Hamzah Lubis, Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim
Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal Medan *Pusat Kajian Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS
HAM-RI
*KSA XLII/1999 LEMHANNAS
*aktifis hukum/ham/lingkungan/pendidikan
Pendahuluan
Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan
dengan tegas, bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas
kekuasaan belaka (machtstaat). Hal
ini berarti bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokratis
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta
menjamin semua warga negaranya
bersamaan kedudukannya didalam
hukum dan wajib menjunjung hukum dengan tidak ada kecualinya
Jelas bahw penghayatan, pengamalan
dan pelaksanaan hak asasi manusia maupun hak dan kewajiban warga negara untuk
menegakkan keadilan tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warga negara, setiap
lembaga penyelenggara negara, setiap lembaga kenegaraan dan setiap lembaga
kemasyarakatan. Oleh karena itu diperlukan
peningkatan pemahaman dan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum
sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing kea rah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan yang
merupakan pengayoman terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia,
ketertiban dan kepastian hukum demi
terselenggaranya negara hukum yang lebih baik di Indonesia.
Untuk
itu dalam pertemuan yang berbahagia ini kita akan mendiskusikan tentang hukum
acara pada pidana perikanan berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009.
Diskusi hukum acara perikanan ini dirasa perlu karena sebagaian hukum acara
perikanan memiliki perbedaan dengan hukum acara pada Undang-Undang Nomor 8
tahun 1981.
Isu-isu utama hukum
acara perikanan
1.
Tidak semua terdakwa dapat dilakukan penahanan
1.1.Analisis hukum
Penahan
terdakwa dapat dilakukan mulai pada tahap penyidikan, tahap penuntutan dan
tahap pemeriksaan di pengadilan baik pada pengadilan tingkat pertama,
pengadilan pada tingkat banding dan pengadilan pada tingkat kasasi. Penyidikan
pada pidana perikanan memiliki kesepesialisan sebagainya dinyatakan padal Pasal
72:”Penyidik dalam perkara tindak pidana di bidang perikanan, dilakukan
berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-Undang ini”.
Pada
tahap penyidikan, penyidik memungkinkan menahan tersangka paling lama 20 (dua
puluh) hari (Pasal 73B ayat (2) apabila diperlukan utuk kepentingan pemeriksaan
yang belum selesai dapat diperpanjang oleh penuntut umum paling lama 10
(sepuluh) hari (Pasal 73B ayat (3). Demikian juga pada tahap penuntutan, penuntut
umum memungkinkan menahan tersangka paling lama 10 (sepuluh) hari (Pasal 76
ayat (6) apabila diperlukan utuk kepentingan pemeriksaan yang belum selesai
dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan paling lama 10 (sepuluh) hari (Pasal
76 ayat (8). Untuk kepentingan
pemeriksaan, hakim si sidang pengadilan berwewenang menetapkan penahanan selama
20 (dua puluh) hari (Pasal 81 ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan paling lama 10
(sepuluh) hari(Pasal 81 ayat (2).
Untuk
locus delicti di ZEE-Indonesia yang
terdakwanya warga negara asing, tidak dilakukan penahanan baik pada proses
penyidikikan, proses penuntutan dan proses persidangan. Hal ini disebabkan
pidana perikanan di ZEE menurut UNCLOS (Pasal 73 ayat (3) dan Undang-Undang
Nomor 45 tahun 2009 (Pasal 102) yang tidak berupa pidana penjara maupun pidana
kurungan (biasanya pidana denda). Karena tidak ada pidana penjara maupun pidana
kurungan maka masa penahanan selama proses penyidikan, proses penuntutan dan
proses persidangan tidak dapat dikurangkan. Pada hal Pasal 22 ayat (4) UU Nomor
8 tahun 1981 menyatakan: ”Masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan”.
Pemaksaan penahanan yang tidak bisa dukurangkan adalah tindakan kesewenang-wenangan dan melanggar hukum. Terdakwa memerlukan rehabilitasi dan ganti
rugi. Untuk locus delicti di laut
teritorial baik terdakwanya warga negara
asing maupun warga negara Indonesia dapat dilakukan penahanan berdasarkan Hukum
Acara Pidana.
