internasionalisasi pidana perikanan di zee



Tulisan Dr.Ir.Hamzah Lubis,SH.,M.Si berjudul ”Internasionalisasi Pidana Perikaanan di ZEE” telah dimuat pada SK. Perestasi Reformasi, No.482 tahun 16, tanggal 25 Januari 2016 hal.6, kol.1-4

Hamzah Lubis, Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal  Medan *Pusat Kajian  Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS HAM-RI
*KSA XLII/1999 LEMHANNAS *aktifis hukum/ham/lingkungan/pendidikan



INTERNASIONALISASI PIDANA PERIKANAN DI ZEE
Dr.Ir.Hamzah Lubis,SH,M.Si

“Hai orang-orang yang  beriman, hendaklah kamu  jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil lebih dekat kepada takwa. Dan tawakkallah kepada Allah, sesunggunya Allah maha mengetahui apa yang kamu  kerjakan” (QS.al-Maidah: 8).                  
Pendahuluan
            Menilai Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009, misalnya Pasal 102 tidak cukup dengan membaca teks undang-undang maupun penjelasannya. Perlu kajian ulang “asbabun nuzul” pasal tersebut termasuk membaca kajian akademisnya.
Pasal 102 berbunyi: “Ketentuan tentang pidana penjara dalam undang-undang ini, tidak berlaku bagi tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di WPPRI dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b (Zona Ekonomi Eksklusif-ZEE), kecuali telah ada perjanjian antara Pemerintah RI dengan pemerintah negara yang bersangkutan”
Lokasi “locus delicti” pidana perikanan dapat terjadi di Perairan Indonesia,  ZEE-Indonesia maupun laut lepas yang  melibatkan warga Indonesia maupun negara asing. Oleh karena itu, aparat penegak hukum, penyidik (PPNS, Polri, TNI-AL), jaksa dan hakim semestinya memiliki kapasitas pengetahuan hukum yang memadai pada tingkat lokal (kearifan lokal), nasional (perundang-undangan) maupun internasional5 (konvensi internasional). Beranjak dari kondisi ini, Hatta Ali,  Ketua Mahkamah Agung-RI  dalam pidato Hari Jadi Mahkamah Agung ke-68 tahun 2013 menekankan pentingnya peningkatan pengetahuan dan keterampilan warga pengadilan untuk menjadi hakim yang profesional dan berintegritas.
Menurutnya, Hatta Ali, peradilan modern adalah: “ Tidak hanya dalam arti harfiah-perangkat, namun juga cara berpikir. Hal ini penting, karena ke depan, tidak hanya peradilan dituntut untuk beroperasi  lebih efektif dan efisien, baik secara teknis yudisial-maupun manajemen, namun juga harus mampu berpikir antisipatif, melewati batas-batas konvensional, dan memikirkan juga aspek regional dan internasional yang mungkin akan mempengaruhi dinamika sistem peradilan kita,  kesemuanya saya pikir sudah ada di depan mata kita semua dan menunggu untuk terjadi. Untuk itu kemampuan untuk mengantisipasi dan melakukan adaptasi perlu dipertimbangkan secara serius oleh jajaran aparatur peradilan kita”.
ZEE-Indonesia
            Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) diakui melalui United Nation Convention of Sea (UNCLOS) 1982. Penetapan batas ZEE antar negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan harus dengan ”persetujuan” atas dasar hukum internasional.  Berbeda dengan penetapan  batas laut teritorial yang menerapkan garis batas maritim suatu garis berjarak sama (equidistance line) dengan metoda turunannnya berupa The Partial Effec Method, The Coastal Length Comparison Method dan The Equi-Ratio Method.  
Karena batas ZEE “harus” mendapat “persetujuan”, maka penetapan batas ZEE menjadi alot. Batas ZEE-Indonesia baru disepakati negara Philipina. Dengan berbagai alasan, batas ZEE-Indonesia belum diakui. Misalnya, batas ZEE-Indonesia di Laut Cina Selatan (LCS) dengan Vietnam, negara  Vietnam mengajukan metoda Thalweg, dengan prinsip sungai-sungai yang tenggelam pada zaman pra sejarah. Secara tak langsung, Vietnam mengkalim perairan Kabupaten Natuna, Kabupaten Anambas sampai Pulau Bangka dan perairan Kalimantan Barat milik ZEE Vietnam.
Demikian juga RRC, menetapkan batas perairannya berdasarkan pengaruh kerajaan-kerajaan Tiongkok masa lalu. Dengan demikian, sebagian ZEE-Indonesia di Laut Cina Selatan menjadi klaim wilayahnya. Tiongkok  tanggal 25 Pebruari 1992, telah mengumumkan Hukum Laut Teritorial dan Zona Tambahan, dimana garis putus-putusnya memotong sebagian ZEE Indonesia. Klaim Tiongkok  atas Laut Cina Selatan membuat banyak negara meradang, seperti Vietnam, Philipina, Jepang dan negara LCS lainnya.
