Makalah Dr.Ir.Hamzah
Lubis,SH.,M.Si berjudul: “Penenerapan Pidana Pasal 102 UU Perikanan di ZEEI" adalah makalah pada Coffe Morning Pengadilan Negeri Medan, tanggal 2 Maret 2016, yang dihadiri Ketua dan Wakil Ketua PN Medan, Hakim Karir dan Adhoc Perikanan, Panmud dan PP Perikanan PN Medan
Hamzah Lubis, Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim
Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal Medan *Pusat Kajian Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS
HAM-RI
*KSA XLII/1999 LEMHANNAS
*aktifis hukum/ham/lingkungan/pendidikan
Pendahuluan
Salahsatu isu penting berkaitan dengan
pidana perikanan, adalah penerapan Pasal 102 Undang-Undang Perikanan. Pasal 102 berbunyi: ”Ketentuan tentang
pidana penjara dalam Undang-Undang ini tidak berlaku bagi tindak pidana di
bidang perikanan yang terjadi di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, kecuali telah
ada perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara
yang bersangkutan”. Pasal 5 ayat (1) huruf b, Wilayah Pengelolaan Perikanan
Republik Indonesia (WPPRI) adalah Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Sedangkan perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan
pemerintah negara lain untuk tindak pidana perikanan belum ada.
Putusan Hakim
Putusan
hakim baik tingkat pertama, banding dan kasasi terhadap terdakwa warga negara
asing (WNA) dengan locus delicti
di ZEEI yang terbukti bersalah
melakukan pidana perikanan, menurut
penulis dapat dikategorikan atas 3 (tiga) model putusan. Model putusan pertama,
terdakwa selama persidangan ditahan, hukumannya pidana penjara, denda dan subsider
kurangan. Model putusan kedua, selama persidangan terdakwa tidak ditahan,
hukumannya pidana denda dengan subsider kurungan. Model putusan ketiga,
terdakwa selama persidangan tidak ditahan, hukumannya pidana denda.
Model putusan pertama
Putusan terdakwa
selama persidangan ditahan, hukumannya pidana penjara, denda dan subsider
kurangan. Analisis hukumnya, bahwa
ZEE-Indonesia adalah Indonesia.
Ia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Indonesia. Karena itu, hukum yang
berlaku bagi WNA yang melakukan pidana di ZEE-Indonesia sama seperti WNA
melakukan pidana di daratan Indonesia, yaitu hukum Indonesia. Hal ini mengacu
pada Pasal 2 KUHP:”Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di
Indonesia”.
Dengan
demikian, penahanan selama persidangan di pengadilan Negeri berdasarkan Pasal
26 ayat (1), (2) dan (3) dan (4) UU No.8/1981 dan
secara khusus dalam Pasal 81 ayat (1),(2) dan (3) UU No.45/2009; penahanan di
tingkat PT berdasarkan Pasal 27 ayat (1), (2), (3) dan
(4) UU
No.8/1981 dan secara khusus dalam Pasal 82 ayat (1),(2),(3) dan (4) UU No.45/2009 dan penahanan di Mahkamah Agung
berdasarkan Pasal 24 ayat (1), (2),
(3) dan 4 UU No.8/1981 dan
secara khusus dalam Pasal 83 ayat (1),(2),(3) dan (4) UU No.45/2009. Hukuman
pidana perikanan dalam bentuk pidana penjara dan pidana denda mengacu pada Pasal 10 KUHP serta
pidana kurangan pengganti mengacu pada Pasal 30 ayat (2) KUHP: “Jika pidana
denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan”.
Contoh
putusan model ini, adalah terdakwa Le Van Huy,
berkewarganegaraan Vietnam, Nakhoda KM.
