Tulisan
Dr.Ir.Hamzah Lubis,SH.,M.Si berjudul:”Hukuman Mati Koruptor Dalam Persfektif Islam” telah
dimuat pada SK. Perestasi Reformasi di Medan, No.491, tahun
Ke-XVII, 3 Mei 2016, hal.6, kol.1-7
Hamzah Lubis,
Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim
Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal Medan *Pusat Kajian Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS
HAM-RI
*KSA XLII/1999 LEMHANNAS
*aktifis hukum/ham/lingkungan/pendidikan
“Sesungguhnya
pembalasan bagi orang yang memerangi Allah dan Rasulnya dan membuat kerusakan
di muka bumi, hukuman mereka dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki
mereka secara menyilang, atau dibuang di negeri (tempat kediamannya). Yang
demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat
mereka akan mendapat siksaan besar” (Q.S. Al-Maidah:33).
Pengantar
Putusan hakim, selalu
“genit” untuk dikomentari. Dalam kasus pidana, misalnya putusan hakim dengan
pidana pokok penjara, maka dengan pidana yang dianggap berat, pihak pengadu
merasa sudah menemukan keadilan namun
pada sisi lain pihak terpidana merasa tidak menemukan keadilan atau kedua belah pihak merasa putusan hakim tidak
berkeadilan. Demikian juga, bila putusan pidana dianggap ringan, maka pihak
terpidana merasa mendapatkan keadilan sedangkan pihak pengadu tidak mendapatkan
keadilan atau keduanya merasa putusan hakim tidak berkeadilan. Demikian juga
komentar pihak lain, yang punya dan
tidak punya kepentingan dengan putusan.
Oleh karena itu, maka
wajarlah satu putusan hakim mendapat tanggapan yang berbeda dari masing-masing
pihak dengan kepentingannya masing-masing. Putusan hakim yang tebang pilih,
terlalu ringan, tajam ke bawah tumpul
ke atas atau sebaliknya terlalu berat, tidak berkeprimanuisaan, melanggar hak asasi manusia (hak hidup) melebihi
kekuasaan Tuhan (misalnya hukuman mati, karena menurutnya yang berhak
“mematikan” orang adalah Tuhan bukan manusia) atau tudingan lainnya. Demikian
juga, komentar yang sama dari para pihak terhadap putusan-putusan pidana korupsi.
Pidana
Korupsi
Dalam
memutus berat-ringannya pidana korupsi (dalam range yang dibolehkan
undang-undang) hakim wajib
mempertimbangkan sifat baik dan jahat dari terdakwa, mempertimbangkan
besar-kecilnya kerugian material diakibatkan korupsi, besar-kecilnya kerugian
sosial akibat korupsi dan frekuensi korupsi yang dilakukan terdakwa. Semua ini
bersifat subjektif, dalam batasan yang sangat luas. Misalnya pidana penjara
mulai dari beberapa bulan sampai seumur hidup bahkan sampai pidana mati. Oleh
karena itu, selain hakim memiliki dan meyakini alat bukti, hakim juga harus
meyakini putusan pidana yang sesuai dengan kesalahannya serta dapat dipertanggungjawabkan
kepada Tuhan. pertanggungjawaban dalam bentuk tulisan dan ucapan ”Demi keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan peradilan Tuhan di alam akhirat.
Fiqih
Korupsi
Korupsi dalam fiqih
atau literatur Islam, secara spesifik
tidak diperoleh. Namun berdasarkan tindakan-tindakan yang dikategorikan sebagai korupsi dihubungkan
dengan kejahatan maliyyah dalam
fiqih, terdapat unsur yang mengisbatkan
makna korupsi, berupa: (1) tasharruf,
yaitu perbuatan yang menerima, memberi dan mengambil, (2) penghianatan terhadap
amanah kekuasaan dan (3) kerugian yang ditanggung masyarakat luas.
