruh kepada bentuk pemahaman yang keliru terhadap korban dan tidak memperhatikan bentuk viktimisasi yang dilakukan oleh the rulling class sebagai bentuk abuse of power and humanrights, yang tidak muncul ke permukaan sebagai korban abstrak.
Pendefinisian korban secara sempit dalam batasan legal belaka mengindikasikan hilangnya makna proses sosial sebenarnya yang melingkupi bekerjanya lembaga dan pranata hukum termasuk pembuatan perundang-undangan untuk memberikan perlindungan terhadap korban. Hakikat korban atau proses penimbulan korban adalah suatu gejala social atau kenyataan sosial yang melibatkan keseluruhan proses sosial yang memengaruhi bekerjanya lembaga dan pranata hukum termasuk pembuatan perundang-undangan. Dalam hal demikian dibutuhkan suatu pemikiran sosiologis untukmemberikan pemahaman yang lebih untuk memberikan perlindungan korban yang memperoleh legitimasi sosial.[9]Berger mengemukakan bahwa sosiologi memiliki empat motif analisis yang disebut sebagai motif debunking, unrespectability, relativizing, dan cosmopolitan motive.[10]
Berger dan Luckmann memberikan analisis melalui minat pemikiran pada kenyataan sosial atau konstruksi sosial melalui hubungan antara pemikiran manusia dan konteks social darimana pemikiran tersebut timbul dan dilembagakan. Dalam tulisan ini, yakni untuk memahami kenyataan sosial bekerjanya hukum pidana melindungi korban yang berperspektif pluralis, dinamis dalam proses perubahan terus-menerus dalam konteks masyarakat.[11]
Berger memandang masyarakat sebagai produk manusia, dan manusia sebagai produk sosial masyarakat dan menjelajahi berbagai implikasi dimensi kenyataan objektif dan subjektif maupun proses dialektis dari tiga momen simultan, yaitu eksternalisasi (penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia), objektivasi (interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi), dan internalisasi (individu mengidentifikasikan diri dengan lembaga sosial tempat individu menjadi anggotanya).[12]
Bertolak dari perspektif konstruksi sosial Berger dan Luckman, dapat dikaji bahwa bekerjanya hukum pidana untuk melindungi korban dalam masyarakat mengalami dua tahapan, yaitu sebagai kenyataan objektif dan sebagai kenyataan subjektif. Dalam ketiga momen eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi memunculkan suatu konstruksi kenyataan social yang merupakan hasil ciptaan manusia. Eksistensi kenyataan sosial objektif dalam hubungan individu dengan lembaga sosial (salah satu lembaga sosial yang besar adalah negara yang juga bekerja melalui lembaga penegak hukum), termasuk aturan sosial atau hukum yang melandasi lembaga tersebut bukanlah hakikat dari lembaga itu, karena lembaga itu ternyata hanya produk dari kegiatan manusia.
Konsep konstruksi sosial dari Berger dan Luckman, memberikan perspektif bahwa untuk menganalisis bekerjanya peradilan pidana dalam melindungi korban, yaitu dengan memperhatikan tidak hanya momen internalisasi dalam kehidupan masyarakat melalui individu, namun juga memusatkan perhatian pada gejala perubahan sosial, struktur sosial, ketimpangan sosial, maupun legitimasi kekuasaan, dan sebagainya. Dalam momen ini, semua individu yang terlibat baik penegak hukum, pelaku, maupun korban bersama-sama membentuk kenyataan oleh masyarakat sebagai social construction of reality.
Keterkaitan paradigma konstruksi sosial di atas, dengan perspektif interaksionisme simbolis dalam tulisan ini memberikan pengembangan dalam tulisan bekerjanya peradilan pidana dalam struktur sosial. Dengan demikian, pemikiran hubungan interaksionis antara pelbagai pihak yang terlibat dalam bekerjanya peradilan pidana adalah suatu dialektika antara individu dan masyarakat, baik dalam taraf hubungan sosial individu maupun dalam lembaga dalam taraf internal, melainkan juga dikaji bekerjanya perspektif sosiologi makro dalam bekerjanya hukum seperti norma-norma dan aturan yang ada. Keberadaan korban dalam pemahaman korban secara luas membuka wawasan dan cara pandang terhadap korban guna perlindungan terhadapnya, yaitu mencakup konsep korban sebagai hasil viktimisasi dari bekerjanya birokrasi. Akibat perilaku birokrasi yang mungkin dapat menyebabkan viktimisasi terhadap masyarakat, maka pengaruhnya tidak hanya secara personal, tetapi juga terhadap masyarakat secara luas.
Perspektif tersebut merupakan suatu bentuk pengkonstruksian terhadap terjadinya viktimisasi struktural dalam lembaga dan pranata peradilan pidana. Viktimisasi structural sebagai fenomena sosial merupakan pula suatu pembatasan struktural dalam menjelaskan situasi viktimisasi tersebut.
Perlindungan korban dalam peradilan pidana tidak bisa dilihat, dikaji, dan dipahami tanpa melihat proses sosial yang sebenarnya sebagai suatu konstruksi sosial. Pengkajian proses sosial viktimisasi atau penimbulan korban ganda dalam peradilan pidana menjadi utuh dalam konteks bagaimanakah proses tersebut berlangsung dalam institusi peradilan pidana.Pendekatan kriminologi kritis memberi bentuk pula pada pemikiran viktimologis untuk mempertanyakan definisi korban dan reaksi sosialnya sebagai suatu hasil konstruksi sosial.[13] Pen-definisian korban dan reaksi sosialnya merupakan suatu hasil proses social yang melalui konstruksi sosial dalam masyarakat.
Proses terjadinya kejahatan/penjahat resmi ditampilkan dalam ragaan berikut:[14]
Pelanggar
                                       Penegak Hukum (polisi)                                  Kejahatan/Penjahat