1.2. Beberapa putusan pengadilan mengenai penahanan terdakwa
1.2.1.
Terdakwa di ZEE-WNA tidak
ditahan
Selam
tahun 2012 di Pengadilan Perikanan Ranai telah disidang sebanyak 14 orang
terdakwa berkewarganegaraan asing yang melakukan tindak pidana perikanan di
ZEE-Indonesia dimana ke-empat belas terdakwa tidak dilakukan penahananan selam
persidangan.
1.2.2.
Terdakwa di Teritorial
Indonesia di tahan
Selama
tahun 2012 di Pengadilan Perikanan Ranai telah disidang sebanyak 16 orang
terdakwa dalam 8 berkas perkara yang
melakukan tindak pidana perikanan di laut teritorial Indonesia. Sebanyak 3
orang terdakwa berkewarganegaraan asing dan 13 orang terdakwa berkewarganegaraan
Indonesia. Ke-16 orang terdakwa dilakukan penahanan selama persidangan.
1.2.3.
Terdakwa di ZEE-WNA dilakukan
penahanan
Beberapa
putusan majilis hakim yang melakukan penahanan terhdap terdakwa yang
berkewarganegaan asing yang melakukan tindak pidana perikanan di ZEE-Indonesia.
Salahsatu contoh penahanan adalah terdakwa Le Van Huy,
berkewarganegaraan Vietnam, Nachoda KM. BV
0782 TS yang melakukan penangkapan ikan di koordinat 04015’90”
Lintang Utara - 109038’10” Bujur
Timur yang merupakan ZEE-Indonesia, yang telah ditahan selama persidangan:
(a). Pengadilan tingkat pertama, pada PN Tanjung
Pinang, sejak 5 Februari 2008 sampai 23 Februari 2008, diperpanjang sejak 24 Februari 2008
sampai 4 Maret 2008 (Putusan Pengadilan
Negeri Tanjung Pinang No.54/Pid.B/2008/PN.TPI tanggal 27 Februari 2008).
(b). Pengadilan
tingkat banding, pada Pengadilan Tinggi Pekanbaru,
sejak 28 Februari 2008 sampai 18 Maret
2008 diperpanjang sejak 19 Maret 2008 sampai 28 Maret 2008 (Putusan Pengadilan
Tinggi Pekanbaru Nomor: 69/Pid/2008/PTR tanggal 7 April 2008).
(c). Pengadilan
tingkat kasasi, pada Mahkamah Agung Republik
Indonesia dimana terpidana tetap dalam penjara
serta amar putusan kasasi tidak
mengoreksi atas penahanan yang dilakukan baik pada tingkat penyidikan,
penuntutan dan pengadilan ditingkat pertama dan banding (Putusan Mahkamah Agung-RI
Nomor:1036K/Pidsus/2008 tanggal 31 Juli 2008 dengan Hakim Ketua Iskandar Kamil,
SH dengan anggota Prof. Dr. Komariah Emong Sapardjaya, SH dan Prof. Dr.H.
Kaimuddin Salle, SH, MH).
2. Tidak semua pelaku pidana perikanan dijadikan terdakwa
2.1.
Analisis
hukum
Hukum nasional menerapkan prinsip bahwa
barang siapapun yang terlibat tindak pidana baik langsung atau tidak langsung,
harus dilakukan penyidikan, penuntutan dan di pengadilan terdakwa diperiksa,
diadili dan diputus. Pasal 51 Hukum
Pidana ayat (1) menyatakan: dipidana sebagai pelaku tindak pidana: (1) mereka
yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan, (2)
mereka dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan
atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi
kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya
melakukan perbuatan”. Pasal ini sering
digunakan untuk menjerat pihak-pihak yang terlibat tindak pidana. Pasal ini
berlaku di Laut Teritorial Indonesia namun belum tentu berlaku di ZEE-Indonesia.
Tindak pidana perikanan warga negara
asing di ZEE-Indonesia berlaku UNCLOS dan hukum internasional lainnya. Pasal 73
ayat (2) UNCLOS menjelaskan bahwa yang
dapat dipidana adalah ”nakhoda kapal” sedangkan ABK-nya dilepas. ”Kapal-kapal
yang ditangkap dan awak kapalnya harus segera dibebaskan setelah diberikan
suatu uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainnya”. Pasal 73 ayat
(2) UNCLOS ini diadopsi (konsekuensi
ratifikasi, Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985) dalam Pasal 83 A Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009.
