Tulisan Dr.Ir.Hamzah Lubis,SH.,M.Si berjudul:
“Kegamangan Politik Nahdiyyin” telah dimuat pada Hr. Perestasi di Medan, tanggal 29 April
2010, hal.1 Kol.5-6; diterbit ulang pada
Tabloit NU News, No. 10 Edisi Minggu
ke-1 Nopember 2011, hal.8, kol.1-4
Hamzah Lubis,
Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim
Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal Medan *Pusat Kajian Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS
HAM-RI
*KSA XLII/1999 LEMHANNAS
*aktifis hukum/ham/lingkungan/pendidikan
Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-32 di Makasar yang
menghasilkan duet KH.MA.Sahal Mahfudh sebagai Rais Am Syuriah dan KH.Said Aqiel Siradj sebagai Ketua Umum Tanfidziyah
Pengurus Besar memberi harapan besar tampil kekuatan sipil yang independen.
Namun kepercayaan tidak dalam tarikan politik mulai sirna ketika Said Aqiel “memanupulasi” peran formatur
serta menyodorkan susunan kabinet “biru”. Masuknya orang-orang yang dekat
istana, birokrat, tidak dikenal bahkan wakil BIN duduk menjadi Wakil Ketua
Umum. Riak-riak penolakan dengan berbagai sudut pandang mulai bermunculan.
Keputusan Muktamar NU ke-27 di Situbondo, Jawa Timur,
mengembalikan NU sebagai organisasi sosial keagamaan dan kemasyarakatan,
dengan sikap NU secara organisatoris
melepaskan diri dari kepentingan politik; dalam aplikasinya berat dilaksanakan.
Bahkan kembali ke ‘khittah” telah berdampak negatifnya dengan terjadinya
fragmentasi pilihan politik warga Nahdliyin, memudarnya keterikatan dengan
institusi partai politik ke-NU-an dan juga keagamaan serta meningkatnya simpati warga NU kepada
partai-partai nasionalis dan “a-aswaja”.
Hal ini terlihat,
pada hasil pemilu terakhir era Orde Baru tahun 1977 sebaran pilihan warga NU lebih besar ke
Golkar (40,1%), PPP (18,3%) dan PDI (18%). Pemilu 1999, pilihan warga NU untuk Golkar (27%),
PDI-P (23,3%) dan PKB (14,7%). Pemilu
2004, suara warga Nahdliyin untuk Partai Demokrad (28,2%), Golkar (18,1%),
PDI-P (16,3%) dan PKB (10%). Pemilu 2009, suara jamaah NU untuk Demokrat
(29,8%), PDI-P (19,4%), Golkar (16,3%), PKS (9,1%), PPP (7,1%),
PKB (5,9%) dan PKNU (1,3%).
Data-data di atas menunjukkan
bahwa potret warga NU semakin tidak terlalu terikat dengan institusi politik warga NU. Warga NU
semakin tidak berafliasi dengan “partai-partai NU” seperti PKB yang dilahirkan
oleh NU, demikian juga PKNU dan PNU yang dalam catatan sejarah kelahirannya
dibidani oleh tokoh dan warga NU. Ketidakterikatan afliasi warga NU bukan saja
kepada partai politik ke-NU-an tetapi bahkan sampai kepada personal tokoh-tokoh
NU. Misalnya kekalahan Dr. S.Arif Simatupang,S.Ps.(Ketua PC.NU Kota Sibolga,
basis NU) pada Pilkada Kota Sibolga
tahun 2007; kekalahan H.Abdul Wahab Dalimunthe,SH (Muhtasyar PW NU
Sumatera Utara) pada Pilgub. Sumatera
Utara tahun 2008 dan kekalahan KH.Hazim Muzadi Ketua Umum PB NU pada Pilpres
2004 (kalah dengan SBY Jawa Timur, basis NU).
Hasil penelitian yang dipublis
Kompas (1/4/09) bahwa pilihan politik warga NU terhadap pandangan keagamaan
partai: tidak berpengaruh( 40,6%), sangat mempengaruhi (8,5%),
berpengaruh (23,9%), kurang berpengaruh (9,3%), cukup berpengaruh
(12,1%). Perubahan pradigma siyasah (politik warga NU), menyebabkan pilihan warga tercerai-berai dan bahkan
sebagian besar pilihannya pada partai-partai nasionalis dan partai “a aswaja) yang tidak punya keterikatan historis atau
budaya dengan NU, bahkan kebijakan partai-partai tersebut banyak merugikan
eksistensi ke-Islam-an dan atau ke-NU-an. Pada pilcaleg, Pilpres, Pilgub,
Pilbup/wal; warga NU seperti cerita
“nasib kambing” dalam Mukaddimah Al-Qaanunil
Asaasy yang disampaikan 83 tahun
lalu oleh Rais Akbar KH.Muhammad Hasyim Asy’ari, yang berbunyi:
“Mereka (baca: warga NU) telah
menjadi seperti kata orang, kambing-kambing yang berpencaran di padang terbuka.
