PEMBANGUNAN BERBASIS BUDAYA

                                                 Dr.Ir.Hamzah Lubis,H.M.Si

                                             Dosen Institut Teknologi Medan

                                                 Owner of the Gunungtua Resort

Telah dimuat pada Prestasi Reformasi Online tgl.9 September 2020

https://prestasireformasi.com/2020/09/09/pembangunan-berbasis-budaya/

 

Pengantar

Dipungkiri atau tidak, Indonesia sedang mengalami krisis kebudayaan. Jika dibiarkan akan memudarkan wawasan kebangsaan,  kebangkrutan identitas bangsa dan kehancuran negara. Hal ini ditandai dengan memudarnya wujut asli bangsa (Indonesia)  yang beragam, majemuk, gotong royong dan penuh kehangatan.

Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia telah mencatat tujuh masalah besar kebudayaan Indonesia. Satu diantaranya kehancuran keanekaragaman hayati dan lingkungannya karena pembangunan yang tidak  berbasis budaya.

 

Kebijkan budaya

 Negara, melalui Undang-Undang Nomor 5 tahun 2017 tentang  Pemajuan Kebudayaan, meihat bahwa  bahwa memajukan kebudayaan nasional sebagai investasi untuk membangun masa depan dan peradaban bangsa.  Keberagaman Kebudayaan daerah merupakan kekayaan dan identitas bangsa yang sangat diperlukan untuk memajukan Kebudayaan Nasional. Pada sisi lain, untuk memajukan Kebudayaan Nasional diperlukan langkah strategis berupa upaya pemajuan kebudayaan melalui pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam Kebudayaan

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 tahun 2017  menjelaskan objek  pemajuan  kebudayaan meliputi: ·  (a). tradisi lisan, (b) . manuskrip,  (c). adat istiadat,  (d). ritus budaya , (e) . pengetahuan tradisional, (f) . teknologi tradisional, (g). seni, (h) . bahasa etnis, (i).  permainan rakyat; dan (j) . olahraga·tradisional.

Kenyataannya obyek pemajuan kebudayaan “diterabas” oleh ilmu pengetahuan dan teknologi baru atau “dipenggal” oleh kebijakan pemerintah yang punya legalitas eksekusi. Akibatnya khazanah budaya pada generasi muda semakin meredup, dan bahkan tergantikan dengan budaya asing. Masyarakat  tercerabut dari akar budaya leluhurnya dan lalu memakai budaya import semisal individualis, kapitalis, hedonis dan khauvemis. Muaranya selain menghancurkan sumberdaya alam (lingkungan) dan juga menghancurkan  karakter berbangsa.

Krisis budaya ini  tidak boleh dibiarkan, harus dijawab secepatnya dan menjadi tanggung jawab bersama. Pemajuan kebudayaan menjadi sebuah keharusan, termasuk  kebudayaan untuk melindungi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.  Pemajuan budaya akan berhasil bila pemajuan  budaya akan meningkatkan  ekonomi (kesejahteraan) masyarakat lokal.  Salahsatu caranya menjadikan pemajuan budaya sebagai  event wisata yang terprogram.

 

Ironi  budaya

       Potret tingkat keperhatian kita terhadap budaya dapat tergambar dari waktu priode Kongres Kebudaan Indonesia (KKI).  KKI pada masa penjajahan telah digelar 6 (enam) kali dengan rata-rata tiap 3 tahun 2 bulan. Pada masa kemerdekaan telah digelar 7 (tujuh) kali KKI dengan kelang waktu rata-rata tiap sepuluh tahun. Bahkan kurun waktu KKI ke-12 ke KKI ke-13 selama 15 tahun.

       Oleh karena itu, maka wajarlah melahirkan ironi kebudayaan  berupa: (1)  Pengerasan identitas primordial dan sentimen sektarian yang menghancurkan sendi budaya masyarakat, (2) Meredupnya khazanah tradisi dalam gelombang modernitas, (3) Disrupsi teknologi informatika yang belum berhasil dipimpin oleh kepentingan konsolidasi kebudayaan nasional, (4) Pertukaran budaya yang timpang dalam tatanan global menjadikan Indonesia hanya sebagai konsumen budaya dunia.

     Ironi kebudayaan lainnya,  (5) Belum terwujudnya pembangunan berbasis kebudayaan yang dapat menghindarkan Indonesia dari penghancuran lingkungan hidup dan ekosistem budaya, (6) Belum optimalnya tata kelembagaan bidang kebudayaan dan (7) Desain kebijakan budaya belum memudahkan masyarakat untuk memajukan kebudayaan.