Pasal 83 A ayat (1) menyatakan:”Selain
yang ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana perikanan atau tindak pidana lainnya, awak kapal lainnya
dapat dipulangkan termasuk yang berkewarganegaraan asing”. Pasal
83A ayat (2): ”Pemulangan awak kapal berkewarganegaraan asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh intansi yang bertanggungjawab
dibidang keimigrasian melalui kedutaan atau perwakilan negara asal awak kapal”.
Pelaksanaan pemulangan ABK kapal dilapangan,
ketika di tangkap serombongan kapal
penangkap ikan asing di ZEE-Indonesia, dikumpulkan semua ABK kapal dalam satu
kapal dan diperintahkan untuk kembali ke negaranya. Kapal lainnya bersama
nachoda kapal didaratkan ke pelabuhan. Cara lain, semua ABK kapal di adhoc ke
pelabuhan kemudian dideportasi sesuai peraturan yang berlaku. Permasalahan yang
sering timbul ketika salah seorang ABK dijadikan penyidik sebagai saksi untuk
terdakwa nakhoda kapal, sedangkan saksi sebagai ABK telah dideportasi sebelum
acara pemeriksaan di pengadilan.
Akibatnya penuntut umum tidak dapat menghadirkan saksi, kesaksian saksi
hanya dibacakan sehingga menyulitkan untuk pembuktian. Sebaiknya, saksi ABK
dipulangkan (deportasi) setelah pemeriksaan pengadilan selesai.
2.2.
Beberapa putusan pengadilan
tentang terdakwa perikanan
2.2.1.
Terdakwa di ZEE, WNA hanya
nachoda menjadi terdakwa
Data dari Pengadilan Perikanan pada
PN Ranai pada tahun 2012, terdapat 14 berkas perkara pidana perikanan di
ZEE-Indonesia. Dari 14 berkas perkara tersebut melibatkan 14 kapal penangkap
ikan dan hanya nackhoda/ tekong kapal
yang dijadikan terdakwa sedangkan semua ABK tidak dijadikan terdakwa.
2.2.2.
Terdakwa di teritorial , WNA
hanya nakhoda menjadi terdakwa
Data dari Pengadilan Perikanan pada
PN Ranai pada tahun 2012, terdapat 8 berkas perkara pidana perikanan di Laut
Teritorial Indonesia. Dari 8 berkas perkara tersebut melibatkan 3 kapal
penangkap ikan asing yang melakukan pidana perikanan di laut teritorial
Indonesia. Dari 3 kapal penangkap ikan asing ini hanya nakhoda kapal yang
dijadikan terdakwa sedangkan ABK (berkewarganegaraan asing) tidak dijadikan
terdakwa.
2.2.3.
Terdakwa di territorial,
WNI nakhoda dan ABK menjadi terdakwa
Data
dari Pengadilan Perikanan pada PN Ranai pada tahun 2012, terdapat 8 berkas
perkara pidana perikanan di Laut Teritorial Indonesia. Dari 8 berkas perkara
tersebut melibatkan 2 kapal penangkap ikan Indonesia dan 3 kapal penangkap ikan
asing. Dari 2 kapal penangkap ikan
Indonesia yang dijadikan terdakwa adalah 1 orang nakhoda, 1 orang
nakhoda merangkap pemilik dan 11 orang
ABK.
3.
Terdakwa dapat dibebaskan sebelum putusan pengadilan
3.1.