Korban dan anggotamasyarakat

Dalam disertasi tersebut, memang dikhususkan/dibatasi penegak hukum sebagai polisi. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa penyeleksian'law violations' dan pelakunya juga melibatkan aparat penegak hukum baik hakim, jaksa maupun polisi.
Berdasar ragaan tersebut dapat dikemukakan suatu kerangka teoretis bahwa pendefinisian kejahatan/penimbulan korban maupun penjahat resmi digambarkan melalui proses hubungan interaksi antara subjek yang terlibat dalam proses tersebut, yaitu antara pelanggar dan korban, antara korban dan penegak hukum, dan antara penegak hukum dan pelanggar.
Oleh karena itu, berdasar ragaan tersebut, peranan penegak hukum melalui bekerjanya proses peradilan pidana memiliki arti penting bagi perlindungan korban. Meliputi persepsi dan tindakan penegak hukum terhadap peristiwa terjadinya penimbulan korban, dan reaksi ataupun interpretasi korban sendiri terhadap peristiwa yang menimpanya sebagai telah menimbulkan kerugian atau tidak.
Analisis terhadap hubungan interaksi dalam ragaan tersebut terkait dengan perspektif interaksionisme simbolis antara pihak-pihak yang terlibat. Dalam hal ini Herbert Blumer menyambung gagasan Mead dengan konsep: (1) the self, (2) The act, (3) social interaction, (4) Objects, and (5) Joint action.[15]
Beranjak dari perspektif tersebut, Herbert Blumer menegaskan bahwa Human interaction is mediated by use of the symbols, by interpretation, or by ascertaining the meaning of one another's actions. The mediation is equivalent to inserting a process of interpretation between stimulus and response in the case of human behavior.[16]
Apabila disubstansikan, penulis memberikan ragaan mengenai konsep teori interaksionisme simbolis sebagai berikut:
Stimulus                         proses interpretasi                               respons