BV 0782 TS yang melakukan penangkapan ikan di koordinat 04015’90”
Lintang Utara - 109038’10”
Bujur Timur yang merupakan ZEE-Indonesia, yang telah ditahan selama penyidikan,
penuntutan dan persidangan. Hukuman yang diputuskan adalah: (1) pidana penjara,
(2) pidana denda dan (3) pidana kurungan penganti baik ditingkat pertama
(Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Pinang No.54/Pid.B/2008/PN.TPI tanggal 27 Februari 2008), pada pengadilan
tingkat banding (Putusan Pengadilan Tinggi Pekanbaru Nomor: 69/Pid/2008/PTR
tanggal 7 April 2008) dan tingkat kasasi (Putusan Mahkamah Agung-RI
Nomor:1036K/Pidsus/2008 tanggal 31 Juli 2008).
Model putusan kedua
Putusan selama
persidangan terdakwa tidak ditahan, hukumannya pidana denda dengan subsider kurungan. Analisis hukumnya, bagi
terdakwa WNA dengan locus delicti di
ZEE-Indonesia, karena belum ada perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia
dengan pemerintah asal negara terdakwa maka pada terdakwa berlaku Pasal 102 UU
Nomor 45 tahun 2009. Pasal 102, tidak membolehkan pidana penjara, maka hukuman
yang diterapkan adalah: (1) terdakwa
tidak ditahan selama persidangan dan (2)
pidana yang diterapkan adalah ”pidana denda”.
Namun, karena pidana denda menurut logika dan fakta tidak membuat efek
jera maka diterapkan pidana kurungan pengganti. Dan untuk kata ”atau setiap
bentuk pidana badan lainnya” (Pasal 73 ayat 3 UNCLOS) diberi penafsiran (bukan
penjelasan) sebagai hukuman semisal rajam, hukum pancung, potong tangan dan
lainnya.
Menurut
penulis, sebagian besar putusan hakim perikanan mengikuti model ini. Sebagai
gambaran, putusan di Pengadilan Perikanan PN Ranai: tahun 2011 sebanyak 51
perkara WNA di ZEE, dengan 50 putusan pidana denda dengan subsider
kurungan, tahun 2012 sebanyak 22 perkara dengan 22 putusan dengan pidana denda
dengan subsider kurungan, tahun 2013 sebanyak 21 perkara dengan 21 putusan
dengan pidana denda dengan subsider kurangan dan tahun 2014 (sampai bulan
Agustus) sebanyak 20 putusan dengan 20 putusan dengan pidana denda dengan
subsider kurungan.
Model putusan ketiga
Putusan
terdakwa selama persidangan tidak ditahan, hukumannya pidana denda. Penulis selama
ini berusaha memperjuangkan model putusan seperti ini baik dalam diskusi non
formal maupun formal. Misalnya pada forum Refreshing Coach tahun 2013 di
Jakarta, Temu Teknis Aparat Penegak Hukum tahun 2014 di Bandung, Temu Teknis Aparat Penegak Hukum tahun 2015
di Surabaya, Refreshing Coach tahun 2015 di Bandung, pada Diklat Jaksa
Perikanan 2015 di Medan dan lainnya.
Logika hukum
yang dibangun bahwa ketika Indonesia merdeka, laut teritorial yang diakui hanya
3 (tiga) mill, sehingga antar pulau dipisahkan oleh laut bebas. Dengan
disahkannya konvensi hukum laut internasional (United Nations Convention On The Law Of The Sea - UNCLOS) 1982,
maka diakuinya rezim negara kepulauan, hak ekskusif atas laut (ZEE) dan
lainnya. Untuk mendapatkan hak-hak
tersebut, Indonesia meratifikasinya
melalui Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985. Hukuman yang diterapkan
pidana denda, tidak ada penahanan dan kurungan pengganti.
Defenisi Perairan Indonesia
Wilayah Perairan
Indonesia meliputi: perairan pedalaman , perairan kepulauan dan laut teritorial, tidak termasuk ZEE-Indonesia,
sebagaimana dalam perundang-undangan:
(1). UU No.6 tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia, Pasal 3 ayat (1): [“ Wilayah
Perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan, dan
perairan pedalaman”].
(2).
UU No. 32 tahun 2014 tentang Kelautan, Pasal 7 ayat (1): [“Wilayah perairan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) meliputi: a. perairan pedalaman; perairan kepulauan; dan c. laut territorial”].
