Hamzah Lubis,
Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim
Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal Medan *Pusat Kajian Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS
HAM-RI
*KSA XLII/1999 LEMHANNAS
*aktifis hukum/ham/lingkungan/pendidikan
Bangsa Indonesia harus bersyukur, bahwa Menteri Luar Negeri Indonesia Marty
Natalegawa dan Menteri Luar Negeri
Filipina Albert F Del Rosario disaksikan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono
bersama Presiden Filipina Benigno S
Aquino III, telah menandatangani batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) antara Indonesia dengan
Filipina di Manila, 23 Mei 2014. Perundingan batas ZEE selama lebih 20 tahun
dengan Filipina, masih menyisakan batas Laut Teritorial, batas Landas
Kontinental dan turunannya misalnya perjanjian perikanan. Penandatanganan ini,
ibarat setetes air ditengah dahaga atas permasalahan tapal batas negara
Indonesia.
Kasus Sengketa
Perbatasan
Dibanding isu perbatasan Indonesia dengan Filipina, Vietnam, Miyanmar,
Palau, Singapura dan Australia, maka isu perbatsan dengan Malasyia yang
sensitif dan sering ”turun” dan ”naik” tensinya. Batas negara Indonesia, ”terlalu sering” dipecundangi negara tetangga
”serumpun” Malaysia. Ketika kedua negara menyepakati Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan dalam status quo, diam-diam Malaysia membangun kedua pulau (untuk
bukti), kemudian menggugat Indonesia ke
Mahkamah Internasional . Karena Malaysia
telah memiliki bukti continuous present, effective occupation dan maintainance and
ecological reservation atas
kedua pulau, maka Indonesia dikalahkan Mahkamah Internasional tanggal 17
Desember 2002. Dengan strategi yang sama, Malaysia mencoba menguasai secara depacto wilayah Indonesia yang
batas-batasnya masih disengketakan maupun yang sudah disepakati.
Pada tahun 2009, Malaysia mengerahkan Angkatan Laut dan Angkatan Udaranya
untuk menguasai blok Ambalat yang kaya minyak. Penguasaan Ambalat ini didahului
pemberian konsesi penambangan minyak lepas pantai di blok Ambalat pada perusahaan
Petronas (Malaysia) dan Shell (Amerika Serikat) tanggal tanggal 16 Februari
2005. Ambalat adalah dasar laut
(landas kontinen) yan berada lebih dari 12 mil dari baseline di sebelah timur Pulau Kalimantan yang berada dibawah
rezim Laut Tambahan Indonesia, rezim Laut ZEE Indonesia dan dalam Landas
Kontinen Indonesia. Pada hal Malaysia telah menyepakati garis batas darat di
Kalimantan melalui dan berhenti di ujung
timur pulau Sebatik pada 4o 10’ Lintang Utara yang
semestinya diteruskan ke-arah laut di sebelah timur sebagai garis batas maritim
yang memasukkan blok Ambalat masuk Indonesia.
Pada tahun
2014, Malaysia semakin berani dengan menganeksasi selebar 400 meter wilayah laut teritorial
Indonesia. Angkatan Laut Diraja
Malaysia, tanggal 17 Mei sampai 19 Mei 2014
membangun rambu suar berada 400
meter di laut teritorial Indonesia di
Tanjung Datu, Kalimantan Barat. Selama ini, Malaysia memperlakukan Tanjung Datu
seolah-olah menjadi wilayah negara Malaysia,
kapal-kapal pesiar leluasa bersandar dan penumpangnya leluasa turun menikmati
pantai Tanjung Datu. Nasib yang mirip serupa terjadi di Gunung Raya, Sungai
Buah, Batu Aum di Kalimantan Barat, Sungai Simantipal, Sungai Sinapad dan Pulau
Sebatik di Kalimantan Timur.
Menurut catatan
TNI Angkatan Laut, angkatan laut dan angkatan udara Malaysia telah 76 kali
memasuki wilayah Indonesia selama tahun 2007, sebanyak 23 kali selama tahun
2008 dan sebanyak 13 kali sampai tanggal 8 Juni 2009. Padahal Indonesia memiliki 12 kementerian dan
lembaga yang menangani keamanan laut. Masalah batas negara
bukan sekedar berbicara
patok-patok batas, tapi menyangkut
jati diri, harga diri,
wibawa dan martabat bangsa.
Rezim hukum laut
Pada
awal kemerdekaan, lebar laut teritorial Indonesia yang diakui hanya 3 mil
(Ordonansi 1930) sehingga sebagian laut diantara pulau-pulau Nusantara adalah
laut bebas. Wawasan Nusantara tidak dapat dilaksanakan. Oleh karena itu,
Pemerintah mengumumkan Deklarasi Juanda, Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelago state). tanggal 13
Desember1957 dan berbagai upaya diplotik lainnya.
Perjuangan
panjang dan melelahkan, akhirnya
konsepsi negara kepulauan diterima peserta konvensi UNCLOS-3. Dengan demikian lebar laut teritorial Indonesia bertambah dari 3 mil dari pantai pulau menjadi 12 mil dari
titik-titik terluar pulau yang menghubungkan Laut Kepulauan. Luas Laut Indonesia bertambah dari 100.000 km2
menjadi 5.800.000 km2 yang
terdiri atas Laut Teritorial dari 100.000 km2 menjadi 3,1 juta km2
dan Laut ZEE dari 0,0 km2
menjai 2.700.000 km2 dan luas
udara Indonesia bertambah dari 2.000.000 km2 menjadi 5.000.000 km2.
Luas Landas Kontinen Indonesia 200 mil namun dapat mencapai 350 mil. Indonesia
dapat pula mengelola kepentingannya di luar ZEE (di Laut Bebas) dan di luar Continental Margin di dasar Laut
Internasional.
