Tulisan
Dr.Ir.Hamzah Lubis,SH.M.Si berjudul: “ Bahasa Ibu, Bahasa Mandailing”, telah
dimuat ada SK.Perestasi di Medan,
No.474, tanggal 28 Oktober 2015, hal.7, kol. 1-4
Hamzah Lubis,
Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim
Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal Medan *Pusat Kajian Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS
HAM-RI
*KSA XLII/1999 LEMHANNAS
*aktifis hukum/ham/lingkungan/pendidikan
Apakah anda berbahasa ibu? Orang yang
berbahasa ibu “Mandailing” adalah penutur
asli (native speaker), yakni yang
menguasai bahasa Mandailing sejak anak-anak secara alamiah dan menggunakannya
sebagai bahasa pertama. Menurut Kamus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi IV,
bahasa ibu adalah bahasa yang pertama yang dikuasai manusia sejak lahir melalui
intraksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya seperti keluarga dan
masyarakat lingkungannya. Bahasa Inggris menyebut bahasa ibu sebagai mother tongue atau mother language. Sedangkan bahasa daerah adalah
bahasa yang lazim dipakai di suatu daerah.
Lembaga PBB, UNESCO pada tanggal 17 Nopember
1999 telah menetapkan setiap tanggal 21 Februari sebagai Hari Internasional Bahasa Ibu. Di Indonesia
dan juga di Mandailing , gaung hari bahasa ibu tidak terdengar. Padahal
sebagian besar masyarakat Indonesia masih menggunakan bahasa ibu, misalnya bahasa Mandailing sebagai bahasa
pertama4. Bahasa ibu, misalnya bahasa Mandailing sudah teralinasi oleh bahasa
nasional bahasa Indonesia dan bahasa asing “Inggris” di bumi Mandailing sendiri
oleh orang Mandailing sendiri.
Asal mula Bahasa Mandailing
Bahasa
Mandailing, adalah salahsatu bahasa daerah di Sumatera Utara. Bahasa Mandailing
berinduk dari bahasa Austrik. Bahasa Austrik pada awalnya digunakan digunakan
masyarakat Yunan, Tiongkok Selatan. Bahasa Austrik kemudian berkembang menjadi
dua bahasa yakni Austro-Asiatik dan Austronesia. Bahasa Austro-Asiatik
digunakan di sekitara Asia Tenggara daratan sedangkan bahasa Austronesia
digunakan di wilayah kepulauan seperti Taiwan, Filipina, Pasifik, Madagaskar
hingga Pulau Paskah. Kemudian, para ilmuan menggolongkan penyebutan berdasarkan
bahasanya menjadi penyebutan nama berdasarkan ras masyarakatnya.
Masyarakat
penutur Austro-Asiatik dari Yunan bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja lewat
Malaysia hingga Sumatera, Jawa dan Kalimantan sekitar pada 4.300-4.100 tahun
lalu. Salahsatu penandanya adalah temuan tembikar berhias tali yang bentuknya
sama dengan tembikar di selatan Tiongkok
hingga Taiwan. Kemudian, pada 4.000-an tahun lalu muncul arus migrasai penutur
Austronesia lewat sisi timur Indonesia. Arus migrasi ini muncul mulai dari
Sulawesi, Kalimantan dan sebagian ke selatan seperti Nusa Tenggara hingga menuju
Jawa dan Sumatera.
Oleh karena itu, menurut Staf ahli Menteri
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Hari Untoro Dradjat mengatakan suku Toraja, Nias
dan Batak sama-sama keturunan penutur Austronesia. Ada kesamaan filosofi budaya
diantara ketiga suku ini, terutama pada soal
menjaga keharmonisan hubungan
manusia, lingkungan, dan hewan. Budaya material dan arsitektur dengan
lengkungan di atap rumah juga sama. Ketiga suku masih mempertahankan jejak
megalitik yang sama berupa batu-batu besar poelengkap ritual adat, kesamaan
folosofi budaya dan arsitektur.