(3). UU No. 43 tahun 2008 tentang
Wilayah Negara, Pasal 1 ayat (2): [“Wilayah
perairan adalah perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut territorial”
dan Pasal 1 ayat (1) Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
selanjutnya disebut dengan Wilayah Negara, adalah salah satu unsur negara yang
merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan
dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara
di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya”].
(4).
UU N0. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, Pasal 1 ayat (2): [“Perairan Indonesia adalah laut teritorial
Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya”] .
(5). UU No.45 tahun 2009 tentang
Perikanan, Pasal 1 ayat (20): [”Perairan
Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan
perairan pedalamannya”].
(6). UU No.17 tahun 1985 tentang
Pengesahan UNCLOS, Lampiran (UNCLOS) Pasal 2 ayat (1): [“Kedaulatan suatu Negara pantai, selain wilayah daratan dan perairan
pedalamannya dan, dalam hal suatu Negara kepulauan, perairan kepulauannya,
meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya dinamakan laut
teritorial”] dan ayat (2): [“Kedaulatan
ini meliputi ruang udara di atas laut teritorial serta dasar laut dan tanah di
bawahnya”].
(7). KUHP, Pasal 439 (2): [“ Yang dimaksud dengan wilayah laut Indonesia yaitu wilayah
“Territoriale zee en maritieme kringen ordonantie”]
Defenisi ZEE-Indonesia
Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah, di luar wilayah negara, diluar laut
wilayah Indonesia, diluar laut
teritorial Indonesia, sebagai wilayah yurisdiksi, dinyatakan dalam
perundang-undangan:
(1)
Jalur diluar laut wilayah Indonesia [Vide: UU No.5 tahun 1983 tentang ZEEI Pasal 2:” Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di
luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan
berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi
dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua
ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia”].
(2) Jalur diluar laut
teritorial Indonesia [Vide: Pasal 1 ayat
(21) UU 45 tahun 2009: ” Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia, yang selanjutnya disebut ZEEI, adalah jalur di luar dan
berbatasan dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan
undangundang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut,
tanah di bawahnya, dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil
laut yang diukur dari garis pangkal laut territorial Indonesia”].
(3). Daerah/
area di luar laut teritorial [Vide: UU No.17 tahun 1985 tentang Pengesahan
UNCLOS, Pasal 55 lampiran: ”Zona ekonomi
eksklusif adalah suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial,
yang tunduk pada rejim hukum khusus yang ditetapkan dalam Bab ini berdasarkan
mana hak-hak dan yurisdiksi Negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan
Negara lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan yang relevan Konvensi ini], dan Pasal 1
ayat (8) UU No.43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara:[” Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah suatu area di luar dan
berdampingan dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perairan Indonesia dengan batas terluar
200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur”
].
(4). Wilayah yurisdiksi [Vide: Pasal 7 ayat (2) UU No.32 tahun 2014
tentang Kelautan: ” Wilayah yurisdiksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) meliputi: a. Zona
Tambahan; b. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; dan c. Landas Kontinen”].
(5). Di luar wilayah negara [Vide: UU 43 tahun 2008 tentang Wilayah
Negara Pasal 1 ayat (3): ” Wilayah
Yurisdiksi adalah wilayah di luar Wilayah Negara yang terdiri atas Zona Ekonomi
Eksklusif, Landas Kontinen, dan Zona Tambahan di mana negara memiliki hak-hak
berdaulat dan kewenangan tertentu lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan dan hukum internasional].
Rezim hukum di Perairan Indonesia
Rezim hukum
pidana di perairan Indonesia berlaku sepenuhnya hukum nasional Indonesia, sesuai
perundang-undangan:
(1). KUHP Pasal 2:[Vide:
”Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap
orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia”].
(2). UU No.32 tahun 2014 tentang Kelautan, Pasal 5 ayat
(2):[Vide:” Kedaulatan Indonesia sebagai negara kepulauan meliputi
wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial,
termasuk ruang udara di atasnya serta dasar laut dan tanah di bawahnya,
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”] dan Pasal 7
ayat (3):[”Negara Kesatuan Republik
Indonesia memiliki: a. kedaulatan pada
perairan pedalaman, perairan Kepulauan, dan laut teritorial].