Analisis hukum
Hukum acara pada Pengadilan
Perikanan sesuai Undang-undang Nomor 45 tahun 2009 untuk locus di ZEE-Indonesia sangat jauh berbeda dengan di teritorial
Indonesia. Hukum acara pidana perikanan
di ZEE-Indonesia memungkinkan terdakwa dilakukan pembebasan dan/atau kapal
terdakwa dibebaskan tanpa batas waktu dengan syarat sebelum ada putusan pengadilan
perikanan. Artinya, pembebasan terdakwa dan/atau kapal terdakwa dapat
dilakukan baik pada proses penyidikan,
proses penuntutan, proses pemeriksaan maupun
pada waktu penuntutan. Syaratnya adalah dengan menyerahkan sejumlah uang
jaminan yang layak, yang penetapannya dilakukan oleh Pengadilan Perikanan. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 104 ayat (1) yang berbunyi: ”Permohonan untuk
membebaskan kapal dan/atau orang yang ditangkap karena melakukan tindak pidana
di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) huruf b, dapat dilakukukan setiap waktu sebelum ada keputusan dari
Pengadilan Perikanan dengan menyerahkan sejumlah uang jaminan yang layak, yang
penetapannya dilakukan oleh Pengadilan Perikanan”.
Pembebasan
terdakwa dan/atau kapal terdakwa sebelum adanya putusan Pengadilan perikanan di
ZEE-Indonesia adalah rangkaian dari prinsip dasar UNCLOS yang tidak melakukan
penahanan bagi terdakwa baik selama proses penyidikan, proses penuntutan dan
proses perisidangan. Kemudian dilanjutkan dengan tidak adanya pidana mati,
pidana penjara dan pidana kurungan
(Pasal 102 UU No.45/2009, UNCLOS Psl.73 ayat (3).
Pembebasan
terdakwa oleh Ketua Pengadilan Perikanan, jika tidak ada koordinasi yang baik
antara Ketua Pengadilan Perikanan dengan Majilis Hakim yang memeriksa perkara
akan menimbulkan gap dan permasalahan dibelakang hari. Bisa saja Majilis Hakim merasa di ”kudeta”
karena terdakwanya telah dibebaskan oleh Ketua Pengadilan Perikanan. Majilis
Hakim dapat juga berasumsi bahwa jumlah uang jaminan yang diterima terlalu
kecil yang pada amar putusannya pidana “denda” yang diberikan oleh Majilis
Hakim jauh lebih tinggi dari jumlah uang jaminan yang diterima. Permasalahan
yang akan timbul, siapa yang akan membayar kekurangan pidana denda dan/atau
bagaimana menagih kekurangan pidana denda sedangkan terpidananya telah kembali
ke-negara asalnya.
3.2.
Beberapa kasus pembebasan terdakwa sebelum
putusan pengadilan
Untuk kasus kasus membebaskan
terdakwa warga negara asing yang mekakukan pidana perikanan di ZEE-Indonesia sebelum
putusan pengadilan sebagaimana dimungkin
berdasarkan Pasal 104 ayat (1)
Undang-undang Nomor 45 tahun 2009 di Pengadilan Perikanan Ranai tahun 2012, belum
ditemukan adanya pengajuan pembebasan dan/atau putusan Ketua Pengadilan Perikanan membebaskan
terdakwa yang maih dalam proses persidangan.
4.
Pengadilan dapat dilakukan
tanpa kehadiran terdakwa / In absensia
4.1.
Analisis hukum
Konsekuensi
pelaksanaan dari Pasal 104 ayat (1)
Undang-undang Nomor 45 tahun 2009 berupa pembebasaan terdakwa sebelum putusan
pengadilan, adalah pengadilan “tanpa”
kehadiran terdakwa. Hal ini dimungiinkan sebagaimana dinyatakan pada
Pasal 79 Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 yang berbunyi:” Pemeriksaan
di sidang pengadilan dapat dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa”. Pada Pasal
80 ayat (2) dipertegas lagi bahwa persidangan dimungkinkan tanpa kehadiran
terdakwa:” Putusan perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
oleh hakim tanpa kehadiran terdakwa”. Dimana Pasal 80 ayat (1) menyatakan: ”
Dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
penerimaan pelimpahan perkara dari penuntut umum, hakim harus sudah menjatuhkan
putusan”. Dengan demikian untuk pidana
perikanan di ZEE-Indonesia memungkinkan proses persidangan tanpa kehadiran
terdakwa (in absensia).
4.2.
Beberapa kasus pengadilan
perikanan tanpa kehadiran terdakwa
Pengadilan
pidana perikanan dimungkinkan dilakukan tanpa kehadiran terdakwa dipersidangan.
Hal ini dapat dilakukan bagi warga
negara asing yang melakukan pidana perikanan di ZEE-Indonesia. Data pengadilan
perikanan Ranai pada PN Ranai tahun 2012 tidak ditemukan persidangan tanpa
kehadiran terdakwa.
