Akulturasi Budaya Pasaman Barat

AKULTURASI BUDAYA PASAMAN BARAT

Dr.Ir.Hamzah Lubis,H.M.Si

                                             Dosen Institut Teknologi Medan

                                                 Owner of the Gunungtua Resort

 

                      (Telah dimuat pada Prestasireformasi.com tanggal 18 September 2020: https://prestasireformasi.com/2020/09/18/akulturasi-budaya-pasaaman-barat/

 

Pendahuluan

            Pasaman” berasal dari kata “parsamoan” (Mandailing) dan kata “pasamoan”7 (Minangkabau) yang berarti  “kebersamaan”.  Kebersamaan dua etnis dominan yang mendiami  Pasaman –Pasaman Barat—yaitu etnis Minangkabau dan etnis Mandailing. Pasaman Barat adalah daerah demarkasi,  “rantau”  benturan budaya antara etnis Minangkabau (selatan) dengan  Mandailing (utara). 

Dari 11 (sebelas) kecamatan di Kabupaten Pasaman Barat, 5 (lima) kecamatan dominan berbahasa Mandailing dan  6 (enam) kecamatan berbahasa Minangkabau.  Namun dalam satu kecamatan bisa saja beberapa nagari (desa) memiliki bahasa berbeda. Bahkan dalam satu nagari (desa) bisa saja terdapat beberapa kampung (adat) memiliki bahasa berbeda.

 

Kebijakan budaya nasional

Negara, melalui Undang-Undang Nomor 5 tahun 2017 tentang  Pemajuan Kebudayaan, meihat bahwa  bahwa memajukan kebudayaan nasional sebagai investasi untuk membangun masa depan dan peradaban bangsa.  Keberagaman Kebudayaan daerah merupakan kekayaan dan identitas bangsa yang sangat diperlukan untuk memajukan Kebudayaan Nasional. Pada sisi lain, untuk memajukan Kebudayaan Nasional diperlukan langkah strategis berupa upaya pemajuan kebudayaan melalui pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam Kebudayaan

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 tahun 2017  menjelaskan objek  pemajuan  kebudayaan meliputi: ·  (a). tradisi lisan, (b) . manuskrip,  (c). adat istiadat,  (d). ritus budaya , (e) . pengetahuan tradisional, (f) . teknologi tradisional, (g). seni, (h) . bahasa etnis, (i).  permainan rakyat; dan (j) . olahraga·tradisional.

 

Kebijakan budaya lokal

Keberagaman suku bangsa, adat istiadat, bahasa, pengetahuan dan teknologi lokal, tradisi, kearifan lokal, dan seni;  merupakan pembentuk identitas budaya bangsa. Oleh karena itu, pemajuan kebudayaan sebuah keniscayaan.  Turunan  Pasal 8 ayat (a) UU No.5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan ,  melahirkan  Pokok-Pokok  Pikiran Kebudayaan Daerah Pasaman Barat (SK Bupati Pasaman Barat No.188.45/486/Bup-PasBar/2018 tanggal 27 September 2018)9.  Mengungkap  permasalahan dan rekomendasi pemajuan kebudayaan di Pasaman  Barat  yang penduduknya didominasi  etnis Minangkabau dan Mandailing.

             Beranjak dari  permasalahan  obyek pemajuan kebudayaan ke-5: “belum terwujutnya pembangunan berbasis kebudayaan yang dapat menghindarkan  Indonesia dari penghancuran lingkungan hidup dan ekosistem budaya”, dengan agenda strategis  ke-5 : “memajukan kebudayaan  yang melindungi keanekaragaman hayati dan memperkuat ekosistem” , ternyata masyarakat  adat di Pasaman Barat sejak “baheula” telah memiliki strategi  budaya  untuk perlindungan keanekaragaman hayati   khususnya  sumber daya ikan  dengan obyek pemajuan kebudayaan: (1)  pengetahuan tradisional , (2)  teknologi tradisional, (3) seni, (4) . bahasa,  dan (5 ) olahraga·tradisional.

 

Kesamaan budaya

       Yang menariknya dari budaya Minangkabau- Mandailing yang kontradiktif, terdapat kemiripan dalam aksara Tulak-Tulak (Mandailing) dan Aksara Minangkabau yang sama-sama varian  dalam aksara Proto-Sumatera dari huruf Pallawa. Memiliki kesamaan pengetahuan  tradisional konserasi ikan dan teknologi tradisional penangkapan ikan yang ramah lingkungan dan kesamaan budaya lainnya.