(3). UU No.17
tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS, Lampiran (UNCLOS) Pasal 2 ayat (1): [“Kedaulatan suatu negara pantai, selain
wilayah daratan dan perairan pedalamannya dan, dalam hal suatu Negara
kepulauan, perairan kepulauannya, meliputi pula suatu jalur laut yang
berbatasan dengannya dinamakan laut territorial”[ dan Pasal 2 ayat (2): [“Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas
laut teritorial serta dasar laut dan tanah di bawahnya”].
Rezim Hukum di ZEE-Indonesia
Bahwa,
rezim hukum pidana di ZEE-Indonesia, hukum nasional berlaku sekagi tidak
bertentangan dengan hukum internasional, sesuai perundang-undangan:
(1).
UU No.43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara,
Pasal 7: [“ Negara Indonesia
memiliki hak-hak berdaulat dan hak-hak lain di wilayah yurisdiksi yang
pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum
internasional”] dan Pasal 1 ayat (5): [“Batas
wilayah yurisdiksi adalah garis batas yang merupakan pemisah hak berdaulat dan
kewenangan tertentu yang dimiliki oleh negara yang didasarkan atas ketentuan
peraturan perundang-undangan dan hukum internasional”].
(2).
UU No.32 tahun 2014 tentang Kelautan, Pasal 7 ayat (3)
huruf c:[”Hak berdaulat pada Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas
Kontinen” dan ayat (4) “Kedaulatan, yurisdiksi tertentu, dan hak berdaulat di
dalam wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum
internasional”];
(3).
UU No.5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia, Pasal 4 ayat (1):[” Di
ZEE-Indonesia, Republik Indonesia mempunyai dan melaksanakan: hak berdaulat
untuk melakukan eskplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi
sumberdaya alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya
serta air di atasnya dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk eklporasi dan
eksploitasi ekonomis zona tersebut, seperti pembangkit tenaga adari air, arus
dan angin; (b) yurisdiksi yang berhubungan dengan: pembuatan dan penggunaan
pulau-pulau buatan, intlasi-intlasi dan bangunan lainnya, penelitian ilmiah
mengenai kelautan; perlidngan dan pelestarian lingkungan laut, (c) hak-hak lain
dan kewajiban-kewahiban lainnya berdasarkan Konvensi].
(4). UU No.17 tahun 1985 tentang Pengesahan Unclos, Bab V
(Lampiran): ZEE
berlaku rezim hukum khusus [Vide: Pasal 55 UNCLOS: [“Zona ekonomi eksklusif adalah suatu daerah di luar dan berdampingan
dengan laut teritorial, yang tunduk pada rejim hukum khusus yang ditetapkan
dalam Bab ini…”], dengan kekhususan: (1) hukum nasional yang berlaku di
ZEEI harus tunduk dengan UNCLOS, (2) hukum nasional yang berlaku di ZEEI harus sesuai dengan UNCLOS, (3) hukum nasional yang berlaku di
ZEEI harus relevan dengan UNCLOS dan
(4) hukum nasional yang berlaku di ZEEI
tidak bertentangan dengan UNCLOS.
(a).
Bahwa (1) hukum nasional yang berlaku di ZEEI harus tunduk dengan UNCLOS [Vide:
Pasal 55 UNCLOS:[ “Zona ekonomi eksklusif
adalah suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial, yang
tunduk pada rejim hukum khusus yang ditetapkan dalam Bab ini berdasarkan mana
hak-hak dan yurisdiksi Negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan
Negara lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan yang relevan Konvensi ini”],
(b).
