ISU-ISU PERBATASAN NKRI

Tulisan Dr.Ir. Hamzah Lubis,SH.M.Si berjudul: “ PR Pemerintahan Baru: Isu-Isu Perbatasan NKRI” telah dim uat pada  SK.Perestasi di Medan, No.451, tanggal 18 Agustus 2014, hal.7, kol. 1-5 
Hamzah Lubis, Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal  Medan *Pusat Kajian  Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS HAM-RI
*KSA XLII/1999 LEMHANNAS *aktifis hukum/ham/lingkungan/pendidikan



PR PEMERINTAHAN BARU: ISU ISU PERBATASAN NKRI

Bangsa Indonesia harus bersyukur, bahwa Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa dan  Menteri Luar Negeri Filipina Albert F Del Rosario disaksikan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono bersama  Presiden Filipina Benigno S Aquino III, telah menandatangani batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) antara Indonesia dengan Filipina di Manila, 23 Mei 2014. Perundingan batas ZEE selama lebih 20 tahun dengan Filipina, masih menyisakan batas Laut Teritorial, batas Landas Kontinental dan turunannya misalnya perjanjian perikanan. Penandatanganan ini, ibarat setetes air ditengah dahaga atas permasalahan tapal batas negara Indonesia.
Kasus Sengketa Perbatasan  
Dibanding isu perbatasan Indonesia dengan Filipina, Vietnam, Miyanmar, Palau, Singapura dan Australia, maka isu perbatsan dengan Malasyia yang sensitif dan sering ”turun” dan ”naik” tensinya. Batas negara Indonesia,  ”terlalu sering” dipecundangi negara tetangga ”serumpun” Malaysia. Ketika kedua negara menyepakati Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dalam status quo, diam-diam Malaysia membangun kedua pulau (untuk bukti),  kemudian menggugat Indonesia ke Mahkamah Internasional .  Karena Malaysia telah memiliki bukti continuous  present, effective occupation dan maintainance and ecological reservation atas kedua pulau, maka Indonesia dikalahkan Mahkamah Internasional tanggal 17 Desember 2002. Dengan strategi yang sama, Malaysia mencoba menguasai secara depacto wilayah Indonesia yang batas-batasnya masih disengketakan maupun yang sudah disepakati.
Pada tahun 2009, Malaysia mengerahkan Angkatan Laut dan Angkatan Udaranya untuk menguasai blok Ambalat yang kaya minyak. Penguasaan Ambalat ini didahului pemberian konsesi penambangan minyak lepas pantai di blok Ambalat pada perusahaan Petronas (Malaysia) dan Shell (Amerika Serikat) tanggal tanggal 16 Februari 2005. Ambalat adalah dasar laut (landas kontinen) yan berada lebih dari 12 mil dari baseline di sebelah timur Pulau Kalimantan yang berada dibawah rezim Laut Tambahan Indonesia, rezim Laut ZEE Indonesia dan dalam Landas Kontinen Indonesia. Pada hal Malaysia telah menyepakati garis batas darat di Kalimantan melalui dan berhenti  di ujung timur pulau Sebatik pada 4o 10 Lintang Utara yang semestinya diteruskan ke-arah laut di sebelah timur sebagai garis batas maritim yang memasukkan blok Ambalat masuk Indonesia.
Pada tahun 2014, Malaysia semakin  berani  dengan menganeksasi  selebar 400 meter wilayah laut teritorial Indonesia.  Angkatan Laut Diraja Malaysia, tanggal 17 Mei sampai 19 Mei 2014  membangun rambu suar berada  400 meter di laut  teritorial Indonesia di Tanjung Datu, Kalimantan Barat. Selama ini, Malaysia memperlakukan Tanjung Datu seolah-olah  menjadi wilayah negara Malaysia, kapal-kapal pesiar leluasa bersandar dan penumpangnya leluasa turun menikmati pantai Tanjung Datu. Nasib yang mirip serupa terjadi di Gunung Raya, Sungai Buah, Batu Aum di Kalimantan Barat, Sungai Simantipal, Sungai Sinapad dan Pulau Sebatik di Kalimantan Timur.