Penulis menyimpulkan bahwa teori simbolis interaksionisme mensubstansikan bahwa tindakan manusia bukan merupakan suatu tanggapan yang bersifat langsung terhadap stimulus yang datang dari lingkungan atau dari luar dirinya. Penulis berpendapat, kesan volunter dalam teori tersebut dapat dieliminasi karena inti kehidupan sosial yang terdiri dari mekanisme struktural atau birokrasi pengadilan, nilai-nilai politik budaya, peran sosial, dan sebagainya tidak berpengaruh secara langsung, namun berpengaruh sejauh melokalisasi dan membatasi situasi interaksi.
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann menyatakan bahwa sosiologi pengetahuan berusaha menekuni analisis pembentukan kenyataan oleh masyarakat sebagai suatu 'social construction of reality'. Kenyataan didefinisikan sebagai suatu kualitas yang terdapat dalam fenomenon yang diakui sebagai memiliki keberadaan yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri, sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa fenomenon nyata dan memiliki karakteristik spesifik.[17] Pemikiran Berger dan Luckmann memberikan wacana bahwa realitas sosial mengenai sesuatu hal, bukan sesuatu yang harus diterima sebagaimana adanya realitas social merupakan suatu konstruksi sosial. Berger memandang bahwa masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat, melalui penafsiran suatu perbuatan yang didahului pengetahuan yang merupakan[18] proses dialektis dari objektivasi, eksternalisasi, dan internalisasi. Ketiga momen ini bersesuaian dengan karakterisasi esensial dari dunia sosial. Masyarakat merupakan produk manusia, sehingga masyarakat merupakan kenyataan objektif, dan manusia merupakan produk sosial.
Pemikiran tersebut dapat diterapkan pula dalam konteks sosial terbentuknya realitas korban melalui tindakan terhadap ‘kejahatan' atau penimbulan korban oleh aparat penegak hukum, khususnya polisi dan perlindungan korban oleh peradilan pidana dan melalui interpretasi 'definisi korban ‘oleh masyarakat. Penafsiran suatu perbuatan sebagai telah menimbulkan korban atau viktimisasi memerlukan suatu pengetahuan dari manusia sebagai pencipta kenyataan sosial.
Faktor internal yang bersumber pada persepsi ataupun pola pikir melatarbelakangi tindakan pihak-pihak yang terlibat dalam proses viktimisasi, yaitu korban/masyarakat, pelaku, dan aparat penegak hukum. Faktor internal dari sisi aparat penegak hukum ini dikaji karena dalam birokrasi SPP terdiri dari aparat pendukung, yaitu manusia berinteraksi dengan birokrasi yang mewadahinya. Aparat penegak hukum dilihat sebagai individu yang menggantungkan diri pada birokrasi sebagai wujud eksistensi dirinya melalui proses interpretative' individu dan lingkungannya. Demikian pula factor internal korban yang diperoleh dengan victim survey berusaha memahami proses interpretasi korban dan interaksi terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam ‘proses viktimisasi terhadap dirinya termasuk respons korban akibat peristiwa tersebut. Hal ini juga melalui taraf berpikir dari korban yang berada dalam lingkup sosial dan memandang dari kacamata korban bagaimanakah perlindungan hukum terhadapnya dari peristiwa pengorbanan tersebut.
Berdasar terminologi tersebut, penulis berusaha memprediksikan proses sosial perlindungan korban melalui analisis “teori labelling' dari Howard Becker. Teori labelling memberikan kontribusi bagi perspektif simbolis interaksionis yang akan dianalisis kemudian.[19]
Teori labelling mengkaji bahwa kejahatan bukanlah kualitas bagi perbuatan seseorang, melainkan merupakan akibat diterapkannya sanksi dan peraturan oleh orang lain kepada seorang pelanggar. Penjahat ialah seseorang yang kepadanya dikenakan label sebagai penjahat. Oleh karena itu, teori labelling memberikan dasar pemahaman batasan kekuasaan melalui perundang-undangan dan penerapan sanksi untuk mendefinisikan korban dan pembuat korban [20]
Dalam kerangka perspektif labelling di atas, dikaitkan dengan perlindungan korban, maka memberikan pemahaman bahwa pengenaan label kejahatan/penjahat termasuk penimbulan korbannya haruslah mempermasalahkan peranan bekerjanya penegak hukum, termasuk formulasi perundang-undangan dalam mendefinisikan telah terjadinya suatu peristiwa/situasi ‘viktimogen'. Hal ini berarti mengkaji faktor-faktor internal respons sosial atau interaksi dari pelaku, penegak hukum, maupun dari korban/masyarakat/agen kontrol lainnya terhadap korban.
Perspektif labelling memberikan pemahaman bahwa dikenakannya tindakan tertentu sebagai kejahatan atau suatu tindakan telah menimbulkan korban termasuk respons sosialnya adalah selektif. Dalam hal ini muncullah apa yang dikenal dengan dark number' dari kejahatan. Hall Williams mengungkapkan bahwa dark number ini sebagai suatu 'an ice berg' type situation in that very large proportion of offences lies beneath the surface and is never revealed or recorded. [21]
