Tulisan Dr.Ir.Hamzah
Lubis,SH.,M.Si berjudul: “Hukuman Mati Bagi Perusak Lingkungan” telah dimuat
pada Tabloit NU News, No.9 Edisi Minggu ke-4 Oktober 2011, hal.8 Kol.1-4 (Penyunting)
HUKUMAN MATI BAGI PERUSAK
LINGKUNGAN
Ir.Hamzah Lubis, SH.,M.Si.,CD.
(Ketua PW
Lakpesdam NU-SU, alumni KSA XLII LEMHANNAS/1999, Dosen ITM, Aktifis Lingkungan dan Jejaring HAM Komnas
HAM-RI.).
Islam adalah
agama lingkungan. Agama yang dengan jelas mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Kehadiran Nabi Muhammad
SAW yang membawa risalah agama (Islam) bukan saja menjadi rahmat bagi manusia
tapi juga bagi seluruh penghuni alam. Hubungan manusia dengan alam sekitarnya
menurut ajaran Al-Qur’an dan as Sunnah
merupakan hubungan yang dibingkai dengan konsep hukum yang sama-sama
patuh dan tunduk kepada Allah SWT. Dalam konsep kemakhlukan ini manusia
memperoleh konsesi dari Maha Pencipta memperlakukan alam semesta dengan rahmatan lil alamin.
Dalam
pandangan agama, tindakan pencemaran
lingkungan hidup dapat dikategorikan
sebagai mafasaid (kerusakan)
yang dalam prinsip ajaran agama Islam harus dihindari dan ditanggulangi. Dengan
demikian tindakan pengrusakan lingkungan dan para pelaku pengrusakan lingkungan
harus dikategorikan sebagai melanggar
syariat Allah dan bertentangan dengan hukum. Organisasi Islam terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama dalam Muktamar ke 29 tanggal
1 – 5 Desember 1994 di Tasik Malaya telah memfatwakan bahwa hukum mencemarkan
lingkungan adalah haram. Menurut para ulama NU, bahwa masalah lingkungan selain
masalah ekonomi dan politis juga memberi
ancaman terhadap ritual agama dan kehidupan umat manusia. Oleh karena itu usaha
pelestarian lingkungan hidup harus dipandang
dan disikapi sebagai salah satu tuntutan agama yang wajib dipenuhi umat
manusia, baik secara individual maupun secara kolektif. Sebaliknya
setiap tindakan yang mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup harus
dikategorikan sebagai perbuatan maksiyat (munkar)
yang diancam dengan hukuman.
Hukuman
bagi perusak lingkungan dapat berupa pidana, perdata dan hukuman mati dan
balasannya adalah neraka. Hal ini bererdasarkan Fatwa NU, sudah menyatakan
hukum mencemarkan lingkungan baik udara, air
dan tanah serta keseimbangan
ekosistem jika membahayakan adalah haram dan termasuk perbuatan kriminal (sirayat). Jika terdapat
kerusakan wajib diganti oleh pencemar.
Berhubung pencemaran lingkungan termasuk perbuatan maksiat yang besar
kecilnya bentuk-bentuk hukuman hukum perdata dan pidana tidak ditentukan dengan
jelas dalam Al Quran maupun hadist, maka termasuk dalam kategori jarimah takzir sehingga penetapan
tingkat hukumannya diserahkan kepada pemerintah dengan memperhatikan
perundang-undangan yang berlaku dan kerusakan yang dilakukan.
Berdasarkan
Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, ditetapkan hukuman pidana maupun perdata berdasarkan jenis
dan tingkat kerusakan yang ditimbulkan. Misalnya perbuatan pencemaran /perusakan
lingkungan diatur pada pasal 98 yang berbunyi: Ayat (1): Setiap orang
yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku
mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).
Ayat (2): Apabila
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan
paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). Pada ayat (3): Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak
Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Ketika hukum dunia (pidana, perdata,
administrasi) ternyata gagal menyelamatkan bumi ciptaan Tuhan, maka pendekatan
agama adalah alternatif utama. Man and Nature : The Spritual Crisis Of Man ( London,
1976) karya Seyyed Hassein Nasr menjelaskan bahwa krisis ekologi berkorelasi
erat dengan krisis spritural-eksistensial yang menerpa kebanyakan manusia
modern. Karena persepsi yang salah terhadap alam, maka manusia telah
menghancurkan dunia secara teori sebelum manusia menghancurkan dalam praktek.
Dalam dua
dekade terakhir ini, setidaknya ada upaya para ilmuan dan agamawan bersatu
untuk menyikapi lingkungan. Hal tersebut terlihat sejak pertemuan pemimpin
agama dan sains dalam : Join Appeal by
Religion and Science for the Environment, bulan Mei 1992 di Washington.D.C.
Para ilmuan dan pemimpin agama bersatu menyatakan: “Kami yakin bahwa sains dan agama dapat bekerjasama untuk mengurangi
dampak yang berarti dan membuat resolusi
atas krisis lingkungan yang terjadi di bumi”. World Wildlife Fund (WWF)
telah memfasilitasi pertemuan seluruh pemuka agama untuk menghadapai krisis
lingkungan di Assisi, Italya tahun 1996 yang telah menghasilkan Assisi Declaration, yang merupakan
pernyataan peran dan pandangan agama dalam pengelolaan lingkungan.
Orang yang
beragama dan meyakini agama, bagi perusak lingkungan selain mendapatkan hukum
dunia, juga mendapatkan hukum agama dan sanksi agama. Hukuman bagi perusak
lingkungan jauh lebih berat
dari hukum dunia, adalah hukuman mati,
sebagai mana ayat Al Quran Surah Al Maidah ayat 33 yang artinya: “Sesungguhnya imbalan terhadap
orang-orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi hanyalah mereka dibunuh atau disalib
atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal-balik atau dibuang dari
negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan bagi
mereka di dunia.Dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar”
(Q.S.Al-Maidah: 33).
Sebagai balasan atas tindakan
orang-orang yang merusak lingkungan adalah neraka. Hal ini sesuai ayat Al
Qurana surat Al-A’raf yang artinya
adalah: ” Dan sesungguhnya kami jadikan untuk isi neraka jahanam kebanyakan
dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati tetapi mereka tidak
mempergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata
(tetapi) tidak digunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah) dan mereka mempunyai telinga (tetapi)
tidak digunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang
ternak, bahkan lebih sesaat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (Q.S Al-A’raf : 179).
Tentu
bila beragama Islam akan meyakini ayat-ayat ini. Maka bersiap-siaplah menerima
hukuman dan balasan sesuai keyakinan agamanya yang dianut. Semoga.....***
No comments:
Post a Comment