Menurut catatan TNI Angkatan Laut, angkatan laut dan angkatan udara Malaysia telah 76 kali memasuki wilayah Indonesia selama tahun 2007, sebanyak 23 kali selama tahun 2008 dan sebanyak 13 kali sampai tanggal 8 Juni 2009.  Padahal Indonesia memiliki 12 kementerian dan lembaga yang menangani keamanan laut.  Masalah batas negara  bukan sekedar berbicara  patok-patok batas, tapi menyangkut  jati diri,  harga diri, wibawa  dan martabat bangsa.
Rezim hukum laut
            Pada awal kemerdekaan, lebar laut teritorial Indonesia yang diakui hanya 3 mil (Ordonansi 1930) sehingga sebagian laut diantara pulau-pulau Nusantara adalah laut bebas. Wawasan Nusantara tidak dapat dilaksanakan. Oleh karena itu, Pemerintah mengumumkan Deklarasi Juanda, Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelago state). tanggal 13 Desember1957 dan berbagai upaya diplotik lainnya.
            Perjuangan panjang dan melelahkan, akhirnya  konsepsi negara kepulauan diterima peserta konvensi UNCLOS-3.  Dengan demikian lebar laut teritorial Indonesia bertambah dari 3 mil  dari pantai pulau menjadi 12 mil dari titik-titik terluar pulau yang menghubungkan Laut Kepulauan. Luas Laut  Indonesia bertambah dari 100.000 km2 menjadi 5.800.000 km2  yang terdiri atas Laut Teritorial dari 100.000 km2 menjadi 3,1 juta km2 dan Laut ZEE  dari 0,0 km2 menjai 2.700.000 km2  dan luas udara Indonesia bertambah dari 2.000.000 km2 menjadi 5.000.000 km2. Luas Landas Kontinen Indonesia 200 mil namun dapat mencapai 350 mil. Indonesia dapat pula mengelola kepentingannya di luar ZEE (di Laut Bebas) dan di luar Continental Margin di dasar Laut Internasional.
UNCLOS membagi laut atas berbagai rezim hukum laut. Secara umum, penulis mengelompokkan atas Rezim Hukum Perairan Indonesia, Rezim Hukum  Dualisme dan Rezim Hukum Internasional. Rezim Hukum Perairan Indonesia terdiri atas rezim hukum Laut Teritorial, Laut Kepulauan/ Nusantara dan Laut Pedalaman (Closing lines).  Yurisdiksi hukum di Perairan Indonesia sebagai wilayah kedaulatan negara, berlaku sepenuhnya hukum nasional kecuali pada bagian-bagian tertentu. Rezim hukum dualisme, terdiri atas rezim Laut Tambahan, rezim Laut ZEE dan rezim Landas Kontinental.  Ketiga wilayah tersebut bukan wilayah Perairan Indonesia, negara hanya memiliki hak-hak yang terbatas sebagai hak eksklusif (eksclusive rights).  Yurisdiksi hukum nasional di ketiga rezim hukum laut ini dapat berlaku bila tidak bertentangan dengan UNCLOS dan hukum laut internasional lainnya.
Isu-isu perbatasan
Permasalahan Perairan Indonesia adalah: (1) Indonesia belum menetapkan Laut  Pedalaman  Indonesia dan  (2) belum ada kesepakatan batas laut laut teritorial dengan: (a) Negara Filipina di  Laut Sulawesi di selatan Mindanao antara Pulau Merapit, Miagas dan Marore (b) negara Singapura dan  Malaysia di Selat Malaka di sebelah timur antara Batam sebelah timur dengan Changi  dan (c) negara Timor Leste di perairan pulau Batek. Isu lain, pengumuman RRC tanggal 25 Februari 1992, tentang Hukum Laut Teritorial dan Zona  Tambahannya yang memasukkan Kepulauan Natuna (Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau).  Indonesia belum menetapkan Laut Tambahan, kendati beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Vietnam, Australia telah  mengundangkan.
