Dr.Ir.Hamzah Lubis, SH.,M.Si berjudul “Pengelolaan
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Masyarkat Adat” adalah makalah pada kegiatan Peningkatan Kapasitas
Masyarakat Pesisir, yang dilaksanakan Bappeda Provinsi Sumatera Utara
bekerjasana dengan Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas Sumatera Utara di
Hotel Antares, Medan, tanggal 8 Nopember 2007
Hamzah Lubis,
Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim
Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal Medan *Pusat Kajian Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS
HAM-RI
*KSA XLII/1999 LEMHANNAS
*aktifis hukum/ham/lingkungan/pendidikan
Konsep pembangunan berkelanjutan dalam perumusan
kebijakkan pembangunan suatu negara, sebenarnya sudah disepakati dalam
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Jenero 1992. Pembangunan
berkelanjutan yang disepakati dunia dibangun di atas 16 prinsip utama yang
salahsatu diantaranya adalah prinsip subsidiarity. Perinsip
subsidiarity, adalah keputusan yang
terbaik bagi pengelolaan lingkungan dibuat oleh tingkatan pemerintah
maupun kemasyarakatan yang paling
rendah.
Sebenarnya hak – hak masyarakat adat diakui dan telah
diatur dalam instrumen hukum konvensi ILO Nomor 109 tahun 1984 tentang
Masyarakat Adat dan Penduduk Pribumi
Asli Negara Merdeka, konvensi PBB
tentang Keanekaragaman Hayati (Ratifikasi UU No.5/1994), Perjanjian tentang Hak
–Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (1996),
Deklarasi dan
Program Aksi Wina yang telah disetujui Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia
tanggal 25 Juni 1993 yang mengakui hak-hak masyarakat tradisionil, seperti di
bawah ini:
“ Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia mengakui martabat
yang inheren dan kontribusi unik dari masyarakat asli terhadap pembangunan
serta pluralitas masyarakat, dan dengan sangat menegaskan kembali komitment
masyarakat internasional terhadap kesejahteraan ekonomi, sosial dan budaya
mereka, serta untuk memungkinkan mereka menikmati hasil dari pembangunan yang
berkesinambungan.
Negara harus menjamin adanya partisipasi masyarakat asli
yang bebas dan seutuhnya dalam seluruh asfek masyarakat, terutama yang
menyangkut hal-hal yang menjadi kepedulian mereka. Dengan mempertimbangkan pentingnya pemajuan
dan perlindungan hak dari penduduk asli, serta konstribusi pemajuan dan
perlindungan tersebut terhadap stabilitas politik dan sosial di negara-negara
dimana masyarakat semacam itu berada, negara-negara harus sesuai dengan hukum internasional,
mengambil langkah-langkah bersama yang positif dalam menjamin adanya
penghormatan terhadap semua hak asasi
manusia dan kebebasan asasi dari penduduk asli, berdasarkan persamaan hak dan
non diskriminasi, serta mengakui nilai dan keanekaragaman dari identitas,
kebudayaan dan organisasi sosial mereka
yang berbeda”.
Demikian juga
terlihat pada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, pada pasal
27 dijelaskan :
“Di negara-negara dimana
terdapat golongan minoritas berdasarkan etnis, agama atau bahasa, orang-orang
yang tergabung dalam kelompok-kelompok minoroitas tersebut tidak dapat
diingkari haknya, dalam, komunitas
bersama anggota lain dari kelompok mereka, untuk menikmati budaya mereka sendiri,
untuk menjalankan dan mengamalkan agama mereka
sendiri, atau untuk menggunakan bahasa mereka sendiri”.
Dasar Hukum Nasional
Perangkat Hukum Nasional Indonesia yang “beradat”
kembali mengakui masyarakat adat dengan hukum adatnya setelah dilakukan
amandemen UUD 1945 pada pasal 18 B ayat
(2) yang berbunyi : “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI”. Padahal lain, pasal 28-I ayat (3) : “Indentitas budaya dan hak masyarakat
tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Pada UUD 1945 (sebelum diamandemen) hanya pada penjelasan pasal 18.
Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok –Pokok Agraria memberi pengakuan hak adatnya. “Hak
menguasai negara tersebut diatur
pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah SWATANTRA masyarakat-masyarakat hukum adat,
sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional, menurut
ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah”(pasal 2 ayat 4). Pelaksanaan hak-ulayat dan hak-hak yang
serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta
tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan – peraturan lain
yang lebih tinggi .
UU No.41 tahun
1999 tentang Kehutanan memberi pengakuan
atas keberadaan hukum adat atas hutan. Diantaranya di jelaskan : “Penguasaan hutan oleh negara tetap
memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya , serta
tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional” (pasal 4 ayat 3). Hutan
ditetapkan sebagai hutan adat oleh
pemerintah sepanjang menurut
kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui
keberadaannya.
Hak-hak masyarakat adat atas hutan (pasal 67, ayat
1) berupa :
1. melakukan pemungutan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
2. melakukan kegiatan pengelolaan hutan
berdasarkan hukum adat yang berlaku dan
tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
3. mendapat pemberdayaan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraannya.
UU
No.27 th.2007 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan Pulau-pulau Kecil
mengakui dengan jelas hak masyarakat adat atas pesisir dan pulau-puau kecil.
Pada Pasal 61 ayat (1) dijelaskan bahwa: “Pemerintah
mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat
Tradisional, dan Kearifan Lokal atas Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
telah dimanfaatkan secara turun – temurun”. Ayat (2): “Pengakuan hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan
Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan acuan dalam Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang berkelanjutan”.
Banyak perundangan yang
mengakui tentang masyarakat hukum adat seperti pada UU No.29 tahun 1999 Hak Asasi Manusia, ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya dan lain-lain.
Defenisi Masyarakat Adat
Masyarakat adalah kelompok masyarakat pesisir yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan asal usul leluhur, adanya hubungan
yang kuat dengan sumberdaya pesisir dan
pulau-pulau kecil, serta adanya sistem nilai
yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum ( Pasal-1).
Defenisi masyarakat lainnya adalah :
a.
Masyarakat lokal adalah
kelompok masyarakat yang menjalankan
tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum tetapi
tidak sepenuhnya bergantung pada
sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil.
b. Masyarakat tradisionil adalah
masyarakat prikanan tradisionil yang masih
diakui hak tradisionilnya dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan atau
kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu yang berada dalam perairan pulauan sesuai dengan kaidah hukum laut
internasional .
Persyaratan
Pengesahan Masyarakat Adat
Menurut perundangan yang berlaku, masyarakat hukum adat
diakui keberadaannya oleh pemerintah ,
jika menurut kenyataannya
memenuhi unsur antara lain :
1.masyarakatnya masih dalam bentuk penguyuban (rechtsgemeenschap);
2.ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
3.ada wilayah hukum adat yang jelas;
4.ada pranata dan perangkat hukum , khususnya peradilan adat, yang
masih ditaati; dan
5.masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Pengukuhan keberadaan masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah dengan
mempertimbangkan:
a. hasil
penelitian para pakar hukum adat,
b. aspirasi
masyarakat setempat,
c. tokoh
masyarakat adat yang ada didaerah
bersangkutan ,
d.instansi atau pihak
lain yang terkait.
Kewenangan Bidang Pesisir dan PPK
Perundang-undangan memberi
kewenangan kepada masyarakat adat untuk berperanserta dalam pengelolaan WP3K,
yang meliputi kewenangan:
1.Peranserta Dalam
Perencanaan
Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil terdiri atas: (a)
rencana strategis Wp3K, (b) rencana
zonasi WP3K, (c) rencana pengelolaan WP3K dan (d) rencana aksi WP3K. Pemerintah daerah dalam menyusun rencana
pengelolaan WP3K dengan melibatkan
masyarakat berdasarkan norma, standart dan pedoman dilakukan melalui
konsultasi publik dan/ atau musyawarah
adat baik formal maupun nonformal (pasal 7).
2. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir
(Hp3)
Hak pengusahaan perairan pesisir adalah hak
pengusahaan air laut, kolom air laut sampai permukaan dasar laut (pasal 16). HP-3 dapat diberikan kepada individu,
badan usaha dan masyarakat adat
selama 20 tahun yang dapat diperpanjang untuk kedua kalinya. Dalam pemberian
HP-3 wajib memperhatikan kepentingan kelestarian pesisir dan pulau-pulau kecil,
masyarakat adat dan kepentingan
ekonomi serta hak lintas damai bagi kapal
asing .Salah satu kewajiban
operasional pemegang hak HP-3 adalah: “(1) mengakui,
menghormati, dan melindungi hak-hak
masyarakat adat dan atau masyarakat
lokal, (2) memperhatikan hak masyarakat adat
untuk mendapatkan akses ke sempadan pantai dan muara sungai “.
Untuk pemamfaatan pulau-pulau
kecil dan perairan di sekitarnya yang
telah digunakan untuk kepentingan masyarakat, Pemerintah atau Pemerintah
Daerah menerbitkan HP-3 setelah
melakukan musyawarah dengan masyarakat yang bersangkutan.
3. Hak Pengawasan dn Pengendalian
Masyarakat mempunyai peran penting dalam
pengawasan dan pengendalian wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil melalui (pasal 36):
(a)
perencanaan pengelolaan dengan berdasarkan
adat budaya dan praktik-praktik yang lazim
atau yang telah ada di dalam masyarakat,
(b)
pelaksanaan pengelolaan dengan memunculkan kreativitas dan
kemandirian dalam hal jumlah dan
variasi pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil sehingga dapat
meningkatkan aktvitas ekonomi di
tempat-tempat sebelumnya belum dapat dimamfaatkan, sehingga wilayah kegiatan
pengawasan dan pengendalian dapat diperluas,
(c) penyelesaian konflik
mengenai aturan - aturan baru yang sengaja dibuat oleh masyarakat karena
kebutuhan sendiri ataupun aturan-aturan yang difasilitasi oleh pemerintah.
4. Pengakuan Penyelesaian Sengketa Adat
Penyelesaian sengketa dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil ditempuh melalui pengadilan dan /atau di luar pengadilan
(pasal 64). Penyelesaian sengketa diupayakan untuk diselesaikan di luar
pengadilan, dilakukan para pihak dengan
cara konsultasi, penilaian ahli, negoisasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase atau
melalui adat istiadat/kebiasaan/ kearifan
lokal. Penyelesaian sengketa di
luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan
besarnya ganti kerugian dan/atau mengenai tindakan tertentu guna mencegah
terjadinya atau terulangnya dampak besar akibat tidak dilaksanakannya
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
5. Perlindungan Kawasan
Lindung Adat
Konservasi Wp3K untuk menjaga
kelestarian ekosistem, melindungi alur
migrasi ikan dan biota laut, melindungi habitat biota laut dan
melindungi situs budaya tradisional seperti tempat tenggelam kapal khusus,
situs sejarah kemaritiman, tempat ritual keagamaan atau adat. Kawasan konservasi
yang m emiliki ciri khas seperti wilayah yang diatur oleh adat tertentu
misalnya sasi, mane’e, panglima laot, awig-awig, dan atau istilah lain adat
tertentu (pasal 28). Pengusulan kawasan konservasi dapat dilakukan oleh perseorangan, kelompok masyarakat ataupun
Pemerintah / Pemerintah Daerah. ( misal
hutan mangrove Siage, terumbu karang silaia Kp.Sawah, Jago-jago?).
Penutup
Beranjak dari konsep otonomi daerah dan pengakuan atas
masyarakat adat lokal, maka pembangunan Indonesia seyogianya berbasis peran
serta masyarakat yang melibatkan masyarakat adat. Konsep pembangunan
partisipatif berbasis adat lokal ternyata telah terbukti berhasil dalam
pengelolaan sumberdaya alam dan telah diadopsi
PBB pada 57 negara di dunia dalam bentuk hutan kemasyarakatan. Maka
selayaknya dalam tataran oprasional, hak-hak
masyarakat adat dan peranserta masyarakat adat dalam pengelolaan sumberdaya
alam pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi keharusan.********
*Disampaikan tgl.08 Nopember
2007 di Hotel Antares, Medan
**Ir.Hamzah Lubis, SH, MSi adalah dosen, aktifis lsm dan pemerhati
pesisir dan pulau
Pulau kecil, tinggal di Medan.
No comments:
Post a Comment