5.
Masa persidangan lebih cepat,
paling lama 30 hari
5.1.
Analisis hukum
Undang-Undang
Nomor 45 tahun 2009 menginginkan hukum acara (hukum formil) bersifat lebih
cepat (Penjelasan UU No. 31 tahun 2004) sehingga memuat hukum acara tersendiri
sebagai ketentuan khusus (lex specialis).
Undang-undang perikanan menetapkan paling lama 30 (tiga puluh) hari perkara
sudah harus diputus pada pengadilan tingkat pertama. “Dalam jangka waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan pelimpahan perkara dari penuntut
umum, hakim sudah menjatuhkan putusan” (Pasal 80 ayat (1). Pengadilan ditingkat banding harus diputus
paling lama 30 hari (Pasal 82 ayat (1) dan pengadilan ditingkat kasasi paling
lama 30 hari (Pasal 83 ayat (1). Pasal 82
ayat (1) menyatakan: “Dalam putusan pengadilan tinggi dimohonkan banding ke
pengadilan tinggi, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak tanggal berkas perkara
dditerima oleh pengadilan tinggi”. Pasal 83 ayat (1) menyatakan: “Dalam putusan
pengadilan dimohonkan kasasi ke Mahkamah
Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak tanggal berkas perkara diterima
oleh Mahkamah Agung”.
5.2.
Beberapa data putusan tentang masa
persidangan perikanan
5.2.1.
Masa persidangan terdakwa di laut
teritorial dan ditahan
Data
Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri Ranai pada tahun 2012 terdapat 8
berkas perkara pidana perikanan di di Laut Teritorial yang semua
terdakwanya di tahan. Dari 8 berkas
perkara tersebut hanya 2 (dua) berkas yang diputus kurang dari 30 hari
sedangkan 6 (enam) berkas perkara diputus diatas 30 hari dengan waktu putusan
yang paling lama selama 1 bulan 12 hari.
Keterlambatan putusan karena lamanya proses tuntutan dari penuntut umum.
5.2.2.
Masa persidangan terdakwa di ZEE-Indonesia dan tidak ditahan
Data
Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri Ranai pada tahun 2012 terdapat 14
berkas perkara pidana perikanan di ZEE-Indonesia
yang semua (14 orang) terdakwanya tidak ditahan baik pada proses penyidikan,
penuntutan maupun pemeriksaan di persidangan. Dari 14 berkas perkara tersebut masa
proses persidangan lebih dari 30 hari. Masa persidangan yang paling cepat 1
bulan 10 hari dan masa persidangan yang paling lama 3 bulan 4 hari. Keterlambatan
putusan karena lamanya proses tuntutan dari penuntut umum.
5.2.3.
Masa persidangan di tingkat
banding
Data
Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri Ranai pada tahun 2012 terdapat
1(satu) berkas perkara pidana perikanan
di ZEE-Indonesia yang diajukan banding ke pengadilan tinggi atas nama
Herlan (WNI) nakhoda KM Tanjung Pura – 02. Jaksa Penuntut Umum mengajukan
permohonan banding tanggal 29 Januari 2013 dan diputus oleh Pengadilan Tinggi
Pekanbaru tanggal 10 April 2013 ( 2 bulan 11 hari).
5.2.4.
Masa persidangan di tingkat
kasasi
Data
Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri Ranai pada tahun 2012 terdapat
1(satu) berkas perkara pidana perikanan
di ZEE-Indonesia yang diajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas nama Pong
Xi (WNA) nakhoda KM KIA LNF 338. Jaksa Penuntut
Umum mengajukan permohonan kasasi tanggal 30 Oktober 2012 dan sampai sekarang belum diputus.
6. Penyidik melibatkan TNI-AL
dan penahanan 30 hari
6.1.
Analisis hukum
Mengacu pada Undang-undang Nomor 8
tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bahwa yang menjadi penyidik adalah
pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) yang diberi kewenangan khusus oleh undang-undang. Hal ini dinyatakan pada Pasal 1 ayat (1) yang
berbunyi: “ Penyidik adalah pejabat Polisi negara Republik Indonesia atau
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang untuk melakukan penyidikan”.