 

Strategi budaya

      Permasalahan kebudayaan ini, telah dibedah pada  Kongres Kebudayaan Indonesia ke-13 (5-9  Desember 2018)  menghasilkan 7 (tujuh) agenda strategis pemajuan kebudayaan. Agenda, berupa: (1) Menyediakan ruang bagi keragaman ekspresi budaya dan mendorong interaksi untuk memperkuat kebudayaan yang inklusif, (2) Melindungi dan mengembangkan nilai, ekspresi, dan praktik kebudayaan tradisional untuk memperkaya kebudayaan nasional, (3) Mengembangkan dan memanfaatkan kekayaan budaya untuk memperkuat kedudukan Indonesia di dunia internasional.

     Strategi lainnya adalah: (4) Memanfaatkan obyek pemajuan kebudayaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, (5) Memajukan kebudayaan yang melindungi keanekaragaman hayati dan memperkuat ekosistem, (6) Reformasi kelembagaan dan penganggaran kebudayaan untuk mendukung agenda pemajuan kebudayaan dan (7) Meningkatkan peran Pemerintah sebagai fasilitator pemajuan kebudayaan.

       Bila kita konsisten melaksanakan semua agenda strategis kebudayaan, maka tujuh masalah kebudayaan teratasi,  akan melahirkan bangsa (Indonesia) yang berdaulat dalam politik, mandiri dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan (trisakti).  Namun bila kita tidak konsisten, bahkan tidak melaksanakan agenda strategis kebudayaan, maka bukan hanya akan terjadi “kecepatan” kerusakan tapi  terjadi “percepatan” kerusakan budaya bangsa.

 

Budaya  Pasbar

         Kabupaten Pasaman Barat,  lahir berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Solok Selatan, dan Kabupaten Pasaman Barat di Provinsi Sumatera Barat tanggal 18 Desember 2003. Kabupaten Pasaman Barat adalah pemekaran dari kabupaten induk Kabupaten Pasaman dengan ibu kabupaten baru di Simpang Empat. Pemekaran berlangsung tanpa konflik sosial.

            Pasaman” berasal dari kata “parsamoan” (Mandailing) dan kata “pasamoan”7 (Minangkabau) yang berarti  “kebersamaan”.  Kebersamaan dua etnis dominan yang mendiami  Pasaman –Pasaman Barat—yaitu etnis Minangkabau dan etnis Mandailing. Pasaman Barat adalah daerah demarkasi,  “rantau”  benturan budaya antara etnis Minangkabau (selatan) dengan  Mandailing (utara). 

Dari 11 (sebelas) kecamatan di Kabupaten Pasaman Barat, 5 (lima) kecamatan dominan berbahasa Mandailing dan  6 (enam) kecamatan berbahasa Minangkabau.  Namun dalam satu kecamatan bisa saja beberapa nagari (desa) memiliki bahasa berbeda. Bahkan dalam satu nagari (desa) bisa saja terdapat beberapa kampung (adat) memiliki bahasa berbeda.

Secara teoritis, etnis Minangkabau dan etnis Mandailing memiliki banyak perbedaan bahkan  pertentangan budaya.  Etnis Minangkabau menggantungkan garis keturunan dari ibu (matriarchat) sedangkan etnis Mandailing mengambil keturunan dari ayah (patriarchat). Etnis Minangkabau berbahasa Minang sedangkan etnis Mandailing  berbahasa Mandailing, dan kedua bahasa tidak memiliki kemiripan. 

Pola budaya perkawinan, etnis Minangkabau yang “semenda” (beli laki-laki) dimana pengantin laki-laki tinggal pada keluarga istri dan pola budaya etnis Mandailing dengan sistem “jujur” (perempuan yang dibeli) dimana pengantin perempuan tinggal pada keluarga suami. Demikian juga budaya anak laki-laki Minangkabau untuk merantau sedangkan budaya anak laki-laki Mandailing tinggal di kampung untuk menjaga trah keturunan dan harta keluarga.

Mereka menyatu dalam filosofi budaya Sumatera Barat dengan “tuah sakato” dan filsofi budaya Pasaman Barat dalam “ tuah basamo”. Bertuah dan kebersamaan semua etnis di Pasaman Barat. Semoga .....

 

No comments:

Post a Comment