Dari
tiga unsur korupsi di atas, kajahatan
korupsi menunjukkan persamaan dengan kejahatan harta benda dalam fiqih Islam,
berupa:
1.
Dari segi mengambil harta orang lain
secara tidak sah, korupsi mirip dengan pencurian (sariqah). Namun korupsi lebih bejat dari pencurian, karena: (a)
pencurian dilakukan secara sembunyi sedangkan korupsi dilakukan terang-terangan,
(b) pencurian tidak selalu berkaitan dengan kepercayaan (amanah) pemiliki harta,
sedangkan korupsi selalu berkaitan dengan kepercayaan (amanah) pemilik harta (publik), (c) harta yang dicuri adalah harta
peribadi atau publik, sedangkan yang dikorupsi pasti harta publik yang besar
dan berdampak lebih massif, (d) harta yang dicuri yang berada di tangan orang
lain sedangkan harta yang dikorupsi berada dibawah kekuasaan koruptor. Karena
kejahatan korupsi lebih bejat dari pencurian maka pidana korupsi seyogianya
lebih berat dari pidana sariqah, berupa
potong tangan.
2.
Dari segi kekuasaan, korupsi lebih mirip
dengan risywah. Risywah lebih umum dari
korupsi, karena: (a) kekuasaan dalam risywah
tidak hanya meliputi jabatan formal dan sturuktural kenegaraan tetapi juga
kekuasaan non-formal dari tokoh masyarakat bahkan rakyat melalui hak politiknya
dapat menentukan seseorang memperoleh
jabatan politik atau tidak, (b) penguasa dalam risywah tidak hanya terbatas
pada penguasa negara saja, tetapi juga penguasa diluar sturuktur pemerintahan,
(c) risywah tidak hanya terjadi dalam
kontek hubungan penguasa dan rakyatnya secara politik, juga meliputi hubungan
antara pemimpin dengan yang dipimpin secara ekonomi dan budaya, (d) risywah terjadi dua arah baik dari
rakyat dengan penguasa maupun dari pengusaha dengan rakyatnya sedangkan suap
hanya bisa terjadi dari rakyat kepada penguasa. Oleh karena itu, hukuman kepada
koruptor harus lebih berat daripada hukuman pada risywah.
3.
Dari segi penggelapan harta publik, ghulul
mempunyai karakteristik yang dekat dengan korupsi, karena korupsi maupun ghulul sama-sama melibatkan kekuasaan
dan menyangkut harta publik serta dilakukan pihak yang berada di dalam maupun
di luar kekuasaan. Yang termasuk ghulul adalah:
(a) menilap uang negara (publik) baik dengan motivasi disimpan maupun untuk
keperluan di luar tugasnya sebagai pejabat, seperti pesta pernikahan, syukuran,
wisata keluarga, (b) tidak mengembalikan asset negara pada saat selesai tugas,
misalnya mengubah status rumah dinas,
mobil dinas menjadi milik pribadi atau memindahkan perabotan rumah dinas ke
rumah pribadi. Oleh karena itu, hukuman kepada koruptor harus lebih berat dari pidana ghulul.
4.
Dari segi dampak yang ditimbulkannya,
korupsi mirip hirabah yakni sama-sama
termasuk fasad, yaitu perbuatan yang
merusak tatanam publik. Sebagaimana hirabah
dalam bentuk qathu’u al-thariq atau syariqah kubra (pencurian besar),
korupsi juga mengancam harta sekaligus jiwa orang banyak. Korupsi sama dengan hirabah dalam bentuk qathu’u
al-thariq dalam hal: (a) mengancam
jiwa dan harta orang banyak (publik) karena korupsi dapat menyebabkan
kelaparan, kebodohan bahkan menjadikan masyarakat rentan terhadap penyakit
gara-gara tidak memadainya pendapatan masyarakat sehingga tidak mampu
menjangkau makanan bergizi dan pengobatan yang memadai, (b) menambah kerusakan
di muka bumi karena korupsi dapat menimbulkan kehancuran dan kerugian dahsyat
yang harus ditanggung masyarakat, seperti rusaknya lingkungan hidup, tidak
tegaknya hukum, rendahnya mutu pelayanan aparat dan lainnya. Oleh karena itu,
hukuman kepada koruptor harus lebih berat dari
pidana hirabah.