UNCLOS membagi
laut atas berbagai rezim hukum laut. Secara umum, penulis mengelompokkan atas
Rezim Hukum Perairan Indonesia, Rezim Hukum
Dualisme dan Rezim Hukum Internasional. Rezim Hukum Perairan Indonesia
terdiri atas rezim hukum Laut Teritorial, Laut Kepulauan/ Nusantara dan Laut
Pedalaman (Closing lines). Yurisdiksi hukum di Perairan Indonesia
sebagai wilayah kedaulatan negara, berlaku sepenuhnya hukum nasional kecuali pada
bagian-bagian tertentu. Rezim hukum dualisme, terdiri atas rezim Laut Tambahan,
rezim Laut ZEE dan rezim Landas Kontinental.
Ketiga wilayah tersebut bukan wilayah Perairan Indonesia, negara hanya
memiliki hak-hak yang terbatas sebagai hak eksklusif (eksclusive rights).
Yurisdiksi hukum nasional di ketiga rezim hukum laut ini dapat berlaku
bila tidak bertentangan dengan UNCLOS dan hukum laut internasional lainnya.
Isu-isu
perbatasan
Permasalahan
Perairan Indonesia adalah: (1) Indonesia belum menetapkan Laut Pedalaman
Indonesia dan (2) belum ada
kesepakatan batas laut laut teritorial dengan: (a) Negara Filipina di Laut Sulawesi di selatan Mindanao antara
Pulau Merapit, Miagas dan Marore (b) negara Singapura dan Malaysia di Selat Malaka di sebelah timur
antara Batam sebelah timur dengan Changi
dan (c) negara Timor Leste di perairan pulau Batek. Isu lain, pengumuman RRC
tanggal 25 Februari 1992, tentang Hukum Laut Teritorial dan Zona Tambahannya yang memasukkan Kepulauan Natuna
(Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau).
Indonesia belum menetapkan Laut Tambahan,
kendati beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Vietnam, Australia
telah mengundangkan.
Tapal
batas landas kontinental yang belum disepakati: (a) dengan Malaysia di
Kalimantan Utara dengan masuknya Pulau Sipadan dan Ligitan ke Malaysia, (b)
dengan Filipina di kawasan utara Pulau Miagas dan Sangihe-Talaud, (c) dengan
Australia di Samudera Hindia kawasan selatan Pulau Jawa dengan Pulau Christmas
dan (d) dengan Vietnam di Laut China Selatan. Indonesia dapat mengajukan klaim perluasan landas kontinental
sampai 350 mil ke Commission On The Limits of
Continental Shelf (CLCS) berdasarkan
“outer edge of the continental margin”. Tahun 2010, Landas Kontinental Indonsia telah disetujui PBB bertambah seluas
4.209 km2 di Provinsi Nangro
Aceh Darussalam. Klaim serupa masih
mungkin dilakukan pada perairan Papua dan
Sumba, perairan selatan Nusa Tenggara Barat dan perairan utara Papua.
Dalam menentukan batas ZEE, negara
Thailand, Malaysia, Vietnam, Filipina dan Palau menginginkan batas sesuai
dengan batas landas kontinental yang telah disepakati. Indonesia mengajukan
batas berdasarkan keadaan geologi, topografi dan geomorfologi dasar laut . Tapal batas ZEE baru ada dengan Filipina
(2014) dan nota kesepahaman dengan
Australia (1981) namun harus
direvisi dengan berdirinya negara Timor
Leste.
Rezim hukum
internasional, adalah kawasan yang
berada dalam pengawasan lembaga internasional dengan yurisdiksi hukum
internasional. Area tersebut berupa
ruang udara di atas ZEE , ruang udara
dan kolom air Laut Bebas dan dasar laut
beserta tanah di bawahnya di luar landas kontinental negara pantai. Pengelolaan dan eksploitasi kekayaan alam
hayati di laut bebas khususnya yang menyangkut perikanan yang mengembara (straddling
stocks) dan ikan bermigrasi secara jauh (highly migratory species)
diatur organiasi kerjasama regional dan internasional. Dasar laut dan tanah di bawahnya dikelola
Otorita Dasar Laut Internasional (International
Seabed Authority, ISBA). Beberapa negara telah melakukan kontrak eksplorasi
dan eksploitasi dengan ISBA pada beberapa tempat di dasar laut bebas.
Penutup
Dari urian
tersebut, terlihat masih banyak tapal batas negara Indonesia dengan negara
tetangga yang belum tuntas. Masih banyak pekerjaan rumah bagi pemerintahan baru
tentang permasalahan “matirim” bangsa ini. Tapal batas Laut Teritorial saja
belum tuntas dengan semua negara tetangga demikian juga tapal batas Laut
Tambahan yang belum diundangkan, tapal batas
Landas Kontinental, klaim perluasan Landas Kontinental, tapal bayas
ZEE-Indonesia hanya baru selesai dengan negara Filipina, demikian konsesi
pemanfaatan asar laut dan tanah di bawahnya yang dikelola ISBA yang belum
diajukan. Selagi tapal batas dengan
negara tetangga belum tuntas, maka isu-isu perbatasan akan terus “genit” dan
siap membakar nasionalisme. Inilah salahsatu PR pemerinthan baru kita. Semoga pemerintahan baru dapat menyelesaikan permasalahan
batas-batas negara Indonesia dengan negara tetangga. Amin.***
*Dr. Ir. Hamzah Lubis, SH., M.Si adalah
intlektual NU tinggal di Medan, alumni S2/S3 Pengelolaan SDA Kelautan , KSA XLII/1999 Lemhannas , pemerhati lingkungan
dan sosial.
No comments:
Post a Comment