Bahwa, (2) hukum nasional yang berlaku di ZEEI
harus sesuai dengan UNCLOS[Vide:
(a) Pasal 56 ayat 2 : ”Di dalam melaksanakan hak-hak dan memenuhi
kewajibannya berdasarkan konvensi ini dalam Zona Ekonomi Eksklusif , Negara
pantai harus memperhatikan sebagaimana
mestinya hak-hak dan kewajiban Negara lain dan harus bertindak dengan suatu
cara sesuai dengan ketentuan konvensi ini” ]; (b) Pasal 58 ayat (3): [” Dalam hal melaksanakan hak-hak
memenuhi kewajibannya berdasarkan
konvensi ini di Zona Ekonomi Eksklusif, Negara-negara harus
memperhatikan sebagaimana mestinya
hak-hak dan kewajiban negara
pantai dan harus mentaati peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan oleh Negara pantai sesuai dengan ketentuan konvensi ini dan peraturan
hukum internasional lainnya
sepanjang ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan bab ini”] dan (c)
Pasal 73 ayat 1: [”Negara Pantai
dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan eksplorasi,
eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di Zona Ekonomi
Eksklusif mengambil tindakan demikian, termasuk menaiki kapal, memeriksa,
menangkap dan melakukan proses
peradilan, sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan
perundang-undangan yang ditetapkannya
sesuai dengan ketentuan konvensi
ini”].
(c). Bahwa, (3) hukum nasional yang berlaku di ZEEI harus relevan dengan UNCLOS [Vide:
Pasal 58 ayat (1) UNCLOS:” Di Zona Ekonomi Eksklusif, semua Negara, baik Negara
berpantai atau tak berpantai, menikmati, dengan tunduk pada ketentuan yang
relevan konvensi ini, kebebasan-kebebasan
pelayaran dan penerbangan,….”].
(d). Bahwa, (4) hukum nasional yang berlaku di
ZEEI tidak bertentangan dengan UNCLOS [Vide:
Pasal 58 ayat (3): ”Dalam hal melaksanakan hak-hak memenuhi kewajibannya berdasarkan konvensi ini di Zona Ekonomi Eksklusif,
Negara-negara harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban Negara Pantai
dan harus mentaati peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh
Negara Pantai sesuai dengan
ketentuan konvensi ini dan peraturan
hukum internasional lainnya sepanjang ketentuan tersebut tidak bertentangan
dengan ketentuan bab ini”.
Persyaratan ratifikasi
Ratifikasi sebagai ”persetujuan” dan/atau
”pernyataan mengikatkan diri” bangsa dan negara sebagaimana dinyatakan
Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 15 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional. Persyaratan
ratifikasi UNCLOS dengan keharusan meratifikasi secara utuh dan tanpa
terkecuali. ”Tidak ada persyaratan atau
pengecualian yang dapat diajukan terhadap konvensi ini kecuali secara tegas
diizinkan oleh pasal-pasal lain konvensi ini (Pasal 309 UNCLOS).
Dalam hukum
Indonesia, dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 1
bagian ke-14 huruf (c ) UU No.17 tahun 1985: ”Konvensi
ini tidak membenarkan negara-negara mengadakan persyaratan (reservation) terhdap ketentuan-ketentuan
dalam konvensi pada waktu mengesahkan karena
seluruh ketentuan konvensi ini merupakan satu paket yang
ketentuan-ketentuannya sangat erat hubungannya satu dengan yang lain, dan oleh
karena itu hanya dapat disahkan sebagai satu kebulatan yang utuh”. Artinya,
semua ketentuan UNCLOS harus diikuti secara total.
Pidana perikanan di ZEE
Pidana
perikanan di ZEE diatur pada Pasal 73 ayat 3 UNCLOS: ”Hukuman Negara pantai
yang dijatuhkan terhadap pelanggaran
peraturan perundang-undangan perikanan
di Zona Ekonomi Eksklusif tidak
boleh mencakup pengurungan, jika tidak
ada perjanjian sebaliknya antara
negara-negara yang bersangkutan atau setiap bentuk pidana badan
lainnya”. Ketentuan UNCLOS ini diadopsi
(tidak sepenuhnya) melalui Pasal 102 UU No.45 tahun 2009.