Sebagaimana diungkapkan di awal, bahwa teori labelling memberikan kontribusi bagi teori simbolis interaksionisme, Herbert Blumer (1969). Sentral terminologi dari teori simbolis interaksionisme ini adalah:
Behaviour should be regarded not so much in terms of what it means to others and society in general but what it means to you, the actor. Also the way other people react or respond to your behaviour powerfully influence your own response and reaction. We all live in a world made up of our own perception of reality, which may or may not correspond with the truth, and we act and interact inaccordance with our reading of the situation, which include of course our perception of the way other people are reading it.[22]
Apabila teori simbolis interaksionisme ditelusuri, maka berakar pada pragmatisme atau instrumentalisme dari teori pengenalan/psikologi sosial George Herbert Mead. Cara pandang ini menyatakan bahwa pikiran manusia bukan fotokopi dari dunia luar, melainkan merupakan hasil kegiatan manusia dalam lingkungannya secara makro. Aktor akan menimbang, menilai, dan akhirnya memilih sikap dan perbuatan tertentu dari berbagai kemungkinan yang ada melalui berpikir sebagai proses individu berinteraksi dengan diri sendiri, individu memilih stimulus yang akan ditanggapinya.[23]
Dalam proses yang aktif ini, pikiran manusia tidak hanya berperan sebagai instrumen untuk bertindak atau berperilaku tetapi menjadi bagian sikap dan perilaku manusia itu. Perilaku manusia selalu diawali dengan proses pemahaman dan penafsiran.
Tiga premise dari teori simbolis interaksionisme dari Herbert Blumer yaitu:
First premise is that human beings act toward things on the basis of the meanings that the things have for them. Such things include eveything that human being may note in his word-plıysical objects, such. Categories of human beings such as friends or enemies, institutions, guiding ideals, ... The second premise is that the meaning of such things is derived from, or arises out of, the social interaction that one has with one's fellows. The third premise is that these meanings are handeled in, and modified through, an interpretative process used by the person in dealing with the things he encounters.[24]
Pemikiran Blumer memberikan pemahaman bahwa perilaku seseorang dilandaskan pada ‘makna sosial' objek tertentu, baik yang bersifat fisik, sosial, maupun abstrak Pemberian makna terhadap simbol mencerminkan suatu proses di mana seseorang menciptakan indikasi antara satu sama lain melalui bekerjanya lembaga dan pranata hukum. Perilaku manusia adalah hasil penafsiran dan hasil konstruksi sosial. Masyarakat melalui kulturnya menyediakan seperangkat arti sama terhadap simbol-simbol tertentu. Perilaku sosial dikonstruksikan melalui proses. Aktor mencatat, menafsirkan, dan kemudian memasuki situasi yang dihadapkan padanya. Keterkaitan hubungan yang kompleks perilaku tertentu yang terjadi, baik secara organizational, kelembagaan, pembagian kerja berada dalam kerangka interaksi antarsatu dengan lainnya, dan berlangsung dalam masyarakat dinamis.
Inti kehidupan sosial yang terdiri dari mekanisme struktural/birokrasi pengadilan, nilai-nilai politik/budaya, peranan sosial, dan sebagainya tidak berpengaruh secara langsung. Namun berpengaruh sejauh melokalisasi dan membatasi situasi interaksi.[25]
Teori simbolis interaksionis mensubstansikan bahwa tin-dakan manusia bukan merupakan suatu tanggapan yang bersifat langsung terhadap stimulus yang datang dari lingkungannya atau dari luar dirinya,[26] yang merupakan hasil proses belajar dalam arti memahami simbol dan saling menyesuaikan makna dari simbol itu. Meskipun norma nilai-nilai sosial dan makna dari simbol memberikan pembatasan terhadap tindakannya, namun dengan kemampuan berpikir yang dimilikinya manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan Tindakan dan tujuan yang hendak dicapainya. Oleh karena itu, pengaruh faktor pendidikan penulis pandang merupakan faktor fundamental dalam diri setiap aktor.
Berdasar perspektif teori labelling dan teori simbolis interaksionisme di atas, mendukung pemahaman mengenai pentingnya proses sosial dalam mempelajari proses viktimisasi dan respons sosialnya dalam rangka perlindungan terhadap korban. Proses sosial ini mencakup baik dalam pembuatan undang-undang maupun bekerjanya hukum dalam peradilan pidana. Dalam proses bekerjanya hukum dapat dipelajari mampukah lembaga dan pranata hukum dalam peradilan pidana menciptakan, menafsirkan, dan menerapkan perundang-undangan guna mewujudkan criminal justice bagi korban.
Dengan demikian, dapat dipahami proses konstruksi sosial tentang kejahatan/penimbulan korban dan respons sosialnya yang melibatkan pihak-pihak yang berinteraksi dan terlibat dalam intervensi terhadap perlindungan korban melalui peradilan pidana.