Batas ZEE-Indonesia, sebelum kesepakatan dengan negara tetangga,  hanya pernyataan sepihak, yang belum diakui hukum internasional. Indonesia menetapkan berdasarkan: “ garis tengah atau garis sama jarak antara garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia atau titik-titik terluar Indonesia dengan  garis-garis pangkal laut wilayah atau titik-titik terluar negara tetangga”.
Selama batas belum disepakati, tindakan Indonesia sebaiknya “ tidak kontroversi”, “tidak memicu kemarahan” yang akan  “menghalangi” upaya persetujuan perbatasan ZEE-Indonesia.  Tindakan yang “kontroversi” dapat memicu ke sengketa antar negara pada pengadilan atau mahkamah internasional. Penenggelaman kapal perikanan Vietnam telah memicu nota protes negara Vietnam  ke Kementerian Luar Negeri Indonesia. Demikian juga, belajar sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan ternyata Indonesia “dipecundangi” sehingga “dikalahkan” Malaysia di Mahkamah Internasional.
Rezim ZEE-Indonesia
ZEE-Indonesia adalah  suatu daerah “di luar” dan berdampingan dengan laut teritorial (Indonesia). ZEEI harus dipahami sebagai wilayah ”bukan kedaulatan negara7”, hanya sebagai ”wilayah yurisdiksi” Indonesia dengan hak-hak berdaulat ”terbatas” yang pelaksanaan hak-hak berdaulat terbatas  secara ”bersyarat”.  Hak berdaulat hanya untuk ”keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam” pada kolom air (diatas dasar laut sampai permukaan laut).
Rezim hukum di ZEE adalah rezim hukum khusus. Kekhususannya adalah: (1) hukum nasional yang berlaku di ZEEI harus tunduk dengan UNCLOS (Pasal 55), (2) hukum nasional yang berlaku di ZEEI  harus sesuai dengan  UNCLOS (Psl.56 ayat (2), Psl 58 ayat 3, Pasal 73 ayat 1),  (3) hukum nasional yang berlaku di ZEEI  harus relevan dengan  UNCLOS (Pasal 58 ayat 1) dan  (4) hukum nasional yang berlaku di ZEEI  tidak bertentangan dengan  UNCLOS (Pasal 58 ayat 3). Ratifikasi UNCLOS dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985 sebagai pernyataan  ”persetujuan”, ” mengikatkan diri”  dan ”mengikat para pihak” Pemerintah Republik Indonesia dengan UNCLOS.
Internasionalisasi Pidana Perikanan
            Belum adanya persetujuan batas ZEE-Indonesia, penetapan sepihak batas ZEE-Indonesia, klaim wilayah ZEE yang tumpang tindih serta tindakan negara yang tidak mengikuti hukum laut internasional,  dapat menimbulkan sengketa antar negara. Bahkan penafsiran yang berbeda terhadap UNCLOS, negara yang keberatan dapat mengajukan gugatan ke mahkamah internasional.
Negara yang dapat melakukan gugatan adalah negara menandatangani, meratifikasi atau aksesi UNCLOS atau negara yang belum  menandatangani, meratifikasi atau aksesi  UNLOS33. Penyelesaian sengketa dapat memilih satu atau lebih dari cara melalui: (1) Mahkamah Internasional Hukum Laut , (2) Mahkamah Internasional, (3) Mahkamah Arbitrasi dan (4)  Mahkamah Arbitrasi Khusus.
Sengketa yang dapat dilakukan gugatan meliputi  “penerapan Konvensi” maupun “perihal interprestasi atau penerapan Konvensi” UNCLOS.  Pengadilan atau mahkamah internasional menerapkan hukum berdasarkan UNCLOS dan peraturan hukum internasional lainnya yang tidak  bertentangan dengan UNCLOS. Perjanjian internasional, kebiasaan internasional, keputusan-keputusan Pengadilan Internasional, perinsip-prinsip hukum umum dan ajaran para pakar Hukum Internasional terkemuka sebagai sumber hukum tambahan.  Dan putusan pengadilan atau mahkamah internasional bersifat “tingkat akhir” dan “harus dipatuhi oleh semua pihak dalam sengketa”.
Penutup
Seandainya, pemboman dan penenggelaman kapal perikanan negaraa asing di ZEE yang batasnya belum disepakati (tumpang tindih) negara tersebut diajukan ke pengadilan atau mahkamah internasional.  Dalam proses hukum, di penyidikan, penuntutan, pertimbangan hukum dan putusan pengadilan tidak menerapkan UNCLOS, misalnya Pasal 73 ayat (3) jo Pasal 102 Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004. Indonesia, seperti dinyatakatan Dr.Suhadi, SH, MH, Hakim Agung-RI, akan menjadi “bulan-bulanan” negara asing. Dan apakah anda yakin, Indonesia akan menang? Kalau tidak sepenuhny yakin, mengapa anda tidak menerapkan UNCLOS yang telah diratifikasi secara utuh dan menyeluruh?***

No comments:

Post a Comment