Berhubung
UNCLOS telah diratifikasi, maka negara Indonesia memiliki wilayah yurisdiksi dengan kewenangan
”tertentu” dan hak ”berdaulat” atas ZEE-Indonesia termasuk mengadili orang di
ZEE-Indonesia. Pada sisi lain, dengan ratifikasi maka hukum UNCLOS menjadi
”hukum nasional” serta ”hukum nasional” harus harus tunduk, harus sesuai, harus relevan dan tidak
bertentangan dengan UNCLOS. UNCLOS menyatakan hukuman tidak boleh
“mencakup pengurungan” dan “atau setiap bentuk
pidana badan lainnya”. Dengan demikian pidana pengurungan yang dilarang dalam
hukum nasional adalah (1) penjara, (2) kurungan dan (3) subsider
kurungan. Sedangkan “setiap bentuk pidana badan
lainnya” yang dilarang dalam hukum
nasional adalah pidana mati.
Rumusan Refreshing Coach 2015
Putusan hanya menerapkan pidana denda
bagi WNA di ZEE masuk dalam rumusan hasil Refreshing Coach Hakim Perikanan
Tahun 2015 tanggal 01 – 04 Desember 2015 di Bandung. Rumusan poin 7 (tujuh)
berkaitan penerapan Pasal 102 dengan ketentuan: (a) hanya pidana denda yang
dijatuhkan terhadap terdakwa dalam perkara perikanan di wilayah ZEEI; (b) amar
pidana denda tidak dapat digantikan (subsidair) dengan pidana kurungan;(c)
menyimpangi ketentuan huruf a dan b diatas, bila kedua negara telah melakukan
perjanjian bilateral; dan (d) ketentuan ini sejalan dengan ketentuan Pasal 73 ayat
(3) UNCLOS yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 17 Tahun 1985.
Rapat Peleno kamar MA
Putusan hanya menerapkan pidana denda
bagi WNA di ZEE, juga menjadi rumusan pleno kamar Mahkamah Agung yang diikuti
oleh kamar pidana, kamar perdata, kamar agama, kamar militer, dan kamar
TUN tanggal 11 Desember 2015 lalu. Rumusan hukum ini telah ditandatangani dan
disampaikan oleh Hakim Agung Dr. H. Suhadi, SH, MH. Dalam pengantarnya, Suhadi
menerangkan bahwa dalam Kamar Pidana, ada 4 (empat) isu hukum yang mengemuka
yaitu: narkotika, titik singgung antara perkara tata usaha negara
dan perkara tindak pidana korupsi, illegal fishing, dan penyitaan
terhadap asset negara. Rumusan bidang perikanan
(illegal fishing), “dalam perkara illegal fishing di wilayah ZEEI terhadap
terdakwa hanya dapat dikenakan pidana denda tanpa dijatuhi kurungan pengganti
denda”.
Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA)
Berdasarkan Pedoman Sistem Kamar di
Mahkamah Agung, rumusan hukum hasil Rapat Pleno Kamar
--diantaranya terdakwa WNA di ZEE dikenakan pidana denda --yang telah disahkan
oleh Ketua Mahkamah Agung sedapat-dapatnya ditaati Majelis Hakim. Untuk
melegitimasi hasil rumusan rapat pleno kamar sebagai pedoman pelaksanaan
tugas, Ketua MA akan menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang
menegaskan pemberlakuan rumusan hukum sebagai pedoman bagi Kamar dan juga bagi
pengadilan tingkat pertama dan banding.
Pembuatan SEMA berdasarkan Rumusan hukum
hasil Rapat Pleno Kamar sudah menjadi konvensi di Mahkamah Agung. Pelaksanaan
rapat pleno dengan hasil rumusan hukum hasil rapat pleno kamar ditindaklanjuti
dengan SEMA. SEMA 7 Tahun 2012, adalah pemberlakuan rumusan hukum hasil
Rapat Pleno Kamar Tahun 2012, SEMA 4 Tahun 2014 adalah pemberlakuan rumusan
hukum hasil Rapat Pleno Kamar Tahun 2013, dan SEMA 5 Tahun 2014, adalah
pemberlakuan rumusan hukum hasil Rapat Pleno Kamar Tahun 2014. Insya Allah
rumusan hukum hasil Rapat Pleno Kamar Tahun 2015 akan diikuti Surat Edaran
Mahkamah Agung.