Pemahaman terhadap keberadaan korban sebagai hasil konstruksi sosial, diungkapkan lebih tegas oleh Richard Quinney dalam “Who is the victim” yang membuka terobosan pemahaman alternatif tentang korban. Pandangan alternative tentang korban ini dilandasi dari pola pemahaman korban yang berasal dari pengaruh kekuasaan, misalnya oleh polisi, korban dari pemberlakuan suatu sistem, korban dari kekerasan penguasa, dan korban dari perlakuan yang tidak manusiawi.[27]Konteks studi di atas memberikan perspektif bagi perbaikan dalam bekerjanya peradilan pidana untuk mengkaji pengaruh kekuasaan dalam realitas sosial perlindungan korban.
Bekerjanya peradilan pidana seharusnya tidak hanya mempertahankan undang-undang, tetapi terlebih harus memperjuangkan manfaat/kepentingan sosial. Peradilan pidana diharapkan menjadi suatu bentuk lembaga yang menciptakan dan melaksanakan keadilan. Berbagai pertentangan antara apa yang dicita-citakan dan kenyataan yang berhubungan dengan permasalahan moral dan hukum sebagai upaya memberikan perlindungan terhadap korban mengakibatkan keragu-raguan terhadap adanya keadilan bagi korban. Akibat yang lain, dipermasalahkannya wibawa moral dan hukum terhadap setiap penegak hukum dalam peradilan pidana.
Dalam tulisan ini akan dikaji bagaimana berjalannya proses yang mengaitkan antara lembaga dan pranata hukum dalam melindungi korban dengan berbagai kepentingan yang melingkupinya. Tata hukum dan bekerjanya hukum bukanlah suatu rumusan yang kering, sesuatu yang bebas nilai, melainkan sesuatu yang sarat dengan usaha perwujudan nilai-nilai tertentu yang dijunjung dalam masyarakat. Oleh karena itu, peranan integritas para penegak hukum menjadi penting.
Persoalan korban kejahatan melalui sistem pendekatan terbuka dari David Lewis Smith dan Kurt Weiss[28]mengetengahkan model yang menunjukkan kemungkinan interaksi tidak terbatas antara proses penimbulan korban dan respons sosialnya, baik dari sisi seleksi korban sendiri maupun masyarakat dan pihak penegak hukum yang terlibat. Jajaran respons yang kemungkinan muncul pada lembaga peradilan yang memberi cap ‘korban' atau sebagai telah menimbulkan korban atau tidak, semuanya memberikan respons pada perilaku dan dirasakan sebagai persoalan oleh korban kejahatan, khususnya dalam penulisan ini yaitu interaksi dengan bekerjanya peradilan pidana.
Seluruh bidang didefinisikan sebagai peristiwa yang potensial untuk menunjukkan bahwa tidak semua pertemuan dapat disebut korban walaupun perilakunya telah menggambarkan kriteria eksplisit dengan jelas. Peristiwa seleksi korban ini melibatkan definisi seperti beberapa bagian kelompok seperti dari kalangan minoritas dan miskin dapat dikatakan sebagai 'telah menerima apa yang seharusnya mereka terima'.
Teori konstruksi mengenai korban ini dalam bagan diindikasikan dengan panah tebal dari kotak utama melalui daerah A sampai D, panah kecil berarti jalan pintas, pengaruh bolak-balik dan keadaan saling tergantung yang tidak berujung pangkal, dan bisa bersifat sinergi. Hal-hal yang berada dalam daftar dalam kotak tersebut adalah suatu contoh. Tidak ada definisi dan daftar eksplisit yang diusahakan.
Pada bagan A, definisi kejahatan diidentifikasikan antara definisi legal dalam perundang-undangan dan definisi harian dalam konstruksi sosial dan definisi ilmiah. Tahap B, tambahan definisi pemberi ketetapan sebagai korban diutarakan yang paling penting adalah sistem peradilan pidana termasuk polisi, kejaksaan, pengadilan, dan koreksi luas yang menginteraksi serta pengaruh dari korban. Tingkah laku korban setelah terjadi viktimisasi ada dalam bagan (C), dan respons masyarakat termasuk lembaga penegak hukum (D) adalah hal tersendiri dari aplikasi definisi dan status korban. Konsekuensinya menjadi korban tidak hanya diikuti oleh satu pola, tetapi perilaku korban juga mendefinisikan konsekuensi dan perubahan dari definisi tersebut terutama pada sistem respons yang berhubungan dengan korban. Dalam contoh tersebut Kurt dan Smith mencontohkan korban kejahatan perkosaan ataupun
penipuan/perampokan yang memancarkan nilai seperti malu, takut, sementara mungkin yang lainnya mencari pertolongan. Respons individu mempunyai efek bumerang (balik) dengan melembagakannya. Pengadilan misalnya, apakah membesarkan hati atau mengecilkan hati korban.
 Melalui sistem pendekatan terbuka di atas, penulis mengkaji proses dinamisasi dari konstruksi sosial pendefinisian korban dan respons terhadapnya yang melibatkan korban, masyarakat, dan penegak hukum termasuk pelaku[29] inklusif di dalamnya melalui peradilan pidana. Hal ini akan menggambarkan pula bagaimana perlindungan korban dimulai dari seleksi terhadap 'definisi korban' dalam taraf persepsi dari interaksi korban/masyarakat/penegak hukum terhadap situasi atau peristiwa tertentu yang berkemungkinan didefinisikansebagai telah menimbulkan viktimisasi, yang akhirnya memengaruhi perlindungan hukum terhadapnya.
Ragaan dari sistem pendekatan terbuka tersebut dapat dikemukakan pada halaman berikut.[30] Pendekatan sistem terbuka mengenai korban berlandaskan teori David Lewis Smith dan Kurt Weis, [31]melihat peran persepsi dan tindakan individu dalam proses viktimisasi, yaitu pribadi individu penegak hukum dalam peradilan pidana, dan










