Tulisan Dr.Ir.Hamzah Lubis, SH.,M.Si berjudul “Kajian Hukum
Penenggelaman Kapal Perikanan”, telah dimuat pada SK.Perestasi Reformasi di
Medan, No.471, tanggal 28 September 2015, hal.6, kol.1-5 .
Hamzah Lubis, Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim
Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal Medan *Pusat Kajian Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS
HAM-RI
*KSA XLII/1999 LEMHANNAS
*aktifis hukum/ham/lingkungan/pendidikan
Pada
Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2015 lalu, sebanyak 41 kapal perikanan illegal
ditenggelamkan. Kementerian Kelautan dan Perikanan menenggelamkan 19 kapal,
yang meliputi 6 kapal di Pontionak, 11 kapal di Bitung, 1 kapal di
Belawan, dan 1 kapal di Idi, NAD. TNI AL juga menenggelamkan 22 kapal di Ranai,
Kepulauan Riau. Enam bulan sebelumnya (5/11/2014) telah pula ditenggelamkan 3
kapal di Natuna dan 3 kapal di Bitung. Demikian juga tahun 2003 telah
ditenggelamkan 20 kapal perikanan.
Rezim
Hukum Perikanan
Dalam
pengelolaan perikanan, wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yang terdiri atas
Perairan Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), WPP air tawar. Perairan Indonesia terdiri
perairan pedalaman, perairan kepulauan dan
laut teritorial dengan kewenangan
sebagai “kedaulatan” sehingga hukum yang berlaku adalah hukum nasional dengan
beberapa pengecualian. WPP ZEEI, sebagai
wilayah yurisdiksi dengan “hak berdaulat” mengakibatkan hukum yang berlaku
hukum nasional dan hukum internasional. Sedangkan di
laut lepas, berlaku sepenuhnya rezim hukum internasional.
Penerapan pidana
perikanan selain memperhatikan rezim hukum di locus delicti, harus juga memperhatikan
hukum laut internasional lainnya. Misalnya , kendati berada di Perairan
Indonesia, tetapi apakah locus delicti berada di Alur Laut Kepulauan Indonesia
(ALKI), di wilayah penangkapan nelayan tradisional negara lain, di area abu-abu dimana belum disepakati batas
laut teritorial, berada di batas abu-abu
yang telah ada MOU pengelolaan perikanan bersama, belum ada kesepakatan batas ZEEI
atau tumpang tindih klaim ZEE.
Rezim
hukum laut diatur dalam United Nations
Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS) tahun 1982 yang telah
diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985. Dengan ratifikasi, telah menambah luas lautan Indonesia
dari 100.000 km2 menjadi 5.800.000 km2 yang terdiri atas laut teritorial dari 100.000
km2 menjadi 3,1 juta km2 dan perairan ZEE dari semula 0,0 km2 menjai
2.700.000 km2 , penambahan luas udara Indonesia dari 2.000.000 km2
menjadi 5.000.000 km2 dan kemungkinan perluasan klaim continental shelf.
Penenggelaman
Kapal di Perairan Indonesia
Perairan Indonesia
adalah kedaulatan negara, maka hukum Indonesia berlaku di perairan pedalaman,
perairan kepulauan dan laut teritorial. Hukum Indonesia memungkinkan menenggelamankan
kapal perikanan Indonesia maupun kapal perikanan asing yang ditangkap di
perairan Indonesia. Pasal 69 ayat (4) UU No. 45 tahun 2009 menyebutkan,
penyidik atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa
pembakaran atau penenggelaman kapal perikanan berdasarkan bukti permulaan yang
cukup.
Agar tindakan membakar atau menenggelamkan kapal perikanan tidak
dilakukan sewenang-wenang, main hakim sendiri dan tidak melanggar HAM maka diperlukan proteksi tindakan. Menurut Artidjo
Alkostar, Ketua Kamar Pidana Mahkamah
Agung, penenggelaman kapal mengacu Pasal
76A UU No. 45 tahun 2009 yang mengharuskan persetujuan dari ketua pengadilan
negeri terlebih dahulu.
Penenggelaman
Kapal di ZEE Indonesia
UNCLOS menerapkan ”rezim hukum khusus” di ZEE. Hukum nasional (Indonesia) ”harus tunduk”, ”harus sesuai”, ”harus relevan”
dan ”tidak bertentangan” dengan UNCLOS. UNCLOS tidak membolehkan menenggelamankan, membakar dan
melelang barang bukti kapal perikanan asing yang dinakhodai warga negara asing,
karena kapal dan awak kapalnya dapat dibebaskan dengan uang jaminan. Pasal 73 ayat 2 UNCLOS menyatakan:
“Kapal-kapal yang ditangkap dan awak kapalnya harus segera dibebaskan setelah
diberikan suatu uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainnya”. Pasal ini diadopsi dalam Pasal 13 dan Pasal 15 Undang-Undang ZEE-Indonesia dan Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Perikanan.
Teknis
Penenggelaman Kapal
Teknik
menenggelamkan kapal lebih banyak dilakukan dengan pengeboman. Permasalahannya,
pemboman kapal menyebabkan terumbu karang rusak dan mati dan kapal menjadi kepingan.
Oli kapal, sebagai limbah bahan berbahaya beracun (BBB) akan mencemari laut, blok mesin menimbulkan karat yang mencemari
laut. Berbeda halnya, bila kapal dimanfaatkan, atau nilai ekonomis kapal
diambil (mesin, oli dan solar kapal, alat navigasi dan lainnya), kemudian ditenggelamkan
dengan membocori kapal, selain masih mendapatkan nilai ekonomis, kerangka kapal
akan menjadi terumbu karang buatan.
Penyelesain
Sengketa UNCLOS
Tindakan menenggelamkan
kapal tanpa mengacu pada hukum nasional dan hukum internasional di ZEE kepada
nelayang asing, dapat memicu sengketa antar negara. Negara asal nelayan asing
dapat mengajukan gugatan atas tindakan hukum yang bertentangan dengan UNCLOS
atau hanya perselisihan atas “interprestasi” UNCLOS ke salah satu Mahkamah Internasional , Mahkamah
Internasional Hukum Laut, Mahkamah Internasional Standing Tribunal), Mahkamah
Arbitrasi Umum atau Mahkamah Adhoc Tribunal. Penetapan
hukum mahkamah tersebut berdasarkan UNCLOS dan hukum internasional lainnya yang
tidak bertentangan dengan UNCLOS. Kondisi seperti ini, tentu akan memalukan
bangsa dan negara.***
Nama:diki fernando sebayang
ReplyDeleteNim :17202252
Kelas 4M6
M.kuliah:pengadilan lingkungan industri
Menurut saya
Pada Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2015 lalu, sebanyak 41 kapal perikanan illegal ditenggelamkan. Kementerian Kelautan dan Perikanan menenggelamkan 19 kapal, yang meliputi 6 kapal di Pontionak, 11 kapal di Bitung, 1 kapal di Belawan, dan 1 kapal di Idi, NAD. TNI AL juga menenggelamkan 22 kapal di Ranai, Kepulauan Riau. Enam bulan sebelumnya (5/11/2014) telah pula ditenggelamkan 3 kapal di Natuna dan 3 kapal di Bitung. Demikian juga tahun 2003 telah ditenggelamkan 20 kapal perikanan.
Terima kasih