Khusus untuk penyidikan pidana
perikanan, tidak sepenuhnya hukum acara berlaku, sebagaimana dinyatakan
pada Pasal 72 : ”Penyidikan dalam
perkara tindak pidana di bidang perikanan, dilakukan berdasarkan hukum
acara yang berlaku, kecuali ditentukan
lain dalam undang-undang ini”.
Bila dalam Hukum Acara Pidana yang
menjadi penyidik adalah Polisi dan PPNS, maka pada pidana perikanan yang
menjadi penyidik adalah PPNS, TNI-AL dan Polri. “Penyidikan tindak pidana di
bidang perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia
dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Penyidik Perwira TNI
AL, dan/atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia” (Pasal 73 ayat 1).
Bila dalam Hukum Acara Pidana yang
dominan adalah POLRI sedangkan dalam pidana perikanan yang paling kecil
perannya adalah penyidik POLRI. Hal ini terlihat bahwa penyidik di
ZEE-Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 hanya dilakukan oleh
TNI-AL (minus POLRI dan PPNS)
sedangkan berdaasarkan Undang-Undang
Nomor 45 tahun 2009 hanya dilakukan oleh TNI-AL dan PPNS (minus POLRI). “Selain
penyidik TNI AL, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan berwenang melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di ZEEI”
(Pasal 73 ayat (2). Demikian untuk kawasan pelabuhan perikanan, penyidikan diberi prioritas kepada PPNS-Perikanan.
“Penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di
pelabuhan perikanan, diutamakan
dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan” (Pasal 73 ayat (3).
Penyidik
diberikan kewenangan untuk penahanan paling lama 30 hari. Penahanan oleh
penyidik paling
lama 20 (dua puluh) hari dan apabila
diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang
oleh penuntut umum paling lama 10 (sepuluh) hari (Pasal 73 B ayat (2) dan (3).
6.2.
Penyidik pada beberapa putusan
pengadilan perikanan
Data
Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri Ranai pada tahun 2012 terdapat 22
berkas perkara pidana perikanan yang
semuanya disidik oleh TNI-AL dan PPNS Perikanan. Tidak ada berkas perkara yang
disidik POLRI.
Penutup
Dalam penutup diskusi kita seputar
hukum acara pada pidana perikanan, saya menyarankan selain memahami dan
menguasai hukum acara perikanan, sebaiknya sebagai calon Hakim Pengadilan Perikanan
juga memahami pidana perikanan yang kompleks. Kompleksitas penghitungan, misalnya tentang
menentukan kerusakan sumberdaya ikan dan proses pemulihan yang berhubungan
dengan kerugian yang dialami negara yang berkorelasi dengan denda yang akan
diputuskan. Komplesitas hukum, misalnya pidana perikanan di ZEE Indonesia, kapal penangkap ikan berbendera Indonesia di
laut bebas dan kapal penangkap ikan berbendera asing di ALKI pada laut
territorial Indonesia serta hak-hak nelayan tradisional negara asing di
territorial Indonesia yang tidak sepenuhnya berlaku hukum nasional tetapi juga
UNCLOS dan hukum laut internasional lainnya. Penguasaan yang tinggi akan hukum
acara dan hukum pidana perikanan akan menghasilkan putusan yang mencerminkan
rasa keadilan. Semoga….
Catatan
kaki:
1.
Bahan materi pelatihan Pelatihan Jaksa Perikanan di Balai Diklat
Kejaksaan Agung di Medan, tahun 2015
2.
Dosen dan Hakim Adhoc Perikanan
Nama:diki fernando sebayang
ReplyDeleteNim :17202252
Pengadilan lingkuan industri
Menurut saya
Jelas bahw penghayatan, pengamalan dan pelaksanaan hak asasi manusia maupun hak dan kewajiban warga negara untuk menegakkan keadilan tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warga negara, setiap lembaga penyelenggara negara, setiap lembaga kenegaraan dan setiap lembaga kemasyarakatan. Oleh karena itu diperlukan peningkatan pemahaman dan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing kea rah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan yang merupakan pengayoman terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia, ketertiban dan kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum yang lebih baik di Indonesia.