 
















korban itu sendiri dalam mempersepsikan dan bertingkah laku dalam berinteraksi yang dibingkai dalam konstruksi social dalam pemahaman korban. Konstruksi sosial ini didukung dari kajian makro bahwa lembaga peradilan pidana sebagai suatu institusi atau birokrasi hukum dengan struktur yang melingkupinya seperti sosial, politik, kultur, norma, nilai-nilai yang memengaruhi peradilan pidana sebagai Criminal Justice System untuk memberikan perlindungan bagi korban.

Sumber:
Maya Indah.2014.Perlindungan Korban: Suatu Perspektif Viktimologi dan Kriminologi.Kharisma Putra Utama.Jakarta, hal.51-70


Tugas Mandiri:
1.Jelaskan pengertian radical criminology?
2. Jelaskan teori realitas sosial kejahatan Quinney?
3.Jelakan sistem pendekatan terbuka mengenai korban?



              MK.KDV-14. FUNGSI LEMBAGA DAN PRANATA HUKUM


[1] Susanto, Disertasi, Op. cit., h. 34.
[2] Quinney, Op.cit., 1974, p. 104,103. Merupakan reaksi dari definisi korban secara dogmatis sempit yaitu penderitaan yang dialami orang/masyarakat karena perbuatan jahat yang dirumusakan dan dapat dipidana dalam hukum pidana. Bandingkan dengan pemikiran Donald J. Newman, mengemukakan bagan mengenai penegakan hukum yang digambarkan bahwa ada area undetected crime, un reported crimes, dan juga selektivitas bekerjanya penegakhukum. Donald J. Newman Introduction To Criminal Justice. Third Ed. New York: Randam House, 1986. h. depan.

[3] Separovic, Op. cit, p. 29, 42, 43.
[4] Ibid., h. 149-150, dan Schaffer, Op. cit., 1968, p. 42, 50. Tipologi korban menurut Mendelsohn dan Hentig dikritikpenef Schaffer sebagai speklulatif, tanpa melakukan observasi empiris terhadap 'caution' dalam situasi sosial, sehingga dapat memberikan seleksi terhadap pembaruan konsep pertanggungjawaban.
[5] lihat Open system model oleh Sinith, Weis, dalam Viano, Op. cit., h. 43-48

[6] Lihat Richard Quinney, Criminology: Analysis and Critique of Crime in America, (Boston: Little Brown and Company, 1975), p. 37-41.
[7] Quinney, Op. cit., 1974, h. 104.
[8] Realitas sosial sebagai suatu konstruksi sosial memberikan gambaran kehidupan sosial/kondisi sosial yang memengaruhi konstruksi sosial mengenai pendefinisian korban dan perlindungan melalui peradilan pidana. Lihat Peter L. Berger, Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality a Treatise in the Sociology of Knowledge, (New York: Anchor Books, doubleday & Company, Inc. Garden City, 1966), p. 1-15, bahwa reality is socially constructed and that the sociology of knowledge must analyze the processes. Sosiologi pengetahuan mengarahkan studi pada pembentukan kenyataan oleh masyarakat.