Kejahatan
Koruptor
Dari
analisis di atas, korupsi sesungguhnya lebih dahsyat daripada hirabah dalam bentuk qathu’u al-thariq dengan alasan: (a)
jiwa yang terancam oleh tindakan korupsi jauh lebih banyak ketimbang qathu’u al-thariq, (b) harta yang
diambil melalui korupsi jauh lebih banyak dibanding dengan melalui qathu’u al-thariq, dan (c) dampak yan
ditimbulkan oleh korupsi jauh lebih massif daripada yang ditimbulkan qathu’u al-thariq.
Sebagai kejahatan
modern, korupsi terus berkembang, baik
jenis, modus operandi, motif, pelaku, maupun polanya. Dampak kerusakan yang
diakibatkannyapun semakin meluas baik terhadap kedaulatan negara, kesejahteraan
rakyat, penegakan hukum sampai dengan moralitas bangsa bahkan korupsi
penghayatan agama. Oleh karena itu, perbuatan korupsi dalam konteks agama sama
dengan fasad, yakni perbuatan yang
merusak tatanam kehidupan yang pelakunya dikategorikan melakukan jinayat al-kubra (dosa besar).
Pelakunya harus dibunuh
atau disalib atau dipotong tangan dan kakinya atau di usir (penjara).
“Sesungguhnya pembalasan bagi orang yang memerangi Allah dan Rasulnya dan
membuat kerusakan di muka bumi, hukuman mereka dibunuh atau disalib atau dipotong
tangan dan kaki mereka secara menyilang, atau dibuang di negeri (tempat
kediamannya). Yang demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk mereka di dunia,
dan di akhirat mereka akan mendapat siksaan besar” (Q.S. Al-Maidah:33).
Putusan
Berkeadilan
Putusan
berkeadilan menurut hukum negara, adalah berkeadilan berdasarkan
Ketuhanan,”Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Namun karena
Indonesia bukan negara Islam, maka ditak dikenal hukuman sejenis qisas seperti potong tangan, potong
tangan dan kali dan disalib sedangkan
“hukuman mati” dikenal dalam hukum Islam dan hukum Indonesia.
Oleh karena Indonesia tidak
negara Islam, maka pidana yang
dijatuhkan kepada koruptor harus dengan hukum nasional. Karena Indonesia bukan
negara skuler tapi negara berketuhanan, maka diyakini spirit sila kelima
Pancasila, Ketuhahan Yang Maha Esa menjadi roh semua perundang-undangan.
Pelaksanaan hukum nasional dapat diterima hukum Islam, dengan mengacu pada
Al-Quran Surat An-nisa ayat 59: “Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasulnya dan ulil amri
(penguasa, negara) diantara kamu”.
Kendati
hukum Islam telah memungkinkan menerapkan hukuman mati bagi koruptor, namun
hukum nasional baru dapat menerapkannya dalam
“keadaan tertentu”. Apabila tindak pidana korupsi dilakukan
terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya,
bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas,
penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana
korupsi.
Oleh
karena itu, serendah-rendah pidana koruptor adalah pidana penjara seumur hidup
(aplikasi: pidana penjara maksimal) dengan pidana denda (hukum Islam) dua kali
lipat dari nilai dikorupsi (aplikasi: denda maksimal). Tentu, dengan mempertimbangkan sifat baik dan
jahat dari terdakwa, menemukan, memahami dan mengikuti nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, mempertimbangkan besar- kecilnya
materi yang dikorupsi, frekuensi korupsi, besar-kecilnya dampak korupsi baik
langsung maupun tidak langsung dari segala asfek kehidupan.***
No comments:
Post a Comment