 

Perbedaan budaya

Secara teoritis, etnis Minangkabau dan etnis Mandailing memiliki banyak perbedaan bahkan  pertentangan budaya.  Etnis Minangkabau menggantungkan garis keturunan dari ibu (matriarchat) sedangkan etnis Mandailing mengambil keturunan dari ayah (patriarchat). Etnis Minangkabau berbahasa Minang sedangkan etnis Mandailing  berbahasa Mandailing, dan kedua bahasa tidak memiliki kemiripan. 

Pola budaya perkawinan, etnis Minangkabau yang “semenda” (beli laki-laki) dimana pengantin laki-laki tinggal pada keluarga istri dan pola budaya etnis Mandailing dengan sistem “jujur” (perempuan yang dibeli) dimana pengantin perempuan tinggal pada keluarga suami. Demikian juga budaya anak laki-laki Minangkabau untuk merantau sedangkan budaya anak laki-laki Mandailing tinggal di kampung untuk menjaga trah keturunan dan harta keluarga.

 

Akulturasi budaya

1. Pengakuan etnis lain

        “Perang budaya” antara etnis Minangkabau dan etnis Mandailing di Kabupaten Pasaman (termasuk Pasaman Barat) menghasilkan akulturasi budaya. Dalam sistem pemerintahan adat, terjadi jalan tengah atas kehadiran etnis Mandailing pada wilayah etnis Minangkabau dengan pengakuan etnis Mandailing bahagian dari pemerintahan adat Minangkabau.

          Pepatah adat Minangkabau mengatakan: “Sangka nyo Minang, burungnya Mandailing” (sangkarnya adalah Minangkabau sedangkan burungnya adalah Mandailing). Secara harfiah, bahwa teritori adatnya adalah Minangkabau tetapi yang mengisi tanah-ulayatnya adalah etnis Mandailing. Oleh karena itu dalam sturuktur formal masyarakat adat yang paling rendah, yang ditetapkan pemerintah kabupaten, terdapat  “bosa” dan “penghulu andiko”. 

          Penghulu andiko adalah “raja” masyarakat adat kampung yang memiliki sturuktur pemerintahan kampung. Penghulu andiko memiliki hak penguasaan atas tanah, hutan dan binatang buruannya, serta kebebasan melaksanakan adat dan budayanya. Penghulu kampung berdasarkan entitas masyarakatnya, bisa etnis Minangkabau atau etnis Mandailing.

 

2. Semenda tiga hari

       Akulturasi budaya perkawinan “semenda tiga hari” suami tinggal di keluarga istri (Minangkabau) hanya 3 (tiga) hari, setelah itu suami dapat membawa istri tinggal di keluarga suami (Mandailing).  Etnis Mandailing tidak lagi  “mengharamkan” perkawinan semarga. Demikian juga budaya calon istri (adat)  “boru tulang”,  berubah makna menjadi “boru mamak”, yang bukan saja “boru tulang” tapi juga “boru namboru”.

 

3. Bahasa Naken

       Dalam hal bahasa, menghasilkan bahasa “naken-naken” Pasaman Barat mirip bahasa Minangkabu, tapi banyak serapan kata bahasa Mandailing yang “diminangkan”4.  Etnis  Minangkabau di luar Pasaman Barat  tidak memahami arti kosa kata bahasa “naken-naken” Pasaman Barat karena tidak ada dalam perbendaharaan bahasa Minangkabau (sebenarnya kosa kata bahasa Mandailing) dan orang Mandailing di luar Pasaman Barat tidak memahami kosa kata, karena kosa kata telah “meminangisasi” menjadi seolah kosa kata Minangkabau. Pada area alukturasi ini, masyarakat memahami dan menguasai bahasa Minangkabau dan bahasa Mandailing.

            Sejarah mencatat, Penjajah (Belanda) pernah menggunakan perbedaan bahasa untuk politik divide et impera (pecah belah, politik adu domba) antara etnis Minangkabau dan Mandailing di Pasaman (termasuk Pasaman Barat) dengan bukunya “Bujang Pasaman”.  Buku yang melegenda ini mengisahkan perkelahian dan saling membunuh antara seorang etnis Minangkabau dengan etnis Mandailing untuk memperebutkan seekor rusa yang sedang tidur.  Namun oleh warga Pasaman Barat buku tersebut diambil iktibar sebagai pemicu agar menguasai dua bahasa, supaya  tidak terjadi kesalahpahaman.

            Semoga perang budaya tidak menang-kalah tapi menghasilkan akulturasi budaya untuk saling mengikat satu sama lainnya.    Harapan ini, seusia   filosofi budaya Sumatera Barat dengan “tuah sakato” dan filsofi budaya Pasaman Barat dalam “ tuah basamo”. Bertuah dan kebersamaan semua etnis di Pasaman Barat. Semoga.....

 

 

 

 

 

 

No comments:

Post a Comment