[9] Sociologist have been interested in exploring the victim's role as a means or agent of social control. Lihat dalam J. E. Hall Williams, Criminology and Criminal Justice, (London: Butterworth, 1982), p. 177.
[10] Peter L. Berger, Invitation to Sociology: A Humanistic Perspective, (New York: Anchor Books, Doubleday & Company, Inc., Garden City, 1963), p. 41-53. Debunking motive berusaha untuk mengetahui apa yang ada di balik ke-nyataan sosial yang diterima orang banyak, unrespectability motive berusaha mempertanyakan apa yang ada dan tidak menerima kenyataan sebagai sudah semestinya, motif ini tidak berarti bersikap revolusioner, karena cenderung konservative bias, tetapi sadar terhadap ilusi 'status quo' yang ada sebagai tak mungkin diperbaiki atau berlaku abadi. Relativizing motif adalah nilai pemikiran manusia yang dikondisikan menurut tempat dan waktu. Cosmopolitan motive membangun sifat terbuka pada dunia untuk cara berpikir dan bertindak lain. Perspektif ini bersifat luas, terbuka, dan emanisipasi pada kehidupan manusia.
[11] Berger dan Luckman memusatkan perhatian pada kenyataan sosial sebagai konstruksi sosial yang didekati dari pelbagai pendekatan seperti pendekatan mitos yang irasional, pendekatan filosofis yang bercorak moralistis, pendekatan praktis yang bersifat fungsional dengan berpijak konteks dialektis. Kenyataan atau kontruksi yang dibangun secara sosial diartikan sebagai suatu kualitas yang terdapat dalam suatu fenomena yang kita akui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung pada kehendak kita sendiri, dan pengetahuan sebagai kepastian baliwa fenomena itu nyata dan memiliki karakteristik spesifik. Dalam hal ini berarti dipelajari bagaimanakah proses pada setiap perangkat pengetahuan' pada akhirnya ditetapkan secara sosial sebagai kenyataan. Lihat Berger, Luckmann, Op. cit., h. 1.

[12]  Ibid., Lihat dalam Peter L. Berger, Thomas Luckman, Tafsir Sosial atas Kenyataan, Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, (Jakara: LP3ES), h. xx.

[13] Dalam penulisan ini akan digunakan pendekatan interaksionis dan konflik untuk lebih menggambarkan proses sosial yang dimiliki masyarakat maupun peranan penguasa dalam ikut mempersepsikan, memformulasikan, dan menerapkan makna korban dan perlindungannya,
[14] 1. S. Susanto, disertasi, Statistik Kriminal sebagai konstruksi Sosial: Penyusunan, Penggunaan dan Penyebarannya Suatul Studi Kriminologi, 1990, h. 34 (unpublished),

[15] Blumer, Op. cit., p. 61-77.
s[16] Ibid., h. 79.
[17] Berger; Luckmann, Op. cit., h.1-3.
[18] Ibid., h. 60-61. Proses produk aktivitas manusia yang dieksternalisasi memperoleh sifat objektif adalah objektivasi, yaitu pelembagaan sebagai objektivasi makna tingkat I dan legitimasi sebagai objektivasi makna tingkat kedua. Proses internalisasi adalah dalam dunia sosial yang sudah diobjektivasi dimasukkan ke dalam kesadaran selama berlangsungnya sosialisasi. Proses eksternalisasi apabila anggota masyarakat secara individual serentak menyatakan keberadaannya dalam dunia sosial dan menginternalisasinya sebagai kenyataan objektif.


[19]  Williams, Op.cit., h. 142.
[20]  Becker, Op. cit., h. 9. Sebelumnya diungkapkan olehnya bahwa 'social groups create deviance by making the rules whose infraction constitutes deviance, and by applying those rules to particular people and labelling them asoutsiders.