Penutup
Penulis berharap, uraian ini dapat
menambah cara pandang kita terhadap berbagai penafsiran Pasal 102 Undang
–Undang Nomor 45 tahun 2009 yang menghasilkan putusan yang berbeda-beda pula.
Mudah-mudahan putusan yang kita ambil didasari logika dan dasar hukum yang
paling “benar” untuk memperkuat keyakinan kita dalam memutus. Semoga….
Daftar
Kepustakaan
01.Hamzah
Lubis. Tindak Pidana Perikanan di
ZEE-Indonesia. Jurnal Varia
Peradilan Mahkamah Agung-RI No.318 bulan Mei 2012
02.Hamzah Lubis.
Tinjauan Hukum: Penahanan, Pidana Penjara
dan Subsider Kurungan di ZEE-Indonesia. Jurnal Varia 03.Keadilan, Nomor 341, edisi April 2014
04.Hamzah Lubis.
Kajian hukum Penenggelaman Kapal
Perikanan, Sk.Prestasi Reformasi di Medan, No. 471 Thn ke-16, edisi Minggu
ke-V September 2015, hal.67 kol 1-5
05.Hamzah Lubis.
WPPRI dan Dakwaan Obscure,
Sk.Prestasi Reformasi di Medan, No. 475 Thn ke-16, edisi 4-10 Nopember 2015, hal.7 kol 1-4
06.Hamzah Lubis.
Metoda Deduksi Pidana Kapal Ikan Asing di
ZEE, Sk.Prestasi Reformasi di Medan, No. 476 Thn ke-16, edisi 11-17 Nopember
2015, hal.7 kol 1-4
07.Hamzah Lubis.
Pidana Korporasi Bidang Perikanan.
Sk.Prestasi Reformasi di Medan, No. 47 9Thn ke-16, edisi 14-20 Desember 2015,
hal.6 kol 1-4
08.Hamzah Lubis.
Internasionalisasi Pidana Perikanan di
ZEE. Sk.Prestasi Reformasi di Medan, No. 482 Thn ke-16, edisi 25- 31 Januari 2016, hal.6 kol 1-4
09. Hamzah
Lubis. Persepsi Penuntutan Perusakan
Sumberdya Ikan, sk.Prestasi Reformasi di Medan, No. 470 Thn ke-16,
edisi 3-9 September 2015, hal.7 kol 1-5
10.Pleno Kamar Berakhir, Rumusan Hukum pun Lahir ; http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/kegiatan/1220-pleno-kamar-berakhir-rumusan-hukum-pun-lahir
[25/1/2016]
11.Rumusan hasil
Refreshing Coach Hakim Perikanan Tahun 2015 tanggal 01 – 04 Desember 2015 di
Bandung
12.Undang-Undang Nomor 45 Tahun
2009 Tentang Perikanan
13.Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP)
14.Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Ekskkusif Indonesia
15.Undang-Undang Nomor 43 tahun 2008
Tentang Wilayah Negara
16.Undang-Undang Nomor 32 tahun 2014
Tentang Kelautan
17.Undang-Undang Nomor 24
tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional.
18.Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985
tentang Pengesahan UNCLOS
19.Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
20.United Nations Convention On The Law Of The Sea -
UNCLOS) 1982
Catatan: Kendati terjadi diskusi yang hangat, namun argumentasi hukum ini dapat diterima semua peserta
Nama: candra.z.sibarani
ReplyDeleteNim:17202013
Jurusan :teknik mesin
M.Kuliah :pengendalian limbah indutri
Menurut pendapat saya, ,
Putusan hakim baik tingkat pertama, banding dan kasasi terhadap terdakwa warga negara asing (WNA) dengan locus delicti di ZEEI yang terbukti bersalah melakukan pidana perikanan, menurut penulis dapat dikategorikan atas 3 (tiga) model putusan. Model putusan pertama, terdakwa selama persidangan ditahan, hukumannya pidana penjara, denda dan subsider kurangan. Model putusan kedua, selama persidangan terdakwa tidak ditahan, hukumannya pidana denda dengan subsider kurungan. Model putusan ketiga, terdakwa selama persidangan tidak ditahan, hukumannya pidana denda.