Bahasa Etnis Dunia
Terdapat 7.102 bahasa di dunia. Jumlah
bahasa di Asia 2.301, di Afrika 2.138, di Pasifik 1.313, di Amerika 1.064 dan
di Eropa 286 bahasa. Jumlah penutur bahasa
asli terbanyak adalah bahasa Tionghoa (semua dialek) sebanyak 1,39
milyar, disusul bahasa Hindu-Urdu 588 juta, bahasa Inggris 527 juta, bahasa
Arab 467 juta, bahasa Spanyol 389 juta, Bengali 250 juta, Portugis 193 juta, Rusia 254 juta, Perancis
118 juta, Jepang 123 juta, Jerman 132 juta, Italia 67 juta.
Jumlah negara yang menggunakan bahasa:
bahasa Iggris 101 negara, bahasa Arab 60 negara, bahasa Perancis 51 negara,
bahasa Tiongkok 33 negara, bahasa Spanyol 31 negara, bahasa Persia 29 negara,
bahasa Jerman 18 negara, bahasa Rusia 16 negara, bahasa Melayu 13 negara dan
bahasa Portugis 12 negara. Jumlah orang yang mempelajari bahasa: bahasa Ingris
1,5 milyar, bahasa Perancis 82 juta, bahasa Tiongkok 30 juta, bahasa Spanyol
14,5 juta, bahasa Jerman 14,5 juta dan bahasa Jepang 3 juta. Negara yang
memiliki jumlah bahasa daerah tertinggi adalah Papua Nugine sebanyak 800 bahasa
disusul Indonesia dengan 749 bahasa.
Data bahasa Daerah
Jumlah bahasa daerah di Indonesia sebanyak 749
bahasa. Dari 749 bahasa hanya 5 persen
yang mempunyai aksara, termasuk diantarnya aksara Mandailing. Kondisi bahasa
daerah ini diperkirakan pada akhir abad ke-21 yang bertahan hanya 75 bahasa
daerah. Beberapa bahasa daerah berpenutur sedikit bahkan tinggal beberapa orang
saja. Misalnya penurut bahasa Panosakan
di Kabupaten Minahasa Tenggara tersisa 20 orang itupun sebagian sudah berusia
60 tahun. Penutur bahasa Kao di Maluku Utara hanya memiliki 10 penutur, itupun
sudah berusia di atas 50 tahun. Demikian juga penutur bahasa Siladang di Muara
Sipongi, Tapanuli Selatan.
Kondisi bahasa daerah yang menjadi bahasa
ibu kondisi kritis. Menurut Pusat Kajian Bahasa, Sastra dan Budaya Indonesia, setidaknya
13 bahasa lokal telah punah, 75 bahasa lokal hampir punah dan 268 bahasa lokal
terancam punah. Data organisasi pendidikan dan kebudayaan PBB (UNESCO) sebanyak
139 bahasa daerah di Indonesia terancam
punah, 154 bahasa harus diperhatikan dan 15 bahasa daerah telah punah.
Mengembalikan Bahasa Mandailing
Dapat dipastikan, bahwa masyarakat Indonesia
pada awalnya memiliki bahasa ibu, yang menjadi bahasa daerah pada etnis
tertentu di Indonesia. Saat ini, bahasa
daerah dianggap sebagai anakronis, ketinggalan zaman bahkan keliru zaman. Dalam
rumah tangga yang berbahasa ibu Mandailing dan tinggal di daerah yang berbahasa
daerah Mandailing, banyak keluarga menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa
pertama dan bahasa Inggris menjadi bahasa kedua. Bila hal ini berkelanjutan,
masa bahasa Mandailing pada satu saat hanya akan menjadi sebuah nama. Padahal
bahasa adalah entitas budaya dari etnis. Hilangnya bahasa Mandailing, akan diikuti kehilangan
budaya dan etnis Mandailing. Pemerintah
juga harus menyadari, hilangnya bahasa Mandailing merugikan bangsa Indonesia,
karena keanekaragaman bahasa sebagai salahsatu unsur penting pembentuk
kebudayaan.
Masyarakat Mandailing harus menyadari hal
ini. Dan memang, hanya orang Mandailing-lah yang paling pas melestarikan atau
mengembangkan bahasa dan budaya etnisnya, sebab penguasaan bahasa etnik
meliputi aspek rasa, cara berfikir dan budaya. Jangan berharap etnis lain akan
memikirkan dan menyelamatkan bahasa Mandailing. Bila anda sepakat, ayo lakukan
sesuatu! ***
No comments:
Post a Comment