[21] Williams Op. cit., h. 156.
[22] Ibid., 1. 142. Lebih lanjut dikemukakan bahwa sosiologi membantu memberikan dukungan untuk mengkaji perilaku dan simbol yang dipakai oleh aktor. Bandingkan George Ritzer, terj. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: Rajawali Pers, 1982), h. 61. Dalam proses interaksi antara stimulus yang diterima dan respons yang terjadi sesudahnya, diantarai oleh proses interpretasi aktor. Proses interpretasi adalah proses berpikir manusia.
[23] Herbert Blumer, Op. cit., h. 5 dan 79. Disebut sebagai a process of interpretation sebagai mediasi antara stimulus dan respons dalam perilaku manusia. Bandingkan George Ritzer, Op. cit., h. 67. Bandingkan dengan K. J. Veeger, Realitas Sosial Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala sejarah sosiologi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 222-224. Tidak ada pikiran yang timbul lepas bebas dari suatu situasi sosial. Teori ini menghasilkan citra manusia yang dinamis, antideterministik, dan penuh optimisme.
[24] Ibid., h. 2.
[25] Lihat K. J. Veeger, Ibid., h. 225-228. Bandingkan dengan teori sosiologi behavioral, interaksionisme simbolis beranggapan bahwa behaviorisme menilai perilaku manusia semata merupakan tanggapan terhadaap rangsangan dari luar dirinya. Penilaian perilaku manusia sebagai hasil proses stimulus --> respons ini dipandang oleh interaksionisme sebagai merendahkan derajat perilaku manusia sampai ke batas kelakuan binatang yang memang semata-mata merupakan hasil proses: stimulus --> respons, Lihat Ritzer, Op.cit., h. 60.
[26] Lihat Ritzer, Ibid., n. 69. Bandingkan Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), h. 326-328.
[27] Quinney, Op. cit., 1974, h. 104, 107-108.
[28] Smith; Weis, Op.cit., h. 43-48.
[29] Dalam bagan Kurt dan Weis tidak dieksplisitkan pengaruh pelaku dalam situasi yang menimbulkan korban dan reaksi sosialnya. Namun penulis berpendapat bahwa pendekatan terbuka ini memberikan alternatif fenomena yang berkembang dan berinteraksi dan berpengaruh dalam kenyataan social mengenai korban.

[30]  Smith; Weis, Op. cit., h. 45.
[31] David Lewis Smith, Kurt Weis, Toward an Open - System Approach to Studies in The Field of Victimology, dalam Viano, Op. cit., h. 43. Mengemukakan bahwa penelitian dan penulisan tentang korban dapat disusun menjadi suatu disiplin ilmu tertentu yang jelas atau mungkin dapat digolongkan dalam satu atau lebih ilmu pengetahuan sosial yang berhubungan dengan tingkah laku masyarakat. Penggunaan sistem terbuka membuka kemungkinan bantuan ilmu lain dapat membantu.

1 comment:

  1. Nama : Rocky Al'amin
    Nim. : 18202048
    Kelas : 4m2

    1. Jelaskan pengertian radical criminology?
    Jawab :
    Kriminologi radikal terkait dengan kriminologi kritis dan konflik dalam fokusnya pada perjuangan kelas dan basisnya dalam Marxisme. Kriminolog radikal menganggap kejahatan sebagai alat yang digunakan oleh kelas yang berkuasa. Hukum diberlakukan oleh elit dan kemudian digunakan untuk melayani kepentingan mereka di bawah risiko kelas bawah.

    2. Jelaskan teori realitas sosial kejahatan Quinney?
    Jawab :
    Richard Quinney menyatakan, bahwa kejahatan adalah suatu rumusan tentang perilaku manusia yang diciptakan oleh alat-alat berwenang dalam suatu masyarakat yang diatur secara politis terorganisasi, dan kejahatan adalah suatu rumusan perilaku yang diberikan terhadap sejumlah orang oleh orang lain, sehingga kejahatan adalah sesuatu yang diciptakan.

    3. Jelaskan sistem pendekatan terbuka mengenai korban?
    Jawab :
    Pendekatan sistem terbuka mengenai korban berlandaskan teori David Lewis Smith dan Kurt Weis, melihat peran persepsi dan tindakan individu dalam proses viktimisasi, yaitu pribadi individu penegak hukum dalam peradilan pidana, dan korban itu sendiri dalam mempersepsikan dan bertingkah laku dalam berinteraksi yang dibingkai dalam konstruksi social dalam pemahaman korban.

    ReplyDelete