            Tapal batas landas kontinental yang belum disepakati: (a) dengan Malaysia di Kalimantan Utara dengan masuknya Pulau Sipadan dan Ligitan ke Malaysia, (b) dengan Filipina di kawasan utara Pulau Miagas dan Sangihe-Talaud, (c) dengan Australia di Samudera Hindia kawasan selatan Pulau Jawa dengan Pulau Christmas dan  (d) dengan Vietnam  di Laut China Selatan.  Indonesia dapat  mengajukan klaim perluasan landas kontinental sampai 350 mil ke  Commission On The  Limits of Continental Shelf  (CLCS) berdasarkan “outer edge of the continental margin”.  Tahun 2010, Landas Kontinental  Indonsia telah disetujui PBB bertambah seluas 4.209 km2 di  Provinsi Nangro Aceh Darussalam.  Klaim serupa masih mungkin dilakukan pada perairan Papua dan  Sumba, perairan selatan Nusa Tenggara Barat dan perairan utara Papua.
Dalam menentukan batas ZEE, negara Thailand, Malaysia, Vietnam, Filipina dan Palau menginginkan batas sesuai dengan batas landas kontinental yang telah disepakati. Indonesia mengajukan batas berdasarkan keadaan geologi, topografi dan geomorfologi dasar laut .  Tapal batas ZEE baru ada dengan Filipina (2014) dan nota kesepahaman dengan  Australia  (1981) namun harus direvisi dengan  berdirinya negara Timor Leste.
Rezim hukum internasional,  adalah kawasan yang berada dalam pengawasan lembaga internasional dengan yurisdiksi hukum internasional.  Area tersebut berupa ruang udara di atas ZEE ,  ruang udara dan kolom air Laut Bebas dan  dasar laut beserta tanah di bawahnya di luar landas kontinental negara pantai.  Pengelolaan dan eksploitasi kekayaan alam hayati di laut bebas khususnya yang menyangkut perikanan yang mengembara (straddling  stocks) dan ikan bermigrasi secara jauh (highly migratory  species) diatur organiasi kerjasama regional dan internasional.  Dasar laut dan tanah di bawahnya dikelola Otorita Dasar Laut Internasional (International Seabed Authority, ISBA). Beberapa negara telah melakukan kontrak eksplorasi dan eksploitasi dengan ISBA pada beberapa tempat di dasar laut bebas.
Penutup
Dari urian tersebut, terlihat masih banyak tapal batas negara Indonesia dengan negara tetangga yang belum tuntas. Masih banyak pekerjaan rumah bagi pemerintahan baru tentang permasalahan “matirim” bangsa ini. Tapal batas Laut Teritorial saja belum tuntas dengan semua negara tetangga demikian juga tapal batas Laut Tambahan yang belum diundangkan, tapal batas  Landas Kontinental, klaim perluasan Landas Kontinental, tapal bayas ZEE-Indonesia hanya baru selesai dengan negara Filipina, demikian konsesi pemanfaatan asar laut dan tanah di bawahnya yang dikelola ISBA yang belum diajukan. Selagi tapal  batas dengan negara tetangga belum tuntas, maka isu-isu perbatasan akan terus “genit” dan siap membakar nasionalisme. Inilah salahsatu PR pemerinthan baru kita. Semoga pemerintahan baru dapat menyelesaikan permasalahan batas-batas negara Indonesia dengan negara tetangga. Amin.***

*Dr. Ir. Hamzah Lubis, SH., M.Si adalah intlektual NU tinggal di Medan, alumni S2/S3  Pengelolaan SDA Kelautan ,  KSA XLII/1999 Lemhannas , pemerhati lingkungan dan sosial.

No comments:

Post a Comment