Berbagai binatang buas telah mengepungnya. Kalau sementara mereka tetap
selamat, mungkin karena binatang buas belum sampai kepada mereka (dan pasti
suatu saat akan sampai kepada mereka), atau karena saling berebut telah
menyebabkan binatang buas itu saling berkelahi sendiri antara mereka. Lalu
sebagian mengalahkan yang lain. Dan yang menangpun akan menjadi perampas dan
yang kalah menjadi pencuri, Sikambingpun jatuh antara si perampas dan si
pencuri”. Tragiskan!
Tugas pokok NU adalah tugas
keagamaan, tugas kebangsaan serta keummatan. Dalam tugas keagamaan NU
menghadapi tantangan aqidah dan syariah. Dari segi aqidah, sekarang Marxisme
dibungkus sosialisme tumbuh lagi. Dari kiri
NU digerogoti liberalisasi yang
pikirannya sendiri mulau mengkritik Rasulullah, mengkritik Al Quran dan
mengkritik hadist; dan ini malah dilakukan dan dimotori anak-anak NU. Dari segi
syariah, Aswaja berhadapan dengan Syiah dan Khawarij yang kini semakin
berkembang dan ekstrem. Di desa-desa, NU
berhadapan dengan ”a-aswaja” yang mengharamkan tahlil dan salawat. Gerakan ”a-aswaja”
ternyata telah berhasil merebut banyak mesjid
Ahlussunnah waljamaah dan jamaahnya.
Menghadapi kondisi kritis seperti ini,
seharusnya NU memiliki lembaga politik di semua tingkat jajaran organisasi. PKB
yang dilahirkan NU semakin mengecil , semakin menjauh serta tidak bisa
diharapkan menjadi sayap politik NU bahkan menjadi beban bagi jamaah dan jamiah
NU. PPP sebagai fusi Partai NU selain terus mengecil
dan tidak dapat berharap banyak. PKNU dan PNUI yang didirikan tokoh-tokoh NU
bahkan tidak lolos ET. Partai-partai nasionalis dan atau partai “a-aswaja” selain
tidak memiliki faktor “X”, juga tidak mungkin diharapkan akan membela NU dan
paham ke-NU-an, yang terjadi adalah pemberangusan nilai-nilai ke-Islam-an dan
atau ke-NU-an.
Beranjak dari kondisi ini, ternyata membebaskan warga
untuk membebaskan pilihan politiknya sebebas-bebasnya, menjadi “gol bunuh diri”
dan secara langsung atau tidak langsung “menggusur” NU. Menentukan pilihan
adalah hak konstitusi warga negara, tetapi institusi NU punya hak dan kewajiban
untuk mengingatkan jamaahnya, untuk
memberi arahan pilihan terbaik kepada ummat, pemberian pencerahan dan
pengenalan sosok-sosok pemimpin baik lokal, regional maupun nasional. Hal ini
sejalan dengan tausyiyah Konbes NU tahun 2006, bahwa telah terjadi kebuntuan komunikasi dikalangan politisi warga NU, sehingga perlu
kajian penyaluran aspirasi warga nahdliyin, sehingga Munas Alim Ulama dan Konbes menyerukan
agar PB NU membentuk Komisi Mashalih ‘Ammah (yang mengurusi antar lain mashlahah
siyasiyyah).
Ketika pilkada dimulai, “mashlahah siyasiyyah” ini
ditunggu jamaahnya. Atau akan menjadi kambing-kambing di padang gembala siap
diterkam mangsa seperti nasihat KH.Hasyim Asyari, pendiri NU dalam khutbah iftitahnya? Waktu akan menjawabnya.
*Pemulis adalah mantan pengurus PMII
(Cabang, Korcab, PB.), LS.Mabarrot-NU, LPTKNU, Lakpesdam-NU dan PW-NU-SU.
No comments:
Post a Comment